Program Pendidikan Jasmani Bagi Siswa Berkebutuhan Khusus
Program pembelajaran bagi siswa berkebutuhan khusus tidaklah sama dengan siswa lainnya, karena setiap siswa memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda. Sehingga dibutuhkan program pembelajaran yang lebih khusus disesuaikan dengan kebutuhan siswa tersebut. Walaupun saat pelaksanaan pembelajaran bersama-sama dengan siswa lain, tetapi program yang harus diterapkan berbeda dengan program pembelajaran bagi siswa lainnya. Untuk memperoleh hasil pembelajaran yang maksimal maka diperlukan pengembangan maupun modifikasi pembelajaran dalam upaya memenuhi kebutuhan-kebutuhan setiap siswa.
Tarigan (2000) mengungkapkan bahwa ada beberapa tehnik modifikasi yang dapat dilakukan pada saat pembelajaran jasmani bagi siswa berkebutuhan khusus. diantaranya: modifikasi pembelajaran, dan ‘modifikasi lingkungan belajar’.
A. Modifikasi Proses Pembelajaran
Tarigan (2000) mengungkapkan bahwa “untuk memenuhi kebutuhan para siswa berkebutuhan khusus dalam pembelajaran pendidikan jasmani maka para guru sebaiknya melakukan modifikasi atau penyesuaian-penyesuaian dalam pelaksanaan pembelajaran yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan siswa”.
Jenis modifikasi dalam pembelajaran ini berveriasi dan bermacam-macam disesuaikan dengan kebutuhan dan keterbatasan siswa berkebutuhan khusus, tetapi tetap memiliki tujuan untuk memaksimalkan proses pembelajaran. Ada beberapa hal menurut Tarigan (2000;50) yang dapat dimodifikasi untuk meningkatkan pembelajaran diantaranya:
1) Penggunaan Bahasa
Bahasa merupakan dasar dalam melakukan komunikasi. Sebelum pembelajaran dimulai, para siswa harus faham tentang apa yang harus dialakukan. Pemahaman berlangsung melalui jalinan komunikasi yang baik antara guru dengan siswa. Oleh karena itu, mutu komunikasai antara guru dan siswa perlu ditingkatkan melalui modifikasi bahasa yang dipergunakan dalam pembelajaran.
Sasaran dari modifikasi bahasa bukan hanya ditujukan bagi siswa yang mengalami hambatan berbahasa saja, tetapi bagi anak yang mengalami hambatan dalam memproses informasi, gangguan perilaku, mental, dan jenis hambatan-hambatan lainnya.
Contohnya pada siswa Autis, dia tidak bisa menerima dan merespon instruksi yang di berikan apabila instruksi yang diberikan terlalu panjang. Oleh karena itu instuksi yang diberikan kepada siswa autis harus singkat tetapi jelas, seperti yang diungkapkan oleh Auxter (2001:504) Begitupula dengan siswa yang memiliki hambatan mental dengan tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, mereka tidak dapat memproses sebuah instruksi yang terlalu panjang sehingga instruksi yang diberikan kepada mereka haruslah singkat dan jelas.
Berbeda dengan contoh di atas penggunaan bahasa bagi siswa tunanetra dan siswa yang berkesulitan belajar harus lengkap dan jelas, karena siswa tunanetra memiliki keterbatasan dalam menggambarkan lingkungan yang ada disekitarnya sehingga mereka membutuhkan penjelasan yang jelas dan lengkap.
Sementara bagi beberapa siswa berkesulitan belajar, ada diantara mereka yang memiliki hambatan saat menerima instruksi yang diberikan, contohnya siswa berkesulitan belajar yang memiliki gangguan perkembangan motorik saat dia diberikan instruksi untuk menggerakan tangan kanan tetapi tanpa disadari dan disengaja tangan kiri yang dia gerakan. Seperti yang diungkapkan oleh Learner dalam Abdurrahman (2003:146) bahwa “siswa berkesulitan belajar memiliki gangguan perkembangan motorik antara lain kekurangan pemahaman dalam hubungan keruangan dan arah, dan bingung lateralitas (confused laterality)”. oleh karena itu dia memerlukan instruksi yang jelas bahkan kalau bisa guru juga ikut memperagakan gerakan yang diinstruksikan agar siswa tidak mengalami kesalahan dalam melakukan gerakan dan instruksi yang diberikan harus berurutan dari tahapan awal sampai akhir karena apabila ada gerakan yang runtutannya hilang kemungkinan besar dia akan bingung saat melakukan gerakan selanjutnya.
