Pertanian Organik Sebagai Pertanian yang Berkelanjutan*)

23 February 2013 11:15:06 Dibaca : 1341 Kategori : AGRICULTURE

Mengamati perkembangan pangan dan komoditas pertanian akhir-akhir ini, khususnya perkembangan dalam harganya yang dicirikan oleh tren yang meningkat, yang merupakan kebalikan tren harga-harga komoditas pangan dan pertanian selama kurang-lebih setengah abad terakhir abad ke-20, sangatlah menarik. Apalagi kalau kita mengingat bahwa sebagian besar rumah tangga di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, lebih dari setengah pengeluaran pangannya dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, tidak seperti pangsa pengeluaran pangan rumah tangga di negara maju, yang proporsinya kurang dari 10 persen. Karena itu, bukan hanya kita harus meningkatkan pendapatan rumah tangga secara keseluruhan, tetapi yang lebih penting dan mendesak lagi adalah mencari jalan atau cara untuk bisa menekan biaya produksi pertanian tanpa mengorbankan produktivitasnya.

Kultur yang berkembang pada saat ini adalah kultur pertanian yang relatif mahal mengingat ketergantungannya pada input pertanian yang berkorelasi kuat dengan harga energi, khususnya minyak bumi, yang cenderung terus meningkat. Selain itu, ketergantungan pada pupuk yang disuplai secara eksternal dari luar sistem pertanian menghasilkan model pertanian yang tidak berkembang secara organik, yaitu membesar dan berkembang sebagai hasil kerja yang berproses di dalam tubuh pertanian, melainkan yang bergantung pada faktor eksternal. Lebih jauh lagi, pertanian Indonesia selama ini menggantungkan 100 persen kebutuhan unsur fosfat (P) dan potasium (K) melalui impor. Data menunjukkan bahwa nilai impor pupuk Indonesia meningkat dari US$ 564,3 juta pada 2006 menjadi US$ 1,4 miliar pada 2010 (BPS, 2011). Nilai impor tersebut jauh lebih besar daripada nilai ekspor pupuk Indonesia. BPS mencatat, misalnya, pada periode Januari hingga September 2011, nilai ekspor pupuk hanya mencapai US$ 351.48 juta.

Selain mahal, pertanian yang berbasis pada faktor eksternal di atas memberi banyak dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup, khususnya terhadap biodiversitas, polusi air, dan kontaminasi rantai ekosistem. Fenomena ini menggambarkan secara implisit bahwa pertanian Indonesia tidaklah memenuhi kriteria keberlanjutan, baik secara teknologi, ekonomi, maupun ekologi.

Pertanian organik dalam tulisan ini diartikan sebagai pertanian yang pertumbuhan dan perkembangannya lebih mengandalkan pada daya atau sifat intrinsik ekosistem alam yang berinteraksi dengan sistem sosial dan ekonomi sebagai faktor lingkungan yang diinternalisasi dalam proses ko-evolusi dari sistem pertanian tersebut. Kata organik analog dengan kata DNA atau gen yang mengatur pola hidup dan perkembangan suatu makhluk hidup dari dalam tubuh itu sendiri. Pertanian adalah sebagai makhluk atau sosok kehidupan itu sendiri. Tentu saja faktor lingkungan turut menentukan sifat dan sifat serta jenis, jumlah atau variasi hasil, serta hal lainnya yang menyatu dengan sistem pertanian organik tersebut secara keseluruhan.

Khudori (Koran Tempo, 30 Juli 2012), menggunakan data Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, menyebutkan bahwa sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta hektare) memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2 persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen), dan 4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3 persen). Tanah dengan kandungan C-organik < 2 persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C-organik > 3 persen, kondisi itu sudah sangat kritis. Kondisi ini hanyalah satu ilustrasi bahwa sistem pertanian yang diterapkan selama ini menghasilkan output yang membahayakan keberlanjutan pertanian Indonesia, yang gejala kegagalannya sudah tampak sejak lama.

Kondisi yang disebutkan terakhir telah mendorong lahirnya kebijakan go organic. Sayang sekali, dalam pelaksanaannya, kebijakan ini banyak menghadapi permasalahan atau kendala. Saya berpendapat bahwa permasalahan utama dari program go organic ini bersumber dari kurang tepatnya pemahaman dan rancang bangun dari kebijakan yang diciptakan, yang akhirnya berdampak negatif terhadap implementasinya.

Pemahaman yang perlu dibangun sejak awal adalah bahwa pertanian organik adalah pertanian modern. Artinya, pertanian organik tidak sama dengan pertanian yang didasarkan semata-mata pada penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang, walaupun pupuk organik tersebut telah distandardisasi. Pertanian organik dilandasi oleh konsep reaksi kehidupan antara mikro organisme sebagai unsur organik dan lingkungannya, seperti tanah dan faktor cuaca dalam kaitannya dengan produksi tanaman, ikan, atau ternak pada suatu wilayah yang telah dirancang sebelumnya sebagai kawasan pertanian organik. Output dari sistem pertanian organik adalah hasil pertanian, baik berupa pangan, hortikultura, perikanan, maupun peternakan yang sebagian besar input-nya adalah unsur kehidupan (mikroorganisme) yang dibawa oleh beragam bahan organik yang telah diolah berdasarkan teknologi mutakhir yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Produk lainnya adalah energi yang dihasilkan dari pemanfaatan biomassa yang dikonversi menjadi biogas atau bentuk energi lainnya. Dengan skala sistem pertanian organik yang besar, misalnya 10 ribu hektare, produk energi ini akan mencapai skala bilangan megawatt. Keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan sosial yang berkembang pada suatu wilayah juga menjadi produk inherent dari sistem ini.

Konsep keterpaduan komoditas, wilayah, teknologi, dan sosial-ekonomi pada suatu wilayah dengan skala ekonomi yang memadai (misal, 10 ribu ha) yang diintegrasikan oleh suatu badan usaha, misalnya yang saya namakan Badan Usaha Milik Petani (BUMP), merupakan institusi operasionalisasi pertanian organik sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pertanian organik sebagaimana diuraikan adalah landasan bagi terwujudnya pertanian yang berkelanjutan.