Etika dan Filsafat Komunikasi
1. Pengantar Filsafat Orang yang berfilsafat dapat diumpamakan sebagai seseorang yang berpijak di bumi sedang tengadah ke bintang-bintang , ia ingin mengetahui hakikat dirinya dalam kemestaan alam, Karakteristiknya berfikit filsafat yang pertama adalah menyeluruh, yang kedua mendasar.
Filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran/ rasio belaka.
Menurut Harun Nasutionfilsafat adalah berfikir menurut tata tertib (logika) dengan bebas (tak terikat tradisi, dogma atau agama) dan dengan sedalam-dalamnya sehingga sampai ke dasar-dasar persoalan
Menurut Plato( 427-347 SM) filsafat adalah pengetahuan tentang segala yang ada
Aristoteles (384-322 SMyang merupakan murid Plato menyatakan filsafat menyelidiki sebab dan asas segala benda.
Marcus Tullius Cicero (106 – 43 SM) mengatakan bahwa filsafat adalah pengetahuan tentang sesuatu yang maha agung dan usaha untuk mencapainya.
Al Farabi (wafat 950 M) filsuf muslim terbesar sebelum Ibn Sina menyatakan filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam yang maujud dan bertujuan menyelidiki hakekatnya yang sebenarnya.
Immanuel kant (1724 – 1804) menyatakan bahwa filsafat adalah ilmu pokok dan pangkal segala pengetahuan yang mencakup didalamnya 4 persoalan : yaitu (1) apakah yang dapat kita ketahui (dijawab dengan Metafisika) , (2) Apakah yang boleh kita kerjakan (dijawab dengan etika), (3) Sampai dimanakah pengharapan kita (dijawab dengan agama) (4) Apakah yang dinamakan manusia (dijawab dengan antropologi)
Harold H.Titus mengemukakan 4 pengertian filsafat. adalah : (1) satu sikap tentang hidup dan tentang alam semesta(Philosophy is an attitude toward life and thuniverse) (2) Filsafat adalah satu metode pemikiran reflektif dan penyelidikan Akliah(Philosophy is a method of reflective thinking and reasoned inquired) (3)Filsafat adalah satu perangkat masalah ( philosophy is a group pf problems)
(4) Fissafat ialah satu perangkat teori atau isi pikira (philosophy is a group of system of thouhg). .
Prof. Dr. Fuad Hassan guru besar psikologi universitas indonesia menyimpulkan bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berfikir radikal dalam arti mulai dari radix suatu gejala dari akar suatu hal yang hendak dimasalahkan, dan dengan jalan penjajagan yang radikal filsafat berusaha untuk sampai kepada kesimpulan- kesimpulan yang universal.
2. Filsafat dan Ilmu Komunikasi
Pemikiran Richard Lanigan Karyanya yang berjudul “Communication Models in Philosophy, Review and Commentary” membahas secara khusus “analisis filsafati mengenai komunikasi”. Mengatakan; bahwa filsafat sebagai disiplin biasanya dikategorikan menjadi sub- bidang utama menurut jenis justifikasinya yang dapat diakomodasikan oleh jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan berikut ini : - Apa yang aku ketahui ? (What do I know ?) - Bagaimana aku mengetahuinya ? (How do I know it ?) - Apakah aku yakin ? (Am I sure ?) - Apakah aku benar ? (Am I right ?)
Pertanyaan-pertanyaan di atas berkaitan dengan penyelidikan sistematis studi terhadap
: - Metafisika; - Epistemologi; - Aksiologi; dan - Logika
Metafisika; adalah suatu studi tentang sifat dan fungsi teori tentang realita. Hubungannya dengan teori komunikasi, metafisika berkaitan dengan hal-hal sbb : 1) Sifat manusia dan hubungannya secara kontekstual dan individual dengan realita dalam alam semesta; 2) Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab, dan aturan; 3) Problem pilihan, khususnya kebebasan versus determinisme pada perilaku manusia.
Pentingnya metafisika bagi pembahasan filsafat komunikasi, dikutip pendapat Jujun S Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran. Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :
- Ada sebagai yang ada; ilmu pengetahuan mengkaji yang ada itu dalam bentuk semurni- murninya, bahwa suatu benda itu sungguh-sungguh ada dalam arti kata tidak terkena perubahan, atau dapat diserapnya oleh panca indera. Metafisika disebut juga Ontologi. - Ada sebagai yang iLLahi; keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang lain, yakni TUHAN (iLLahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera).
Epistemologi; merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge). Epistemologi berkaitan dengan penguasaan pengetahuan dan lebih fundamental lagi bersangkutan dengan kriteria bagi penilaian terhadap kebenaran dan kepalsuan, tepat apabila dihubungkan dengan metodologi. Metode; adalah tata cara dari suatu kegiatan berdasarkan perencanaan yang matang dan mapan, sistematik dan logis. Pada dasarnya metode ilmiah dilandasi : - Kerangka pemikiran yang logis; - Penjabaran hipotesis yang merupakan deduksi dan kerangka pemikiran; - Verifikasi terhadap hipotesis untuk menguji kebenarannya secara faktual.
Jujun S Suriasumantri, mengemukakan akronim metode ilmiah yang dikenal sebagai logicohypotetico verifikasi, kerangka pemikiran yang logis mengandung argumentasi yang dalam menjabarkan penjelasannya mengenai suatu gejala bersifat rasional. Lanigan, mengatakan bahwa dalam prosesnya yang progresif dari kognisi menuju afeksi yang selanjutnya menuju konasi, epistemology berpijak pada salah satu atau lebih teori kebenaran.
Dikenal empat teori kebenaran, sebagai berikut : 1) Teori koherensi; suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. 2) Teori korespondensi; suatu pernyataan adalah benar jikalau materi yang terkena oleh persyaratan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu. 3) Teori pragmatik; suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.