Sedangkan bagi siswa yang memiliki hambatan pendengaran guru harus menggunakan dua metode komunikasi yakni komunikasi verbal dan Isyarat yang sering disebut dengan komunikasi total. Komunikasi total ini dapat lebih memahami instruksi yang diberikan oleh guru, pada saat siswa tidak memahami bahasa isyarat dia bisa membaca gerak bibir dan juga sebaliknya.
2) Membuat Urutan Tugas
Dalam melakukan tugas gerak yang diberikan oleh guru terkadang siswa melakukan kesalahan dalam melakukannya, hal ini diasumsikan bahwa para siswa memiliki kemampuan memahami dan membuat urutan gerakan-gerakan secara baik, yang merupakan prasyarat dalam melaksanakan tugas gerak.
Seorang guru menyuruh siswa “berjalan ke pintu” yang sedang dalam keadaan duduk. Untuk melaksanakan tugas gerak yang diperintahkan oleh guru tersebut, diperlukan langkah-langkah persiapan sebelum anak benar-benar melangkahkan kakinya menuju pintu. Jika seorang siswa mengalami kesulitan dalam membuat urutan-urutan peristiwa yang dialami, maka pelaksanaan tugas yang diperintahkan guru tersebut akan menjadi tantangan berat yang sangat berarti bagi dirinya. Oleh karena itu guru harus tanggap dan memberikan bantuan sepenuhnya baik secara verbal maupun manual pada setiap langkah secara beraturan.
3) Ketersediaan Waktu Belajar
Dalam menghadapi siswa berkebutuhan khusus perlu disediakan waktu yang cukup, baik lamanya belajar maupun pemberian untuk memproses informasi. Sebab dalam kenyataan ada siswa berkebutuhan khusus yang mampu menguasai pelajaran dalam waktu yang sesuai dengan siswa-siswa lain pada umumnya.
Namun pada sisi lain ada siswa yang membutuhkan waktu lebih banyak untuk memproses informasi dan mempelajari suatu aktivitas gerak tertentu. Hal ini berarti dibutuhkan pengulangan secara menyeluruh dan peninjauan kembali semua aspek yang dipelajari. Demikian juga halnya dalam praktek atau berlatih, sebaiknya diberikan waktu belajar yang berlebih untuk menguasai suatu keterampilan atau melatih keterampilan yang telah dikuasai
Contohnya bagi siswa yang memiliki hambatan mental dengan tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, dia tidak dapat memproses informasi atau perintah yang diberikan dengan cepat, sehingga dia akan mengalami kesulitan dan sedikit membutuhkan waktu lebih banyak dalam melakukan kegiatan tersebut. Begitu pula dengan siswa yang memiliki hambatan motorik, mereka membutuhkan waktu yang lebih saat melakukan sebuah aktivitas jasmani karena hambatan yang dimilkinya.
Contoh kegiatannya, pada saat kegiatan berlari mengelilingi lapangan siswa yang lain di berikan alokasi waktu 2 menit untuk dapat mengelilingi lapangan, tetapi bagi siswa yang memiliki hambatan mental, motorik dan perilaku mungkin membutuhkan alokasi waktu 4 sampai 5 menit untuk dapat mengelilingi lapangan tersebut.
Jadi waktu yang diberikan kepada siswa yang memiliki hambatan harus disesuaikan dengan kemampuan dan hambatan yang dimiliki oleh siswa tersebut, tetapi bukan erarti harus selalu lebih dari siswa lainnya karena pada kenyataanya ada siswa yang memiliki hambatan dapat menguasai pelajaran waktu yang dibutuhkannya sama dengan siswa lainnya. Sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Tarigan (2000;56) bahwa “dalam menghadapi siswa cacat perlu disediakan waktu yang cukup, baik lamanya belajar maupun pemberian untuk memproses informasi. Sebab dalam kenyataannya ada siswa yang cacat mampu menguasai pelajaran dalam waktu yang sesuai dengan rata-rata anak normal”
4) Modifikasi Peraturan Permainan
Memodifikasi peraturan permainan yang ada merupakan sebuah keharusan yang dilakukan oleh guru pendidikan jasmani agar program pendidikan jasmani bagi siswa berkebutuhan khusus dapat berlangsung dengan baik. Oleh karena itu guru pendidikan jasmani harus mengetahui modifikasi apa saja yang dapat dilakukan dalam setiap cabang olah raga bagi siswa berkebutuhan khusus.
