AKU BUTUH SESEORANG
Di tingkahi hujan gerimis yang tak kunjung bosan menciumi rerumputan, hari demi hari kulalui dengan keadaan yang tak biasa, yang sesungguhnya membuatku tersiksa dan tak bahagia. Sudah sekian lama aku kesepian dengan seorang diri yang tak mempunyai seseorang dalam menjalani kehidupan, terkadang kita sering di temui oleh kesepian yang tak pantas berada dalam diri kita hanya karena terbayang wajah seseorang yang tak berada dalam hidup kita. Kehidupan seorang pria tidak akan indah tanpa seorang wanita, wawww,,,,!!!! Kata siapa? Ya, itulah perkataan seorang pria, termasuk diriku yang tengah dalam kesepian karena tidak mempunyai pasangan hidup. Memang, beberapa bulan sebelumnya aku tidak mempunyai seorang pacar karena dalam diriku muncul perasaan malas untuk hidup dengan seorang wanita dan kenapa saat ini diriku sadar akan semua itu, ingin rasanya aku mempunyai seorang pacar, tapi dimanakah dia berada? Apakah dia akan datang dengan sendirinya? Itu mungkin tidak akan terjadi tanpa usahaku sendiri, jika kita membutuhkan sesuatu harus berusaha untuk mendapatkannya, begitulah diriku yang nantinya akan berusaha untuk mendapatkan seorang wanita. Yang pastinya saat ini aku membutuhkan seseorang dalam mendampingi hidupku……
Ayahku Seorang Petani
Mentari menyambut pagi dengan malu-malu
di iringi suara gaduh persiapan pagi hari
tak jauh berbeda dengan diriku. di hari libur ini, ku luangkan waktu sejenak untuk mengamati kesibukan pagi hari di desa kecil pesisir pantai yang tak di kenal.
aku memang terlahir di desa ini. jauh dari gemerlap kehidupan kota yang menurutku menyeramkan. ayahku seorang petani. setiap hari ia selalu berangkat seusai subuh menuju ladangnya di kaki gunung dengan menumpang mobil para nelayan yang hendak pergi ke kota menjual tangkapan mereka. ayah memang berbeda dengan kebanyakan kepala keluarga disini. ia tak mencari nafkah dengan melaut. entahlah. tampaknya sebuah kenangan buruk membuatnya trauma akan hal itu.
kembali ke kesibukan pagi.
di kejauhan tampak beberapa irang ibu berjalan dengan tas-tas belanjaan di tangan. beberapa dari mereka membawa anak-anak mereka ikut serta.
ya, itu memang rutinitas yang biasa. sesekali aku juga ada di antara mereka. ibuku wafat 12 tahun lalu saat aku berumur 6 tahun. tewas tenggelam dalam pelayaran menuju pulau seberang. sejak itu ayah memutuskan untuk bertani. tak pernah ku lihat ia mendekati pantai sekedar berjalan di atas air asinnya.
sejak aku tinggal berdua dengan ayah, semakin banyak yang aku tahu darinya. jika dulu ia hanya sesekali bercerita tentang hidup, kini ia bahkan selalu bercerita tentang ladangnya setiap hari saat kami makan malam bersama.
dulu, aku takut padanya. ayah yang begitu pendiam, membuatku berharap ayah jarang pulang.
namun, setelah kejadian 7 tahun lalu semua persepsiku tentang ayah berubah.
sore itu, sebuah gelombang pasang menghantam desaku. rumahku yang memang hanya 1 tingkat tak dapat terlihat lagi bagaimana bentuknya. aku? aku terbawa hanyut ke laut. mungkin saja tewas, seandainya saja ayah tidak langsung terjun ke dalam air dan menyelamatkanku. itulah kali pertama aku tahu ayah seorang perenang yang hebat.
jika dulu ayah hanya sesekali tersenyum padaku, kini setiap kali ia pulang sebuah senyum indah selalu terlukis di bibirnya. untukku. hanya untukku.
jika dulu aku selalu bersilangan pendapat tentang pekerjaannya karena itu sering menjadi bahan ejekan, kini aku malah sering ikut bersamaanya ke ladang.
tentunya setelah ia menjelaskan padaku apa yang membuat ladang lebih memiliki daya tarik di bandingkan laut.