Aksiologi; asas mengenai cara bagaimana menggunakan ilmu pengetahuan yang secara epistemologis diperoleh dan disusun. Aksiologi adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan nilai-nilai seperti etika, estetika, atau agama.
Dalam hubungannya dengan filsafat komunikasi, aksiologi adalah suatu kajian terhadap apa itu nilai-nilai manusiawi dan bagaimana cara melembagakannya atau mengekspresikanny
Jelaslah, pentingnya seorang komunikator untuk terlebih dahulu mempertimbangkan nilai (value judgement), apakah pesan yang akan dikomunikasikan etis atau tidak, estetis atau tidak.
Logika; berkaitan dengan telaah terhadap asas-asas dan metode penalaran secara benar. Logika sangat penting dalam komunikasi, karena pemikiran harus dikomunikasikan, sebagai hasil dari proses berpikir logis.
2. Pemikiran Stephen LittleJOHN Materi – 7 : Heri Erlangga
Penelaahan terhadap teori dan proses komunikasi dengan membagi menjadi tiga tahap dan empat tema :
A. Tahap Metatheoritical; Meta mempunyai beberapa pengertian : - Berubah dalam posisi (changed in position); - Di seberang, di luar atau melebihi (beyond); - Di luar pengertian dan pengalaman manusia (trancending); - Lebih tinggi (higher);
Teori menurut Wibur Schramm adalah “suatu perangkat pernyataan yang saling berkaitan pada abstraksi dengan kadar yang tinggi, dan daripadanya proposisi dapat dihasilkan yang dapat diuji secara ilmiah, dan pada landasannya dapat dilakukan prediksi mengenai tingkah laku”.
B. Tahap Hipotetikal; Adalah tahap teori di mana tampak gambaran realitas dan pembinaan kerangka kerja pengetahuan. C. Tahap Deskriptif; Tahap ini meliputi pernyataan-pernyataan aktual mengenai kegiatan dan penemuan- penemuan yang berkaitan dengannya.
Empat Tema dimaksud adalah :
A. Tema Epistemology (pertanyaan mengenai pengetahuan); Adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia.
LittleJOHN mengajukan pertanyaan : Dengan proses bagaimana timbulnya pengetahuan ? terdapat empat posisi :
1. Mentalisme atau rasionalisme yang menyatakan bahwa pengetahuan timbul dari kekuatan pikiran manusia. Posisi ini menempatkan pada penalaran manusia.
2. Empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan muncul dalam persepsi. Melihat dunia apa yang sedang terjadi.
3. Konstruksivisme yang menyatakan bahwa orang menciptakan pengetahuan agar berfungsi secara pragmatis dalam kehidupannya. Percaya bahwa fenomena di dunia dapat dikonsepsikan dengan berbagai cara, dimana pengetahuan berperan penting untuk merekayasa dunia.
4. Konstruksivisme sosial mengajarkan bahwa pengetahuan merupakan produk interaksi simbolik dalam kelompok sosial. Realitas dikonstruksikan secara sosial sebagai produk kehidupan kelompok dan kehidupan budaya.
B. Tema Ontology (pertanyaan mengenai eksistensi);
Ontology adalah cabang filsafat mengenai sifat wujud (nature of being) atau sifat fenomena yang ingin kita ketahui, dalam sosiologi berkaitan dengan sifat interaksi sosial.
Dalam teori komunikasi tampak berbagai posisi ontologis, tetapi dapat dikelompokan menjadi dua posisi yang saling berlawanan :
1. Teori Aksional (actional theory); Bahwa orang menciptakan makna, mereka mempunyai tujuan, mereka menentukan pilihan nyata. Berpijak pada landasan teleologis yang menyatakan bahwa orang mengambil keputusan yang dirancang untuk mencapai tujuan.
2. Teori Non-aksional (nonactional theory); Bahwa perilaku pada dasarnya ditentukan oleh dan responsive terhadap tekanan-tekanan yang lalu. Tradisi ini dalil-dalil tertutup biasanya dipandang tepat, interpretasi aktif seseorang dilihat dengan sebelah mata.
C. Tema Perspective (pertanyaan mengenai focus); Suatu teori terdapat pada fokusnya. Perspektif berkorelasi dengan epistemology dan ontology disebabkan bagaimana teoritisi memandang pengetahuan dan bagaimana pengaruhnya terhadap perspektif teori. Teori komunikasi menyajikan perspektif khusus darimana prosesnya dapat dipandang. Suatu perspektif adalah sebuah titik pandang, suatu cara mengkonseptualisasikan sebuah bidang studi. Perspektif ini memandu seorang teoritikus dalam memilih apa yang akan dijadikan fokus dan apa yang akan ditinggalkan, bagaimana menerangkan prosesnya, dan bagaimana mengkonseptualisasikan apa yang diamati.
Empat jenis yang dinilainya memadai dalam pembahasan perspektif, yaitu :
1. Perspektif Behavioristik (behavioristic perspective); Timbul dari psikologi mazhab perilaku atau behavioral, menekankan pada rangsangan dan tanggapan (stimulus dan response) yang cenderung menekankan pada cara bahwa orang dipengaruhi oleh pesan. 2. Perspektif Transmisional (transmissional perspective);
Memandang komunikasi sebagai pengiriman informasi dari sumber kepada penerima, menggunakan gerakan model linier dari suatu lokasi ke lokasi lain. Menekankan pada media komunikasi, waktu dan unsur-unsur konsekuensial. 3. Perspektif Interaksional (interactional perspective); Mengakui bahwa para pelaku komunikasi secara timbal balik menanggapi satu sama lain. Umpan balik dan efek bersama merupakan kunci konsep. 4. Perspektif Transaksional (Transactional perspective); Menekankan kegiatan saling beri. Memandang komunikasi sesuatu di mana pesertanya terlibat secara aktif, menekankan konteks, proses dan fungsi. Komunikasi dipandang situasional dan sebagai proses dinamis yang memenuhi fungsi-fungsi individual dan socia.
