Konsep Ketuhanan Dalam Islam
Nama : Miranda Umaiya
NIM : 411422080
Prodi/Kelas : Pendidikan Matematika/D
Dosen Pengampu : Prof. Dr. Noviantiy Djafri, S.Pd.I, M.Pd.I
TUHAN DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGIS
- Fitrah Dalam Psikologis
Fitrah adalah konsep dasar manusia dalam Islam. Secara umum ia mengandung arti penciptaan asli dan identitas esensial manusia. Dengan fitrah manusia menjadi dirinya sendiri sebagai manusia sejak awal kejadiannya sampai akhir hayatnya. Fitrah bukan hanya suatu kecenderungan alamiah, tetapi juga suatu kecenderungan kepada tindakan yang benar dan ketundukan kepada Allah SWT. Ia juga berarti kekuatan terpendam yang ada dalam diri manusia, yang telah dibawanya semenjak lahir; dan akan menjadi pendorong bagi kepribadiannya. Dengan fitrah, manusia bukan hanya memiliki kecenderungan untuk berketuhanan, tapi juga menghadirkan Tuhan dalam segala bentuk tindakan hidupnya.
Secara etimologi, fitrah diambil dari bahasa Arab dari kata fa-thara. Dalam bentuk mashdar mengikuti wazan fi’lah, yang menunjukkan arti bentuk, situasi atau kondisi, dan keadaan. Sinonimnya adalah al-shaqq (pecah belah), al-khilqah (penciptaan sesuatu yang belum ada sebelumnya), al-ibdâ`/al-ibtidâ` (permulaan), al-îjâd (pengadaan sesuatu yang baru), al-khilqah min al fâthir al-Khâliq (penciptaan dari sang Pencipta), atau bahan baku yang disediakan untuk menerima agama. Artinya, dapat dikatakan bahwa semua varian kata fathara mengandung arti penciptaan awal manusia pada bentuk aslinya semenjak ia ada dalam rahim ibunya.
Adanya keterbukaan pada yang “Adikodrati” adalah fitrah manusia sejak dia lahir ke dunia (fitrah mukhalaqah). Manusia secara alami (nature) dapat merasakan yang Ghaib karena di dalam dirinya ada unsur spirit. Spirit sering digambarkan dengan jiwa halus yang ditiupkan oleh Tuhan ke dalam diri manusia. Dalam kajian al-Qusyairi dalam tafsir Latha’if al-Isyarat menunjukkan bahwa roh memang lathifa (jiwa halus) yang ditempatkan Tuhan dalam diri manusia sebagai potensi untuk membentuk karakter yang terpuji. Roh merupakan semacam sim card ketuhanan yang dengannya manusia mampu berhubungan dengan Tuhan sebagai kebenaran sejati (al-haqiqah). Karena adanya roh manusia mempunyai bakat bertuhan, artinya roh-lah yang membuat manusia mengenal Tuhan sebagai potensi bawaan lahir. Dengan adanya roh, manusia mampu merasakan dan meyakini keberadaan Tuhan dan kehadirannya dalam setiap fenomena di alam semesta ini.
Adapun fitrah dalam arti “penanaman agama ke dalam diri manusia” memiliki dua fase, sebelum kelahiran dan ketika manusia lahir. Fase sebelum kelahiran terjadi pada saat manusia masih berbentuk roh seperti yang terdapat dalam surah al-‘Araf ayat 172, yang artinya:
“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)
Fitrah dapat dikelompokkan dalam dua kelompok pemaknaan besar, yaitu pemaknaan yang bersifat religius dan pemaknaan bersifat paradigmatik ilmiah yang bermuara pada konsep tauhid. Untuk memahami paradigma fitrah dan kaitannya dengan psikologi, lebih dulu harus dipahami paradigma psikologi yang ada, khususnya tiga paradigma besar psikologi Barat, yaitu: Psikologi Analisis, Psikologi Behaviorisme, dan Psikologi Humanistik. Dengan begitu dapat dilihat perbedaan ketiganya dengan Psikologi Islam dgn paradigma fitrahnya.
