Sejarah Kepemimpinan
Sejarah Ilmu Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu gejala universal yang secara defacto sudah ada sejak waktu yang lama dalam sejarah umat manusia dan dijalankan dalam kurun yang panjang. Namun demikian, pada sisi lain, kepemimpinan sebagai suatu ilmu usianya baru kurang lebih seratus enam puluh tahun. Pertanyaan awalnya ialah mengapa sampai demikian? Jawaban atas pertanyaan inilah yang akan digumuli dalam tulisan ini. Tujuan khusus dari upaya ini adalah untuk menelusuri dan memberikan gambatran tentang sejarah perkembangan ilmu kepemimpinan. Tulisan ini akan memberikan uraian tentang sejarah perkembangan kepemimpinan sebagai suatu ilmu dengan menunjuk titik awal perkembangan serta tokoh-tokoh penting yang terkait di dalamnya dan kecenderungan ke arah mana ilmu ini sedang berkembang.
Perspektif Kepemimpinan Dalam Sejarah
Melihat dari sudut pandang seni, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan adalah seni yang usianya setua usia manusia di bumi, yang telah dipraktekkan dalam sepanjang sejarah manusia. Kebenaran tentang kepemimpinan yang telah dipraktekkan dalam sepanjang sejarah ini ditegaskan oleh Bernard M. Bass yang mengatakan, “The study of leadership is an ancient art. Discussion of the subject will be found in Plato, Caesar, and Plutarch, just to mention a few of classical era. The Chinese classics are filled with hortatory advice to the county’s leaders. The ancient Egyptians attributed three qualities of divinity to their king. They said of him ‘authoritative utterness is in thy mouth, perception is in thy heart, and thy tongue is the shrine of justice.’ The Egyptians demanded of their leader qualities of authority, discrimination, and just behavior.” Dari penjelasan Bass di atas dapat dikatakan bahwa berdasarkan fakta, seni kepemimpinan itu telah ada serta diterapkan secara umum, karena kepemimpinan itu adalah seni yang bersifat universal.
Sebagai seni, kepemimpinan telah dipraktekkan oleh penguasa-penguasa dunia zaman kuno seperti pada kerajaan Mesopotamia, Persia, Mesir klasik di Timur Tengah; penguasa India,Tiongkok dan Jepang klasik di Timur, dan penguasa Indian Inka di Amerika Latin, penguasa zaman tengah Babylon (Mesopotamia), Persia, Yunani dan Romawi, penguasa zaman masehi, di Eropa termasuk negara-negara baru seperti Perancis dan Jerman, Ingris, dan sebagainya sampai kepada penguasa dari kerajaan-kerajaan tua di Timur Jauh, serta kelompok masyarakat-budaya lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Dalam kaitan ini, dapat dikatakan pula bahwa sebagai seni, kepemimpinan pun telah dipraktekkan oleh tokoh-tokoh dunia yang besar dan terkenal yang berkiprah dalam segala bidang kehidupan, mulai dari Hammurabi, raja Babylon yang sezaman dengan Abraham (Kejadian 14), para Firaun Mesir, Musa dan Yosua yang disebut dalam Alkitab, sampai ahli seni perang klasik Sun Tzu dan filsuf Lao Tzu di Tiongkok, serta filsuf klasik Yunani seperti Plato, Aristoteles dan Socrates, Sidharta Gautama, termasuk Kaisar-kaisar Romawi terkenal yang disebut dalam Alkitab, seperti Agustus, Tiberius; serta yang lain, yaitu Nero, Konstantinus Agung Paus Gregorius Agung sampai kepada raja Perancis Charlemagne, para raja dalam dinasti-dinasti klasik Tiongkok, Inggris, dan Jenghiz Khan, raja Mongol, penulis dan negarawan Italia, Niccolo Di Benardo Macchiavelli, reformator Protestan Mathin Luther, dramator Inggris, William Shakespeare, ahli pedang Jepang Miyamoto Musashi, Patih Gajamada, penguasa kolonial Belanda, pelukis Raden Saleh, dan Soekarno, Presiden RI pertama, serta banyak lagi. Para tokoh besar yang disinggung di atas ini telah membuktikan diri sebagai manusia-manusia luar biasa yang menerapkan seni kepemimpinan dalam karir mereka, namun, karya-karya besar mereka yang gemilang tidak dapat diklasifikasikan secara penuh sebagai karya dasar bagi ilmu kepemimpinan.