3. Kebenaran
Pengertian Kebenaran Kebenaran berasal dari kata dasar “benar”. Secara etimologi “benar” mempunyai arti tidak salah, lurus, susngguh-sungguh dan tidak bohong. Sedangkan secara epitemologi (istilah), pengertian kebenaran dapat kita lihat pembahasan dibawah ini. Pembahasan tentang kebenaran, maka kita akan menemukan dua hal, yakni “kebenaran apoteriori atau kebenaran yang berasal dari fakta”, dan “Kebenaran apriori atau kebenaran berasal dari akal budi”. Kebenaran apriori dapat dibuktikan dengan melihat keterkaitannya dengan proposisi yang sama, sedangkan kebenaran aposteriori hanya bisa dilihat sebagai benar berdasarkan pengalaman. Ada dua pandangan tentang kebenaran, kebenaran secara rasional atau berdasarkan akal budi dan kebenaran secara empiris atau berdasarkan pengetahuan. Hal ini sebagaimana dikatakan Immanuel Kant dlm yang dikutip olh A. Sonny Keraf, bahwa ada dua cara yang saling terkait dan menunjang satu sama lain untuk bisa sampai pada suatu pengetahuan. Pertama, secara empiris, yaitu dengan mengacu pada pengalaman dan pengamatan indrawi, pada bagaimana benda atau objek tertentu tampak pada kita melalui pancaindra. Jadi untuk mengetahui bahwa suatu konsep atau proposisi benar, saya mengacu pada objek dari proposisi itu menampakkan diri pada saya. Artinya, saya selalu menceknya pada fakta dan data yang bisa ditangkap dengan pancaindra. Dengan kata lain untuk mengetahu bahwa proposisi benar kita tidak mengacu pada akal budi, bagaimana akal budi memikirkannya, melainkan bagaimana pada objek yang dinyatakan dalam proposisi itu tampak pada saya. Ini lah yang disebut sebagai kebenaran atau pengetahuan empiris. Kedua, suatu objek bisa ditangkap oleh pancaindra kalau kita mempunyai kategori-kategori tertentu. Pengetahuan memang didasarkan pada pengalaman indrawi, tetapi pengalaman indrawi itu hanya mungkin terjadi dalam bentuk-bentuk bawaan tertentu yang ada dalam diri manusia; berupa ruang dan waktu serta hukum sebab akibat. Jadi, di pihak lain ada pengetahuan transendental yang memberi kerangka yang memungkinkan objek dapat dialami. Maka di satu pihak akal budi menangkap benda tertentu sesuai dengan bentuk benda itu tetapi di pihak lain, benda itu sendiri menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk yang telah ada dalam akal budi. (A. Sonny Keraf & Mikhael Dua, 2001;60). Dari pendapat Kant di atas dapat disentesiskan bahwa kebenaran bisa berdasarkan akal budi rasional dan pengetahuan empiris. Pengetahuan berdasarkan pengalaman indrawi terhadap subjek dan objek yang dialami. Menurut A Mappadjantji Amin, Kebenaran adalah pemetaan realitas sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Kebenaran adalah basis utama
untuk menjaga keberlangsungan kehidupan individual serta menjalin dan mengembangkan interkonesitas dengan individu atau tatanan lainya. Pendapat yang sama menurut Morris yg dikutip olh A. Mappadjantji Amir, mengutip satu kajian evolusioner tentang kehidupan, menyatakan bahwa mekanisme adaptif yang paling mendasar adalah berpegang kepada kebenaran. Mahluk yang tidak mampu menemukan dan berpegang pada kebenaran akan punah. Keberhasilan manusia mempertahankan keberlangsungan keberadaannya karena pada dasarnya manusia di karunai oleh sang Pencipta naluriah akan kebenaran. (A Mappadjantji Amin 2005;320). Dasar bagi pengetahuan yang benar menurut Plato terletak pada “dunia atas” (dunia ide). Tidak mungkin ada pengetahuan yang benar dengan sifat-sifat umum dan mutlak yang berasal dari pernyataan indrawi yang berubah-ubah. Kenyataan yang diketahui oleh indra bersifat “semu”. Kenyataan yang menjamin kebenaran ialah dunia atas (mitos gua). Aristoteles menolak pandangan Plato. Ia mengatakan bahwa dasar pengetahuan yang benar terletak pada kenyataan yang diketahui melalui indra (Adelbert Snijders, 2006;37). Menurut J.H. Randal, kebenaran lahir dari sebuah rangkaian fakta yang saling bersesuaian atau berkoheren, sehingga antara satu fakta dan fakta lain harus dipastikan tidak aka nada pertentangan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Dalam sejarah filsafat juga terdapat beberapa teori tentang kebenaran, diantaranya ada tiga yang utama yakni: 1. Teori penyesuaian (korespondensi) Menurut teori ini kebenaran adalah penyesuaian antara apa yang dikatakan dan kenyataan 2. Teori keteguhan (koherensi) Menurut teori ini kebenaran tidak diperoleh dalam keseuaian antara proposisi atau pernytaan dan kenyataan. Suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan itu bersifat koherens atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya.yang dianggap benar. 3. Teori Pragmatis tentang kebenaran. Menurut teori ini kebenaran suatu pernyataan diukur dengan criteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.(Antonius Atosokhi Gea at.all, 2005;153). Dari pendapat-pendapat diatas dapat di simpulkan bahwa kebenaran adalah pengetahuan yang berdasarkan akal budi dan pengalaman-pengalaman. Kebenaran adalah rangkaian fakta-fakta yang saling bersesuai dan koheren antara satu dn lainnya yang tidak bertentangan baik secara kualitataf maupun kuantitatif.