1. Psikologi Analisis
Psikologi Analisis pada awalnya merupakan teori struktur manusia untuk kepentingan psikoterapi. Oleh karena itu, psikoanalisis berangkat dari berbagai permasalahan yang dialami manusia. Sigmund Freud berasumsi bahwa secara esensial manusia terdiri dari struktur tubuh-fisik yang menyatu dengan pikiran yang terdiri dari struktur-struktur mental. Struktur-struktur mental tersebut adalah ide, ego, dan super ego. Psikoanalisis beranggapan bahwa masalah manusia dan kepribadiannya disebabkan oleh masa lalu dan alam bawah sadar dan dihinggapi oleh kecemasan. dalam pandangan Freud, manusia tidak berdaya. Ia ada di bawah kendali dorongan-dorongan instinktif dan pengalaman masa kanak-kanak. Dengan begitu, tidak ada kehendak bebas bagi manusia. Manusia seakan merupakan makhluk irasional yang seluruh mental dan nafsunya tunduk di bawah kehendak alam bawah sadar. Rasionalitas dan intelektual hanyalah ilusi yang tidak mampu membebaskan manusia dari genggaman instinktif bawah sadarnya. Berbeda dengan Freud, Islam mengakui adanya dimensi spiritual manusia. Adanya hubungan antara nafs, ‘aql, qalb, dan rûh yang telah disebutkan di atas, merupakan hubungan dinamis yang saling memengaruhi. Selain itu, terdapat juga fitrah bimbingan internal manusia untuk mengenal, mengakui, dan melakukan penghambaan kepada Tuhan.
2. Psikologis Behaviorisme
Psikologis Behaviorisme merupakan gaya psikologi masa depan yang menggantikan psikologi lama karena tidak empiris maka penelitiannya banyak yang menggunakan hewan seperti Pavlov. psikolog behavioris memandang manusia terlalu sederhana dan sempit, ia tidak mampu memberi gambaran lengkap dan komprehensif terhadap tingkah laku manusia yang sedemikian kompleks. , fitrah secara konsep di dalam Psikologi Islam dapat menjembatani gap yang menganga antara lingkungan eksternal yang tampak empiris dengan struktur bawaan yang ada di dalam perilaku manusia.
3. Psikologi Humanistik
Psikologi Humanistik adalah aliran psikologi yang menekankan pada faktor keturunan dan kecenderungan baik manusia. Faktor keturunan juga yang membuat manusia memiliki potensi unik dan berfokus pada psikologi kesehatan dan perkembangan, termasuk mengenai pribadi manusia, kreativitas dan kemampuan mengenai pemaksimalan dalam melakukan pilihan rasional dan teori tentang pengalaman yang merupakan pembeda dari hewan. Psikologi Humanistik merupakan antitesis dari Psikologi Behaviorisme dan Psikologi Analisis. Psikologi ini dipengaruhi oleh filsafat Fenomenologi dan Eksistensialisme yang dikembangkan oleh Gordon Allport, Abraham Maslow, dan Carl Rogers.
Psikologi Islam menyakini bahwa tingkah laku manusia bukanlah hanya sebatas keinginan manusia untuk mengaktualisasikan dirinya, tetapi merupakan serangkaian hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan. Perbedaan tingkah laku ada sesuai dengan dominasi keinginan yang akan dilakukan. Ketika berhubungan dengan unsur hewani, tingkah laku yang muncul seperti makan, minum, hubungan seksual, dan lainnya. Jika dominasi keinginan yang dilakukan berhubungan dengan unsur kemanusiaan, tingkah lakunya seperti berpikir, ingin berkuasa, mengeluh, dan lainnya. Adapun jika keinginannya dominan dengan unsur ketuhanan, maka manusia akan melakukan ibadah. Pemahaman yang menyeluruh dan holistik tentang tingkah laku manusia dalam hubungannya dengan alam, manusia, dan Tuhan, merupakan inti persoalan paradigma dalam Psikologi Islam.
Dalam Islam, manusia diciptakan dengan tujuan tertentu. Ia diciptakan dengan peran eksistensi dan esensi yang berbeda. Ketika berhubungan dengan alam, manusia melakukan aktualisasi sebagai seorang khalifah yang menjadi dasar eksistensi manusia di bumi. Tapi ketika manusia berhubungan dengan Allah, ia mengaktualisasikan peran sebagai seorang hamba, yang menjadi peran esensial dari manusia. Manusia senantiasa dalam putaran hubungan kedua peran ini. Peran manusia sebagai hamba adalah peran mutlak. Jika manusia mengingkari penghambaan kepada Tuhan, maka sebenarnya manusia sedang melakukan penghambaan kepada dirinya sendiri, kepada nafsu ataupun menghamba kepada sesama makhluk Allah lainnya. Hal ini terjadi karena manusia tidak diciptakan sebagai makhluk otonom, melainkan sebagai makhluk yang dasarnya terikat dan membutuhkan kekuatan yang lebih besar darinya. Hal tersebut menyebabkan manusia tidak merasa terpaksa ketika melakukan penghambaan, karena hal tersebut adalah kehendak alamiah dan menjadi bagian dari diri manusia. Maka, sebenarnya makna yang tepat ketika mengatakan jargon “memanusiakan manusia” adalah menempatkan dan mengembalikan manusia ke dalam fungsi pelayanan dan penghambaan kepada Tuhan, karena itulah fitrah penciptaan manusia. Dengan begitu, manusia memenuhi esensi tujuan penciptaannya di dunia. Dalam makna ini, fitrah berarti sebagai esensi spiritual manusia.
