KATEGORI : ISLAMI

Seorang imam masjid mengisahkan..


Ada seorang anak kecil yang umurnya blm mencpai 10 thn. Dia selalu menjalankan shalat berjamaah di masjid, dan selalunya berusaha menempati shaf plg depan. Anak itu biasa mengeraskan suara saat shalat, terutama tatkala saya selesai membaca al-fatihah, si anak membaca “aamiin” dengan suara sangat keras.


Suatu kali, saya ingin menasihati anak ini agar merubah kebiasaannya. Akan tetapi setiap kali saya selesai shalat dan berdzikir anak itu telah pergi, saya tidak sempat berbicara dengannya.
Hingga suatu kali, setelah selesai shalat saya langsung memegang tangan anak itu sebelum ia pergi. Lalu saya bertanya, “Nak, mengapa kamu sering berteriak keras sewaktu shalat?”
Anak itu menjawab : Rumah saya dekat dengan masjid, tapi ayah tidak pernah ke masjid sama sekali. Saya mengeraskan suara agar ayah mendengar suaraku melalui loudspeaker masjid. Dengan begitu ayah tahu bahwa saya shalat di masjid. Saya berharap ayah segera menyusul ke masjid setelah mendengar suara saya.


Imam tsb melanjutkan ceritanya, “Betapa merinding bulu kudukku ketika mendengar jawaban anak ini. Maka saya bersepakat dengan sebagian jamaah untuk mengunjungi ayah dari anak tersebut untuk memberikan nasihat dan menceritakan apa yang dilakukan anaknya di masjid.
Hingga akhirnya sang ayah bisa tertib menjalankan shalat jamaah di masjid, Allahu akbar walillahilhamd

DI BAWAH LINDUNGAN KA'BAH

30 April 2013 21:07:51 Dibaca : 1780

Dibawah Lindungan Ka’bah
SURAT DARI MESIR


Sahabat! Sudah saya terima surat sahabat yang terkirim dalam bulan yang lalu. Mula-mula saya sangat bersedih hati sebab semenjak kita bercerai di Jeddah, tak pernah saya menerima surat lagi daripada engkau. Tetapi setelah surat itu saya terima saya baca, hilanglah sedih dan duka saya, nyata bahawa engkau tidak melupakan saya. Maksudnya engkau terangkan itu, sangat saya setujui, itulah suatu maksud yang baik, sebab itu adalah suatu hikayat dan kejadian yang mendukakan hati dan merawankan fikiran, yang kerapkali benar terjadi di dalam lingkungan belia-belia kita. Saya setuju maksud sahabat itu, pertama adalah karangan yang engkau maksudkan itu, akan ganti bingkisan (persembahan) kita kepada orang-orang yang menjadi korban itu, hantaran kepada arwah mereka yang suci; kedua ialah untuk menjadi cermin perbandingan orang-orang yang hidup kemudian daripada mereka. Bukan sedikit belia-belia yang telah menanggung sebagai orang yang telah ditanggung oleh kedua orang itu, tetapi sukar orang yang selamat sampai ke akhirnya. Padahal "rindu dendam" atau "cinta berahi" itu laksana Lautan Jawa, orang yang tidak berhati-hati mengayuh perahu memegang kemudi dan menjaga layar, karamlah ia diguling oleh ombak dan gelombang, hilang ditengah samudera yang luas itu, tidak akan tercapai selama-lamanya tanah tepi. Tidak ada bantuan yang dapat saya berikan kepada engkau di dalam pekerjaan itu, hanya bersama ini saya kirimkan surat-surat yang semasa kita masih di Makkah tak sempat saya berikannya kepada engkau. Demi apabila buku ini telah selesai, kirimkanlah kiranya kepadaku barang senaskah, guna menghidupkan kenang-kenanganku pada masa yang telah lampau, semasa itu kita masih dibawah Lindungan Kaabah. Sahabatmu. MEKKAH PADA TAHUN 1927 Harga getah di Jambi, di seluruh tanahair sedang naik, negeri Mekah baharu sahaja pindah dari tangan Shariff Hussin ke tangan Ibn Sa'ud, Raja Hijaz dan Najad dan daerah takluknya yang kemudian ditukarkan namanya menjadi kerajaan "Arabiah Sa'udiah". Setahun sebelum itu telah naik haji dua orang yang kenamaan dari negeri kita. Keamanan negeri Hijaz, telah tersiar. Kerana itu banyak orang yang berniat menyempurnakan Islam yang kelima itu. Tiap-tiap kapal haji yang berangkat menuju Jeddah penuh sesak memebawa jemaah haji. Konon khabarnya, belumlah pernah orang naik haji seramai tahun 1927 itu, baik sebelum atau pun sesudahnya. Ketika itulah saya naik haji. Dari pelabuhan Belawan saya telah belayar menuju ke Jeddah menumpang kapal "Karimata". Empat belas hari lamanya saya terkatung-katung di dalam lautan besar. Pada hari kelima belas sampailah saya dipelabuhan Jeddah, pantai Laut Merah itu. Dua
