KATEGORI : Pendidikan Umum

Masalah Pokok Pendidikan dan Cara Menanggulanginya

11 March 2015 13:01:52 Dibaca : 3621

Sistem pendidikan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan social budaya dan masyarakat sebagai suprasistem. Pembangunan sistim pendidikan tidak mempunyai arti apa-apa jika tidak singkron dengan pembanguan nasional. Kaitan yang erat antara bidang pendidikan sebagai sistem dengan sistem sosial budaya sebagai suprasistem tersebut di mana sistem pendidikan menjadi bagiannya, menciptakan kondisi sedemikian rupa sehingga permasalahakn intern sistem kondisi pendidikan itu menjadi sanggat kompleks, artinya suatu permasalahan intern dalam sistem pendidikan selalu ada kaitan dengan masalah-masalah di luar sistem pendidikan itu sendiri. Misalnya masalah mutu hasil belajar suatu sekolah tidak dapat di lepaskan dari kondisi sosial budaya dan ekonomi masyarakat di sekitarnya, dari mana murid-murid sekolah tersebut berasal, serta masih banyak lagi faktor-faktor lainnya di luar sistem persekolahan yang berkaitan dengan mutu hasil belajar tersebut.

Berdasarkan kenyataan tersebut maka penanggulangan masalah pendidikan juga sanggat kompleks, menyangkut banyak komponen dan melibatkan banyak pihak.
Pada dasarnya ada dua masalah pokok yang di hadapi oleh dunia pendidikan antara lain kita dewasa ini, yaitu :

  1. Bagaimana semua warga Negara dapat menikmati kesempatan pendidikan
  2. Bagaimana pendidikan dapat membekali peserta didik dengan keterampilan kerja yang mantap untuk dapat terjun ke dalam kancah kehidupan bermasyarakat.

Yang pertama mengenai masalah pemerataan dan yang ke dua dalah masalah mutu,relevansi, dan juga efisiensi pendidikan.

A. Jenis-Jenis Permasalahan pokok pendidikan

Seperti yang sudah dikemukakan pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini akan dibahas empat masalah pokok pendidikan yang telah menjadi kesepakatan nasional yang perlu diprioritaskan penanggulangannya. Adapun masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut :


1. Masalah pemerataan pendidikan
2. Masalah mutu pundidikan
3. Masalah efisiensi prndidikan
4. Masalah relevansi pendidikan


Berikut ini adalah penjelasan lebih detailnya mengenai keempat jenis permasalahan pokok pendidikan tersebut.

1. Masalah Pemerataan Pendidikan

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memajukan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional di harapkan dapat menyediakan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.
Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjukan pembangunan.
Masalah pemerataan pendidikan timbul apa bila masih banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat di tampung di dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, di tanah air kita pemerataan pendidikan itu telah dinyatakan dalam undang-undang no. 4 Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran disekolah. Pada Bab XI, pasal 17 berbunyi:
Tiap-tiap warga Negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah jika syart-syarat yang di tetepkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu sepenuhi.

Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan
Banyak macam pemecaan masalah yang telah sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkat di tempui melaluai cara konvesional dan cara inovahtif.


a. Cara Konvesional
1) Membangun gedung sekolah seperti SD Inpres atau ruang belajar
2) Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sisteme pergantian pagi dan sore)
Sehubungan dengan itu yang perluh dikalahkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat atau keluarga yang kurang mampu agar mau menyekolahkan anaknya.
a. Cara Inovatif
1) Sistem pamong (pendidikan oleh masyarakat,orang tua, dan guru) atau inpacts system ( Instrutional Management by Parent, Community and teacher). Sistem tersebut di rintis di sekolah dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.
2) SD kecil pada daerah terpencil
3) Sistem guru kunjung
4) Kejar paket A dan B
5) Belajar jarak jauh, seperti Universitas terbuka.