“ayah takut kehilangan orang yang ayah cintai untuk kedua kalinya. sekarang ladang kita sudah maju. ayah sudah memiliki beberapa pegawai disana. sebuah rumah sebenarnya sudah di bangun untuk kita. namun, pesan terakhir ibumu membuat ayah menjadikan rumah itu sebagai tempat tinggal para pegawai saja. ibumu bilang, ‘jangan kau jauhkan anak kita dari desa ini. ia di lahirkan disini. laut adalah temannya sedari kecil. jangan, jangan kau pisahkan ia dengan laut.’ meski gelombang hampir membawamu pergi, ayah yakin, ibumu selalu menjagamu dari atas sana.”
dan mulai saat itu, aku selalu berkata dengan senang, AYAHKU SEORANG PETANI! DAN AKU BANGGA MENJADI ANAK SEORANG PETANI!
http://fiksi.kompasiana.com
Nadia Fauziah
Salahkah bila ayahku seorang petani?
Kita tidak pernah tahu dan tidak bisa memilih orang tua kita sesuai keinginan. Dan kitapun tidak pernah bisa menentukan harus terlahir di tengah keluarga yang serba berkecukupan dengan seorang ayah dan ibu yang membanggakan. Kitapun tidak bisa memilih apakah akan terlahir sebagai anak konglomerat atau sebaliknya konglomelarat, anak pengusaha, pedagang, PNS, petani bahkan pengemis sekalipun. Kita tidak akan pernah bisa memilih…
Tapi, adilkah memandang dan menilai seseorang dari bagaimana latar belakang keluarganya? Berdasarkan pekerjaan orang tuanya? Bukan dari kualitas pribadi yang bersangkutan? Pengalaman pilu inilah dialami oleh seorang kawan, yang beberapa waktu lalu dipanggil untuk mengikuti interview di salah satu bank terkenal. Rupanya, kejadian ini, bukan untuk pertamakalinya menimpa kawan ini, sudah teramat sering dia diperlakukan begitu, dipandang sebelah mata atau mungkin ga pernah dilihat sama sekali…
Ceritanya begini, kawan ini berkesempatan mengikuti interview di salah satu bank terkemuka di Jakarta, tentu saja setelah melewati berbagai tes tertulis dan psikologi. Kebetulan interview dilaksanakan secara kelompok, dalam artian terdiri dari beberapa kandidat pegawai baru, dengan menerapkan sistem diskusi. Tampaknya, metode seperti ini bertujuan untuk membanding-bandingkan seluruh peserta, sehingga lebih mudah memberikan penilaian siapa yang layak dinobatkan sebagai pemenang dan berhak menduduki posisi sebagai staff baru. Sesuatu hal yang wajar juga kalo saat interview ditanyakan hal-hal khusus seperti latar belakang pendidikan, pengalaman kerja atau bahkan mungkin latar belakang keluarga.