C. Kebenaran Ilmiah dan Kebenaran Non-ilmiah Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang didasari proses penelitian dan penalaran logika ilmiah. Kebenaran ilmiah ini dapat ditemukan dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koreponden, dan koheren. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran terjadi pengetahuan. Pengetahuan terbukti benar dan menjadi benar oleh kenyataan yang sesuai dengan apa yang diungkapkan pengetahuan itu (sonny Keraf & Mikhael Dua 2001;67
Menurut Umar Husen (2005;60) kebenaran ilmiah harus dapat dilihat dari sisi bahwa ia sesuai dengan fakta dan aturan, objektif, masuk akal dan memiliki asumsi-asumsi. Kebenaran ilmiah sesuai dengan aturan berarti kebenaran ilmiah memiliki metode. Metode adalah cara, aturan atau jalan pengaturan pemeriksaan sesuatu. Pengetahuan disebut ilmiah jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: - Bersifat obyektif - Bersifat luas dan dalam - Bersifat relative dan dapat diabstraksi - Dilakukan dengan sistematis dan dapat dikonkritisasi - Berkembang dan bersifat mobil; dan - Memiliki metodis dan instrumentalis.
Dari pendapat diatas dapat disintesiskan bahwa kebenaran ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui metode atau cara dan diuji dengan pendekatan pragmatis, koresponden dan koheren, serta memenuhi syarat obyektif, luas, relative dan sistematis. Kebenaran ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh melalui sebuah hasil penelitian ilmiah. Lain halnya dengan kebenaran non-ilmiah, kebenaran non-ilmiah adalah kebenaran yang diperoleh tanpa melalui penelitian ilmian dan bersifat subjektif. Kebenaran ilmiah antara lain: 1. Kebenaran karena kebetulan Kebenaran yang didapat dari kebetulan dan tidak ditemukan secara ilmiah 2. Kebenaran karena akal sehat (common sense) Akal sehat adalah serangkaian konsep yang dipercayai dapat memcahkan masalah secara praktis 3. Kebenaran agama dan wahyu Yakni kebenaran mutlak dan asasi dari Tuhan. Kebenaran ini berdasarkan atas kepercayaan dan keyakinan.
4. Kebenaran intuitif Kebenaran yang didapat dari proses luar sadar tanpa menggunakan penalaran dan proses berpikir 5. Kebenaran karena trial dan error Kebenaran yang diperoleh karena mengulang-ulang pekerjaan, baik metode, teknik, materi dan parameter-parameter sampai akhirnya menemukan sesuatu. Kebenaran ini sering disebut kebenaran meraba-raba. 6. Kebenaran spekulasi Kebenaran karena adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang 7. Kebenaran karena kewibawaan Kebenaran yg diterima karena pengaruh kewibawaan sesorang. Seseorang tersebut bisa ilmuan, pakar atau ahli yang memiliki kompetensidan otoritas dalam suatu bidang ilmu. 8. Kebenaran karena kekuasaan Yakni sesuatu menjadi benar atau salah karena adanya intervensi kekuasaan
D. Kebenaran kefilsafatan Dalam kajian falsafah dikenal berbagai macam teori kebenaran. Karena tujuan utama berfilsafat adalah mencari kebenaran yang ditunjukan dengan upaya terus-menerus untuk mencari kebenaran sejati maka dalam wacana filsafat ada berbagai macam teori kebenaran yang saling melengkapi satu sama lain. Kebenaran kefilsafatan harus memenuhi empat aspek, yakni objek materi, forma, metode dan system yang terkait dengan kebenaran. 1. Objek materi Dimana filsafat mempelajari segala sesuatu yang ada, sehingga dapat kita pahami bahwa kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat umum universal, yang berarti tidak terkait dengan jenis-jenis objek tertentu. Misalnya objek manusia, maka tidak dibatasi pada manusia etnis, golongan dan zaman tertentu. 2. Objek forma Kebenaran ilmu pengetahuan filsafat bersifat metafisika, yakni meliputi ruang lingkup mulai dari konkret-khusus sampai kepada abstrak universal. Contohnya adalah macam-macam segitiga yang sebenarnya memiliki sifat yang sama, yaitu tiga garis lurus yang saling berpotongan sehingga membentuk tiga sudut yang kesemuanya berjumlah 180 derajat.. itulah acuan kebenaran filsafat yang abstrak-metafisika. 3. Metode, kefilsafatan terarah pada pencapaian pengetahuan esensial atas setiap hal dan pengetahuan eksistensial daripada segala sesuatu dalam keterikatan yang utuh (kesatuan).
4. System, kebenaran bersifat dialektis, yakni senantiasa terarah kepada keterbukaan bagi masuknya ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru yang semakin memperjelas kebenaran.