Berikut ini ada beberapa cabang olahraga yang dimodifikasi peraturan permainannya bagi siswa berkebutuhan khusus:
a) Atletik
Bagi beberapa siswa berkebutuhan khusus cabang olahraga altetik terutama cabang berlari ini tidak memerlukan begitu banyak penyesuaian, tetapi bagi siswa tunanetra dan siswa tunarungu sangat membutuhkan penyesuaian. Contoh penyesuaian yang dilakukan bagi siswa tunanetra saat mengikuti pembelajaran atletik adalah pada saat berlari siswa tunanetra memegang tali yang terbentang dari garis star sampai ke garis finish jadi saat berlari siswa tidak tersesat atau bertabrakan dengan siswa lainnya. Atau cara lain seperti yang diungkapkan oleh Auxter (2005) pada saat berlari siswa tunanetra diikuti oleh teman yang memiliki penglihatan normal dari belakang dengan saling memegang tali. jadi pada saat harus berbelok ke kanan temannya menggerakan talinya kesebelah kanan dan itu menandakan berbelok ke sebelah kanan dan sebaliknya.
Peraturan atletik pada umumnya saat start di lakukan biasanya wasit membunyikan pistol atau peluit sebagai tanda dimulainya pertandingan tersebut. Tetapi bagi siswa tunarunggu hal tersebut tidaklah sesuai dengan keterbatasan mereka, maka diperlukan sedikit penyesuaian diantaranya dengan mengganti peluit atau pistol dengan alat yang dapat memberikan dilihat mereka contohnya seperti bendera. Jadi pada saat pertandingan dimulai wasit mengibaskan bendera sebagai tandanya.
b) Sepak Bola
Permaiana sepakbola bagi kebanyakan siswa berkebutuhan khusus tidak terlalu banyak memerlukan penyesuaian, hanya ukuran lapangan yang harus di modifikasi karena siswa berkebutuhan khusus memiliki tingkat kekuatan atau kemampuan fisik yang lemah sehingga mudah kecapean. Jadi mereka hanya bermain setengah lapangan sepak bola besar atau lebih kecil lagi dari itu sesuai dengan kemampuan mereka.
Tetapi bagi siswa tunanetra ada beberapa penyesuaian yang dilakukan diantaranya bola dan gawang yang harus mengeluarkan bunyi agar bisa dikenali oleh mereka. Lapangan yang diperkecil serta tidak ada aturan bola keluar.
Masih banyak lagi permainan atau cabang olahraga bagi siswa berkebutuhan khusus yang memerlukan penyesuaian.
B. Modifikasi Lingkungan Belaja
Dalam meningkatkan pembelajaran pendidikan jasmani bagi siswa yang berkebutuhan khusus maka suasana dan lingkungan belajar perlu dirubah sehingga kebutuhan-kebutuhan pendidikan siswa dapat terpenuhi secara baik untuk memperoleh hasil maksimal.
Adapun teknik-teknik memodifikasi lingkungan belajar siswa menurut Tarigan dalam Penjas adaptif (2000: 58) sebagai berikut:
1) Modifikasi Fasilitas dan Peralatan
Memodifikasi fasilitas-fasilitas yang telah ada atau menciptakan fasilitas baru merupakan keharusan agar program pendidikan jasmani bagi siswa berkebutuhan khusus dapat berlangsung dengan sebagai mana mestinya.
Semua fasilitas dan peralatan tentunya harus disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik yang dimiliki oleh siswa. Oleh karena itu diperlukan sebuah modifikasi dan penyesuaian pada fasilitas dan peralatan yang akan digunakan oleh siswa berkebutuhan khusus. Ada beberapa modifikasi tersebut meliputi:
a) Pengecatan, pengapuran atau memperjelas garis-garis pinggir atau batas lapangan
b) Memperlebar lintasan agar dapat dilalui oleh kursi roda
c) Mengubah atau menyesuaikan ukuran bola dalam permainan sepak bola
d) Memodifikasi bola menjadi bercahaya dan berbunyi bagi siswa tunanetra
2) Pemanfaatan Ruang Secara Maksimal
Pembelajaran pendidikan jasmani identik diselenggarakan di lapangan yang luas dimana semua siswa dapat berlari-lari kesana kemari, sampai-sampai terkadang guru akan kesulitan apabila lapangan yang luas tersebut tidak bisa digunakan dan mungkin akan mengganti program pembelajaran yang awalnya akan diselenggarakan di lapangan menjadi pembelajaran materi di dalam kelas. Padahal sebetulnya pembelajaran pendidikan dapat dilaksanakan dimana saja asalkan tidak membahayakan pembelajaran tersebut.
