Mahasiswa dan Tanggungjawab Sosial
Di era globalisasi saat sekarang ini dimana persaingan semakin ketat, banyak orang menghalalkan segala cara untuk memperoleh kesuksesan. Tidak sedikit yang menyatakan “mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal”. Permasalahan ini hampir menyangkut semua lini kehidupan mulai dari tingkat bawah sampai atas. Mahasiswa sebagai pribadi terdidik memiliki tanggungjawab untuk ikut serta dalam menghadapi permasalahan sosial yang melanda negeri ini.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2007 jumlah penduduk miskin mencapai 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen, pada tahun 2008 mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen. Meskipun jumlahnya menurun namun angka itu tetap terhitung jumlah yang cukup tinggi. (Koran Tempo, 4 Maret 2009)
Tahun 2000 jumlah pengangguran lulusan universitas mencapai 277.000 orang, pada tahun 2001 meningkat menjadi 289.000, pada tahun 2005 mencapai 358.000. Sedangkan untuk tingkat SLTA menurut BPS pada bulan Agustus 2008 tercatat sebanyak 9,39 juta orang (8,39%) dari total angkatan kerja sekitar 111,4 juta orang. (Kompas, 22 September 2006)
Kondisi sosial-ekonomi yang sulit seperti ini tidak menutup kemungkinan akan membangun paradigma “mencari yang halal susah”, jika keadaan terus berlanjut maka akan membangun paradigma “mencari yang haram saja susah, apalagi mencari yang halal”. Paradigma yang terakhir ini sudah menjadi slogan sebagian orang, jangan sampai akan menjadi paradigma baru lagi yaitu “Halal atau haram yang penting bisa bertahan hidup”
Iman Sebagai Pondasi Menghadapi Masalah Sosial
Merujuk dari asal kata iman yang biasa diartikan dengan percaya, iman berasal dari akar kata yang sama dengan “aman” dan “amanat”. Karenanya iman harus membawa rasa aman dan menjadikan seseorang mempunyai dan menjalankan amanat. Agar iman yang dimiliki seseorang dapat menumbuhkan adanya perasaan aman serta semakin menjadikannya mempunyai amanat, sesungguhnya tidak cukup, bahkan tidak bisa hanya bermodal percaya semata. (Nasihun Amin, 2009 : 85).
Imam Ahmad, Malik, dan Syafi’i berpendapat arti iman adalah: “Iman adalah sesuatu yang diyakini dalam hati, diucapkan dengan lisan, dan diamalkan dengan anggota tubuh”
Jika melihat definisi iman di atas maka syetan tidak dapat dimasukkan kedalam kategori beriman. Karena syetan percaya kepada Allah hanya sebatas meyakini dengan hatinya, dan mengucapkan dengan lisannya tanpa menerapkannya ke dalam perilakunya sehari-hari.
Konsekuensi dari iman yang harus menciptakan seorang yang amanat dan menciptakan rasa aman sesungguhnya sudah merupakan tugas manusia terutama bagi para mahasiswa yang bergelut dalam bidang keilmuan dan sebagai makhluk yang telah diberikan bekal berupa akal oleh Allah SWT. Ketika amanat telah diberikan, maka selanjutnya sudah merupakan kewajiban manusia untuk melaksanakan amanat. Dalam menjalankan amanat, sisi hukum ikut berperan serta demi terlaksananya amanat. Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisa : 58)
Kesempurnaan penciptaan manusia dengan diberikan akal oleh pencipta untuk mengelola dan memakmurkan alam semesta, masih memerlukan hukum sebagai pembatas bagi manusia agar tidak melampaui batas. Hal ini karena manusia juga memiliki kecenderungan untuk berbuat kerusakan di maka bumi atau dengan kata lain manusia memiliki kecenderungan untuk tidak melaksanakan amanat yang telah diberikan. Kecenderungan ini tidak lepas dari unsur jasmaniyah manusia yang terbuat dari tanah yang lebih condong kearah nafsu dari pada unsur ruh manusia yang lebih condong kepada urusan ilahiyah.
Implementasi Iman dalam Masalah Sosial
Iman bukan saja yakin dalam hati dan mengucapkan dengan lisan terhadap apa yang disampai oleh Rasulullah tapi juga melaksanakan melalui perbuatan dengan melaksanakan segala amanat sehingga dapat menciptakan rasa aman bukan saja bagi dirinya sendiri tetapi juga bagi lingkungan sekitarnya. Implementasi iman yang demikian akan memecahkan segala masalah sosial yang ada.
Kebodohan yang melanda akan dapat diatasi jika benar-benar iman kepada ayat yang berbunyi “Iqro !” (bacalah !) baik membaca dalam artian luas maupun sempit. Pengangguran dapat berkurang drastis dengan mengamalkan ayat “Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi , dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah sebanyak-banyaknya supaya kamu beruntung.” (QS. Aljumuah : 10). Kemiskinan dapat ditekan dengan iman kepada hadits “Carilah duniamu seakan-akan kamu akan hidup selamanya dan carilah akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok”
Mahasiswa Sebagai Ujung Tombak Kemajuan
Mahasiswa yang umumnya adalah anak muda dan tentunya juga berjiwa muda haruslah memiliki semangat maju yang pantang menyerah. Gemblengan universitas haruslah menjadikan mahasiswa insan yang tahan banting dan dapat mengatur arus zaman menuju ke arah yang lebih baik dan lebih maju, bukan menjadi insan yang lembek yang selalu terbawa arus sehingga tidak dapat menentukan arah sendiri melainkan selalu mengekor kepada orang lain.
Masih segar diingatan kita bagaimana kekuatan orde baru dapat dihancurkan oleh kekuatan mahasiswa yang peduli dengan kondisi sosial negaranya. Ini menandakan peran serta mahasiswa sangat luar biasa urgent. Sebegitu urgentnya peran mahasiswa dalam mengukir sejarah negeri ini jangan sampai menjadi kurang indah bagi mahasiswa itu sendiri dengan turut menyumbang angka pengangguran terdidik setelah ia lulus kuliah.
Untuk bertanggungjawab terhadap masalah sosial sekitarnya, seseorang terutama seorang mahasiswa harus dapat bertanggungjawab terhadap dirinya sendiri. Itu semua dapat terlaksana manakala yang bersangkutan memiliki iman yang mantap sehingga dapat mengimplementasikan nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam itu sendiri. Tidak hanya sekedar keyakinan dalam hati dan ucapan dengan lisan tetapi juga dibuktikan melalui tindakan nyata.
Setelah Globalisasi mendatangkan masalah yang tidak sedikit untuk dihadapi. Persaingan ketat yang dilakukan kebanyakan hanya untuk menguntungkan diri pribadi. Perjuangan yang telah dilakukan oleh para nabi seharusnya menunjukkan kepada umatnya bahwa kesuksesan yang sesungguhnya bukanlah apa yang diperoleh oleh diri pribadi saja melainkan juga lingkungannya.
Semua manusia saling terhubung satu dengan lainnya, sehingga untuk menjadi pribadi yang benar-benar bertanggungjawab, manusia harus saling mengingatkan satu sama lain dengan nasihat menasihati dalam kebenaran dan nasihat menasihati dalam kesabaran, seperti yang tercantum dalam surat Al-‘Ashr dan akhirnya melaksanakan perintah kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Adalah tugas utama mahasiswa untuk kembali mengokohkan iman dan mengimplementasikan iman dalam kehidupan.
http://stikap.com