E. Kebenaran sebagai nilai fundamental Kebenaran sebagai nilai fundamental adalah kebenaran yang sangat mendasar. Artinya kebenaran yang tak bisa tergoyahkan. Kebenaran ini biasa berakar pada keyakinan. Seseorang menggunakan segala macam cara dan alat menjadi kudus untuk mencapai tujuan. Louis Alvin Day dalam bukunya yang berjudul “Ethics in Media Communication” (2006;78) mengatakan bahwa lawan dari kebenaran adalah bohong (lying), penipuan (deception), dan ketidakjujuran (dishonesty). Deception menurutnya adalah “pesan komunikasi yang disengaja agar orang lain mendapatkan pemahaman yang salah, atau agar mereka meyakini apa yang kita sendiri tidak yakin akannya”. Deception, dengan demikian dihasilkan tidak hanya dari ucapan, tapi juga perilaku, gerak tubuh, hingga sebuah senyum. Bahkan kondisi tertentu, menahan informasi merupakan bagian dari deception. Sedangkan bohong (lying) merupakan subkategori dari deception dan meliputi komunikasi tentang yang salah dimana komuniktor sendiri megetahui bahwa informasi tersebut adalah salah. Menurut Day kategori terakhir banyak dilakukan oleh praktisi media, walaupun pada banyak kasus mereka senidri menyadarinya. Komitmen terhadap kebenaran merupakan salah satu nilai fundamental dalam kehidupan manusia, yang telah ada sejak zaman dahulu kala. Immanuel Kant, misalnya, mengatakan bahwa kebenaran merupakan sesuatu yang harus ditegakkan. Apapun resiko yang ada. Bahkan Socrates rela dihukum mati demi mempertahankan kebebasan berbicara sebagai sebuah norma kebenaran. Sehingga dengan demikian, sejatinya kebenaran sebagai sebuah norma adalah bukan hal yang baru. Tidak seperti demokrasi misalnya, norma ini tentu saja lahir dalam masyarakat modern. Dalam konteks Indonesia, bahkan demokrasi sebagai norma kehidupan bernegara baru muncul pasca reformasi tahun 1998. Dalam kasus skandal bank century, jika dilihat dari kebenaran sebagai nilai fundamental maka kebijkan dalam penanganan bank century adalah kebijakan yang mencoba mengelabui sebuah kebenaran. Artinya Gubernur bank Indonesia dalam hal ini pemerintah tidak mau mengambil resiko dan konsekuensi yang akan terjadi jika bank century ditutup. Maka dengan merubah kar yang tidak sesuai dengan kenyataan dengan dalih menyelamatkan bank century Gubernur bank Indonesia dan menteri keuangan berani mengelontorkan dana sebanyak 6,7 triliun. Hal ini dikatakan oleh Sawidji Widoatmojo dalam bukunya “Mencari
kebenaran objektif dampak sistemik bank century”. Dikatakan dalam asumsi teori ekonomi tradisional bahwa harga saham pasar saham seharusnya sama dengan nilai fundamentalnya. Individu membuat keputusan berdasarkan informasi data-data yang ada. Asumsi yang lain individu mempunyai kemampuan tidak terbatas dalam mencari informasi dan memproses informasi. Dalam melakukan investasi saham seharusnya melakukan analisis fundamental. Analisis fundamental adalah analisis yang didasarkan dari data-data fundamental, (2010; 40)
F. Makna Penting Kebenaran Dalam teori interaksi simbolis, hakikat manusia adalah mahluk relasional. Setiap individu pasti terlibat relasi dengan sesamanya. Tidaklah mengherankan bila kemudian teori interaksi simbolik segera mengedepan bila dibandingkan dengan teori-teori social lainnya. Alasannya ialah diri manusia muncul dalam dan melalui interaksi dengan yang di luar dirinya. Interaksi itu sendiri membutuhkan symbol-simbol tertentu. Symbol itu biasanya disepakati bersama dalam skala kecil maupun skala besar. Symbol misalnya bahasa, tulisan, dan symbol lainnya yang dipakai bersifat dinamis dan unik. Keunikan dan dinamika symbol dalam proses interaksi social menuntut manusia harus lebih kritis, peka, aktif, dan kreatif dalam menginterpretasikan symbol-simbol yang muncul dalam interaksi social. Penafsiran yang tepat atas symbol tersebut turut menentukan arah perkembangan manusia dan lingkungan. Sebaliknya, penafsiran yang keliru atas symbol dapat menjadi petaka bagi hidup manusi dan lingkungannya. Keterbukaan individu dalam mengungkapkan dirinya merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam interaksi simbolik. Hal-hal lainnya yang juga perlu diperhatikan ialah pemakaian symbol yang baik dan benar sehingga tidak menimbulkan kerancuan interpretasi. Setiap subyek mesti memperlakukan individu lainnya sebagai subyek dan bukan obyek. Segala bentuk apriori mesti dihindari dalam menginterpretasikan symbol yang ada. Ini penting supaya unsure subyektif dapat diminimalisir sejauh mungkin. Pada akhirnya interaksi melalui symbol yan baik, benar, dan dipahami secara utuh akan membidangi lahirnya berbagai kebaikan dalam hidup manusia. Sehingga dengan demikian, kebenaran pun sejatinya merupakan rumusan bersama sebagai hasil interaksi social. Dalam konteks interaksi social inilah, terdapat sejumlah hal sehingga kebenaran dipandang sebagai sesuatu yang penting dalam sebuah peradaban. Pertama, ketiadaan integritas dalam komunikasi antar manusia akan berbuntut pada penggusuran otomi individu. Hal ini dikarenakan sebagai mahluk yang rasional, manusia sangat bergantung pada kebenaran dan akurasi dari informasi yang kita peroleh. Kondisi ini
akan memungkinkan manusi mengguankan kebebasannya dalam hal memilih (freedom of choice). Alasan kedua, pentingnya komitmen kebenaran adalah bahwa kebenaran menunjukan rasa menghargai orang lain sebagai tujuan, bukan sebagai alat tool. Penipuan (deception) kadangkala menempatkan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Kebenaran sebagai bagian dari penghargaan terhadap orang lain pada gilirannya akan menumbuhkan kepercayaan antar individu. Dalam konteks social, kepercayaan merupakan prasyarat terbentuknya ikatan social. Bayangkan misalnya, jika dalam suatu kelompok social tidak ada lagi kebenaran, maka yang ada adalah rasa saling mencurigai. Dengan demikian, makatidak akan ada ikatan dan kerjasama social. Terakhir, kebenaran merupakan unsur yang esensial bagi kelancaran proses demokrasi. Menurut Habermas negara hukum moderen berciri demokratis ketika terjadi komunikasi politis intensif antara ruang public dan system politik. Dalam ruang public politis, masyarakat sipil melangsungkan diskursus public dalam berbagai bentuk dan isi. Pluralisme keyakinan dan pendapat ini sering berkontoversi satu sama lain, dari yang memiliki neveau yang rendah sampai yang tinggi. Suara-suara dalam ruang public politis berciri anarkis dan tak berstruktur. Ruang public politis adalah lokus baik bagi komunikasi yang manipulative maupun komunikasi yang tak terbatas. Meski demikian, bukan berarti bahwa suara-suara itu dapat diterima begitu saja sebagai opini public. Andai kata semua suara memilki akses dalam proses pengambilan keputusan public tanpa saringan, kiranya pemerintahan semacam itu tidak hanya buruk, melainkan juga dapat dianggap tidak ada. Jika public itu cerdas, akan terjadi seleksi rasional diantara argumen-argumen dengan kemenangan argument yang lebih baik, yang lalu mendapat kualitas serbagai opini public. Karena komunikasi public mengikuti norma argument yang lebih baik, kualitas suara akan lebih menentukan dari pada kuantitasnya.