3) Menghindari Gangguan dan Pemusatan Konsentrasi
Segala bentuk gangguan saat pembelajaran pendidikan jasmani dapat datang dari mana saja baik dari dalam pembelajaran maupun luar pembelajaran. Gangguan tersebut dapat berupa kebisingan suara yang mengganggu konsentrasi, orang lain yang tidak berkepentingan berada di dalam lapangan, benda-benda yang dapat mengganggu jalannya pembelajaran, dan lain sebagainya.
Khusus bagi siswa yang mengalami gangguan belajar, hiperaktif dan tidak bisa berkonsentrasi lama, faktor-faktor tersebut merupakan gangguan yang sangat berarti, namun bagi siswa siswa lainnya tidak terlalu mengganggu.
Semua factor-faktor di atas, perlu dihilangkan atau dihindari semaksimal mungkin, agar para siswa dapat memusatkan perhatian dan berkonsentrasi pada tugas-tugas yang diberikan. Tarigan (2001:61) mengungkapkan bahwa.
Pengertian dan Kerakteristik Tunagrahita
A. Pengertian
Tunagrahita merupakan kata lain dari Retardasi Mental (mental retardation). Tuna berarti merugi, Grahita berarti pikiran. Retardasi Mental (Mental Retardation atau Mentally Retarded) berarti terbelakang mental. Tunagrahita sering disepadankan dengan istilah-istilah, sebagai berikut :
1. Lemah fikiran (feeble-minded)
2. Terbelakang mental (Mentally Retarded)
3. Bodoh atau dungu (Idiot)
4. Pandir (Imbecile)
5. Tolol (moron)
6. Oligofrenia (Oligophrenia)
7. Mampu Didik (Educable)
8. Mampu Latih (Trainable)
9. Ketergantungan penuh (Totally Dependent) atau Butuh Rawat.
10. Mental Subnormal
11. Defisit Mental
12. Defisit Kognitif
13. Cacat Mental
14. Defisiensi Mental
15. Gangguan Intelektual
American Asociation on Mental Deficiency atau AAMD dalam B3PTKSM, (p. 20), mendefinisian Tunagrahita sebagai kelainan yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (Sub-average), yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes yang muncul sebelum usia 16 tahun yang menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif. Sedangkan pengertian Tunagrahita menurut Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM (p. 20-22) sebagai berikut: Fungsi intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 kebawah berdasarkan tes inteligensi baku.Kekurangan dalam perilaku adaptif. Terjadi pada masa perkembangan, yaitu anatara masa konsepsi hingga usia 18 tahun. Pengklasifikasian atau penggolongan Anak Tunagrahita untuk keperluan pembelajaran menurut American Association on Mental Retardation dalam Special Education in Ontario Schools (p. 100) sebagai berikut: 1. EDUCABLE Anak pada kelompok ini masih mempunyai kemampuan dalam akademik setara dengan anak reguler pada kelas 5 Sekolah dasar.
Ada beberapa pengertian tunagrahita menurut beberapa ahli.
- Tunagrahita ialah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata (Somantri,2006:103). Istilah lain untuk siswa (anak) tunagrahita dengan sebutan anak dengan hendaya perkembangan. Diambil dari kata Children with developmental impairment. Kata impairment diartika sebagai hendaya atau penurunan kemampuan atau berkurangnya kemampauan dalam segi kekuatan, nilai, kualitas, dan kuantitas (American Heritage Dictionary,1982: 644; Maslim.R.,2000:119 dalam Delphie:2006:113).
- Penyandang tunagrahita (cacat ganda) adalah seorang yang mempunyai kelainan mental, atau tingkah laku akibat kecerdasan yang terganggu, adakalanya cacat mental dibarengi dengan cacat fisik sehingga disebut cacat ganda (http//.panti.tripod.com/2-10-07). Misalnya, cacat intelegensi yang mereka alami disertai dengan keterbelakangan penglihatan (cacat pada mata), ada juga yang disertai dengan gangguan pendengaran. Adanya cacat lain yang dimiliki selain cacat intelegensi inilah yang menciptakan istilah lain untuk anak tunagrahita yakni cacat ganda.
Penanganan pada setiap ABK memiliki cara tersendiri.Mulai dari segi akademik, pribadi dan sosial mereka. Semuanya disesuaikan dengan kondisi fisik dan mental mereka.