Pernyataan di atas cukup menarik untuk disimak, dalam upaya menempatkan kepemimpinan sebagai suatu ilmu pada jalur sejarah yang pas. Untuk menempatkan kepemimpinan pada jalur ilmu, maka langkah awal yang perlu dipastikan adalah lingkup dari kepemimpinan. Sebagai suatu ilmu, bidang studi kepemimpinan memiliki tiga lingkup utama, yaitu: Pertama, elemen dasar kepemimpinan yang meliputi pemimpin, orang yang dipimpin dan situasi kepemimpinan. Kedua, doktrin dasar kepemimpinan yang meliputi perlengkapan dasar kepemimpinan (perilaku pemimpin serta sumber-sumber) dan nilai dasar kepemimpinan (nilai yang bersifat teologis dan filosofis). Ketiga, pekerjaan atau tugas dasar kepemimpinan (yang meliputi: esensi, sifat, unsur ekonomi dan lokasi kepemimpinan). Dalam kaitan dengan menempatkan kepemimpinan dalam jalur ilmu yang disoroti dari lingkup bidang studi kepemimpinan seperti yang disinggung di atas, maka tugas kedua ialah mengukur karya tulis para tokoh sejarah tentang kepemimpinan. Mengukur karya tulis para pakar dan pemimpin sepanjang sejarah dari perspektif ini, dapat dikatakan bahwa kebanyakan karya tulis mengetengahkan pemahaman tentang kepemimpinan secara terbatas dengan menyinggung trait atau karakteristik-karakteristik serta kecakapan dan nilai-nilai kepemimpinan saja. Satu-satunya tokoh sejarah yang menuliskan tentang pemimpin sebagai elemen dasar utama dari kepemimpinan melalui karya tulisnya, ialah Thomas Carlyle. Tulisan Carlyle yang berjudul “On Hero and Hero Worship” dapat dianggap sebagai karya terbesar buku ilmiah kepemimpinan yang pertama. Buku ini memberikan tempat yang luas bagi aspek-aspek dan unsur-unsur kepemimpinan yang lengkap, yang membuktikan bahwa karya Karlyle ini adalah tonggak sejarah bagi perkembangan ilmu kepemimpinan.
Perjalanan Ilmu Kepemimpinan Melintasi Sejarah
Dalam sejarah di dunia Barat, diakui bahwa istilah leader atau pemimpin itu telah ada dalam kamus berbahasa Inggris sejak tahun 1300, tetapi penggunaan istilah kepemimpinan itu baru saja ada pada pertengahan abad ke sembilanbelas. Dalam studi Timur klasik pun sudah ditemukan adanya upaya penerapan seni kepemimpinan dalam peran pemimpin serta upaya perkembangan pemimpin. Namun dapat dilihat adanya indikasi kecenderungan yang sama yaitu belum adanya konsep baku tentang kepemimpinan yang dikembangkan serta diterapkan secara ilmiah. Implikasi di atas ini cukup menarik untuk disimak sebagai dasar untuk mengidentifikasi perkembangan sejarah kepemimpinan sebagai suatu ilmu. Upaya mengidentifikasi perkembangan ilmu kepemimpinan telah dilakukan oleh, Profesor Dr. J. Robert Clinton dari Fuller Theological Seminary, School of Inter-cultural Studies. Dalam hasil risetnya, Profesor Clinton mengidentifikasi perkembangan ilmu kepemimpiman dengan membuat klasifikasinya kedalam beberapa era perkembangan. Klasifikasi perkembangan ilmu kepemimpinan dimaksud adalah sebagai berikut ini.
- Great Man Era, yang meliputi tahun 1841-1904.
- Trait Era, yang meliputi tahun 1904-1948.
- Behavior Era, yang meliputi tahun 1948-1967.
- Contingency Era, yang meliputi tahun 1967-1980.
- Complexity Era, yang meliputi tahun 1980-1986, dst.
Sejarah Perkembangan Ilmu Kepimpinan Di Indonesia.
Dalam analisa yang bersifat umum, sejarah kepemimpinan di Indonesia dapat dikategorikan dengan memperhatikan beberapa fase perkembangan berikut.
Fase Pertama, Masa Kolonial Belanda sampai 1953, yang dapat disebut fase mandor atau fase klerek. Masa ini adalah sebagai “masa primadona administrasi” (administratie), dimana administrasi memegang peran penting. Dalam kaitan ini, penguasa kolonial Belanda yang cenderung otokratis menempatkan para pemimpin inlander hanya pada level mandor, klerek, kopral atau sersan dan sebagainya yang menjelaskan bahwa para pemimpin ini hanya sampai pada aras operasional. Pemimpin aras operasional ini ini hanya berperan sebagai “middle administrator” atau “supervisor kerja” saja bukanlah manajer atau top leader, karena top leader hanyalah kelompok kolonial yang diyakini oleh mereka bahwa mereka lahir untuk memimpin.