hari kemudian saya pun sampai ke Mekah tanah suci kaum Muslimin sedunia. Betapa besar hati saya ketika melihat ka'bah tidaklah dapat saya perikan, kerana dari kecilku sebagai kebiasaan tiap-tiap orang Islam, Ka'bah dan menara Masjidil Haram yang tujuh itu menjadi kenang-kenanganku. Saya injak tanah suci itu dengan persangkaan yang baik, saya hadapi tiap-tiap orang yang mengerjakan ibadat dengan penuh kepercayaan, bahwa mereka pun berasa gembira iaitu sebagaimana yang saya rasai itu saya tidak akan bertemu dengan kejadian-kejadian yang ganjil atau hikayat yang sedih daripada penghidupan manusia. Sebab sangka saya tentu sahaja selain daripada diri saya sendiri, oran-orang yang datang kesana itu adalah orang-orang yang gembira dan yang mampu banyak tertawanya daripada tangisannya. Tetapi rupanya, di mana-mana jua di atas dunia ini; asalkan sahaja ditempati manusia, kita akan bertemu dengan yang tinggi dan yang rendah, kesukaan dan kedukaan, tertawa dan ratapan tangis. Saya telah mendengar di antara azan (bang) yang sayup-sayup sampai di puncak menara yang tujuh, di antara gemuruh doa manusia sedang berkeliling (tawaf) di sekeliling Ka'bah, di antara takbir umat yang sedang pergi balik di antara Safa dan Marwah, saya telah mendengar ratap dan rintih seorang makhluk tuhan, sayu-sayup sampai antara ada dengan tiada hilang-hilang timbul di dalam gemuruh yang hebat itu. Sebagai kebiasaan jemaah yang datang dari Tanah Jawa, saya menumpang di rumah seorang syeikh yang pekerjaan dan pencariannya semata-mata daripada memberi tumpangan bagi orang-orang haji, di hadapan bilik yang telah ditentukan oleh seorang syeikh untuk saya, ada pula sebuah bilik kecil yang muat dua orang. Disana tinggal seorang belia yang yang baharu berusia 32 tahun, badannya kurus lampai, rambutnya hitam berminyak, sifatnya pendiam, suka bermenung seorang diri di dalam biliknya itu. Biasanya sebelum kedengaran azan subuh ia lebih dahulu bangun pergi ke masjid seorang diri. Menurut keterangan syeikh kami belia itu berasal dari Sumatera, datang pada tahun yang lalu, jadi ia adalah seorang yang telah bermukim di Mekah. Melihat kebiasaannya demikian dan sifatnya yang soleh itu, saya menaruh hormat yang besar atas dirinya dan saya ingin hendak berkenalan. Maka dalam dua hari sahaja berhasillah maksud saya itu; saya telah beroleh seorang sahabat yang mulia patut dicontohi. Hidupnya sangat sederhana, tiada lalai daripada beribadat, tiada suka membuang-buang waktu kepada yang tidak berfaedah, lagi pula sangat suka memerhatikan buku-buku agama, terutama kitab-kitab yang menerangkan kehidupan orang-orang yang suci, ahli-ahli tasauf yang tinggi. Bila saya terlanjur mempercakapkan dunia dan hal ehwalnya, dengan sangat halus dan tiada terasa percakapan itu dibelokkannya kepada ke halusan budi-pekerti dan ketinggian kesopanan agama, sehingga akhirnya saya terpaksa tunduk dan memandangnya lebih mulia daripada biasa. Baru dua bulan sahaja semenjak dari awal Ramadhan sampai Syawal, pergaulan saya dengannya, saya telah banyak tertarik olehnya di dalam menuju kesucian, terutama di dalam negeri yang semata-mata untuk beribadat itu. Tetapi pergaulan yang baik itu tiba-tiba telah terusik sebab dengan kapal yang paling akhir telah tiba seorang teman baru dari Padang. Entah kerana kebetulan sahaja atau atau disengaja lebih dahulu, ia telah menjadi jemaah sheikh kami pula. Sahabat saya yang baru tiba ini sangat terkejut melihat bahawa sahabat saya ada di Mekah. Rupanya tidak disangka-sangkanya mereka akan berjumpa disana dan sahabat saya pun rupanya tidak menyangka akan berjumpa dengan sahabat baru itu.