B. Karateristik Tunagrahita
a. Tunagrahita Ringan
Anak yang tergolong dalam tunagrahita ringan memiliki banyak kelebihan dan kemampuan. Mereka mampu dididikdan dilatih. Misalnya, membaca, menulis, berhitung, menjahit, memasak, bahkan berjualan. Tunagrahita ringan lebih mudah diajak berkomunikasi. Selain itu kondisi fisik mereka tidak begitu mencolok. Mereka mampu berlindung dari bahaya apapun. Karena itu anak tunagrahita ringan tidak memerlukan pengawasan ekstra.
b. Tunagrahita Sedang
Tidak jauh berbeda dengan anak tunagrahita ringan. Anak tunagrahita sedang pun mampu diajak berkomunikasi. Namun, kelemahannya mereka tidak begitu mahir dalam menulis, membaca, dan berhitung. Tetapi, ketika ditanya siapa nama dan alamat rumahnya akan dengan jelas dijawab. Mereka dapat bekerja di lapangan namun dengan sedikit pengawasan. Begitu pula dengan perlindungan diri dari bahaya. Sedikit perhatian dan pengawasan dibutuhkan untuk perkembangan mental dan sosial anak tunagrahita sedang.
c. Tunagrahita Berat
Anak tunagrahita berat disebut juga idiot. karena dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan pengawasan, perhatian, bahkan pelayanan yang maksimal. Mereka tidak dapat mengurus dirinya sendiri apalagi berlindung dair bahaya. Asumsi anak tunagrahita sama dengan anak Idiot tepat digunakan jika anak tunagrahita yang dimaksud tergolong dalam tungrahita berat.
Dengan demikian, seorang dikatakan tunagrahita apabila memiliki tiga faktor, yaitu :
1. Keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata-rata
2. Ketidakmampuan dalam perilaku adaptif
3. Terjadi selama perkembangan sampai usia 18 tahun.
Keterbelakangan mental yang biasa dikenal dengan anak tunagrahita biasanya dihubungkan dengan tingkat kecerdasan seseorang. Tingkat kecerdasan secara umum biasanya diukur melalui tes Inteligensi yang hasilnya disebut dengan IQ (intelligence quotient).
1. Tuna grahita ringan biasanya memiliki IQ 70 –55
2. Tunagrahita sedang biasanya memiliki IQ 55 – 40
3. Tunagrahita berat biasanya memiliki IQ 40 – 25
4. Tunagrahita berat sekali biasanya memiliki IQ <25
Para ahli Indonesia menggunakan klasifikasi:
1. Tunagrahita ringan IQnya 50 – 70
2. Tunagrahita Sedang IQnya 30 – 50
3. Tunagrahita berat dan sangat berat IQnya kurang dari 30
Metode Pembelajaran Pendidikan Jasmani Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Untuk membantu para guru pendidikan jasmani mengembangkan strategi pembelajaran pada siswa berkebutuhan khusus diperlukan metode yang tepat sebagai cara dalam menyampaikan materi kepada siswa. Menurut Tarigan (2000:45) ada 3 macam metode pembelajaran pendidikan jasmani bagi siswa berkebutuhan khusus: 1. Metode bagian, 2. Metode keseluruhan, dan Metode gabungan.
a. Metode Bagian
Dalam metode bagian, tugas-tugas gerak dipelajari dan dilatih bagian demi bagian. Biasanya metode ini diterapkan apabila struktur gerak cukup kompleks sehingga diperkirakan dengan mempelajari bagian demi bagian akan memberikan hasil optimal.
Misalnya dalam pembelajaran mendribel, menembak dan mengoper dalam olahraga basket, dilakukan pendekatan bagian perbagian sebelum diberikan pengalaman bermain basket secara utuh. Artinya setelah siswa mempelajari dan menguasai bagian-bagian dari suatu aktivitas gerak dalam olahraga permainan, maka selanjutnya bagian-bagian tersebut digolongkan kembali menjadi aktivitas yang lengkap dan menyeluruh.
b. Metode Keseluruhan
Pembelajaran dengan metode keseluruhan merupakan aktivitas gerak yang dilakukan secara keseluruhan. Metode ini biasanya digunakan untuk melatih teknik dan gerakan yang sederhana, atau apabila keseluruhan serangkaian gerak dari satu teknik olahraga, tidak bisa dipecah menjadi bagian-bagian.