Fase Kedua, tahun 1953 sampai dengan 1970-1980. Fase ini dapat disebut fase perkembangan administrasi dan manajemen. Pada era ini ilmu administrasi sangat populer di Indonesia, yang ditandai dengan adanya akademi-akademi administrasi dan kesekretariatan. Dalam bidang pemerintatahan, Lembaga Administrasi Negara (LAN) memegang peran utama untuk mengembangkan pemimpin untuk bidang pemerintahan. Masa ini ditandai pula dengan munculnya ilmu manajemen di Indonesia, mulai dengan manajemen klasik, manajemen berdasarkan sasaran, manajemen performansi tinggi, manajemen perencaraan strategis, sampai dengan manajemen total kualitas.[29] Pada tataran ini para pemimpin Indonesia (setidak-tidaknya segelintir kelompok elit) telah mahir menggunakan ilmu menajemen dimana mereka berperan besar sebagai para entrepreneur (wirausahawan/ wati) walau pun dalam jumlah yang terbatas. Ilmu manajemen ini telah diterapkan dalam bidang militer, pemerintahan, perbankan, bisnis, politik, pendidikan, dan sebagainya yang dilakukan secara khas pula yang menandakan dipraktekkannya penggunaan majemen secara umum.
Fase Ketiga, tahun 1980-2000 sampai saat ini, yang dapat disebut sebagai fase kepemimpinan baru atau fase kepemimpinan global. Fase ini diawali dengan adanya upaya mengembangkan ilmu yang disebut Manajemen Sumberdaya Manusia (Human Resources Management yang dibedakan dengan Personnel Management pada era sebelumnya). Pada sisi lain, secara umum terlihat bahwa bidang studi kepemimpinan mulai marak berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang tersebar dari bidang umum sampai pada bidang-bidang khusus, seperti keagamaan (termasuk pendidikan teologi), perusahan swasta, pendidikan umum, dan sebagainya.[30] Perkembangan selanjutnya terlihat pada adanya pendidikan serta pelatihan kepemimpinan (formil, non-formil dan informil) yang marak dalam segala bidang kerja.[31] Dan lagi, kenyataan menunjuk kepada pemunculan begitu banyak pemimpin baru dalam segala bidang kehidupan yang menandakan bahwa Indonesia sedang berada dalam era baru, era global, dengan persaingan kepemimpinan yang cukup ketat yang terjadi pada semua aras di tengah percaturan masyarakat yang super kompleks.
Pendekatan Dalam Berkepemimpinan
A. Pengertian Pemimpin dan Kepemimpinan
Dilihat dari bahasa indonesia “pemimpin” sering disebut pemuka, pelopor, pembina, panutan, penghulu, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, dan sebagainya. Sedangkan istilah memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya memengaruhi orang lain dengan berbagai cara.
Selanjutnya jika dilihat dari sisi bahasa inggris menjadi “leader”. Yang mempunyai tugas untuk me-lead pada rekan-rekannya. Sedangkan makna “lead” itu sendiri adalah:
- Loyality adalah seorang pemimpin harus mampu membangkitkan loyalitas rekan kerjanya dan memberikan loyalitasnya dalam kebaikan.
- Educate adalah seorang pemimpin mampu untuk mengedukasi rekan-rekannya dan mewariskan tacit knowledge pada rekan-rekannya.
- Advice adalah memberikan saran dan nasihat dari permalahan yang ada.
- Discipline adalah memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan kedisiplinan dalam setiap aktivitasnya.
Sedangkan kepemimpinan pada dasarnya adalah kemampuan menggerakkan, memberikan motivasi dan mempengaruhi orang-orang agar bersedia melakukan tindakan-tindakan yang terarah pada pencapaian tujuan melalui keberanian mengambil keputusan tentang kegiatan yang harus dilakukan. Kemampuan mengambil keputusan itu mengandung arti apa yang harus dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Dari pengertian di atas kepemimpinan mengandung beberapa unsur yaitu:
1. Kepemimpinan melibatkan orang lain dan adanya situasi kelompok atau organisasi tempat pemimpin dan anggotanya berinteraksi.
2. Didalam kepemimpinan terjadi pembagian kekuasaan dan proses memengaruhi bawahan oleh pemimpin, dan
3. Adanya tujuan bersama yang harus dicapai.
Adapun keberhasilan menjadi seorang yang pemimpin dan berkemimpinan tentu ada ciri-ciri khusus yaitu kepemimpinan yang baik memiliki sifat yang manusiawi, memandang jauh kedepan (visioner), inspiratif (kaya kan gagasan), dan percaya diri. Dengan kata lain, pendidikan yang baik akan selalu memiliki pemimpin yang baik pula yaitu pemimpin yang sesuai dengan ciri-ciri kepemimpinan.
B. Pendekatan Kepemimpinan
Setelah kita mengetahui arti pemimpin dan kepemimpinan yang didalamnya telah menunjukkan kepada kita bahwa dalam mempelajari masalah kepemimpinan terdapat beberapa pendekatan atau teori. Pendekatan itu dibedakan menjadi lima macam, yaitu teori kepemimpinan awal yang terdiri atas pendekataan bawaan, sifat-sifat fisik, dan pendekatan latihan; teori kepemimpinan sifat; teori kepemimpinan situasional; teori kepemimpinan kontigensi; dan teori kepemimpinan path goal.