G. Kebenaran dalam komunikasi Menurut Yasraf Amir Piliang (1999), jaringan komunikasi yang berskala global telah menggiring kearah proses komunikasi dan arus informasi yang berlangsung cepat dan padat. Peningkatan tempo kehidupan di dalam skema globalisasi informasi telah menciptakan kebergantungan tinggi pada berbagai teknologi informasi dan komunikasi. Dalam dorongan kecepatan yang tak kuasa dikendalikan, komunikasi dan informasi menjadi sebuah terror (terror of speed), yang menghasilkan kecemasan (anxiety) dan kondisi panik (panic). Kecepatan pergantian citra televise yang tak sanggup dicerna: sebuah pesan-
pesan email, blog, atau spam internet yang tak mampu dimaknai; gelombang pegantian gaya dan gaya hidup yang menjadikan orang selalu merasa kurang (lack) dan ketinggalan jaman. Menuju teori disinformasi Media komunikasi di abad informasi digital berkembang kearah sebuah titik, yang di dalamnya terjadi pelencengan fungsi komunikasi, kesimpangsiuran tanda, pengaburan makna, pengdistorsian realitas, dan penisbian kebenaran. Komunikasi tak lagi punya tujuan pasti; informasi tak lagi punya makna yang jelas. Informasi berkembang kearah sifat superlative, yang diproduksi berlebihan. Realitas komunikasi menciptakan pula kondisi kemustahilan iterpretasi karena apa yang ditampilkan sebagai sebuah kebenaran (truth) boleh jadi tak lebih dari sebuah kebohongan (misalnya, citra teroris). Kini tak ada lagi batas pasti antara kebenaran dan kepalsuan. Orang dihadapkan pada kesulitan besar dalam memisahkan antara kebenaran dan kepalsuan. Kepalsuan yang dikemas dalam teknik imagologi yang cerdas melalui manipulasi computer grafik, kini dapat tampil sebagai kebenaran yang meyakinkan. Karenanya, kebenaran dalam media massa menjadi hal yang krusial karena kebenaran versi media kadangkala berbeda dengan kebenaran versi masyarakat. Hal ini karena aplikasi kebenaran dalam media dipengaruhi oleh lingkungan yang melingkupi media, seperti pemilik modal dan pengiklan. Namun demikian, dalam jurnalistik sendiri terdapat standar minimum sebagai konsep dari kebenaran dalam me-report kebenaran. Pertama, report harus akurat, dengan cara melakukan verifikasi fakta sehingga diperoleh bukti yang valid. Jika ada yang meragukan, maka audiens harus diberitahu bahwa informasi yang disampaikan belum didukung oleh bukti yang bisa divalidasi. Kedua, untuk mendukung kebenaran dalam media seorang jurnalis perlu melakukan upaya pencerdasan dengan cara mendorong pemahaman audiensi. Pemahaman audiensi kadang kalaa dibatasi oleh waktu dan space yang diberikan terhadap suatu liputan. Dengan demikian, maka suatu laporan mesti berisi sejumlah informasi yang memberi pemahaman bagi audiensi. Dengan demikian seorang jurnalis mesti bisa memosisikan diri antara, membuka semua hal atau samasekali tidak me-report tentang hal tersebut. Kondisi tersebut menjadi lebih rumit bila seorang jurnalis kemudian mendapat tekanan dari kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Ketiga, suatu laporan mesti bersifat fair dan seimbang. Prinsip ini menghindari bias yang sangat mungkin timbul dalam suatu laporan. Seorang reporter haruslah menguasai materi yang dilaporkan sehingga ia akan tau ketika laporannya bias. Alvin day mengatakan bahwa, reportase yang bias sangat berpotensi muncul
dalam situasi krisis, seperti pada peristiwa 9/11 di New York, dimana jurnalis sendiri tidak mengetahui apa sebenarnya yang terjadi ketika itu. Dikotomi lain pada media adalah kebenaran dalam iklan. Kebenaran dalam iklan, maka sejatinya tidak lebih dari logika ekonomi liberal, yang berujung pada akumulasi keuntungan. Iklan mengkonstruksi kebenarannya sendiri untuk kemundian digandakan secara massal. Dan terus-menerus, sehingga pada akhirnya masyarakat melihat konstruksi kebenaran yang ditawarkan oleh iklan merupakan kebenaran itu sendiri. Iklan menjungkirbalikkan apa yang sebelumnya merupakan kebutuhan (need) bagi masyarakat untuk kemudian diubah menjadi keingingan atau (want), begitu juga sebaliknya. Contoh kecil misalnya, persoalan makan daging ayam yang sejatinya merupakan kebutuhan (need) tapi oleh iklan dicitrakan sedemikian rupa bahwa makan yang sehat, nyaman dan mengembirakan, dan karenanya merupakan makan yang benar, justru ada pada KFC atau McDonald misalnya. Public tidak lagi melihat makan daging ayam sebagai sebuah kebutuhan, tapi menjadi keinginan. Etika periklanan sendiri mengatakan bahwa pengiklan memiliki tanggung jawab atas kebenaran informasi tentang produk yang diiklankan. Termasuk ikut memberikan arah, batasan, dan masukan pada iklan agar tidak terjadi janji yang berlebihan atas kemampuan nyata suatu produk. Partai Demokrat menghadapai sanksi social ketika tidak konsisten dengan iklannya “Katakan Tidak pada Korupsi.” . H. Etika komunikasi Dalam kehidupan manusia yang bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, manusia hidup dalam pilihan antara baik dan tidak baik serta beraturan. Etika tidak terlepas dari persoalan moral dan hukum. Banyak orang percaya bahwa merangkul etika akan membatasi berbagai pilihan, kesempatan serta kemampauan mereka untuk berhasil dalam bisnis. Ada pepatah lama yang mengatakan bahwa orang baik akan mencapai garis finis paling akhir. Mereka sependapat dengan profesor sejarah Henry Adams dari Harvard yang mengatakan “Moralitas adalah kemewahan pribadi yang mahal.” Menurut John C. Maxwell bahwa pilihannya hanya dua: (1) berhasil dengan menghalalkan segala cara, bahkan tidak etis; atau (2) menjalankan etika dan kalah. Hanya sedikit orang yang pada dasarnya punya keinginan untuk berlaku tidak juju, tetapi tidak ada orang yang ingin kalah, (2003;5). Etika sering dihadapkan pada kondisi dan situasi benar dan tidak benar, senang dan tidak senang, serta menang dan tidak menang saat itu. Kadang setiap orang memiliki standar etika masing-masing, yang berubah dari suatu keadan ke keadaan lainnya. Hal ini dapat menghasilkan kekacauan etika.
