Salahkah bila ayahku seorang petani?
Kita tidak pernah tahu dan tidak bisa memilih orang tua kita sesuai keinginan. Dan kitapun tidak pernah bisa menentukan harus terlahir di tengah keluarga yang serba berkecukupan dengan seorang ayah dan ibu yang membanggakan. Kitapun tidak bisa memilih apakah akan terlahir sebagai anak konglomerat atau sebaliknya konglomelarat, anak pengusaha, pedagang, PNS, petani bahkan pengemis sekalipun. Kita tidak akan pernah bisa memilih…
Tapi, adilkah memandang dan menilai seseorang dari bagaimana latar belakang keluarganya? Berdasarkan pekerjaan orang tuanya? Bukan dari kualitas pribadi yang bersangkutan? Pengalaman pilu inilah dialami oleh seorang kawan, yang beberapa waktu lalu dipanggil untuk mengikuti interview di salah satu bank terkenal. Rupanya, kejadian ini, bukan untuk pertamakalinya menimpa kawan ini, sudah teramat sering dia diperlakukan begitu, dipandang sebelah mata atau mungkin ga pernah dilihat sama sekali…
Ceritanya begini, kawan ini berkesempatan mengikuti interview di salah satu bank terkemuka di Jakarta, tentu saja setelah melewati berbagai tes tertulis dan psikologi. Kebetulan interview dilaksanakan secara kelompok, dalam artian terdiri dari beberapa kandidat pegawai baru, dengan menerapkan sistem diskusi. Tampaknya, metode seperti ini bertujuan untuk membanding-bandingkan seluruh peserta, sehingga lebih mudah memberikan penilaian siapa yang layak dinobatkan sebagai pemenang dan berhak menduduki posisi sebagai staff baru. Sesuatu hal yang wajar juga kalo saat interview ditanyakan hal-hal khusus seperti latar belakang pendidikan, pengalaman kerja atau bahkan mungkin latar belakang keluarga.
Tapi apa yang menimpa teman ini, teramat menyedihkan dan keterlaluan menurutku, serta sulit untuk bisa diterima akal sehat, apalagi tindakan ini dilakukan oleh seseorang yang berprofesi sebagai psikolog dari perguruan tinggi terkemuka pula. Saat sang pewawancara melontarkan pertanyaan tentang pekerjaan sang ayah, semua kandidat pegawai rata-rata menjawab ayah mereka berprofesi lumayan bergengsi lah (entah benar entah tidak…only god knows right..?). Nah, pas giliran sang kawan ditanya tentang pekerjaan sang ayah, dia menjawab dengan sejujur-jujurnya kalo ayahnya seorang petani…memang kenyataannya begitu…Tapi, di luar dugaan, begitu mendengar jawaban kawan ini, wajah si pewawancara seketika langsung berubah dan menunjukkan ketidaksimpatiannya. Bahkan setiap giliran kawan ini mau menjawab pertanyaan berikutnya, selalu dilewati, si pewawancara langsung mengalihkan bertanya pada kandidat lainnya, selalu begitu sampai interview berakhir, tanpa memberi kesempatan sedikitpun pada sang kawan untuk menjawab semua pertanyaan. Bisa dibayangkan betapa sedih dan kecewanya kawan ini…dan merasa telah diperlakuan sangat ga fair, hanya karena dia putri seorang petani yang bukunya adalah sawah dan pulpennya adalah cangkul…serta gajinya adalah hasil jual gabah…
Mendengar kisah ini, sungguh aku merasa miris sekaligus geleng-geleng kepala…Picik sekali cara berfikir si pewawancaranya? Di mana diletakan hati nurani dan kepintarannya sebagai orang yang katanya memiliki intelektual tinggi? Kalo dipiki-pikir, yang akan bekerja di sana toh bukan sang ayah? Kenapa yang dinilai dan dilihat bukan kemampuan dan kualitas yang bersangkutan? Salahkah jika ayahnya seorang petani? Dosakah jika dia terlahir sebagai anak petani? Apakah pekerjaan sebagai petani sedemikian kalah terhormatnya dengan pekerjaan lain? Seorang konglomerat menghasilkan anak yang berpendidikan tinggi bukanlah sesuatu yang spesial, tapi seorang petani di desa terpencil bisa menghasilkan anak yang berkualitas baik itu baru luar biasa…bukankah begitu?
Kejadian serupa mungkin banyak menimpa putra dan putri petani atau profesi yang dalam tanda kutip ga prestisius (menurut pandangan picik sebagaian orang) di negeri ini…Langkah mereka harus terjegal hanya karena profesi sang ayah…seperti kisah kawan ini. Terutama untuk mendapatkan kesempatan kerja baik di perusahan swasta tak terkecuali negeri sekalipun. Seringkali terjadi ketidakadilan…penilaian yang ga berdasarkan pengalaman kerja atau kemampuan seseorang. Yang sering terjadi malah penilaian berdasarkan kecantikan, latar belakang keluarga, dia anak siapa, kekerabatan dkk. Buat apa kaya jika ga mampu bekerja dengan baik? Buat apa cantik, jika stupid?
Tuhan saja ga pernah membeda-bedakan umatnya, kenapa justru kita yang belum tentu lebih baik dari yang “dihina” sanggup melakukannya? Apa kita lupa menempatkan hati?
http://uniunian.wordpress.com