Tanda Tanda Ajal Mendekat
erva kurniawan 12:15 pm on 18 April 2014 Permalink | Balas
Tanda Tanda Ajal Mendekat
sakitTanda Tanda Ajal Mendekat
Ada seorang hamba yang begitu taat kepada Allah, sebut saja namanya Fulan. Dia tak pernah lalai dalam beribadah kepada Allah SWT. Suatu hari Izrail, malaikat pencabut nyawa, datang bertamu kepadanya. Terjadilah tanya jawab antara Fulan dengan tamunya itu.”Wahai Izrail! Apakah perihal kedatanganmu ke mari adalah atas perintah Allah untuk mencabut nyawaku, ataukah hanya kunjungan biasa?” “Ya, Fulan ! Kedatanganku kali ini tidak dalam rangka mencabut nyawamu. Kedatanganku ini hanya kunjungan biasa. Mendengar penjelasan Izrail, maka seketika bersinarlah wajah Fulan karena gembiranya. Mereka lalu bercakap-cakap sampai tiba saatnya Izrail akan pamit.
“Wahai sahabatku, Izrail! Sebagai tanda persahabatan kita, aku ada harapan kepadamu kiranya engkau tidak berkeberatan untuk mengabulkannya.” “Gerangan apakah permohonanmu itu, hai Fulan sahabatku?” “Begini, ya Izrail. Jika nanti kau datang lagi kepadaku dengan maksud untuk mencabut nyawaku, maka mohon kiranya engkau mau mengirimkan utusan kepadaku terlebih dahulu. Jika demikian, maka aku ada waktu untuk bersiap-siap menyambut kedatanganmu.” “Oh, begitu? Hai, Fulan, kalau hanya itu permohonanmu, aku kabulkan. Aku berjanji akan mengirimkan utusan itu kepadamu.”
Waktu pun berjalan. Tahun berganti tahun. Tak terasa bahwa pertemuan antara Fulan dengan Izrail telah sekian lama berlalu. Kehidupan berlangsung terus sampai suatu ketika Fulan kaget sekali. Tak disangka-sangka sebelumnya Izrail muncul di rumahnya. Fulan merasa bahwa kedatangan Izrail ini begitu mendadak, padahal ada komitmen janji Izrail kepadanya.
“Wahai, Izrail sahabatku! Mengapa engkau tak mengirimkan utusanmu kepadaku? Mengapa engkau ingkar janji?” Dengan tersenyum, Izrail menjawab, “Wahai Fulan, sahabatku! Sesungguhnya aku sudah mengirimkan utusanku itu kepadamu, hanya kamu sendiri yang mungkin tidak menyadarinya. Coba perhatikan punggungmu, dulu ia tegak tetapi sekarang bungkuk. Perhatikan caramu berjalan, dulu kamu begitu tegap perkasa, sekarang gemetaran dengan ditopang tongkat. Perhatikan penglihatanmu, dulu ia bersinar sehingga orang luluh kena sorotnya tetapi sekarang kabur dan lemah. Ya, Fulan, bukankah pikiran-pikiranmu sekarang mudah putus asa padahal dulu begitu enerjik dan penuh berbagai harapan? Tempo hari kamu hanya menginginkan satu utusan saja dariku, tetapi aku telah mengirimkan begitu banyak utusanku kepadamu!”
Sahabat, itu adalah tanda ajal yang pasti mendekat. Banyak juga manusia yang mendapat ajal tanpa mengalami tanda-tanda tersebut. Namun ada juga telah mendapatkan tanda-tanda tapi tidak menghiraukannya. Semoga kita diberikan waktu dan kesiapan untuk membekali diri sebelum ajal menimpa kita.
***
(Diambil dari Mutiara Hikmah dalam 1001 Kisah, Poliyama Widya Pustaka)
Mengapa Engkau Menangis?
erva kurniawan 12:29 pm on 22 Juli 2014 Permalink | Balas
Mengapa Engkau Menangis?
air mataMengapa Engkau Menangis?
Penulis:Saad Saefullah
Ketika mendengar suara hiruk-pikuk, Aisyah sontak bertanya, “Apakah yang telah terjadi di kota Madinah?”
“Kafilah Abdurrahman bin Auf baru datang dari Syam membawa barang- barang dagangannya,” seseorang menjawab.