Nama sahabat saya ialah hamid dan nama saudara baru itu Salleh. Salleh menurut keterangannya, hanya dua atau tiga hari sahaja sebelum naik haji akan tinggal di Mekah, ia akan pergi ke Madinah lebih dahulu; dua tiga hari pula sebelum jemaah haji ke Arafah ia akan balik ke Mekah. Setelah selesai mengerjakan haji, ia akan meneruskan perjalanannya ke Mesir, menyambung pelajarannya. Setelah musta'id maka Salleh pun berangkat ke Madinah.Ketibaan sahabat baru itu mengubah keadaan-keadaan dan sifat-sifat Hamid, entah khabar apakah yang agaknya yang baru di bawa darinya dari kampung yang mengganggu kesejahteraan fikiran Hamid. Ia bertambah tekun membaca kita-kitab terutamanya tasauf karangan Imam Al-Ghazali. Terkadang-kadang kelihatan ia termenung seorang diri di atas satah (atap rumah yang mendatar sepeti rumah-rumah di negeri Arab) rumah tempatnya tinggal melihat tenang-tenang kepada qal'ah (bintang-bintang) tua di atas puncak Jabal Hindi. Saya seakan-akan tidak pedulikannya lagi. Sedang saya mengerjakan tawaf keliling ka'bah maka terlihat oleh saya ia bergantung kepada kaswah (kain tabir yang melingkungi Ka'bah) menengadahkan mukanya kelangit, airmatanya menitik dengan derasnya membasahi serban yang membalut dadanya, kedengaran pula ia berdoa: Ya Allah! Kuatkanlah hati hambamu ini!" Sebenarnya saya ini pun seorang yang lemah hati, kesedihan itu telah pindah kedada saya, meski pun saya tak tahu apa yang disedihkannya. Khabar apakah yang agaknya yang telah dibawa oleh Salleh dari kampung? Apakah sebab Hamid bersedih hati demikian rupa? Dunia yang manakah yang telah memutuskan harapannya? Tipudaya siapakah yang telah melukai hatinya, hingga ia menjadi demikian rupa itu? Itu sentiasa menjadi soal kepada saya.
Pada suatu malam, sedang ia duduk seorang dirinya di atas satah, pada sebuah bangku yang bertikar daun kurma berjalin memandang kepada bintang-bintang yang memancarkan cahayanya yang indah di halaman langit, saya beranikan hati saya dan saya dekati dia. Maksud saya kalau dapat hendak membahagi kedukaan itu atau merentang-rentang barang sedikit kedukaan hatinya. " Saudara Hamid!" –kata saya. "Oh saudara, duduklah kemari!" – katanya pula sambil memperbaiki duduknya dan mempersilakan saya. Setelah sama-sama duduk, ia pun menanyakan keramaian orang haji dan kami pun memperkatakan keadaan pada tahun ini. Tiap-tiap perkataan terhadap kepada tanahair, pembicaraan diputarnya kepada yang lain, serupa ia tak suka. Maka akhirnya hati saya tiada tahan lagi, saya pun berkata: " Sudah lama saya perhatikan hal ehwal kamu, saudara, rupanya engkau dalam dukacita yang amat sangat. Agaknya engkau kurang percaya kepada saya, sehingga engkau tak mahu menyatakan kedukaan itu dengan saya. Sebagai seorang kawan, yang wajib berat sama memikul dan ringan sama menjinjing apa lagi jauh dari tanahair, sewajibnyalah saya engkau beritahu, apakah yang menyusahkan hati engkau sekarang, sehingga banyak perubahanmu daripada yang biasa?" Ia memandang kepada saya dengan tenang. " Katakanlah kepada saya, wahai sahabat!" –ujar saya pula.
