Sejarah Farmasi

03 February 2013 23:18:46 Dibaca : 1686 Kategori : Pharmacy

Assalamu'alaikum..


malam readers!! apa kabar hari ini? kekeke :D well hari ini saya mau membahas mengenai sejarah Farmasi didunia.. selamat membaca :)
 

Sejak masa Hipocrates (460-370 SM) yang dikenal sebagai “Bapak Ilmu Kedokteran”, belum dikenal adanya profesi Farmasi. Seorang dokter yang mendignosis penyakit, juga sekaligus merupakan seorang “Apoteker” yang menyiapkan obat. Semakin lama masalah penyediaan obat semakin rumit, baik formula maupun pembuatannya, sehingga dibutuhkan adanya suatu keahlian tersendiri. Pada tahun 1240 M, Raja Jerman Frederick II memerintahkan pemisahan secara resmi antara Farmasi dan Kedokteran dalam dekritnya yang terkenal “Two Silices”. Dari sejarah ini, satu hal yang perlu direnungkan adalah bahwa akar ilmu farmasi dan ilmu kedokteran adalah sama.
Dampak revolusi industri merambah dunia farmasi dengan timbulnya industri-industri obat, sehingga terpisahlah kegiatan farmasi di bidang industri obat dan di bidang “penyedia/peracik” obat (=apotek). Dalam hal ini keahlian kefarmasian jauh lebih dibutuhkan di sebuah industri farmasi dari pada apotek. Dapat dikatakan bahwa farmasi identik dengan teknologi pembuatan obat.

Pendidikan farmasi berkembang seiring dengan pola perkembangan teknologi agar mampu menghasilkan produk obat yang memenuhi persyaratan dan sesuai dengan kebutuhan. Kurikulum pendidikan bidang farmasi disusun lebih ke arah teknologi pembuatan obat untuk menunjang keberhasilan para anak didiknya dalam melaksanakan tugas profesinya. Ilmu farmasi awalnya berkembang dari para tabib dan pengobatan tradisional yang berkembang di Yunani, Timur-Tengah, Asia kecil, Cina, dan Wilayah Asia lainnya. Mulanya “ilmu pengobatan” dimiliki oleh orang tertentu secara turun-temurun dari keluarganya. Bila kamu sering nonton film Cina, pasti banyak kalian lihat para tabib yang mendapatkan ilmunya dari keluarga secara turun-temurun. Itu gambaran “ilmu farmasi” kuno di Cina. Kalau di Yunani, yang biasanya dianggap sebagai tabib adalah pendeta. Dalam legenda kuno Yunani, Asclepius, Dewa Pengobatan menugaskan Hygieia untuk meracik campuran obat yang ia buat. Nah, oleh masyarakat Yunani dia disebut sebgai apoteker (Inggris : apothecary). Sedangkan di Mesir, paktek farmasi dibagi dalam dua pekerjaan, yaitu : Yang mengunjungi orang sakit dan yang bekerja di kuil menyiapkan racikan obat. Buku tentang bahan obat2an pertama kali ditulis di Cina sekitar 2735 SM, kemudian sekitar tahun 400 SM berdirilah sekolah kedokteran di Yunani. Salah seorang muridnya adalah Hipocrates yang menempatkan profesi tabib pada tataran etik yang tinggi. Ilmu farmasi secara perlahan berkembang. Di dunia Arab pada abad VIII, ilmu farmasi yang dikembangkan oleh para ilmuawan Arab menyebar luas sampai ke Eropa. Pada masa ini sudah mulai dibedakan peran antara seorang herbalist dengan kedokteran terjadi pada tahun 1240 ketika Kaisar Frederick II dari Roma melakukan pemisahan tersebut. Maklumat yang dikeluarkan tentang pemisahan tersebut menyebutkan bahwa masing2 ahli ilmu mempunyai keinsyafan, standar etik, pengetahuan, dan keterampilan sendiri-sendiri yang berbeda dengan ilmu lainnya. Dengan keluarnya maklumat kaisar ini, maka mulailah sejarah baru perkembangan ilmu farmasi sebagai ilmu yang berdiri sendiri.

Perkembangan ilmu farmasi kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia. Mulai Inggris, Amerika Serikat, dan Eropa Barat. Sekolah Tinggi Farmasi yang pertama didirikan di Philadelphia, Amerika Serikat pada tahun 1821 (sekarang sekolah tersebut bernama Philadelphia College of Pharmacy and Science). Setelah itu, mulailah era baru ilmu farmasi dengan bermunculannya sekolah-sekolah tinggi dan fakultas2 di universitas.

Peran organisasi keprofesian atau keilmuwan juga ditentukan perkembangan ilmu farmasi. Sekarang ini banyak sekali organisasi ahli farmasi baik lingkup nasional maupun internasional. Di Inggris, organisasi profesi pertama kali didirikan pada tahun 1841 dengan nama “The Pharmaceutical Society of Great Britain”. Sedangkan, di Amerika Serikat menyusul 11 tahun kemudian dengan nama “American Pharmaceutical Association”. Organisasi internasionalnya akhirnya didirikan pada tahun 1910 dengan nama “Federation International Pharmaceutical”.