Ummul Mukminin berkata lagi, “Kafilah yang telah menyebabkan semua ini?”
“Benar, ya Ummul Mukminin. Karena ada 700 kendaraan.”
Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya. Pandangannya jauh menerawang seolah-olah hendak mengingat-ingat kejadian yang pernah dilihat dan didengarnya. Kemudian ia berkata, “Aku ingat, aku pernah mendengar Rasululah berkata, 'Kulihat Abdurrahman bin Auf masuk surga dengan perlahan-lahan.”
Sebagian sahabat mendengar itu. Mereka pun menyampaikannya kepada Abdurrahman bin Auf. Alangkah terkejutnya saudagar kaya itu. Sebelum tali-temali perniagaannya dilepaskan, ia segera melangkahkan kakiknya ke rumah Aisyah. “Engkau telah mengingatkanku sebuah hadits yang tak mungkin kulupa.” Abdurrahman bin Auf berkata lagi, “Maka dengan ini aku mengharap dengan sangat agar engkau menjadi saksi, bahwa kafilah ini dengan semua muatannya berikut kendaraan dan perlengkapannya, kupersembahkan di jalan Allah.”
Dan dibagikanlah seluruh muatan 700 kendaraan itu kepada semua penduduk Madinah dan sekitarnya. Sebuah infak yang mahabesar. Abdurrahman bin Auf adalah seorang pemipin yang mengendalikan hartanya. Bukan seorang budak yang dikendalikan oleh hartanya. Sebagai bukti, ia tidak mau celaka dengan mengumpulkan harta kemudian menyimpannya. Ia mengumpulkan harta dengan jalan yang halal. Kemudian, harta itu tidak ia nikmati sendirian. Keluarga, kaum kerabatnya, saudara-saudaranya dan masyarakat ikut juga menikmati kekayaan Abdurrahman bin Auf.
Saking kayanya Abdurrahman bin Auf, seseorang pernah berkata, “Seluruh penduduk Madinah bersatu dengan Abdurrahman bin Auf. Sepertiga hartanya dipinjamkan kepada mereka. Sepertiga lagi dipergunakannya untuk membayar utang-utang mereka. Dan sepertiga sisanya diberikan dan dibagi-bagikan kepada mereka.”
Abdurahman bin Auf sadar bahwa harta kekayaan yang ada padanya tidak akan mendatangkan kelegaan dan kesenangan pada dirinya jika tidak ia pergunakan untuk membela agama Allah dan membantu kawan-kawannya. Adapun, jika ia memikirkan harta itu untuk dirinya, ia selalu ragu saja.
Pada suatu hari, dihidangkan kepada Abdurahman bin Auf makanan untuk berbuka. Memang, ketika itu ia tengah berpuasa. Sewaktu pandangannya jatuh pada hidangan tersebut, timbul selera makannya. Tetapi, beberapa saat kemudian ia malah menangis dan berkata, “Mush’ab bin Umair telah gugur sebagai seorang syahid. Ia seorang yang jauh lebih baik daripadaku. Ia hanya mendapat kafan sehelai burdah; jika ditutupkan ke kepalanya, maka kelihatan kakinya. Dan jika ditutupkan kedua kakinya, terbuka kepalanya.”
Abdurrahman bin Auf berhenti sejenak. Kemudian melanjutkan, “Demikian pula Hamzah yang jauh lebih baik daripadaku. Ia pun gugur sebagai syahid, dan di saat akan dikuburkan hanya terdapat baginya sehelai selendang. Telah dihamparkan bagi kami dunia seluas-luasnya, dan telah diberikan pula kepada kami hasil sebanyak-banyaknya. Sungguh kami khawatir telah didahulukan pahala kebaikan kami.”
Begitulah Abdurrahman bin Auf. Ia selalu takut bahwa hartanya hanya akan memberatkan dirinya di hadapan Allah. Ketakutan itu sering sekali, akhirnya menumpahkan air matanya. Padahal, ia tidak pernah mengambil harta yang haram sedikitpun.
Pada hari lain, sebagian sahabat berkumpul bersama Abdurrahman bin Auf menghadapi jamuan di rumahnya. Tak lama setalah makanan diletakkan di hadapan mereka, tiba-tiba ia kembali menangis. Sontak para sahabat terkejut. Mereka pun bertanya, “Kenapa kau menangis, wahai Abdurrahman bin Auf?”