" Saya akan menolong engkau sekadar tenaga yang ada pada saya.Kerana meski pun kita belum lama bergaul, saya telah tahu bahawa engkau adalah seorang yang budiman, saya tidak akan mensiakan kepercayaan engkau kepada diri saya." " Ini satu rahsia tuan!" – katanya. " Saya akan pikul rahsia itu jika engkau percayakan kepada saya dan saya akan masukkan ke dalam perbendaharaan hati saya dan kemudian saya kunci pintunya erat-erat. Kunci itu akan saya lemparkan jauh-jauh sehingga seorang pun tak dapat mengambilnya kedalam lagi. Mendengar perkataan saya itu mukanya kembali tenang dan ia pun berkata:" Jika telah demikian tuan berjanji, tentu tuan tidak akan mensiakan janji itu dan saya telah percaya penuh kepada tuan, kerana kebaikan budi tuan dalam pergaulan kita selama ini. Saya akan menerangkan kepada tuan sebab-sebab saya bersedih hati dan akan saya paparkan satu-persatu, sebagaimana berkata-kata dengan hati saya sendiri. Memang, saya harap tuan simpan citra diri saya selama saya hidup, tetapi jika saya lebih dahulu meninggal daripada tuan, sapa tahu ajal di dalam tangan Allah S.W.T,. Saya izinkan tuan menyusun hikayat ini baik-baik, mudah-mudahan ada orang yang akan suka meratap memikirkan kemelaratan nasib saya, meskipun mereka tak tahu siapa saya. Moga-moga air matanya akan menjadi hujan yang dingin dan memberi rahmat kepada saya ditanah perkuburan." Air mata saya terpercik mendengarkan perkataan itu. Ia bermenung kira-kira dua atau tiga minit; di antara gemuruh suara manusia yang hampir sunyi di dalam Masjidil Haram itu, di antara doa-doa beribu-ribu makhluk yang sedang berangkat ke hadrat Tuhan sahabatku itu mengumpulkan ingatannya. Awan gelap yang menutup keningnya hilanglah dari sedikit ke sedikit; setelah itu ia menarik nafas panjang, seakan-akan mengumpulkan ingatan yang bercerai-cerai dan ia pun memulai perkataannya. ANAK YANG KEMATIAN AYAH Masa saya masih berusia empat tahun, ayah saya telah meninggal, ia telah meninggalkan saya sebelum saya kenal siapa dia dan betapa rupanya, hanya di dinding masih saya dapati gambarnya, gambar semasa ia masih muda, gagah dan manis. Ia telah meninggalkan saya dan ibu di dalam keadaan yang sangat melarat. Rumah tempat kami tinggal hanya sebuah rumah kecil yang telah lama, yang lebih dikenal kalu disebut gobok atau dangau. Kemiskinan kami telah menjadikan ibu putus harapan memandang kehidupan dan pergaulan dunia ini, kerana tali tempat bergantung sudah putus dan tanah tempat berpijak sudah runtuh. Hanyalah saya yang tinggal, jerat semata, tempat dia menggantungkan pengharapan untuk zaman yang akan datang, zaman yang masih gelap. Meskipun pada masa itu ibu masih muda dan ada juga dua tiga orang dari kalangan saudagar-saudagar atau orang-orang berpangkat yang memintanya menjadi isteri, tetapi semuanya telah ditolaknya dengan perasaan yang sangat terharu. Hatinya belum lupa kepada almarhum ayah, semangatnya boleh dikatakan telah mengikutinya ke kuburan. Pada waktu malam, ketika akan tidur, kerap kali ibu menceritakan kebaikan ayah semasa ia hidup; ia seorang terpandang dalam pergaulan dan amat besar cita-citanya jika saya besar, akan menyerahkan saya masuk sekolah supaya saya menjadi orang yang terpelajar. Masa itu daun sedang rimbun, bunga sedang kembang dan buah sedang lebat, orang pun datanglah berduyun-duyun menghampirkan diri, ini menghampirkan diri, ini mengatakan mamak, itu mendakwa