Dalam dunia komunikasi, etika komunikasi selalu dikaitkan dengan budaya komunikasi. Seseorang mungkin akan mengubah kesadaran dirinya (konsep diri, harga diri dan persepsi) karena berkomunikasi dengan seseorang dar kebudayaan lain. Dalam komunikasi massa etika diatur dengan UU No 40 tahun 1999 tentang pers, kode etik jurnalistik dan KPI. Seperti penjelasan sebelumnya, setiap individu memilki standar etika masing dan bersandar pada situasi dan kondisi saat itu maka sering terjadi permasalahan antara kelompok atau individu tertentu dengan pers atau media dan bahkan wartawan. Contoh kasus sering terjadi kasus hokum pencemaran nama baik. Atau baru-baru ini ada beberapa kader Partai Demokrat melaporkan dua media penyiaran ke KPI. Persepsi kader Partai Demokrat bahwa pemberitaan media tentang kasus korupsi yang menimpa beberapa kader partai democrat adalah tidak etis karena pemberitaan yang tidak seimbang, sedangkan persepsi sebagian adalah wajar dan sudah sesuai dengan keterbukaan informasi public (KPI) karena sesuai dengan kondisi dan situasi sekarang menyangkut dengan program pemberantasan korupsi oleh pemerintah, (mediaindonesia.com, 24 -02 2012).
I. Filsafat komunikasi Dalam bukunya Dr. Franz Magnis Suseno “12 tokoh etika abad ke-20” menjelaskan tentang analisi Habermas terhadap rasionalitas komunikatif, khususnya terhadap implikasi kemampuan manusia untuk berwacana sudah memperlihatkan sesuatu yang sangat mendasar. Berbahsa selalu merupakan tindakan komunikatif, bahkan kalau hanya berbahasa dalam pikiran dan batin. Oleh karena itu, tidaklah memadai kalau kesadaran moral individu dijadikan tolok ukur pembenaran keharusan moral. Yang menentukan keberlakuan universal keharusan moral bukan apa yang dapat dikehendaki oleh orang perorangan, melainkan apa yang dapat disepakati sebagai normative dalam sebuah pembicaraan bersama. Habermas melakukan suatu perubahan paradigm radikal dari filsafat subjek ke filsafat komunikasi dan dari filsafat keasadaran yang khas bagi seluruh filsafat modern sejak Descartes ke filsafat bahasa, dari pemusatan perhatian pada subjek ke komunikasi, (2000;225). Ada perbedaan pandangan dalam filsafat komunikasi. Komunikasi bisa terjadi secara monolog. Seperti pendapat karl marx bahwa manusia menciptakan diri dalam pekerjaan, artinya manusia dapat menciptakan komunikasi sendiri yakni apa yg ada dalam pikiran dan perasaanya. Hal ini seperti yang terjadi pada media penyiaran. Namun hal ini dibantah oleh Habermas bahwa pekerjaan adalah sikap manusia terhadap alam, ada subjek yang aktif, manusia dan objek yang pasif, alam. Komunikasi bukan monologis, melainkan dialogis, bukan individualistic, melainkan social. Dalam komunikasi bukanya masing-masing partisipan memakai partisipan
lain untuk mencapai tujuan mereka masing-masing itu adalah tindakan strategis melainkan para partispan mengkoordnasikan rencana tindakan mereka. Dalam komunikasi terjadi apa yang oleh G.H Mead disebut sebagai “ideal role-talking”. Masing-masing partisipan mengambil alih peran partisipan yang lain. Dengan mengambil alih peran orang lain kita dapat merefleksikan diri kita sendiri dan dengan demikian mengarah proses komunikasi. Sebuah komunikasi itu rasional apabila saling pengertian tercapai. Itu rasionalitas komunikasi.
4. Hakikat Filsafat
Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu, nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu ( Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966, 1:3 ). Langeveld juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu, maka dalam ia berfilsafat akan semakin mengerti ia apa filsafat itu ( Langeveld, Menudju ke Pemikiran Filsafat, 1961:9 ).
Poedjawijatna ( Pembimbing ke Alam Filsafat, 1974: 11) mendefinisikan filsafta sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Hasbullah Bkry ( Sistematik Filsafat, 1971:11) mengatakan bahwa filsafat sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya mencapai pengetahuan itu.