Metode keseluruhan cukup efektif digunakan untuk anak berkebutuhan khusus, namun tergantung dari berat ringannya tugas gerakan yang dilakukan dengan kondisi kecacatan anak. Semakin rendah tingkat kompleksitas tugas gerakan secara keseluruhan, dan semakin kecil taraf hambatan yang diderita anak, maka pendekatan ini akan berlangsung lebih baik.
Bagi anak yang terbelakang mental yang cukup berat, sebaiknya diberikan pelajaran atau latihan keterampilan gerak secara keseluruhan. Misalnya tugas gerak melempar dalam bola tangan atau bola basket. Pemecahan suatu struktur gerak atau pola gerak menjadi bagian-bagian, kurang bermanfaat bagi siswa yang kurang mampu memproses informasi dengan baik seperti anak yang mengalami keterbelakangan mental.
c. Metode Gabungan
Memodifikasi metode dengan cara mengubahnya menjadi kombinasi keseluruhan, bagian, keseluruhan, umumnya memberikan kemudahan dan keuntungan bagi siswa berkebutuhan khusus. Semakin simpel langkah-langkah pembelajaran yang diberikan kepada anak, semakin besar peluangnya untuk menguasai tugas-tugas gerak yang diajarkan. Kecepatan laju penyampaian instruksi dan jumlah pengulangan serta reinforcement yang diberikan dalam proses pembelajaran, berbanding terbalik antara satu dengan yang lainnya terhadap kemajuan dan keberhasilan yang dicapai siswa berkebutuhan khusus.
Hal ini berarti semakin lambat penyampaian instruksi yang dilakukan guru, dan semakin banyak frekuensi pengulangan oleh siswa, maka semakin baik kemajuan yang dicapai oleh siswa berkebutuhan khusus.
d. Penyampaian Penjelasan dan Peragaan
Metode ini sudah lazim dipergunakan dalam proses pembelajaran pendidikan jasmani. Namun faktor penting dalam penerapannya adalah penekanan pada kombinasi penjelasan (baik secara verbal, tertulis maupun manual) yang dilanjutkan dengan peragaan atau demonstrasi tugas gerak yang sebenarnya.
Melalui penjelasan dan demonstrasi, para siswa berkebutuhan khusus lebih terdorong dan termotivasi untuk melakukan tugas gerak, sehingga memiliki peluang lebih besar untuk memperoleh hasil dalam setiap pembelajaran. Bagi sebagian anak, terutama yang memiliki hambatan bicara, hambatan pendengaran dan keterbelakangan mental, penjelasan-penjelasan yang diberikan secara sistematis dan runtut kelihatannya kurang bermanfaat. Namun demikian, peragaan dan demonstrasi yang dapat dilihat dan diamati dari berbagai arah, sangat membantu terhadap pemantapan persepsi tentang suatu tugas gerak yang tidak dapat mereka tangkap melalui penjelasan.
Sebaliknya, bagi anak-anak yang mengalami hambatan visual, akan lebih bermakna informasi melalui penjelasan dibanding melalui peragaan atau demonstrasi. Untuk menghadapi kasus lainnya, diperlukan kreativitas dan kejelian guru dalam memilih suatu metode yang cocok sesuai dengan jenis dan tingkat kecacatan siswa.
Pertumbuhan Fisik Jasmani Anak Usia Sekolah Dasar (SD)
Apabila kita perhatikan anak-anak yang sedang berbaris di depan kelas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan ukuran jasmani.Adaanak yang tinggi, pendek, kurus, dan gemuk dengan beraneka ragam bentuknya.
Nampaknya pada anak-anak tersebut secara fisik kurang segar sebagaimana seharusnya, hal ini disebabkan antara lain kelebihan berat badannya.
Pertumbuhan Fisik Jasmani Anak Usia SD
Mencakup pertumbuhan biologis misalnya pertumbuhan otak, otot dantulang. Pada usia 10 tahun baik lakiâ€laki maupun perempuan tinggi dan berat badannya bertambah kurang lebih 3,5 kg. Namun setelah usia remaja yaitu 12â€13 tahun anak perempuan berkembang lebih cepat dari pada lakiâ€laki, Sumantri dkk (2005).
a. Usia masuk kelas satu SD atau MI berada dalam periode peralihan dari pertumbuhan cepat masa anak anak awal ke suatu fase perkembangan yang lebih lambat. Ukuran tubuh anak relatif kecil perubahannya selama tahun tahun di SD.
b. Usia 9 tahun tinggi dan berat badan anak lakiâ€laki dan perempuan kurang lebih sama. Sebelum usia 9 tahun anak perempuan relatif sedikit lebih pendek dan lebih langsing dari anak lakiâ€laki.
c. Akhir kelas empat, pada umumnya anak perempuan mulai mengalami masa lonjakan pertumbuhan. Lengan dan kaki mulai tumbuh cepat.
d. Pada akhir kelas lima, umumnya anak perempuan lebih tinggi, lebih berat dan lebih kuat daripada anak lakiâ€laki. Anak lakiâ€laki memulai lonjakan pertumbuhan pada usia sekitar 11 tahun.