Akan tetapi carrol dan tosi merangkum pendapat-pendapat para ahli seperti tersebut diatas menjadi tiga pendekatan/teori kepemimpinan saja, yaitu: pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional. Ketiga pendekatan kepemimpinan inilah yang akan menjadi fokus pembicaraan.
1. Pendekatan Sifat-Sifat
Telah dikemukakan bahwa keberhasilan atau kegagalan seorang pemimpin banyak ditentukan atau dipengaruhi oleh sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang pemimpin. Sifat-sifat itu ada pada seseorang karena pembawaan atau keturunan.
Jadi menurut pendekatan ini, seseorang menjadi pemimpin karena sifat-sifatnya yang dibawa sejak lahir, bukan karena dibuat atau dilatih. Thierauf dan kawan-kawan mengemukakan 16 sifat kepemimpinan yang baik, yaitu kecerdasan, inisiatif, daya khayal, bersemangat, optimisme, individualisme, keberanian, keaslian, kesediaan menerima, kemampuan berkomunikasi, rasa perlakuan yang wajar terhadap sesama, kepribadian, keuletan, manusiawi, kemampuan mengawasi, dan ketenangan diri.
Meskipun telah banyak penelitian tentang sifat-sifat kepemimpinan, hingga saat ini para peneliti tersebut tidak berhasil menemukan satu atau sejumlah sifat yang dapat dijadikan sebagai ukuran untuk menentukan membedakan pemimpin dan bukan pemimpin.
2. Pendekatan Perilaku
Berdasarkan pemikiran bahwa keberhasilan atau kegagalan pemimpin ditentukan oleh sikap dan gaya kepemimpinan yang dilakukan oleh pemimpin yang bersangkutan yang tampak dalam kegiatan sehari-hari. Seperti cara membimbing dan mengawas hingga membina bawahan, cara mengambil keputusan, dan sebagainya.
Pendekatan perilaku inilah yang selanjutnya melahirkan berbagai teori tentang tipe atau gaya kepemimpinan. Beberapa teori adalah:
1. Teori Tannenbaum dan Schmid
Dilukiskan sebagai suatu kontinum yaitu dua gaya kepemimpinan yang ekstrem, yaitu otokratis dan laissez faire. Otokratis yaitu tekanan orientasinya diarahkan kepada tugas atau tercapainya tujuan organisasi atau lembaga. sedangkan laissez faire yaitu orientasinya lebih kepada memberikan kesempatan kepada bawahannya bekerja bebas tanpa kekangan.
2. Teori Ohio
Mempelajari bagaimana seseorang pemimpin menjalankan tugasnya. Dari hasil penelitiannya dikemukakan adanya dua macam perilaku kepemimpinan yaitu initiating structure ( sturktur tugas ) dan consideration (tenggang rasa).
Initiating structure adalah cara pemimpin melukiskan hubungannya dengan bawahan dalam usaha menteapkan pola organisasi, saluran komunikasi, dan metode atau prosedur yang akan dipakai. Sedangkan consideration adalah perilaku yang berhubungan dengan persahabatan, saling mempercayai, saling menghargai, dan keintiman hubungan antara pemimpin dan bawahannya. Adapun ciri-ciri kedua perilaku kepemimpinan itu adalah:
1) Mengutamakan tercapainya tujuan organisasi
2) Mementingkan produksi yang tinggi3) Lebih banyak melakukan pengarahan4) Memiliki sikap bersahabat5) Mengutamakan pengarahan diri, disiplin diri, dan pengontrolan diri.
3. Pendekatan Situasional
Pendekatan ini didasarkan atas asumsi bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi tidak hanya dipengaruhi oleh perilaku dan sifat-sifat pemimpin saja, karena tiap-tiap organisasi itu memiliki ciri-ciri khusus dan unik.
4. Model Kepemimpinan.
Model kepemimpinan didasarkan pada pendekatan yang mengacu kepada hakikat kepemimpinan yang berlandaskan pada perilaku dan keterampilan seseorang yang berbaur, kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa model kepemimpinan yaitu:
- Model kepemimpinan Kontingensi Fielder.
- Mementingkan produksi yang tinggi.
- Lebih banyak melakukan pengarahan.
- Memiliki sikap bersahabat.
- Mengutamakan pengarahan diri, disiplin diri, dan pengontrolan diri.
3. Pendekatan Situasional
Pendekatan ini didasarkan atas asumsi bahwa keberhasilan kepemimpinan suatu organisasi tidak hanya dipengaruhi oleh perilaku dan sifat-sifat pemimpin saja, karena tiap-tiap organisasi itu memiliki ciri-ciri khusus dan unik.
Pendekatan situasional atau kontingensi didasarkan pada asumsi bahwa keberhasilan seorang pemimpin selain ditentukan oleh sifat-sifat dan perilaku pemimpin juga dipengaruhi oleh situasi yang ada dalam organisasi.