Tapi apa yang menimpa teman ini, teramat menyedihkan dan keterlaluan menurutku, serta sulit untuk bisa diterima akal sehat, apalagi tindakan ini dilakukan oleh seseorang yang berprofesi sebagai psikolog dari perguruan tinggi terkemuka pula. Saat sang pewawancara melontarkan pertanyaan tentang pekerjaan sang ayah, semua kandidat pegawai rata-rata menjawab ayah mereka berprofesi lumayan bergengsi lah (entah benar entah tidak…only god knows right..?). Nah, pas giliran sang kawan ditanya tentang pekerjaan sang ayah, dia menjawab dengan sejujur-jujurnya kalo ayahnya seorang petani…memang kenyataannya begitu…Tapi, di luar dugaan, begitu mendengar jawaban kawan ini, wajah si pewawancara seketika langsung berubah dan menunjukkan ketidaksimpatiannya. Bahkan setiap giliran kawan ini mau menjawab pertanyaan berikutnya, selalu dilewati, si pewawancara langsung mengalihkan bertanya pada kandidat lainnya, selalu begitu sampai interview berakhir, tanpa memberi kesempatan sedikitpun pada sang kawan untuk menjawab semua pertanyaan. Bisa dibayangkan betapa sedih dan kecewanya kawan ini…dan merasa telah diperlakuan sangat ga fair, hanya karena dia putri seorang petani yang bukunya adalah sawah dan pulpennya adalah cangkul…serta gajinya adalah hasil jual gabah…
Mendengar kisah ini, sungguh aku merasa miris sekaligus geleng-geleng kepala…Picik sekali cara berfikir si pewawancaranya? Di mana diletakan hati nurani dan kepintarannya sebagai orang yang katanya memiliki intelektual tinggi? Kalo dipiki-pikir, yang akan bekerja di sana toh bukan sang ayah? Kenapa yang dinilai dan dilihat bukan kemampuan dan kualitas yang bersangkutan? Salahkah jika ayahnya seorang petani? Dosakah jika dia terlahir sebagai anak petani? Apakah pekerjaan sebagai petani sedemikian kalah terhormatnya dengan pekerjaan lain? Seorang konglomerat menghasilkan anak yang berpendidikan tinggi bukanlah sesuatu yang spesial, tapi seorang petani di desa terpencil bisa menghasilkan anak yang berkualitas baik itu baru luar biasa…bukankah begitu?
Kejadian serupa mungkin banyak menimpa putra dan putri petani atau profesi yang dalam tanda kutip ga prestisius (menurut pandangan picik sebagaian orang) di negeri ini…Langkah mereka harus terjegal hanya karena profesi sang ayah…seperti kisah kawan ini. Terutama untuk mendapatkan kesempatan kerja baik di perusahan swasta tak terkecuali negeri sekalipun. Seringkali terjadi ketidakadilan…penilaian yang ga berdasarkan pengalaman kerja atau kemampuan seseorang. Yang sering terjadi malah penilaian berdasarkan kecantikan, latar belakang keluarga, dia anak siapa, kekerabatan dkk. Buat apa kaya jika ga mampu bekerja dengan baik? Buat apa cantik, jika stupid?
Tuhan saja ga pernah membeda-bedakan umatnya, kenapa justru kita yang belum tentu lebih baik dari yang “dihina” sanggup melakukannya? Apa kita lupa menempatkan hati?
http://uniunian.wordpress.com
Pesan Hujan Kerinduan
Alunan syair dari irama yang syahdu
Menemani kesendirian dalam ruang
Teringat dirimu yang begitu giat bekerja
Dari pagi hingga malam, membanting tulang
Aku bukanlah seorang penyair yang puitis
Kata ini mengalir bersama nyanyian hujan
Hujan
Aku tak bisa berpanjang-panjang
Sampaikan padanya yang berada di pulau seberang
Sang nahkoda telah melabuhkan kapalnya
Menghantarkanku ke perantauan
Masa pertemuan yang mungkin akan panjang
Jangan sampai membuatnya ragu pada ruang dan waktu
Dengan izin-Nya
Kita pasti akan bertemu
http://fiksi.kompasiana.com
Wardatun Nabilah
Secarik Kertas, Hujan, dan Rindu
Secarik kertas terbang bersama angin
Melayang-layang di udara, dalam mendung yang pekat
Sejenak sang kertas terpaku
Mendengar langit bergemuruh dengan gagahnya
memandang indah nya sang kilat yang menghasilkan cahaya dalam kegelapan
Secarik kertas terbang bersama angin
sampai akhirnya jatuh di tengah telaga
Ketika rinai hujan turun, secarik kertas pun sadar
ternyata dia terperangkap di dalam keindahan sajian fatamorgana hujan
Semakin deras, secarik kertas semakin gundah
Secarik kertas hanya bisa terdiam pasrah, ketika sang hujan menyapa nya dengan lebat,
air telaga pun seperti tak ingin melepas nya dalam peluk kerinduan
Tubuhnya semakin lemah, dan air telaga meresap di pori-porinya semakin banyak
Akankah aku tenggelam dalam peluk rindu sang telaga?
Akankah hidupku berakhir disini, tenggelam bersama rinai hujan?
Secarik kertas hanya bisa berbisik lirih.
http://cerita18hujan.blogspot.com