bersaudara, berkarib famili, rumah-tangga sentiasa dapat kunjungan dari kiri dan kanan. Tetapi setelah perniagaan jatuh dan kemelaratan menjadi ganti segala kesenangan itu, tersisihlah kedua laki-isteri itu dari pergaulan, tersisih dan renggang dari sedikit ke sedikit. Oleh kerana malu ayah pindah ke Kota Padang, tinggal dalam rumah kecil yang kami diami itu, supaya namanya hilang sama sekali dari kalangan kaum kerabat itu. Ibu pun menunjukkan kepada saya beberapa doa dan bacaan, yang menjadi wirid daripada almarhum ayah semasa hidup, menghamparkan penghargaan yang besar-besar kepada Tuhan seru sekalian alam, memohonkan belas kasihanNya. Kerana di dalam umur yang semuda itu ia telah di timpa sengsara yang tiada keputusan, tidaklah sempat saya meniru meneladani teman sama anak-anak. Waktu teman-teman bersukaria bersenda gurau, melepaskan hati yang masih merdeka, saya hanya duduk dalam rumah dekat ibu, mengerjakakan pekerjaan yang dapat saya tolong, Kadang-kadang ada juga disuruh saya bermain-main, tetapi hati saya tiada dapat bergembira seperti teman-teman itu, tetapi kegembiraan bukanlah saduran dari luar, tetapi terbawa oleh sebab-sebab yang boleh mendatangkan gembira itu. Apa lagi kalau saya ingat, bagaimana ia kerap kali menyembunyikan airmata dekat saya, sehingga saya tak sanggup menjauhkan diri daripadanya. Setelah badan saya agak besar, saya lihat banyak anak-anak yang sebaya saya berjaja kuih; maka saya mintalah kepadanya supaya dia sudi pula membuat kuih-kuih itu, saya sanggup menjualkannya dari lorong ke lorong, dari satu beranda rumah orang ke beranda yang lain, mudah-mudahan dapat meringankan agak sedikit tanggungan yang berat itu. Permintaan itu terpaksa dikabulkannya, sehingga saya akhirnya telah menjadi seorang anak penjual kuih yang terkenal. Hatinya kelihatan duka memikirkan nasib saya; anak-anak yang lain waktu pagi masuk bangku sekolah, saya sendiri tidak. Untuk penjualan kuih-kuih itu hanya cukup untuk makan sehari-hari, orang lain pun tak ada tempat meminta Bantu, sakit senang adalah tanggungan sendiri. Umur saya telah masuk enam tahun, setahun lagi saya mesti menduduki bangku sekolah, walaupun sekolah yang semurah-murahnya, sekolah desa, misalnya, tetapi yang akan menolong dan membantu tak ada sama sekali, tetapi ibu kelihatan tidak putus harapan, ia berjanji akan berusaha. Supaya kelak saya menduduki bangku sekolah, membayarkan cita-cita almarhum suaminya yang sangat besar angan-angannya, supaya saya kelak menjadi orang yang berguna dalam pergaulan hidup. Masa setahun lagi ditunggu dengan sabar. Bersambung....
PENOLONG Enam bulan kemudian. Berhampiran dengan rumah kami ada sebuah gedung besar berpekarangan yang cukup luas; dalam perkarangan itu ada juga ditanam buah-buahan yang lazat seperti sauh dan rambutan.Rumah itu lama tinggal kosong, kerana tuannya seorang Belanda telah balik ke Eropah dengan mendapat pencen. Yang menjaga rumah itu selama ini adalah seorang jongos tua. Khabarnya konon rumah itu akan dijual, sebab tuan itu tidak balik lagi ke negeri ini. Selama itu kerap kali kami datang ke situ meminta buah rambutan dan sauh kepada Pak Leman. Demikian juga nama jongos tua itu. Tiba-tiba rumah itu diperbaiki, kerana telah dibeli oleh seorang saudagar tua yang hendak
berhenti dari berniaga. Ia akan hidup pada hari tua dengan senang, sebagai berehat daripada pekerjaannya yang berat pada masa ia muda memakan hasil daripada rumah-rumah sewa yang banyak di Padang dan di Bukit Tinggi, demikian juga sawah-sawahnya yang luas di sebelah Paya Kumbuh dan Lintau. Setelah rumah itu selesai diperbaiki, pindahlah orang hartawan itu ke sana bersama dengan isteri dan seorang anak perempuannya. Di hadapan rumah itu di atas batu marmar yang licin ada tertulis perkataan; Haji Jaafar. Tiap-tiap pagi saya lalu di hadapan rumah itu menjunjung nyiru berisi goring pisang, mata saya sentiasa memandang ke jendela-jendelanya yang berlangsir kain sutera kuning, hendak melihat keindahan perhiasan rumahnya. Fikiran saya menjalar, memikirkan kesenangan hati orang yang tinggal dalam rumah itu, cukup apa yang dimakannya dan diminumnya; airliur saya meleleh bila saya ingat, bahawa kami di rumah kadang-kadang makan, kadang-kadang tidak. Setelah saya meninggalkan halaman rumah itu, maka dengan suara yang merawankan hati saya panggilkan jualan saya; "Beli goreng pisang! Masih panas!" Lama kelamaan tertariklah perempuan yang setengah tua itu hendak memanggil jualan