C. Model Kepemimpinan
Model kepemimpinan kdidasarkan pada pendekatan yang mengacu kepada hakikat kepemimpinan yang berlandaskan pada perilaku dan keterampilan seseorang yang berbaur, kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa model kepemimpinan yaitu:
1. Model kepemimpinan Kontingensi Fielder
Teori ini dikembangkan oleh fiedler dan chemers. Keberhasilan pemimpin bergantung pada diri pemimpin maupun kepada keadaan organisasi. Menurut fiedler tak ada gaya kepemimpinan yang cocok untuk semua situasi, serta ada tiga faktor yang perlu dipertimbangkan, yaitu hubungan antara pimpinan dan bawahan, struktur tugas serta kekuasaan yang berasal dari organisasi.
Berdasarkan tiga dimensi tersebut, fiedler menentukan dua jenis gaya kepemimpinan yaitu, gaya kepemimpinan yang mengutamakan tugas dimana ketika pemimpin merasa puas jika tugas bisa dilaksanakan. Selanjutnya gaya kepemimpinan yang mengutamakan pada hubungan kemanusiaan yang menunjukkan bahwa efektifitas kepemimpinan bergantung pada tingkat pembauran antara gaya kepemimpinan dengan tingkat kondisi yang menyenangkan dalam situasi tertentu.
2. Model Kepemimpinan Tiga Dimensi
Ada tiga dimensi yang dapat dipakai untuk menentukan gaya kepemimpinan, yaitu perhatian pada produksi atau tugas, perhatian pada orang, dan dimensi efektifitas dan gaya tersebut dapat menjadi efektif dan tidak efektif, tergantung pada situasi. Gaya yang efektif yaitu:
a. Eksekutif adalah seorang pemimpin yang menjadi motivator bagi bawahannya tanpa mengenal perbadaan yang dimiliki setiap individu
b. Developer adalah seorang pimpinan yang mempunyai kepercayaan yang tinggi terhadap orang-orang yang bekerja dalam organisasinya, dan sangat memperhatikan pengembangan mereka sebagai individu.
c. Otokratis yang baik (benevolent autocrat) adalah pimpinan ini mengetahui secara tepat apa yang ia inginkan dan bagaimana memperoleh yang diinginkan tersebut tanpa menyebabkan ketidakseganan di pihak lain.
d. Birokrat adalah pimpinan ini sangat tertarik pada peraturan-peraturan dan menginginkan peraturan tersebut dipelihara serta melakukan control situasi secara teliti.
Gaya yang tidak efektif yaitu:
a. Pencinta kompromi (compromiser) adalah Gaya ini memberikan perhatian yang besar pada tugas dan hubungan kerja dalam suatu situasi yang menekankan pada kompromi sehingga memberikan tekanan yang mempengaruhinya.
b. Missionari adalah Gaya yang memberikan penekanan yang maksimum pada orang-orang dan hubungan kerja, tetapi memberikan perhatian minimum terhadap tugas dan perilaku yang tidak sesuai.
c. Otokrat adalah Pimpinan tidak mempunyai kepercayaan pada orang lain, tidak menyenangkan, dan hanya tertarik pada pekerjaan yang segera selesai
d. Deserter (lain dari tugas) adalah Gaya ini tidak begitu terpuji, karena pimpinan seperti ini menunjukkan sikap positif dan tidak mau ikut campur secara aktif dan positif.
Peran Dan Fungsi Dalam Kepemimpinan.
Peran Dalam Kepemimpinan.
Mengadopsi pendapat kedua para ahli tersebut, bahwa peran kepemimpinan merupakan suatu perilaku-perilaku yang diharapkan oleh pemimpin dalam menduduki suatu posisi tertentu diharapkan bisa berperan untuk mempengaruhi, membimbing, mengevalauasi bawahannya kearah pencapaian tujuan sebuah organisasi.
Sebelum membahas tentang macam-macam peran kepemimpinan terlebih dahulu kita akan memaparkan tentang pengertian peran kepemimpinan itu sendiri. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan. Dalam pengertian lain kepemimpinan adalah kemampuan dan keterampilan seseorang yang menduduki jabatan sebagai pimpinan satuan kerja untuk mempengaruhi orang lain, terutama bawahannya, untuk berfikir dan bertindak sedemikian rupa sehingga melalui perilaku yang positif ia memberikan sumbangan nyata dalam pencapaian tujuan organisasi.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar kepemimpinan dapat berperan dengan baik, antara lain:
- Yang menjadi dasar utama dalam efektivitas kepemimpinan bukan pengangkatan atau penunjukannya, melainkan penerimaan orang lain terhadap kepemimpinan yang bersangkutan.
- Efektivitas kepemimpinan tercermin dari kemampuannya untuk tumbuh dan berkembang
- Efektivitas kepemimpinan menuntut kemahiran untuk “membaca” situasi.
- Perilaku seseorang tidak terbentuk begitu saja, melainkan melalui pertumbuhan dan perkembangan.