Penyimpangan dan kesesatan bukanlah sifat dasar manusia, melainkan pengaruh lingkungan social yang dikuatkan oleh nafsu setelah kelahiran. Meskipun tidak jahat, manusia tidak kebal dari rangsangan kejahatan, atau sumber-sumber kesesatan eksternal. Sifat dari struktur manusia ini, adalah intrinsik pada manusia seperti yang telah disebut sebelumnya dengan nafs, syahwat, dan ghadhab. Walaupun demikian, dorongan-dorongan pemenuhan kebutuhan emosioal dan biologis manusia sebenarnya secara inheren tidak jahat, tetapi cenderung mudah untuk menerima rangsangan jahat. Jika demikian, maka implikasi eksistensi dan fitrah manusia terhadap cara pandang Psikologi Islam adalah interkoneksi antara manusia, alam, dan Allah. Oleh karenanya, selain bermakna religius, fitrah pun bisa ditarik untuk dimaknai secara paradigmatik. Paradigma psikologi bagi orang Islam haruslah berwawasan tauhid yang merupakan fitrah inti dari penciptaan manusia dan harus menjadi landasan dalam memahami manusia. Wawasan tauhid sebagai konsep komprehensif yang menggabungkan antara dunia dan akhirat, roh dan materi, idealitas dan realitas, juga mencakup semua urusan, dari mulai urusan pribadi, keluarga, masyarakat, umat, negara, dan bahkan hubungan internasional, juga menjadi dasar bagi struktur kognitif, afektif, dan psikomotorik manusia. Hal ini menjadi sebuah keunikan tersendiri bagi Islam di mana konsep tauhid yang teosentris bertransformasi menjadi sebuah landasan bagi pemikiran-pemikiran lainnya, tanpa terkecuali dalam ranah disiplin ilmu seperti psikologi. Dengan kata lain, fitrah sebagai paradigma menawarkan prinsip kebersatuan, yaitu kesatuan antara hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya dan hubungan manusia dengan alam.
Titik tolak paradigma Psikologi Barat berasal dari cara pandangnya terhadap struktur manusia. Barat memandang bahwa manusia sebagai makhluk yang dikendalikan oleh libido sex yang cenderung pesimistis; manusia adalah makhluk kosong yang dipengaruhi oleh lingkungan; manusia adalah makhluk otonom dengan keunikannya dan tidak dipengaruhi oleh apapun. Pada sisi lain, Islam menawarkan sebuah pandangan yang berbeda mengenai manusia, yaitu bahwa manusia adalah makhluk yang fitrah. Fitrah mempunyai arti murni dan mempunyai potensi untuk mengenal Tuhan. Strukturnya terdiri dari aspek lahiriah (jasad) dan aspek batin (rûh}). Selain itu, Islam juga berpandangan bahwa struktur manusia pada aspek batinnya sesuai dengan modus dan aksidentalnya, seperti akal yang ada jika berhubungan dengan intelek, jiwa yang ada ketika berhubungan dengan tubuh manusia, dan hati ketika berhubungan dengan intuisi.
Kedua aspek manusia di atas pasti memiliki tujuan tertentu. Setidaknya Allah menyatakan bahwa tujuan penciptaan manusia terdiri dari dua hal, yaitu sebagai hamba dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Berangkat dari pandangan tersebut, maka paradigma Psikologi Islam tidak melepaskan keterkaitan dengan Tuhan. Tuhan tetap menjadi Subjek tertinggi dan memengaruhi paradigma Psikologi Islam yang bersifat tauhidi. Berbagai struktur bawaan dan tujuan penciptaannya membuat manusia dianggap memiliki potensi baik dan bertujuan untuk melakukan kebaikan. Walaupun tetap bisa saja dipengaruhi untuk melakukan keburukan dengan pengaruh eksternalnya.