Ospek Marah-marah Tidaklah Relevan
September memang biasanya dijadikan awal tahun ajaran baru di lingkungan pendidikan tinggi. Namun, sebelum itu, biasanya ada kegiatan pengenalan kehidupan kampus bagi pada mahasiswa-mahasiswi baru sekitar beberapa waktu sebelum kegiatan perkuliahan perdana di mulai.
Kendati Pandemi COVID-19 sedang melanda Indonesia, OSPEK atau yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan PKKMB (Pengenalan Kehidupan Kampus Mahasiswa Baru) tetap dilakukan, hanya saja tempatnya dipindahkan menjadi virtual seperti melalui Zoom dan Google Meet.
Tentunya sudah menjadi rahasia umum, bahwa OSPEK kerap kali dikenal sebagai ajang penindasan bagi mahasiswa baru daripada ajang untuk mengenal kampus serta teman-teman baru.
Kendati OSPEK sudah diganti dengan istilah "PKKMB", tetapi nyatanya hanya berganti nama saja, tetapi tidak berganti konsep juga. Seperti yang baru-baru ini viral di media sosial kemarin, yaitu ada cuplikan beberapa panitia OSPEK Fakultas Ilmu Pendidikan UNESA yang sedang memarahi mahasiswa baru karena dianggap tidak mematuhi salah satu peraturan yang berlaku ketika PKKMB.
Tentunya hal ini memantik perhatian dari netizen, terlebih ketika itu OSPEK atau PKKMB ini ditayangkan langsung di kanal youtube.
Tentu kita harus melihat dua sisi. Mungkin apa yang tidak dilakukan oleh mahasiswa baru itu melanggar, mungkin bisa dikatakan salah. Akan tetapi, apakah semua kesalahan harus ditanggapi dengan kemarahan? Tentu tidak. Apalagi marah-marah ini dilakukan oleh mahasiswa yang katanya dari fakultas ilmu pendidikan yang harusnya diajarkan cara mendidik yang baik tanpa harus marah-marah. Tentunya sangat ironis.
Masa sih, kakak-kakak itu tidak paham efek psikologis apa yang akan diterima oleh adik-adik mahasiswa baru ketika diperlakukan seperti itu? Kan tidak mungkin tidak tahu. Harusnya kan mereka juga diajarkan psikologi pendidikan, tetapi kenapa tidak diterapkan? kenapa itu terus dilakukan?
Jika ini adalah ajang balas dendam karena diperlakukan serupa oleh seniornya ketika dahulu, dan setelah kakak-kakak yang naik tingkat menjadi senior pun ingin melakukan hal serupa pada adik-adiknya, harusnya mata rantai setan seperti ini segera diputus.
Awalnya saya pikir, dengan berpindahnya ruang untuk kegiatan OSPEK ini menjadi semacam advantage bagi para mahasiswa baru agar tidak mengalami perlakuan yang tidak mengenakan, tetapi ternyata ya tidak juga.
Oleh karena itu, menurut saya OSPEK dengan cara-cara yang identik dengan Penjajahan dan Senioritas seperti itu tidaklah relevan, terutama di 2020 ini. Banyak juga kan yang mengatakan "Sudah 2020 masih aja begini".
Apalagi banyak mahasiswa baru ini mungkin stress setelah menghadapi ujian masuk, belum lagi kondisi pandemi seperti ini tidak mungkin juga mereka tidak stress karenanya, jangan sampai dibuat tambah stress akibat PKKMB atau OSPEK yang harusnya menyenangkan ini.
Harusnya, universitas menjadi tempat yang menyenangkan untuk menyerap ilmu. Jangan sampai mahasiswa-mahasiswa baru ini malah jadi merasa tidak nyaman berada di universitas imbas takut bertemu kakak-kakaknya tersebut.
Mungkin banyak universitas yang sudah "benar" dalam pelaksanaan PKKMB atau OSPEK ini, tetapi bukan berarti tidak ada yang masih menerapkan hal seperti itu. Walau mungkin saja juga, di dalam "benar"nya dari universitas yang melaksanakan OSPEK ini, masih saja ada perploncoan seperti ini, hanya saja bedanya mungkin tidak sampai viral.
Hal ini tentu membuka borok pendidikan di Indonesia juga, bahwa hal-hal seperti ini masih ada. Hal-hal ini saya rasa tidak terjadi di luar negeri, hingga pada akhirnya, banyak pula yang menganggap hal-hal seperti inilah yang menjadi alasan mengapa Pendidikan di Republik ini belum maju.
Tentunya harus ada evaluasi menyeluruh dari universitas terkait bahkan hingga ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena ini memang merupakan ranahnya. Harusnya bagi Kemdikbud, hal ini menjadi alarm atau pengingat bahwa hal-hal seperti ini belum menghilang dari republik ini. Jangan sampai hal-hal seperti ini terus berlanjut ke depannya.
Bahkan, harusnya kegiatan ini diadakan sebagaimana MPLS di sekolah yang melibatkan guru sebagai panitia, maka, harusnya libatkan dosen untuk menjadi panitia, agar tidak ada yang merasa seenaknya, karena sering kali, banyak panitia memilih marah-marah ketika tidak ada dosen yang sedang berada di tempat acara, sehingga panitia tersebut merasa memiliki kuasa untuk "mengangkangi" para mahasiswa baru ini.
Hal-hal seperti ini haruslah diberantas. Akhir kata Semoga perploncoan, senioritas, atau kekerasan dalam bentuk apapun bisa segera menghilang dari wajah pendidikan di Indonesia.