Abdurrahman bin Auf sejenak tidak menjawab. Ia menangis tersedu-sedu. Sahabat benar-benar melihat bahwa betapa halusnya hati seorang Abdurrahman bin Auf. Ia mudah tersentuh dan begitu penuh kekhawatiran akan segala apa yang diperbuatnya di dunia ini. Kemudian terdengar Abdurrahman bin Auf menjawab, “Rasulullah saw. wafat dan belum pernah beliau berikut keluarganya makan roti gandum sampai kenyang. Apa harapan kita apabila dipanjangkan usia tetapi tidak menambah kebaikan?”
Jika sudah begini, bukan hanya Abdurrahman bin Auf yang menangis, para sahabat pun akan ikut menangis. Mereka adalah orang-orang yang hatinya mudah tersentuh, dekat dengan Allah dan tak pernah berhenti mengharap rida Allah.
***
Dari Sahabat
Share this:
Tujuh Kata yang Dihapus Nabi
Tujuh Kata yang Dihapus Nabi
muhammad2Tujuh Kata yang Dihapus Nabi
Dalam sejarah Islam dikenal apa yang dinamai dengan “Shulh Al-Hudaibiah”, yaitu Perjanjian Perdamaian yang disepakati pada tahun ke enam Hijri. Perjanjian ini merupakan perjanjian antara Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dengan Suhail bin Amr yang ketika itu mewakili mayoritas penduduk Makkah yang masih musyrik. Perjanjian ini dinilai oleh banyak sahabat Nabi sangat menguntungkan lawan, walaupun banyak pakar Al-Qur’an yang kemudian menilai bahwa Allah SWT menamainya fath mubiin (kemenangan yang sangat jelas bagi kaum muslim).
—“Sesungguhnya kami telah memenangkan engkau dengan kemenangan yang nyata” [ QS- Al Fat-h; 48:1 ]–
“Siapa yang mendatangi Muhammad (untuk memeluk agama Islam) maka ia harus dikembalikan, tetapi yang meninggalkannya menuju Makkah tidak dapat dikembalikan.” Demikian salah satu butir perjanjian yang sulit dipahami oleh kebanyakan sahabat Nabi. Mengapa perjanjian itu disetujui Nabi? Namun demikian, reaksi yang ditimbulkannya belum seberapa dibandingkan dengan penghapusan tujuh kata yang dilakukan oleh Nabi ketika merumuskan naskah perjanjian tersebut.
” Tulislah wahai Ali, Bismillaahirahmaanirrahiim.” Ali r.a. pun menulis, tetapi dengan serta merta Suhail keberatan: “Kami tidak mengenal Al-Rahman, hapuslah kata itu dan tulislah ‘dengan namamu wahai Tuhan’,”
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyetujui dan memerintahkan menghapus basmalah sambil melanjutkan: “Inilah perjanjian perdamaian antara Muhammad Rasulullah dengan Suhail bin Amr.”
“Tidak, tidak! Kalau kami mengakuimu sebagai pesuruh Allah, niscaya kami tidak memerangimu. Hapus itu, dan tulislah ‘Muhammad putra Abdullah’,”
Sekali lagi Rasulullah menyetujui sambil berkata: “Demi Tuhan, aku adalah pesuruh Allah walau kalian mengingkarinya, hapuslah kata tersebut wahai Ali!”
Ali r.a. tampak ragu, sementara para sahabat yang lain menggerutu. Umar bin Kaththab berkata: “Mengapa kita harus menerima kehinaan bagi agama kita?”
“Tenanglah wahai Umar. Aku ini pesuruh Allah.” Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam lalu mengambil naskah rancangan perjanjian tersebut dan menghapusnya dengan tangannya sendiri kata-kata “Muhammad Rasul Allah”. Demikianlah tujuh kata, yaitu Bismi, Allah, Al-Rahmaan, Al-Rahiim, Muhammad, Rasul, dan Allah, dihapus oleh Nabi.