Menjelang awal kelas enam, kebanyakan anak perempuan mendekati puncak tertinggi pertumbuhan mereka. Periode pubertas yang ditandai dengan menstruasi umumnya dimulai pada usia 12â€13 tahun. Anak lakiâ€laki memasuki masa pubertas dengan ejakulasi yang terjadi antara usia 13â€16 tahun.
Perkembangan Pada Anak Usia Sekolah Dasar (SD)
a. Perkembangan Intelektual
Intelektual menurut para ahli diantaranya menurut Wechler (1958) merumuskan intelektual sebagai "keseluruhan ke-mampuan individu untuk berpikir dan bertindak secara terarah serta kemampuan mengolah dan menguasai lingkungan secara efektif. Intelektual bukanlah suatu yang bersifat kebendaan, melainkan suatu fiksi ilmiah untuk mendiskripsikan perilaku individu yang berkaitan dengan kemampuan intelektual.
Pada usia sekolah dasar anak sudah dapat mereaksi rangsangan intelektual atau melaksanakan tugas-tugas belajar yang menuntut kemamapuan intelektual atau kemampuan kognitif. Menurut Piaget masa ini berada pada tahap operasi konkret yang ditandai dengan:
1. Kemampuan mengklasifikasikan benda-benda dengan ciri yang sama.
2. Menyusun atau mengasosiasikan angka-angka atau bilangan.
3. Memecahkan yang sederhana.
Kemampuan intelektual pada masa ini sudah cukup untuk menjadi dasar diberikanya berbagai kecakapan yng dapat mengembangkan pola piker atau daya nalarnya. Untuk mengembangkan daya nalarnya, daya cipta,kreatifitas anak maka anak perlu diberi peluang-peluang untuk bertanya berpendapat atau menilai tentang berbagai hal tentang pelajaran atau peristiwa yang terjadi di lingkungan.
Upaya lain yang dapat dilakukan sekolah dalam mengembangkan kreatifitas anak adalah dengan menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seperti lomba mengarang, menggambar dan menyanyi.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi perkembangan Intelek
- Bertambahnya informasi yang disimpan(dalam otak)seseorang sehingga ia mampu berpikir reflektif.
- Banyaknya pengalaman dan latihan-latihan memecahkan masalah sehingga seseorang bisa berpikir proporsional.
b. Perkembangan Emos
Pada usia sekolah, anak mulai menyadari bahwa pengungkapan emosi secara kasar tidaklah diterima. Oleh karena itu, dia mulai belajar untuk mengendalikan dan mengontrol emosinya. Kemampuan mengontrol emosi diperolehnya melalui peniruan dan latihan (pembiasaan).
Dalam proses peniruan, kemampuan orang tua atau guru dalam mengendalikan emosinya sangatlah berpengaruh. Apabila anak dikembangkan dalam lingkungan keluarga yang emosionalnya stabil, maka perkembangan emosi anak juga akan cenderung stabil, namun apabila kebiasaan orang tua dalam mengekspresikan emosinya kurang stabil, maka perkembangan emosi anak juga cenderung kurang stabil.
c. Perkembangan Sosial
Perkembangan sosial adalah pencapaian kematangan kematangan dalam hubungan atau interaksi sosial. Perkembangan sosial juga bisa diartikan sebagai proses belajar untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok, tradisi, dan moral agama.
Perkembangan sosial pada anak usia SD/MI ditandai dengan adanya perluasan hubungan, disamping dengan para anggota keluarga, juga dengan teman sebaya (peer group), sehingga ruang gerak hubungan sosialnya bertambah luas.
Pada usia ini, anak mulai memliki kesanggupan menyesuaikan diri dari sikap berpusat kepada diri sendiri (ogosentris) kepada sikap bekerja sama (kooperatif) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain. Anak mulai berminat terhadap kegiatan- kegiatan teman sebaya, dan bertambah kuat keinginannya untuk diterima menjadi anggota kelompok dan merasa tidak senang apabila tidak diterima oleh kelompoknya
Dalam proses belajar di sekolah, kematangan perkembangan sosial ini dapat dimanfaatkan atau dimaknai dengan memberikan tugas-tugas kelompok, baik yang membutuhkan tenaga fisik (seperti membersihkan kelas dan halaman sekolah_, maupun tugas yang membutuhkan pikiran.