saya, demikian juga anaknya. Pernah kedengaran oleh saya ia berkata: " Panggillah Nab kesian juga saya!" Perempuan itu suka memakan sirih, mukanya jernih, peramah dan penyayang. Pak Leman yang telah menjadi jongos untuk memelihara perkarangan itu, belum pernah dapat suara keras daripadanya. Anak perempuannya itu masih kecil, sama dengan saya. Apa perintah ibunya diikuti dengan patuh, rupanya ia amat disayangi kerana anaknya hanya seorang itu. Sudah dua tiga kali saya datang ke rumah indah dan bagus itu; setiap kali saya datang bertambah sukanya melihat kelakuan saya dan belas kasihan akan nasib saya. Pada suatu hari perempuan itu bertanya kepada saya; " Di mana engkau tinggal anak, dan siapa ayah bondamu?" " Saya tinggal dekat sahaja di sini mak"-jawab saya. " Itu rumah tempat kami tinggal, di seberang jalan. Ayah saya telah mati dan saya tinggal dengan ibu saya. Beliaulah yang membuat kuih-kuih ini; pagi-pagi saya berjual goreng pisang dan kalau petang biasanya menjual rakit udang (jengket udang) atau godok perut ayam." " Berapakah keuntungan sehari?" tanyanya pula. " Tidak tentu, mak. Kadang-kadang kalau untung baik dapat setali (25 sen), Kadang-kadang kalau kurang dari itu, sekadar cukup untuk kami makan setiap hari…." " Kasihan…." – katanya sambil menarik nafas. Setelah itu ia berkata pula: " Bawalah ibumu nanti petang kemari, katakana mak yang baru pindah ke rumah ini hendak berkenalan dengan ibu." " Saya mak, ibu saya kurang benar keluar dari rumah." " Suruh lah sahaja kemari, katakan mak perlu hendak bertemu." " Baiklah kalau begitu , mak" – jawab saya.
Setelah itu saya pun pulang, sampai di rumah saya katakanlah kepada ibu perkataan orang di gedung besar itu. Mula-mula ibu seakan-akan hendak bertempik, dia agak marah kepada saya, kalau-kalau saya telah berlangsung mulut menerangkan untung nasib diri kepada orang lain. Tetapi setelah mendengar keterangan saya, hatinya pun senang. Pada petangnya takut-takut cemas pergilah dia ke rumah besar itu. Meskipun ibu saya merasa malu-malu dan insaf akan kerendahan darjatnya, Mak Asiah, demikian nama isteri Engku Haji Jafar itu, sekali-kali tiada meninggikan diri, sebagai kebiasaan perempuan-perempuan isteri orang hartawan atau orang berpangkat yang lain. Bahkan ibuku dipandangnya sebagai saudaranya, segala nasib dirinya dan penanggungan ibu didengarnya dengan tenang dan muka yang rawan, kadang-kadang ia pun turut menangis waktu ibu menceritakan hal yang sedih-sedih. Sehingga waktu cerita itu habis, terjadilah di antara keduanya persahabatan yang kental, harga menghargai dan cinta menyintai. Semenjak itu saya sentiasa datang ke rumah itu. Saya sudah beroleh seorang adik yang tidak berapa tahun kecilnya daripada saya, yaitu anak perempuan di gedung besar itu, Zainab namanya. Peribahasa yang halus dari Mak Asiah, adalah didikan juga daripada suaminya, seorang hartawan yang amat peramah kepada fakir dan miskin. Konon khabarnya, kekayaan yang di dapatnya itu adalah daripada usahanya sendiri dan titik peluhnya, bukan waris daripada orang tuanya. Dahulunya dia seorang yang melarat juga, tetapi berkat yakinnya, terbukalah baginya pintu pencarian. Sungguhpun ia telah kara-raya, sekali-kali tidaklah ia lupa kepada keadaannya tempoh dahulu, ia sangat insaf melihat orang-orang yang melarat, lekas memberi pertolongan kepada orang yang berhajat. Pada suatu pagi saya datang mendapatkan ibu saya dengan perasaan yang sangat gembira, membawa khabar suka yang sangat membesarkan hatinya, iaitu esok Zainab akan dihantarkan ke sekolah dan saya akan dibawa sama. Saya akan disekolahkan dengan belanja Haji Engku Jaafar sendiri bersama-sama anaknya. Mendengar perkataan itu bercucuran airmata ibuku kerana sukacitanya, kejadian selama ini yang sangat diharap-harapnya. Esok paginya, saya saya tidak menjunjung nyiru tempat kuih lagi, tetapi telah pergi ke sekolah menjunjung batu tulis. Agaknya dua macam faedah yang akan