Betapa luwes dan sabarnya sikap beliau menghadapi kaum musyrik demi perdamaian. Beliau sadar bahwa mereka sebenarnya tidak mengerti atau tidak mau mengerti. Tetapi, setelah diskusi ilmiah mereka samakan dengan perdebatan, keluwesan mereka nilai kelemahan, perjanjian yang telah disetujui mereka langgar, ketika itulah tidak ada jalan lain kecuali ketegasan, walaupun itu masih harus selalu diliputi oleh rahmat dan kasih sayang. Ketika memasuki kota Makkah sebagai sanksi atas pelanggaran perjanjian tersebut, beliau mengingatkan untuk tidak menumpahkan darah. Dikecamnya sahabat-sahabatnya yang bermaksud menjadikan hari tersebut sebagai hari pembalasan. “Tidak!” kata beliau, “ini adalah hari kasih sayang.” Adapun ‘semboyan’ yang disetujuinya adalah: “Akhun kariim wa ibnu akhn kariim” (saudara sebangsa yang mulia dan putra saudara sebangsa yang mulia).
Sungguh agung manusia ini. Alangkah wajar kita meneladaninya.
***
Quraish Shihab [Lentera Hati]
Sudah Siapkah ketika Orangtua Kita Berkata Jujur?
Sudah Siapkah ketika Orangtua Kita Berkata Jujur?
16.50 Hilman Rosyad Syihab, kisah bakti orang tua, kisah inspirasi dan motivasi, kisah-kisah inspirasi islami 15 Comments
kisah oleh Hilman Rosyad Syihab, kami ambil dari sebuah group LDK di WA, semoga menginspirasi....
Kemarin lalu, saya bertakziah mengunjungi salah seorang kerabat yang sepuh. Umurnya sudah 93 tahun. Beliau adalah veteran perang kemerdekaan, seorang pejuang yang shalih serta pekerja keras. Kebiasaan beliau yang begitu hebat di usia yang memasuki 93 tahun ini, beliau tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid untuk Maghrib, Isya dan Shubuh.
Qadarallah, beliau mulai menua dan tidak mampu bangun dari tempat tidurnya sejak dua bulan lalu. Sekarang beliau hanya terbaring di rumah dengan ditemani anak-anak beliau. Kesadarannya mulai menghilang. Beliau mulai hidup di fase antara dunia nyata dan impian. Sering menggigau dan berkata dalam tidur, kesehariannya dihabiskan dalam kondisi tidur dan kepayahan.
Anak-anak beliau diajari dengan cukup baik oleh sang ayah. Mereka terjaga ibadahnya, berpenghasilan lumayan, dan akrab serta dekat. Ketika sang ayah sakit, mereka pun bergantian menjaganya demi berbakti kepada orangtua.
Namun ada beberapa kisah yang mengiris hati; kejadian jujur dan polos yang terjadi dan saya tuturkan kembali agar kita bisa mengambil ibrah.
Terkisah, suatu hari di malam lebaran, sang ayah dibawa ke rumah sakit karena menderita sesak nafas. Malam itu, sang anak yang kerja di luar kota dan baru saja sampai bersikeras menjaga sang ayah di kamar sendirian. Beliau duduk di bangku sebelah ranjang. Tengah malam, beliau dikejutkan dengan pertanyaan sang ayah,
"Apa kabar, pak Rahman? Mengapa beliau tidak mengunjungi saya yang sedang sakit?" tanya sang ayah dalam igauannya.
Sang anak menjawab, "Pak Rahman sakit juga, Ayah. Beliau tidak mampu bangun dari tidurnya." Dia mengenal Pak Rahman sebagai salah seorang jamaah tetap di masjid.
"Oh...lalu, kamu siapa? Anak Pak Rahman, ya?" tanya ayahnya kembali.
"Bukan, Ayah. Ini saya, Zaid, anak ayah ke tiga."
"Ah, mana mungkin engkau Zaid? Zaid itu sibuk! Saya bayar pun, dia tidak mungkin mau menunggu saya di sini. Dalam pikirannya, kehadirannya cukup digantikan dengan uang," ucap sang ayah masih dalam keadaan setengah sadar.
Sang anak tidak dapat berkata apa-apa lagi. Air mata menetes dan emosinya terguncang. Zaid sejatinya adalah seorang anak yang begitu peduli dengan orangtua. Sayangnya, beliau kerja di luar kota. Jadi, bila dalam keadaan sakit yang tidak begitu berat, biasanya dia menunda kepulangan dan memilih membantu dengan mengirimkan dana saja kepada ibunya. Paling yang bisa dilakukan adalah menelepon ibu dan ayah serta menanyakan kabarnya. Tidak pernah disangka, keputusannya itu menimbulkan bekas dalam hati sang ayah.