2. Masalah Mutu Pendidikan
Mutu pendidikan di permasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang di harapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen tenaga terhagdap calon luaran, vdengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika luaran tersebut terjun kelapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test). Lazimnya sesudah itu masih di lakukan pelatihan pemegangan bagi calon untuk penyesuaian dengan tuntutan persyaratan kerja dilapangan.
Jadi mutu pendiidkan pada akhirnya dilihat pada kualiutas keluarannya. Jika tujuan pendidikan nasiomnal dijadikaln kritetria, maka pertanyaannya adalah: Apakah keluarga dari suautu sistem pendidikan menjadi pribadi yang bertakwa, mandiri dan berkarya, anggota masyarakat yang social dan bertangguang jawab, warga Negara yang cinta kepada tanah air dan memiliki rasa kesetiakawanan social. Dengan kata lalin apakah keluaran itu mewujutkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Kualitas luaran sepertin itu disebut nurturant effect. Meskipun di sadari bahwa pada hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak semata-mata hasil sistem pendidikan sendiri. Tetapi jika terhadap produk seperti itu sistem pendidikan di anggap mempunyai andil yang cukup, yang tetap menjadi persoalan ialah cara pegukuran produk tersebut tidak mudah. Berhubungan dengan sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka jika orang berbicara tentang mutu pendidikan, umumnya hanya mangasosiasikan dengan hasil belajar yang di kenal sebagai hasil EBTA, Ebtanas atau hasil Sipenmaru, UMPTN (yang bias di sebut instructional effect), karena ini yang mudah di ukur. Hasil EBTA dan lain-lain tersebut itu di pandang sebagai gambaran tentang hasil pendidikan.

Pemecahan Masalah Mutu Pendidikan
Upaya pemecahan masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia dan manajemen sebagai berikut:
a. Seleksi yang lebih rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA dan PT.
b. Pengembangan kemampuan ketenaga kependidikan melalui studi lanjut misalnya berupa pelatihan, penataran, seminar, kegiatan-kegiatan kelompok studi seperti PKG dan lain-lain.
c. Pengembangan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar
d. Penyempurnaan sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran dan peralatan laboratorium
e. Peningkatan administrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran.
f. Kegiatan pengendalian mutu yang berupa kegiatan-kegiatan:
1) Laporan penyelenggaraan pendidikan oleh semua lembaga pendidikan
2) Supervisi dan monitoring pendidikan oleh penilik dan pengawas
3) Sistem ujian nasional atau Negara seperti Ebtanas, Sipenmaru atau UMPTN.
4) Akreditasi terhadap lembaga pendidikan untuk menetapkan status suatu lembaga

3. Masalah Efisiensi Pendidikan
Masalah Efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suautu sitem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi. Jika terjadi yang sebaliknya, efisiensinya begrarti rendah.
Beberapa masalah efisiensi pendidikan yang penting ialah :
a. Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan
b. Bagaimana parasarana dan sarana pendidikan di gunakan
c. Bagaimana pendidikan diselenggarakan
d. Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga
Masalah pengangkatan terletak pada kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa 5 tahun terahir ini jatuh pengangkatan setiap tahunnya hanya sekitar 20% dari kebutuhan tenaga dilapangan. Sedangkan persediaan tenaga yang siap di angkat (untuk sebagian besar jenis bidang studi, sebab ada bidang studi tertentu yang belum tersedia tenaganya) lebih besat dari kebutuhan di lapangan. Dengan demikian berarti lebih dari 80% tenaga yang tersedia tidak segera di fungsikan. Ini berarti pemubaziran terselubung karena biaya investasi pengadaan tenaga tidak segera terbayar kembali melalui pengabdian (belum terjadi rate of return). Sebab tenaga kependidikan khususnya guru tidak dipersiapkan untuk berwirausaha.

4. Masalah Relevansi Pendidikan
Telah di jelaskan pada bagian terdahulu bahwa tugas pendidikan ialah menyiapkan sumberdaya manusia untuk pembangunan. Masalah relevansi pendidikan mencangkup sejauh mana sistem pendidikan menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalh seperti yang digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.
Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi, sektor jasa dan lain-lalin. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sitem pendidikan manghasilakan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan yang aktual (yang tersedia) maupu potensial dengan memenuhi kriteria yang di persyaratkan oleh lapangan kerja,maka relevansi pendidikan di anggap tinggi.
Sebenarnya kriteria relevansi seperti yang di nyatakan tesebut cukup idial jika dikaitkan dengan kondisi sistem pendidikan pada umumya pada gambaran tentang kerajaan yang ada antara lain sebagai berikut :
a. Status lembaga pendidikan sendiri masih bermacam-macam kualitasnya.
b. Sistem pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran siap pakai. Yang ada ialah siap kembang
Peta kebutuhan tenaga kerja dengan persyaratan yang dapat digunakan sebagai pedoman oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya tidak tersedian.