diambil oleh Engku Haji Jaafar menyerahkan saya, pertama untuk menolong saya, kedua untuk jadi teman anaknya. Saya pun insaf, lebih-lebih setelah beberapa nasihat daripada ibuku. Zainab telah saya pandang sebagai adik kandung, saya jaga daripada gangguan murid-murid yang lain. Lepas dari sekolah kerapkali saya datang dengan ibu ke rumah besar itu, kalau-kalau ada yang patut kami Bantu dan kami tolong, kerana kami telah dipandang sebagai anggota rumah yang besar itu. Umur saya lebih tua daripada Zainab dua tahun. Meskipun saya hanya anak yang beroleh pertolongan daripada ayahnya, sekali-kali tidaklah Zainab menganggap saya sebagai orang lain lagi, tidak pula ia pernah mengangkat diri, agaknya kerana kebaikan didikan ayah-bondanya. Cuma di sekolah, anak-anak orang kaya kerapkali menggelakkan saya anak yang berjual goreng pisang telah bersekolah bersama-sama dengan anak orang hartawan. Dua perkataan yang manis, yang timbul daripada hati yang suci, telah merapatkan kami, perkataan itu ialah abang dan adik. Sampai sekarang, saya masih teringat nikmat kehidupan dalam dunia anak-anak yang kerapkali diratapi oleh ahli-ahli sya'ir, yang hanya datang sekali ke alam manusia selama hidupnya. Waktu
itu bila pulang dari sekolah, saya dan Zainab bersama teman-teman kami yang lain berlari-lari, berkejar-kejaran dan bermain galah dalam perkarangan rumahnya, memanjat pohon rambutan yang sedang ranum, kekadang bercari-carian dan bersorak-sorak. Waktu itu ibuku dan ibunya sedang duduk di beranda belakang; ibuku sentiasa merendahkan diri, melihat kami yang rasa sukacita. Kadang-kadang waktu petang kami duduk di beranda muka, membelek buku gambar, bertengkar dan berkelahi, kemudian damai pula. Hari Minggu kami diizinkan pergi ke tepi laut. Ke muara atau ke tepi Batang Arau, melihat perahu pengail yang sedang di lambung-lambungkan gelombang di tengah lautan yang luas, kain layarnya dipuput oleh angin yang menghantarkannya ke tengah, akan mencari rezekinya. Negeri Pariaman hijau nampaknya dari jauh, ombak memecah dan menderum tiada berhenti memukul pasir tepi itu. Di sana kami berlari-larian mengejar ambai-ambai yang segak dan lekas lari ke sarangnya. Kadang-kadang kami buat unggunan pasir sebagai rumah-rumah atau masjid-masjid, tiba-tiba datang ombak yang agak besar, di hapuskannya unggunan yang kami dirikan itu; anak-anak perempuan lari ke tepi menyinsingkan tepi bajunya, takut tersiram air laut. Waktu orang berlimau, sehari akan puasa, kami dibawa ke atas puncak Gunung Padang, kerana di sanalah ayahku berkubur, dan beberapa famili ibu Zainab. Saya disuruh membawa air wangi dalam botol. Zainab mambawa bunga-bungaan dan ibuku serta ibunya mengiringi dari belakang. Semuanya masih tergambar dalam fikiran saya hari ini, masih saya ingat bahawa persaudaraan kami suci dan ikhlas adanya, dari tahun berganti tahun, sampai kami tamat dari sekolah pertengahan. Amat besar budi Engku Haji Jaafar kepada saya, banyak kepandaian yang telah saya peroleh kerana kebaikan budinya itu. Dari sekolah rendah (H.I.S) saya sama-sama naik dengan anaknya menduduki Mulo. Tetapi setelah tamat dari sana, sekolah kami tak akan disambung lagi, kerana sebenarnya didikan ibuku amak melekat kepada diri saya, iaitu condong kepada mempelajari agama. Zainab pun hingga itu pelajarannya, kerana dalam adat orang hartawan dan bangsawan di Padang, kemajuan anak perempuan itu hanya terbatas hingga Mulo, belum berani mereka melebihi dari kebiasaan umum, melepaskan anak perempuannya belajar jauh-jauh. Setelat tamat dari mulo, menurut adat, Zainab masuk dalam pingitan, ia tidak akan dapat keluar lagi kalau tidak ada satu keperluan yang sangat penting, ini pun harus ditemani oleh ibu atau orang kepercayaannya, sampai datang masanya bersuami kelak. Dan saya, bila sekolah itu tamat, akan berangkat ke Padang Panjang, sebab Engku Haji Jaafar masih sanggup membelanjai saya, apa lagi demikianlah cita-cita ibuku.