Kali yang lain, sang ayah di tengah malam batuk-batuk hebat. Sang anak berusaha membantu sang ayah dengan mengoleskan minyak angin di dadanya sembari memijit lembut. Namun, dengan segera, tangan sang anak ditepis.
"Ini bukan tangan istriku. Mana istriku?" tanya sang ayah.
"Ini kami, Yah. Anakmu." jawab anak-anak.
"Tangan kalian kasar dan keras. Pindahkan tangan kalian! Mana ibu kalian? Biarkan ibu berada di sampingku. Kalian selesaikan saja kesibukan kalian seperti yang lalu-lalu."
Dua bulan yang lalu, sebelum ayah jatuh sakit, tidak pernah sekalipun ayah mengeluh dan berkata seperti itu. Bila sang anak ditanyakan kapan pulang dan sang anak berkata sibuk dengan pekerjaannya, sang ayah hanya menjawab dengan jawaban yang sama.
"Pulanglah kapan engkau tidak sibuk."
Lalu, beliau melakukan aktivitas seperti biasa lagi. Bekerja, shalat berjamaah, pergi ke pasar, bersepeda. Sendiri. Benar-benar sendiri. Mungkin beliau kesepian, puluhan tahun lamanya. Namun, beliau tidak mau mengakuinya di depan anak-anaknya.
Mungkin beliau butuh hiburan dan canda tawa yang akrab selayak dulu, namun sang anak mulai tumbuh dewasa dan sibuk dengan keluarganya.
Mungkin beliau ingin menggenggam tangan seorang bocah kecil yang dipangkunya dulu, 50-60 tahun lalu sembari dibawa kepasar untuk sekadar dibelikan kerupuk dan kembali pulang dengan senyum lebar karena hadiah kerupuk tersebut. Namun, bocah itu sekarang telah menjelma menjadi seorang pengusaha, guru, karyawan perusahaan; yang seolah tidak pernah merasa senang bila diajak oleh beliau ke pasar selayak dulu. Bocah-bocah yang sering berkata, "Saya sibuk...saya sibuk. Anak saya begini, istri saya begini, pekerjaan saya begini." Lalu berharap sang ayah berkata, "Baiklah, ayah mengerti."
Kemarin siang, saya sempat meneteskan air mata ketika mendengar penuturan dari sang anak. Karena mungkin saya seperti sang anak tersebut; merasa sudah memberi perhatian lebih, sudah menjadi anak yang berbakti, membanggakan orangtua, namun siapa yang menyangka semua rasa itu ternyata tidak sesuai dengan prasangka orangtua kita yang paling jujur.
Maka sudah seharusnya, kita, ya kita ini, yang sudah menikah, berkeluarga, memiliki anak, mampu melihat ayah dan ibu kita bukan sebagai sosok yang hanya butuh dibantu dengan sejumlah uang. Karena bila itu yang kita pikirkan, apa beda ayah dan ibu kita dengan karyawan perusahaan?
Bukan juga sebagai sosok yang hanya butuh diberikan baju baru dan dikunjungi setahun dua kali, karena bila itu yang kita pikirkan, apa bedanya ayah dan ibu kita dengan panitia shalat Idul Fitri dan Idul 'Adha yang kita temui setahun dua kali?
Wahai yang arif, yang budiman, yang penyayang dan begitu lembut hatinya dengan cinta kepada anak-anak dan keluarga, lihat dan pandangilah ibu dan ayahmu di hari tua. Pandangi mereka dengan pandangan kanak-kanak kita. Buang jabatan dan gelar serta pekerjaan kita. Orangtua tidak mencintai kita karena itu semua. Tatapilah mereka kembali dengan tatapan seorang anak yang dulu selalu bertanya dipagi hari, "Ke mana ayah, Bu? Ke mana ibu, Ayah?"
Lalu menangis kencang setiap kali ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
Wahai yang menangis kencang ketika kecil karena takut ditinggalkan ayah dan ibu, apakah engkau tidak melihat dan peduli dengan tangisan kencang di hati ayah dan ibu kita karena diri telah meninggalkan beliau bertahun-tahun dan hanya berkunjung setahun dua kali?