 

File Sumber :

Edhay76.blogspot.com

Masalah Mendasar Pendidikan di Indonesia

11 March 2015 12:12:17 Dibaca : 944

Bagi orang-orang yang berkompeten terhadap bidang pendidikan akan menyadari bahwa dunia pendidikan kita sampai saat ini masih mengalami “sakit”. Dunia pendidikan yang “sakit” ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, tetapi dalam kenyataannya seringkali tidak begitu. Seringkali pendidikan tidak memanusiakan manusia.

Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada.
Masalah pertama adalah bahwa pendidikan, khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Kami katakan demikian karena pendidikan yang diberikan ternyata berat sebelah, dengan kata lain tidak seimbang. Pendidikan ternyata mengorbankan keutuhan, kurang seimbang antara belajar yang berpikir (kognitif) dan perilaku belajar yang merasa (afektif). Jadi unsur integrasi cenderung semakin hilang, yang terjadi adalah disintegrasi. Padahal belajar tidak hanya berfikir. Sebab ketika orang sedang belajar, maka orang yang sedang belajar tersebut melakukan berbagai macam kegiatan, seperti mengamati, membandingkan, meragukan, menyukai, semangat dan sebagainya. Hal yang sering disinyalir ialah pendidikan seringkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid.

Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar-gemborkan sebagai “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai. Dan “siap pakai” di sini berarti menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi. Memperhatikan secara kritis hal tersebut, akan nampak bahwa dalam hal ini manusia dipandang sama seperti bahan atau komponen pendukung industri. Itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Kenyataan ini nampaknya justru disambut dengan antusias oleh banyak lembaga pendidikan.

Masalah kedua adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah) atau kalau menggunakan istilah Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin) adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sangat tidak membebaskan karena para peserta didik (murid) dianggap manusia-manusia yang tidak tahu apa-apa. Guru sebagai pemberi mengarahkan kepada murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Guru sebagai pengisi dan murid sebagai yang diisi. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu-waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja. Murid hanya menampung apa saja yang disampaikan guru.

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Model pendidikan ini tidak membebaskan karena sangat menindas para murid. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa-apa.

Yang ketiga, dari model pendidikan yang demikian maka manusia yang dihasilkan pendidikan ini hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukannya bersikap kritis terhadap zamannya. Manusia sebagai objek (yang adalah wujud dari dehumanisasi) merupakan fenomena yang justru bertolak belakang dengan visi humanisasi, menyebabkan manusia tercerabut dari akar-akar budayanya (seperti di dunia Timur/Asia). Bukankah kita telah sama-sama melihat bagaimana kaum muda zaman ini begitu gandrung dengan hal-hal yang berbau Barat? Oleh karena itu strategi pendidikan di Indonesia harus terlebur dalam “strategi kebudayaan Asia”, sebab Asia kini telah berkembang sebagai salah satu kawasan penentu yang strategis dalam bidang ekonomi, sosial, budaya bahkan politik internasional. Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini penulis kemukakan. Melainkan justru hendak mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya sekaligus juga mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini, makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

 

File Sumber :

Edhay76.blogspot.com

Seperti yang sudah dikemukakan pada bagian sebelumnya, maka pada bagian ini akan dibahas empat masalah pokok pendidikan yang telah menjadi kesepakatan nasional yang perlu diprioritaskan penanggulangannya. Adapun masalah yang dimaksud adalah sebagai berikut :

  1. Masalah pemerataan pendidikan
  2. Masalah mutu pundidikan
  3. Masalah efisiensi prndidikan
  4. Masalah relevansi pendidikan

Berikut ini adalah penjelasan lebih detailnya mengenai keempat jenis permasalahan pokok pendidikan tersebut.