Apa yang diingatkan oleh Hatta dan Langeveld memang ada benarnya. Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengatakan filsafat ialah hasil pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap. Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the attempt to answer ultimate question critically ( Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education, 1960:3 ). D.C. Mulder ( Pembimbing ke Dalam Ilmu Filsafat, 1966: 10 ) mendefinisikan filsafat sebagai pemikiran teorirtis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan.
Sedangkan filsafat menurut arti kata, terdiri atas kata philein yang artinya cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar, atau yang berkobar-kobar, atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kenenaran yang sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Pengertian umum filsafat adalah ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan tentang apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Dengan cara ini, jawaban yang akan diberikan berupa kebenaran yang hakiki. Ini sesuai dengan arti filsafat menurut kata-katanya. Sementara itu pengertian khusus filsafat telah mengalami perkembangan yang cukup lama dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks sehingga menimbulkan berbagai pendapat tentang arti filsafat dengan kekhususan masing-masing. Berbagai pendapat khusus tentang filsafat anatara lain:
a. Rasionalisme yang mengagungkan akal
b. Materialisme yang mengagungkan materi
c. Idealisme yang mengagungkan idea
d. Hedolisme yang mengagungkan kesenangan
e. Stoikisme yang mengagungkan tabiat saleh
Aliran-aliran tersebut mempunyai kekhususan masing-masing, menekankan kepada sesuatu yang dianggap merupakan inti dan harus di beri tempat yang tinggi misalnya ketenangan, kesalehan, kebendaan, akal dan idea.
Dari beberapa pendapat tersebut, pengertian filsafat dapat dirangkum menjadi seperti berikut:
a. Filsafat adalah hasil yang kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematis
b. Filsafat adalah hasil fikiran manusia yang paling dalam
c. Filsafat adalah refleksi lebih lanjut dari pada ilmu pengetahuan atau pendalaman lebih lanjut ilmu pengetahuan
d. Filsafat adalah hasil analisia dan abstraksi
e. Filsafat adalah pandangan hidup
f. Filsafat adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar, dan memyeluruh.
1. Struktur Filsafat
Hasil berfikir tentang yang ada dan mungkin ada itu tadi telah berkumpul banyak sekali, dalam buku tepal maupun tipis. Setelah disusun secara sistematis, itulah yang disebut sistematika filsafat. Filsafat terdiri atas tiga cabang besar, yaitu: ontoligi, epistemologi, dan aksiologi. Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan:
a. Ontologi, membicarakan hakikat ( segala sesuatu ) ini berupa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu
b. Epistemologi cara memperoleh pengetahuan itu
c. Aksiologi membicarakan guna pengetahuan itu.
Antologi mencakupi banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk disini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain. Epistimologi hanya mencakup satu bidang saja yang disebut Epistemologi yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat yaitu Aksiologi yang membicarakan guna pengetahuan filsafat. Ini pun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka struktur filsafat
B. Karakteristik Berfikir Filsafati: Sifat Menyeluruh, Sifat Mendasar Dan Sifat Spekulatif
1. Berfilsafat
Sejarah kefilsafatan di kalangan filsuf menjelaskan tentang tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu kekaguman atau keheranan, keraguan atau kegengsian, dan kesadaran atas keterbatasan. Plato mengatakan:’maka kita memberi pengamatanm bintang-bintang, matahari dan langit. Pengamatan ini memberi dorongan kepada kita untuk menyelidiki. Dan dari penyelidikan ini berasal filsafat’.
Agustinus dan Descartes memulai berfilsafat dari keraguan atau kesangsian. Manusia heran, tetapi kemudian ragu-ragu, apakah ia tidak ditipu oleh panca indranya yang sedang heran? Rasa heran dan meragukan ini mendorong manusia untuk memperoleh kepastian dan kebenaran yang hakiki. Berfikir secara mendalam, menyeluruh, dan kritis inilah yang kemudian disebut berfilsafat.
Berfilsafat dapat juga bermula dari adanya suatu kesadaran akan keterbatasan pada diri manusia. Berfilsafat kadang-kadang dimulai apabila manusia menyadari bahwa dirinya sangat kecil dan lemah, terutama dalam menghadapi kejadian-kejadian alam. Apabila seseoarang merasa bahwa ia sangat terbatas dan terikat terutama pada waktu mengalami penderitaan atau kegagalan, maka dengan adanya kesadran akan keterbatasan dirinya tadi manusia mulai berfilsafat. Ia akan memikirkan bahwa diluar manusia yang terbatas pasti ada sesuatu yang tidak terbatas yang dijadikan bahan kemajuan untuk menemukan kebenaran hakiki.
Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu. Kepastian dimulai dari rasa ragu-ragu. Filsafat dimulai dari rasa ingin tahu dan keragu-raguan. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang telah diketahui dan apa yang belum diketahui. Berfilsafat berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk beretrusterang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah dijangkau.
2. Sifat Menyeluruh Berfikir Filsafati
Seorang yang berfilsafat dapat diumpamakan sebagai seseorang yang berpijak dibumi sedang tengadah kebintang-bintang, atau seseorang yang berdiri di puncak tinggi, memandang ke ngarai dan lembah dibawahnya, masing-masing ingin mengetahui hakikat dirinya atau menyimak kehadirannya dalam kesemestaan alam yang ditatapnya.
Seorang ilmuan tidak akan pernah puas mengenal ilmu hanya dari sisi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat hakikat ilmu dalam konstelasi pengetahuan lainnya. Apa kaitan ilmu dengan moral, dengan agama, dan apakah ilmu itu membawa kwbahagiaan pada dirinya.
3. Sifat Mendasar Berfikir Filsafati
- See more at:
file:///E:/Tugas%20Etika%20dan%20Filsafat%20Internet/hakikat-pengetahuan-filsafat.html#sthash.dlr8FOyQ.dpuf