Sadarlah wahai jiwa-jiwa yang terlupa akan kasih sayang orangtua kita. Karena boleh jadi, ayah dan ibu kita, benar-benar telah menahan kerinduan puluhan tahun kepada sosok jiwa kanak-kanak kita; yang selalu berharap berjumpa dengan beliau tanpa jeda, tanpa alasan sibuk kerja, tanpa alasan tiada waktu karena mengejar prestasi.
Bersiaplah dari sekarang, agar kelak, ketika sang ayah dan ibu berkata jujur tentang kita dalam igauannya, beliau mengakui, kita memang layak menjadi jiwa yang diharapkan kedatangannya kapan pun juga.
Smoga mnjadi bahan renungan bagi kita semua.
Semoga bermanfaat dan Salam Ukhuwah 
- tulisan diatas adalah kisah dari seorang saudara yang kami ambil di sebuah group.
dari paragraf pertama, disebutkan bahwa Penulisnya adalah Hilman Rosyad Syihab -
terimakasih.
Takut Itu Wajar
Takut Itu Wajar
05.55 artikel inspirasi, kisah inspirasi dan motivasi, kisah-kisah inspirasi islami, kisah-kisah inspirasi terbaik 3 Comments
Perang Mu’tah, adalah perang yang secara rasio tak akan membuat manusia optimis apalagi yakin dengan kemenangan yang dijanjikan. Bayangkan saya, jumlah pasukan Romawi yang berkumpul pada hari itu lebih dari 200.000 tentara, lengkap dengan baju perang yang gagah, panji-panji dari kain sutra, senjata-senjata yang perkasa, lalu dengan kuda-kuda yang juga siap dipacu.
Abu Hurairah bersaksi atas perang ini. ”Aku menyaksikan Perang Mu’tah. Ketika kami berdekatan dengan orang-orang musyrik. Kami melihat pemandangan yang tiada bandingnya. Jumlah pasukan dan senjatanya, kuda dan kain sutra, juga emas. Sehingga mataku terasa silau,” ujar Abu Hurairah.
kisah-kisah inspirasi terbaik
Sebelum melihatnya, pasukan para sahabat yang hanya berjumlah 3.000 orang-orang beriman, sudah mendengar kabar tentang besarnya pasukan lawan. Sampai-sampai mereka mengajukan berbagai pendapat, untuk memikirkan jalan keluar. Ada yang berpendapat agar pasukan Islam mengirimkan surat kepada Rasulullah saw, mengabarkan jumlah musuh yang dihadapi dan berharap kiriman bala bantuan lagi. Banyak sekali usulan yang mengemuka, sampai kemudian Abdullah ibnu Rawahah yang diangkap sebagai panglima pertama berkata di depan pasukan.
”Demi Allah, apa yang kalian takutkan? Sesungguhnya apa yang kalian takutkan adalah alasan kalian keluar dari pintu rumah, yakni gugur sebagai syahid di jalan Allah. Kita memerangi mereka bukan karena jumlahnya, bukan karena kekuatannya. Majulah ke medan perang, karena hanya ada dua kemungkinan yang sama baiknya, menang atau syahid!”
Pidato perang yang singkat, tapi sangat menggetarkan. Seperti yang kita tahu dalam sejarah, sebelum berangkat Rasulullah berpesan pada pasukan. Jika Zaid bin Haritsah terkena musibah, maka panglima akan diserahkan kepada Ja’far bin Abi Thalib. Dan jika Ja’far bin Abi Thalib juga terkena musibah, maka Abdullah ibnu Rawahah yang menggantikannya.
Mahasuci Allah dengan segala tanda-tanda-Nya. Perkataan Rasulullah benar terbukti, sebagai salah satu tanda-tanda kebesaran Allah. Zaid bin Haritsah syahid dalam peperangan ini. Kemudian panji-panji Rasulullah dipegang oleh Ja’far bin Abi Thalib. Panglima pasukan kaum Muslimin ini menunggangi kuda yang berambut pirang, bertempur dengan gagah. Di tengah-tengah peperangan ia bersenandung riang:
Duhai dekatnya surga
Harum dan dingin minumannya
Orang Romawi telah dekat dengan azabnya
Mereka kafir dan jauh nasabnya
Jika bertemu, aku harus membunuhnya
Dalam situasi perang, sungguh tak banyak pilihan. Menjadi yang terbunuh atau menjadi yang bertahan. Maka tentu saja senandung Ja’far ra berbunyi demikian. Tangan kanan Ja’far terputus karena tebasan pedang ketika mempertahankan panji pasukan. Kini tangan kirinya yang memegang. Tangan kirinya pun terbabat pula oleh tebasan. Sehingga panji-panji Islam dipegangnya dengan lengan atasnya yang tersisa hingga Ja’far ditakdirkan menemui syahidnya.