Tugas-tugas kelompok ini haruslah memberikan kesempatan kepada setiiap peserta didik atau siswa untuk menunjukkan prestasinya. Dengan bekerja kelompok, siswa dapat belajar tentang bagaimana cara ia bersosialisasi, bekerja sama, saling menghormati, bertenggang rasa dan bertanggung jawab.
d. Perkembangan Bahasa
Setiap manusia mengawali komunikasinya dengan dunia sekitarnya melalui bahasa tangis bahsa mencakup segala bentuk komunikasi baik yang diutarakan dalam bentuk lisan, tulisan, bahsa isyarat, bahsa gerak tubuh, ekspresi wajah pantomim atau seni. Bahsa adalah segala bentuk komunikasi dimana pikiran dan persaan sorang disimbolisasikan agar dapat menyamaikan arti kepada orang lain. Oleh karena itu perkembangan bahasa dimulai dengan tangisan pertama sampai anak mampu bertutur kata. Perkembangan bahasa terdiri atas 2 periode besar yaitu periode Prelinguistik (0-1 tahun) dan (1-5 linguistik). Periode linguistik terbagi terbagi dalam 3 fase besar yaitu :
1) Fase Satu Kata Atau Holofase
Pada fase ini anak menggunakan satu kata untuk menyatakan pikiran yang kompleks, baik yang berupa keinginan, perasaan atau temuannya perbedaan yang jelas. Misalkan kata duduk, bagi anak berarti ” saya mau duduk”, atau kursi tempat duduk, dapat juga berarti “ mama sedang duduk”.
2) Fase Lebih Dari Satu Kata
Fase dua kata muncul pada anak erusia sekita 18 bulan. Fase ini anak sudah dapat membuat dua kalimat sederhana yang terdiri dari dua kata. Kalimat etrsebut kadang-kadang terdiri dari pokok kalimat dan predikat, kadang-kadang pokok kalimat dengan obyek dengan tata bahasa yang tidak benar. Setelah dua kata, muncullah kalimat dengan tiga kata, diikuti oleh empat kata dan seterusnya. Orang melakukan tanya jawab dengan anak secara sederhana.
3) Fase Ketiga Fase Diferensiasi
Eriode terakhir dari masa balita yang berlangsung antara usia dua setengah sampai lima tahun. Keterampilan anak dalam berbicara mulai lancar dan berkembang pesat. Dlam berbicara anak bukan hanya menambah kosakatanya yang mengagumkan akan tetapi anak mulai mampu mengucapkan kata demi kata sesui dengan jenisnya, terutama dalam pemakaian kata benda dan kata kerja.
e. Perkembangan Sosial
Terdapat kaitan yang erat antara keteramilan bergul dengan masa bahagia pada waktu akanak-kanak. Kemampuan anak untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan, penerimaan lingkungan serta berbagai pengalaman yang bersifat positif selama anak melakukan berbagai aktivitas sosial merupakan modal dasar yang amat penting bagi anak untuk mencapai kehidupan yang sukses dan menyenangkan pada waktu yang akan datang atau meningkat dewasa. Oleh karena itu prilaku dan kebiasaan orang tua harus merupakan contoh atau model maupun teladan yang selalu ditiru dan dibanggakan oleh anaknya. Hl tersebut dilakukan oleh anak semenjak ia diusia balita yang suka meniru apa saja yang ia lihat dari tindak tanduk orang tua, cara bergaul orang tua, cara berbicara dan berinteraksinya, di lingkungan sekita, cara orang tua menghadapi teman, tamu dan sebagainya, slalu mendapat perhatian anak kemudian menirunya.
f. Perkembangan Moral Dan Sikap
Pada awal masa kanak-kanak, biasanya anak-anak akan mengidentifikasi dengan ibunya dan ayahnya atau orang lain yang dekat dengannya. Sedangkan masa-masa selanjutnya perkembangan pergaulan dan pandangan anak-anak mulai mengedintifikasi dirinya dengan tokoh-tokoh, pahlwan-pahlawan, pimpinan masyarakat. Sejalan tambahan usia anak, biasanya anak mulai membrontak pada disiplin yang diterapkan dirumah atau disekolah. Berikut ini beberapa proses pembentukkan prilaku moral dan sikap anak.