- Kehidupan organisasi yang dinamis dan serasi dapat tercipta bila setiap anggota mau menyesuaikan cara berfikir dan bertindaknya untuk mencapai tujuan organisasi.
Peran Pemimpin dalam Manajemen Sumber Daya Manusia.
Mengapa sering terjadi keluhan dari para pelanggan tentang mutu produk dan pelayanannya di suatu perusahaan. Hal ini wajar terjadi sejalan dengan semakin tinggi dinamika preferensi dan kritisnya para pelanggan tentang mutu. Karena itu dibutuhkan peran utama manajemen (seorang manajer) yakni melaksanakan fungsi-fungsi manajemen untuk memperoleh hasil yang ditargetkan perusahaan atau yang diinginkan oleh pelanggan. Sementara peran pemimpin dengan kepemimpinan mutunya adalah mengembangkan dan memperbaiki sistem agar program pengembangan mutu SDM berhasil sesuai harapan. Dalam prakteknya, seorang manajer di samping melaksanakan fungsi-fungsi manajemen juga harus mampu menjalankan kepemimpinan mutu SDM dengan efektif secara bersinambung.
Peran Kepemimpinan Dalam Pengambilan Keputusan.
Kepemimpinan seseorang dalam sebuah organisasi sangat besar perannya dalam setiap pengambilan keputusan, sehingga membuat keputusan dan mengambil tanggung jawab terhadap hasilnya adalah salah satu tugas pemimpin. Sehingga jika seorang pemimpin tidak mampu membuat keputusan, seharusnya dia tidak dapat menjadi pemimpin.
Dilain hal, pengambilan keputusan dalam tinjauan perilaku mencerminkan karakter bagi seorang pemimpin. Oleh sebab itu, untuk mengetahui baik tidaknya keputusan yang diambil bukan hanya dinilai dari konsekuensi yang ditimbulkannya, melainkan melalui berbagai pertimbangan dalam prosesnya.
Peran Pembangkit Semangat.
Salah satu peran kepemimpinan yang harus dijalankan oleh seorang pemimpin adalah peran membangkitkan semangat kerja. Peran ini dapat dijalankan dengan cara memberikan pujian dan dukungan. Pujian dapat diberikan dalam bentuk penghargaan dan insentif. Penghargaan adalah bentuk pujian yang tidak berbentuk uang, sementara insentif adalah pujian yang berbentuk uang atau benda yang dapat kuantifikasi. Pemberian insentif hendaknya didasarkan pada aturan yang sudah disepakati bersama dan transparan. Insentif akan efektif dalam peningkatan semangat kerja jika diberikan secara tepat, artinya sesuai dengan tingkat kebutuhan karyawan yang diberi insentif, dan disampaikan oleh pimpinan tertinggi dalam organisasi , serta diberikan dalam suatu ‘event’ khusus.
Peran membangkitkan semangat kerja dalam bentuk memberikan dukungan, bisa dilakukan melalui kata-kata , baik langsung maupun tidak langsung, dalam kalimat-kalimat yang sugestif. Dukungan juga dapat diberikan dalam bentuk peningkatan atau penambahan sarana kerja, penambahan staf yag berkualitas, perbaikan lingkungan kerja, dan semacamnya.
Peran Menyampaikan Informasi.
Informasi merupakan jantung kualitas perusahaan atau organisasi; artinya walaupun produk dan layanan purna jual perusahaan tersebut bagus, tetapi jika komunikasi internal dan eksternalnya tidak bagus, maka perusahaan itu tidak akan bertahan lama karena tidak akan dikenal masyarakat dan koordinasi kerja di dalamnya jelek. Penyampaian atau penyebaran informasi harus dirancang sedemikian rupa sehingga informasi benar-benar sampai kepada komunikan yang dituju dan memberikan manfaat yang diharapkan. Informasi yang disebarkan harus secara terus-menerus dimonitor agar diketahui dampak internal maupun eksternalnya. Monitoring tidak dapat dilakukan asal-asalan saja, tetapi harus betul-betul dirancang secara efektif dan sistemik.
Selain itu, seorang pemimpin juga harus menjalankan peranc onsulting baik ke ligkungan internal organisasi maupun ke luar organisasi secarab aik, sehingga tercipta budaya organisasi yang baik pula. Sebagai orang yang berada di puncak dan dipandang memiliki pengetahuan yang lebih baik dibanding yang dipimpin, seorang pemimpin juga harus mampu memberikan bimbingan yang tepat dan simpatik kepada bawahannya yang mengalami masalah dalam melaksanakan pekerjaannya.
Fungsi Dalam Kepemimpinan.
Berikut ada tiga pendapat ahli terkait dengan fungsi-fungsi kepemimpinan. Pendapat pertama menurut Siagian (2003), fungsi-fungsi kepemimpinan yang bersifat hakiki terdiri dari :
- Penentuan arah yang hendak ditempuh oleh organisasi dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasarannya.