Ibnu Umar ra bersaksi, ”Aku sempat mengamati tubuh Ja’far yang terbujur pada hari itu. Aku menghitung ada 50 luka tikaman dan sabetan pedang yang semuanya ada dibagian depan dan tak satupun luka berada di bagian belakang.” Semoga Allah membalasnya dengan sayap yang kelak akan membuatnya terbang kemanapun dia suka.
Kini tiba giliran Abdullah ibnu Rawahah tampil ke depan untuk mengambil tanggung jawab, memimpin pasukan dan mengangkat panji-panji Islam. Ada kegundahan dalam hati dan pikirannya, karenanya Ibnu Rawahah memompa sendiri keberanian di dalam hatinya:
Aku bersumpah wahai jiwaku, turunlah!
Kamu harus turun atau kamu akan dipaksa
Bila manusia bersemangat dan bersuara
Mengapa aku melihatmu enggan terhadap surga
Dalam kalimat-kalimat syairnya di tengah laga, tergambar bahwa ada kegalauan dalam jiwa Abdullah ibnu Rawahah. Tentu saja hanya Allah yang Mengetahui. Apalagi dua sahabatnya, telah pergi mendahului. Melihat dua jasad mulia sahabatnya, Abdullah ibnu Rawahah kembali berkata:
Wahai jiwaku
Jika tidak terbunuh kamu juga pasti mati
Ini adalah takdir kan telah kau hadapi
Jika kamu bernasib seperti mereka berdua
Berarti kamu mendapat hidayah
Lalu kemudian, Abdullah ibnu Rawahah juga bertemu dengan syahidnya. Ini memang kisah tentang perang. Tapi sesungguhnya hikmah dan teladan yang ada di dalamnya, bermanfaat dalam semua peristiwa kehidupan. Dalam perang, tak ada sikap yang bisa disembunyikan. Pemberani, ketakutan, risau dan kegalauan, cerdik dan penuh akal, atau orang-orang yang selalu menghindar. Semua terlihat nyata. Tak ada yang bisa disembunyikan!
Takut, risau dan galau, sungguh adalah perasaan wajar yang muncul karena fitrah. Dalam sebuah periode kehidupan, kita seringkali merasakannya. Meski begitu, bukan pula alasan kita menghindar dari sesuatu yang harus kita taklukkan karena rasa takut, risau dan galau yang lebih menang. Kemudian kita mencari-cari alasan dengan menyebutnya dengan dalih strategi dan langkah pintar. Menunduk untuk menanduk, atau yang lainnya.
Gunung-gunung harus didaki, laut dan samudera harus diseberangi, lembah dan ngarai harus dijelajahi. Tantangan hidup harus ditaklukan bukan dihindari. Dan tujuan besar hidup kita sebagai seorang Muslim adalah menegakkan kebenaran dan menyebarkan kebaikan.
Berbuat kebaikan dan mencegah manusia dari kemunkaran, harus dilakukan, betapapun pahitnya balasan yang akan didapatkan. Ketakutan, risau dan galau akan selalu datang. Tapi berkali-kali pula kita harus mampu mengalahkan mereka dan berkata pada diri sendiri. Meniru ulang apa yang dikatakan sahabat Abdullah ibnu Rawahah dengan gagah pada hati dan akalnya, ”Apakah engkau enggan pada nikmat Allah yang Maha Tinggi?!” Wallahu a’lam bi shawab.
Kisah inspirasi ini ditulis oleh ustadz Herry Nurdi dalam situs beliau yang luar biasa di http://www.penerang.com
kisah dan foto diambil dari situs http://penerang.com/2010/10/12/takut-itu-wajar/
Kategori
- Masih Kosong
Blogroll
- Masih Kosong