1. Masalah Pemerataan Pendidikan

Dalam melaksanakan fungsinya sebagai wahana untuk memajukan bangsa dan kebudayaan nasional, pendidikan nasional di harapkan dapat menyediakan kesempatan seluas-luasnya bagi seluruh warga Negara Indonesia untuk memperoleh pendidikan.
Masalah pemerataan pendidikan adalah persoalan bagaimana sistem pendidikan dapat menyediakan kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh warga Negara untuk memperoleh pendidikan, sehingga pendidikan itu menjadi wahana bagi pembangunan sumber daya manusia untuk menunjukan pembangunan.
Masalah pemerataan pendidikan timbul apa bila masih banyak warga Negara khususnya anak usia sekolah yang tidak dapat di tampung di dalam sistem atau lembaga pendidikan karena kurangnya fasilitas pendidikan yang tersedia. Pada masa awalnya, di tanah air kita pemerataan pendidikan itu telah dinyatakan dalam undang-undang no. 4 Tahun 1950 sebagai dasar-dasar pendidikan dan pengajaran disekolah. Pada Bab XI, pasal 17 berbunyi:
Tiap-tiap warga Negara Republik Indonesia mempunyai hak yang sama untuk diterima menjadi murid suatu sekolah jika syart-syarat yang di tetepkan untuk pendidikan dan pengajaran pada sekolah itu sepenuhi.

Pemecahan Masalah Pemerataan Pendidikan
Banyak macam pemecaan masalah yang telah sedang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan pemerataan pendidikan dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, langkah-langkat di tempui melaluai cara konvesional dan cara inovahtif.

a. Cara Konvesional

1) Membangun gedung sekolah seperti SD Inpres atau ruang belajar

2) Menggunakan gedung sekolah untuk double shift (sisteme pergantian pagi dan sore)

Sehubungan dengan itu yang perluh dikalahkan, utamanya untuk pendidikan dasar ialah membangkitkan kemauan belajar bagi masyarakat atau keluarga yang kurang mampu agar mau menyekolahkan anaknya.

a. Cara Inovatif

  1. Sistem pamong (pendidikan oleh masyarakat,orang tua, dan guru) atau inpacts system ( Instrutional Management by Parent, Community and teacher). Sistem tersebut di rintis di sekolah dan didiseminasikan ke beberapa provinsi.
  2. SD kecil pada daerah terpencil
  3. Sistem guru kunjung
  4. Kejar paket A dan B
  5. Belajar jarak jauh, seperti Universitas terbuka.

2. Masalah Mutu Pendidikan

Mutu pendidikan di permasalahkan jika hasil pendidikan belum mencapai taraf seperti yang di harapkan. Penetapan mutu hasil pendidikan pertama dilakukan oleh lembaga penghasil sebagai produsen tenaga terhagdap calon luaran, vdengan sistem sertifikasi. Selanjutnya jika luaran tersebut terjun kelapangan kerja penilaian dilakukan oleh lembaga pemakai sebagai konsumen tenaga dengan sistem tes unjuk kerja (performance test). Lazimnya sesudah itu masih di lakukan pelatihan pemegangan bagi calon untuk penyesuaian dengan tuntutan persyaratan kerja dilapangan.
Jadi mutu pendiidkan pada akhirnya dilihat pada kualiutas keluarannya. Jika tujuan pendidikan nasiomnal dijadikaln kritetria, maka pertanyaannya adalah: Apakah keluarga dari suautu sistem pendidikan menjadi pribadi yang bertakwa, mandiri dan berkarya, anggota masyarakat yang social dan bertangguang jawab, warga Negara yang cinta kepada tanah air dan memiliki rasa kesetiakawanan social. Dengan kata lalin apakah keluaran itu mewujutkan diri sebagai manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya dan membangun lingkungannya. Kualitas luaran sepertin itu disebut nurturant effect. Meskipun di sadari bahwa pada hakikatnya produk dengan ciri-ciri seperti itu tidak semata-mata hasil sistem pendidikan sendiri. Tetapi jika terhadap produk seperti itu sistem pendidikan di anggap mempunyai andil yang cukup, yang tetap menjadi persoalan ialah cara pegukuran produk tersebut tidak mudah. Berhubungan dengan sulitnya pengukuran terhadap produk tersebut maka jika orang berbicara tentang mutu pendidikan, umumnya hanya mangasosiasikan dengan hasil belajar yang di kenal sebagai hasil EBTA, Ebtanas atau hasil Sipenmaru, UMPTN (yang bias di sebut instructional effect), karena ini yang mudah di ukur. Hasil EBTA dan lain-lain tersebut itu di pandang sebagai gambaran tentang hasil pendidikan.
Pemecahan Masalah Mutu Pendidikan
Upaya pemecahan masalah mutu pendidikan dalam garis besarnya meliputi hal-hal yang bersifat fisik dan perangkat lunak, personalia dan manajemen sebagai berikut:

  1. Seleksi yang lebih rasional terhadap masukan mentah, khususnya untuk SLTA dan PT.
  2. Pengembangan kemampuan ketenaga kependidikan melalui studi lanjut misalnya berupa pelatihan, penataran, seminar, kegiatan-kegiatan kelompok studi seperti PKG dan lain-lain.
  3. Pengembangan prasarana yang menciptakan lingkungan yang tenteram untuk belajar
  4. Penyempurnaan sarana belajar seperti buku paket, media pembelajaran dan peralatan laboratorium
  5. Peningkatan administrasi manajemen khususnya yang mengenai anggaran.
  6. Kegiatan pengendalian mutu yang berupa kegiatan-kegiatan:
    • Laporan penyelenggaraan pendidikan oleh semua lembaga pendidikan
    • Supervisi dan monitoring pendidikan oleh penilik dan pengawas
    • Sistem ujian nasional atau Negara seperti Ebtanas, Sipenmaru atau UMPTN.
    • Akreditasi terhadap lembaga pendidikan untuk menetapkan status suatu lembaga

3. Masalah Efisiensi Pendidikan

Masalah Efisiensi pendidikan mempersoalkan bagaimana suautu sitem pendidikan mendayagunakan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan pendidikan. Jika penggunaannya hemat dan tepat sasaran dikatakan efisiensinya tinggi. Jika terjadi yang sebaliknya, efisiensinya begrarti rendah.
Beberapa masalah efisiensi pendidikan yang penting ialah :

a. Bagaimana tenaga kependidikan difungsikan

b. Bagaimana parasarana dan sarana pendidikan di gunakan

c. Bagaimana pendidikan diselenggarakan

d. Masalah efisiensi dalam memfungsikan tenaga

Masalah pengangkatan terletak pada kesenjangan antara stok tenaga yang tersedia dengan jatah pengangkatan yang sangat terbatas. Pada masa 5 tahun terahir ini jatuh pengangkatan setiap tahunnya hanya sekitar 20% dari kebutuhan tenaga dilapangan. Sedangkan persediaan tenaga yang siap di angkat (untuk sebagian besar jenis bidang studi, sebab ada bidang studi tertentu yang belum tersedia tenaganya) lebih besat dari kebutuhan di lapangan. Dengan demikian berarti lebih dari 80% tenaga yang tersedia tidak segera di fungsikan. Ini berarti pemubaziran terselubung karena biaya investasi pengadaan tenaga tidak segera terbayar kembali melalui pengabdian (belum terjadi rate of return). Sebab tenaga kependidikan khususnya guru tidak dipersiapkan untuk berwirausaha.

4. Masalah Relevansi Pendidikan

Telah di jelaskan pada bagian terdahulu bahwa tugas pendidikan ialah menyiapkan sumberdaya manusia untuk pembangunan. Masalah relevansi pendidikan mencangkup sejauh mana sistem pendidikan menghasilkan luaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan, yaitu masalah-masalh seperti yang digambarkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional.
Luaran pendidikan diharapkan dapat mengisi semua sektor pembangunan yang beraneka ragam seperti sektor produksi, sektor jasa dan lain-lalin. Baik dari segi jumlah maupun dari segi kualitas. Jika sitem pendidikan manghasilakan luaran yang dapat mengisi semua sektor pembangunan yang aktual (yang tersedia) maupu potensial dengan memenuhi kriteria yang di persyaratkan oleh lapangan kerja,maka relevansi pendidikan di anggap tinggi.
Sebenarnya kriteria relevansi seperti yang di nyatakan tesebut cukup idial jika dikaitkan dengan kondisi sistem pendidikan pada umumya pada gambaran tentang kerajaan yang ada antara lain sebagai berikut :

 

  1. Status lembaga pendidikan sendiri masih bermacam-macam kualitasnya.
  2. Sistem pendidikan tidak pernah menghasilkan luaran siap pakai. Yang ada ialah siap kembang

Peta kebutuhan tenaga kerja dengan persyaratan yang dapat digunakan sebagai pedoman oleh lembaga-lembaga pendidikan untuk menyusun programnya tidak tersedian.

 

File Sumber :

http://edhay76.blogspot.com/