- Wakil dan juru bicara organisasi dalam hubungan dengan berbagai pihak diluar organisasi, terutama dengan mereka yang tergolong sebagai “stakeholder ”.
- Komunikator yang efektif.
- Mediator yang handal, khususnya dalam mengatasi berbagai situasi konflik yang mungkin timbul antara individu dalam satu kelompok kerjayang terdapat dalam organisasi yang dipimpinnya.
- Integrator yang rasional dan objektif.
Dengan mengimplementasikan kelima fungsi kepemimpinan yang hakiki tersebut, pemimpin diharapkan dapat membawa para pengikutnya ke tujuan yang hendak dicapai.
Pendapat lain yakni fungsi kepemimpinan menurut Rivai, dimana menurutnya kepemimpinan berhubungan langsung dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok atau organisasi masing-masing yang mengisyaratkan bahwa setiap pemimpin berada di dalam dan bukan di luar situasi itu. Fungsi kepemimpinan merupakan gejala sosial, karena harus diwujudkan dalam interaksi antar individu di dalam situasi sosial suatu kelompok atau organisasi. Fungsi kepemimpinan sendiri dikelompokkan dalam dua dimensi berikut (Rivai, 2002):
- Dimensi yang berkenaan dengan tingkat kemampuan mengarahkan (direction) dalam tindakan atau aktivitas pemimpin.
- Dimensi yang berkenaan dengan tingkat dukungan (support) atau keterlibatan orang-orang yang dipimpin dalam melaksanakan tugas-tugas pokok kelompok atau organisasi.
Seorang pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi harus melaksanakan berbagai fungsi kepemimpinan. Menurut Frunzi dan Savini sebagaimana dikutip dalam dalam Hidayat (2005) terdapat lima fungsi kepemimpinan yang merupakan karakteristik kepemimpinan. Kelima fungsi kepemimpinan tersebut adalah:
- Pengajaran, dengan memberikan pengarahan khusus, saran dan bimbingan kepada karyawan dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.
- Konseling, dengan mewawancarai para karyawan dan membantu mereka dalam menemukan jawabannya.
- Evaluasi, dalam melakukan pengawasan, peninjauan, penilaian terhadap karyawan sebagai timbal-balik terhadap kinerja karyawan.
- Delegasi, dengan memberikan tugas, tanggung jawab dan wewenang kepada karyawan yang dinilai berkompeten.
- Pemberian imbalan, dengan menyediakan pengakuan nyata maupun tidak nyata kepada karyawan yang sudah menyelesaikan tugasnya dengan baik.
Demikian sejumlah fungsi-fungsi kepemimpinan menurut para ahli yang dapat saya share bagi para pembaca blog ini.Terima kasih sebelumnya.
KEPEMIMPINAN : Teori Kepentingan Hastabrata.
Awal Mula Hastabrata.
Hastabrata sendiri berasal dari bahasa Sansekerta. Hasta artinya delapan dan Brata yaitu perilaku atau tindakan pengendalian diri. Hastabrata melambangkan kepemimpinan dalam delapan unsur alam yaitu bumi, matahari, api, samudra, langit, angin, bulan, dan bintang.
Sifat Kepemimpinan Hastabrata.
Kekuasaan sepertinya merupakan sesuatu yang didambakan. Semua orang tanpa kecuali sekarang ini pada berlomba untuk mendapatkan kekuasaan. Memang, kekuasaan memberikan kehormatan atau prestise Namun, sebenarnya kita lupa bahwa itu hanyalah satu sisi saja. Di sisi lain, kekuasaan itu menuntut tanggung jawab. Di sinilah kekuasaan itu menjadi tidak mudah. Sebab, kekuasaan tidak bisa dilihat hanya sekadar panggung tempat pemegang kekuasaan untuk tampil mempertontonkan kehebatannya.
Pada dasarnya kekuasaan perlu memberikan manfaat kepada masyarakat yang dipimpinnya. Kekuasaan oleh para pemimpin harus dipakai untuk memberikan kesejahteraan umum (bonum publicum). Untuk itulah tidak semua orang berhasil ketika diberi kekuasaan. Bahkan seringkali kekuasan itu hanya dinikmati untuk kepentingannya sendiri. Dengan kekuasaan itu banyak orang yang lupa diri dan merasa menjadi orang yang tak tertandingi.
Sifat Kepemimpinan
Sebagai formula agar dapat menjadi pemimpin yang didambakan hendaknya para pengambil kebijakan perlu memegang sifat kepemimpinan yang dikenal dengan Hasta Brata. Hasta mengandung pengertian delapan. Brata artinya perilaku atau sifat. Sifat kepemimpinan ini dilakukan ketika Sri Rama mengangkat Wibisana menjadi raja di Alengka dalam epos Ramayana karya Valmiki.
Delapan Sifat Kepemimpinan Hastabrata.
