Ayahku Seorang Petani

23 February 2013 15:36:06 Dibaca : 1675

Mentari menyambut pagi dengan malu-malu

di iringi suara gaduh persiapan pagi hari

tak jauh berbeda dengan diriku. di hari libur ini, ku luangkan waktu sejenak untuk mengamati kesibukan pagi hari di desa kecil pesisir pantai yang tak di kenal.

aku memang terlahir di desa ini. jauh dari gemerlap kehidupan kota yang menurutku menyeramkan. ayahku seorang petani. setiap hari ia selalu berangkat seusai subuh menuju ladangnya di kaki gunung dengan menumpang mobil para nelayan yang hendak pergi ke kota menjual tangkapan mereka. ayah memang berbeda dengan kebanyakan kepala keluarga disini. ia tak mencari nafkah dengan melaut. entahlah. tampaknya sebuah kenangan buruk membuatnya trauma akan hal itu.

kembali ke kesibukan pagi.

di kejauhan tampak beberapa irang ibu berjalan dengan tas-tas belanjaan di tangan. beberapa dari mereka membawa anak-anak mereka ikut serta.

ya, itu memang rutinitas yang biasa. sesekali aku juga ada di antara mereka. ibuku wafat 12 tahun lalu saat aku berumur 6 tahun. tewas tenggelam dalam pelayaran menuju pulau seberang. sejak itu ayah memutuskan untuk bertani. tak pernah ku lihat ia mendekati pantai sekedar berjalan di atas air asinnya.

sejak aku tinggal berdua dengan ayah, semakin banyak yang aku tahu darinya. jika dulu ia hanya sesekali bercerita tentang hidup, kini ia bahkan selalu bercerita tentang ladangnya setiap hari saat kami makan malam bersama.

dulu, aku takut padanya. ayah yang begitu pendiam, membuatku berharap ayah jarang pulang.

namun, setelah kejadian 7 tahun lalu semua persepsiku tentang ayah berubah.

sore itu, sebuah gelombang pasang menghantam desaku. rumahku yang memang hanya 1 tingkat tak dapat terlihat lagi bagaimana bentuknya. aku? aku terbawa hanyut ke laut. mungkin saja tewas, seandainya saja ayah tidak langsung terjun ke dalam air dan menyelamatkanku. itulah kali pertama aku tahu ayah seorang perenang yang hebat.

jika dulu ayah hanya sesekali tersenyum padaku, kini setiap kali ia pulang sebuah senyum indah selalu terlukis di bibirnya. untukku. hanya untukku.

jika dulu aku selalu bersilangan pendapat tentang pekerjaannya karena itu sering menjadi bahan ejekan, kini aku malah sering ikut bersamaanya ke ladang.

tentunya setelah ia menjelaskan padaku apa yang membuat ladang lebih memiliki daya tarik di bandingkan laut.

“ayah takut kehilangan orang yang ayah cintai untuk kedua kalinya. sekarang ladang kita sudah maju. ayah sudah memiliki beberapa pegawai disana. sebuah rumah sebenarnya sudah di bangun untuk kita. namun, pesan terakhir ibumu membuat ayah menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal para pegawai saja. ibumu bilang, ‘jangan kau jauhkan anak kita dari desa ini. ia di lahirkan disini. laut adalah temannya sedari kecil. jangan, jangan kau pisahkan ia dengan laut.’ meski gelombang hampir membawamu pergi, ayah yakin, ibumu selalu menjagamu dari atas sana.”

dan mulai saat itu, aku selalu berkata dengan senang, AYAHKU SEORANG PETANI! DAN AKU BANGGA MENJADI ANAK SEORANG PETANI!

 

http://fiksi.kompasiana.com

Nadia Fauziah