Sejarah industri farmasi modern dimulai 1897 ketika Felix Hoffman menemukan cara menambahkan dua atom ekstra karbon dan lima atom ekstra karbon dan lima atom ekstra hidrogen ke adlam sari pati kulit kayu willow. Hasil penemuannya ini dikenal dengan nama Aspirin, yang akhirnya menyebabkan lahirnya perusahaan industri farmasi modern di dunia, yaitu Bayer. Selanjutnya, perkembangan (R & D) pasca Perang Dunia I. Kemudian, pada Perang Dunia II para pakar berusaha menemukan obat-obatan secara massal, seperti obat TBC, hormaon steroid, dan kontrasepsi serta antipsikotika.

Sejak saat itulah, dunia farmasi (industri & pendidikannya) terus berkembang dengan didukung oleh berbagai penemuan di bidang lain, misalnya penggunaan bioteknologi. Sekolah-sekolah farmasi saat ini hampir dijumpai di seluruh dunia. Kiblat perkembangan ilmu, kalau bolehh kita sebut, memang Amerika Serikat dan Jerman (karena di sanalah industri obat pertama berdiri).

Dilihat dari sisi pendidikan Farmasi, di Indonesia mayoritas farmasi belum merupakan bidang tersendiri melainkan termasuk dalam bidang MIPA (Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam) yang merupakan kelompok ilmu murni (basic science) sehingga lulusan S1-nya pun bukan disebut Sarjana Farmasi melainkan Sarjana Sain.
Buku Pharmaceutical handbook menyatakan bahwa farmasi merupakan bidang yang menyangkut semua aspek obat, meliputi : isolasi/sintesis, pembuatan, pengendalian, distribusi dan penggunaan.

Silverman dan Lee (1974) dalam bukunya, “Pills, Profits and Politics”, menyatakan bahwa:
1. Pharmatcis lah yang memegang peranan penting dalam membantu dokter menuliskan resep rasional. Membanu melihat bahwa obat yang tepat, pada waktu yang tepat, dalam jumlah yang benar, membuat pasien tahu mengenai “bagaimana,kapan,mengapa” penggunaan obat baik dengan atau tanpa resep dokter.
2. Pharmacist lah yang sangat handal dan terlatih serta pakart dalam hal produk/produksi obat yang memiliki kesempatan yang paling besar untuk mengikuti perkembangan terakhir dalam bidang obat, yang dapat melayani baik dokter maupun pasien, sebagai “penasehat” yang berpengalaman.
3. Pharmacist lah yang meupakan posisi kunci dalam mencegah penggunaan obat yang salah, penyalahgunaan obat dan penulisan resep yang irrasional.

Sedangkan Herfindal dalam bukunya “Clinical Pharmacy and Therapeutics” (1992) menyatakan bahwa Pharmacist harus memberikan “Therapeutic Judgement” dari pada hanya sebagai sumber informasi obat.

Melihat hal-hal di atas, maka nampak adanya suatu kesimpangsiuran tentang posisi farmasi. Dimana sebenarnya letak farmasi ? di jajaran teknologi, Ilmu murni, Ilmu kedokteran atau berdiri sendiri ? kebingungan dalam hal posisi farmasi akan membingungkan para penyelenggara pendidikan farmasi, kurikulum semacam apa yang harus disajikan ; para mahasiswa bingung menyerap materi yang semakin hari semakin “segunung” ; dan yang terbingung adalah lulusannya (yang masih “baru”), yang merasa tidak “menguasai “ apapun.

Di Inggris, sejak tahun 1962, dimulai suatu era baru dalam pendidikan farmasi, karena pendidikan farmasi yang semula menjadi bagian dari MIPA, berubah menjadi suatu bidang yang berdiri sendiri secara utuh.rofesi farmasi berkembang ke arah “patient oriented”, memuculkan berkembangnya Ward Pharmacy (farmasi bangsal) atau Clinical Pharmacy (Farmasi klinik).

Di USA telah disadari sejak tahun 1963 bahwa masyarakat dan profesional lain memerlukan informasi obat tang seharusnya datang dari para apoteker. Temuan tahun 1975 mengungkapkan pernyataan para dokter bahwa apoteker merupakan informasi obat yang “parah”, tidak mampu memenuhi kebutuhan para dokter akan informasi obat Apoteker yang berkualits dinilai amat jarang/langka, bahkan dikatakan bahwa dibandingkan dengan apotekeer, medical representatif dari industri farmasi justru lebih merupakan sumber informasi obat bagi para dokter.

Perkembangan terakhir adalah timbulnya konsep “Pharmaceutical Care” yang membawa para praktisi maupun para “profesor” ke arah “wilayah” pasien.
Secara global terlihat perubahan arus positif farmasi menuju ke arah akarnya semula yaitu sebagai mitra dokter dalam pelayanan pada pasien. Apoteker diharapkan setidak-tidaknya mampu menjadi sumber informasi obat baik bagi masyarakat maupun profesi kesehatan lain baik di rumah sakit, di apotek atau dimanapun apoteker berada.

Kategori

Blogroll

  • Masih Kosong