- Pertama, Sifat Matahari. Makna seorang pemimpin bersifat seperti matahari adalah agar setiap pemimpin harus mampu memberi motivasi, spirit, daya hidup, dan memberi kekuatan kepada seluruh anak buah yang dipimpinnya.
- Kedua, Sifat Bulan. Bila diamati bulan itu bentuknya bulat indah dan menarik hati sapa saja yang melihat. Seorang pemimpin harus memiliki sifat bulan maksudnya, agar setiap pemimpin harus dapat menyenangkan, menarik hati dan memberi terang dalam kegelapan kepada semua anak buah yang dipimpinnya.
- Ketiga, Sifat Bintang. Bintang mempunyai bentuk yang sangat eksotis dan menjadi hiasan langit di waktu malam serta dapat menjadi petunjuk arah (kompas) bagi mereka yang kehilangan arah. Jadi, seorang pemimpin harus dapat berfungsi seperti bintang, maksudnya bahwa seorang pemimpin dapat memberi petunjuk, memberi arahan, dan bimbingan agar anak buahnya mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik.
- Keempat, Sifat Angin. Seperti diketahui angin mempunyai sifat dapat mengisi setiap ruangan yang kosong walaupun di ruangan yang kecil sekalipun. Seorang pemimpin harus dapat berfungsi seperti angin, maksudnya agar setiap pemimpin dapat bertindak dengan cermat dan teliti serta tidak segan-segan terjun langsung ke masyarakat agar mengetahui kondisi yang sebenarnya.
- Kelima, Sifat Api. Bila diamati api sifatnya dapat membakar apa saja yang bersentuhan dengannya dan tegas. Jadi seorang pemimpin harus mampu bertindak seperti api artinya harus tegas dan adil tanpa pandang bulu. Di samping tegas seorang pemimipin harus mempunyai prinsip yang konsisten serta dapat menahan emosi atau mengendalikan diri.
- Keenam, Sifat Mendung. Mendung mempunyai sifat menakutkan (berwibawa) tetapi setelah berubah menjadi air dalam hal ini hujan dapat menyegarkan semua makhluk hidup. Untuk itu pemimpin harus dapat bersifat seperti mendung yaitu harus dapat menjaga kewibawaan dengan berbuat jujur, terbuka dan semua yang menjadi programnya dapat bermanfaat bagi anak buah dan sesama.
- Ketujuh, Sifat Samudra. Bentangan samudra luas dapat menampung apa saja yang akan masuk ke dalamnya. Jadi seorang pemimpin harus berfungsi seperti samudra yaitu mempunyai pandangan luas, merata, sanggup, mampu menerima berbagai macam persoalan serta tidak boleh pilih kasih dan membenci terhadap golongan apa pun. Di samping itu seorang pemimpin harus berbesar jiwa yaitu mau memaafkan kesalahan orang lain.
- Kedelapan, Sifat Bumi. Bumi mempunyai sifat teguh atau sentosa dan apa yang ditanam di bumi akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat untuk kehidupan. Kiranya seorang pemimpin harus dapat bersifat seperti bumi yaitu berteguh hati dan selalu mampu memberi anugrah terhadap siapa saja yang berjasa terhadap nusa dan bangsa.
Media Kontrol.
Dengan memahami dan mengaplikasikan ajaran Hasta Brata tersebut, paling tidak dapat sebagai media kontrol diri para pemimpin dalam menjalankan kinerjanya. Rasanya juga masih relevan beberapa ungkapan Jawa seperti sabda pandhita ratu dan berbudi bawalaksana untuk menjadi pegangan normatif bagi para pemimpin.
Seperti yang ditulis Thomas Wiyasa Bratawijaya dalam bukunya Mengungkap dan Mengenal Budaya Jawa (1997) menjelaskan sabda pandhita ratu mengandung makna apa yang telah diajarkan oleh para pandhita dan diucapkan oleh raja tidak boleh diubah kembali.
Makna semiotika tersebut memberi ajaran bahwa pemimpin harus konsisten, yaitu harus ikut mengimplementasikan apa yang telah diucapkan. Kata-kata dan perbuatan harus selaras, tidak perlu ragu-ragu dan tidak terpengaruh oleh perasaan saja. Karena bila seorang pemimpin sudah terpengaruh perasaan maka mudah lupa apa saja yang telah diucapkan.
Sedangkan berbudi bawa laksana mengandung implikasi seorang pemimpin harus memiliki kelebihan dalam tata nilai, moral, berbudi luhur, dan murah hati. Dalam tataran praksis sifat ini bisa diketahui pada pola tindak para pemimpin yang mempunyai empati atau kepedulian dan senang memberi bantuan pada anak buahnya yang mengalami kesulitan.
Dengan demikian dalam ajaran filosofis kebudayaan Jawa dapat dimaknai bahwa di dalamnya terkandung berbagai ajaran moral termasuk kepemimpinan yang dapat menjadi panutan para pemimpin dalam menjalankan amanahnya.