APAKAH NAMANYA INI? Saat yang ditakutkan itu pun telah datang; dengan hati riang, bercampur masyghul, saya terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Riang, kerana saya telah beroleh diploma dan masyghul kerana berpisah dengan bangku sekolah dan dengan teman-teman. Ertinya masa gembira, masa menghadapi zaman yang akan datang dengan penuh kepercayaan, telah habis. Setelah guru membahagikan diploma kami masing-masing dengan bersorak-sorak kami meninggalkan perkarangan sekolah, kami bersalam-salaman satu dengan yang lain dan guru memberi kami peringatan, supaya sekolah kami diteruskan bagi siapa yang sanggup Anak-anak Belanda dan beberapa anak saudagar-saudagar yang mampu, dengan megah menyatakan di hadapan teman-temannya, bahawa sekolah itu akan diteruskannya; setelah habis cuti tahunan, mereka akan berangkat ke tanah Jawa mengambung pelajarannya. Saya sendiri, tidaklah saya khabarkan bahawa saya akan menambah pelajaran agama, kerana selama ini teman-
teman mengejekkan saya, mengatakan saya gila agama. Yang berasa sedih sangat, adalah anak-anak perempuan yang masuk pingitan (Terkurung di rumah saja) tamat sekolah bagi mereka ertinya suatu sangkar yang telah sedia buat seekor burung yang bebas terbang. Zainab sendiri, semenjak tamat sekolah, ia pun telah tetap dalam rumah, didatangkan baginya guru dari luar yang akan mengajar berbagai-bagai kepandaian yang perlu bagi anak-anak perempuan, seperti menyulam, merenda, memasak dan lain-lainnya. Petang hari ia menyambung pelajarannya dalam perkara agama. Saya, tidak beberapa bulan setelah tamat sekolah, berangkat ke Padang Panjang, melanjutkan cita-cita ibu saya dan kerana kemurahan Engku Haji Jaafar juga. Sekolah-sekolah agama yang ada di situ mudah sekali saya masuki, kerana lebih dahulu saya telah mempelajari ilmu umum; saya hanya tinggal memperdalam pengertian dalam perkara agama saja, sehingga akhirnya salah seorang guru memberi fikiran, menyuruh saya mempelajari agama di luar sekolah saja, sebab kepandaian saya lebih tinggi dalam hal ilmu umum daripada kawan-kawan yang lain. Demikian lah pelajaran itu telah saya tuntut dengan bersungguh hati, tetapi…. Semenjak mula saya pindah ke Padang Panjang, sentiasa saya merasa keseorangan. Kian lama saya tinggal dalam negeri dingin itu, kian terasa oleh saya bahawa saya sebagai seorang yang terpencil. Keindahan alam yang ada di sekeliling kota dingin itu menghidupkan kenang-kenangan saya kepada hal-hal yang telah lalu. Gunung Merapi dengan kemuncak tandikat waktu matahari akan terbenam dan mempertaruhkan jabatan memberi cahaya kepada bulan, singlang yang sentiasa diliputi dengan kebun-kebun tebunya yang beriak-riak ditiup angin, semuanya membangkitkan perasaan-perasaan yang ganjil, yang sangat mengganggu fikiran saya. Saya berasa sebagai seorang yang kehilangan, padahal jika saya periksa penaruhan saya, peti, meja tulis, kain dan baju semuanya cukup. Teapi badan saya ringan, seakan-akan suatu kecukupan yang telah kurang. Saya Cuma ingat, bahawa jika dengan teman-teman sama sekolah saya pergi melihat keindahan air terjun di Batang Anai atau mendaki Bukit Tuai, atau gua Batu Sungai Anduk, bila masa saya melihat keindahan ciptaan alam itu, saya ingat alangkah senang hati Zainab jika ia turut melihat pula. Kerana saya tahu betul bahawa ia seorang anak perempuan yang dalam perasaannya; waktu sama-sama sekolah, ia sukar benar mendengarkan nyanyian-nyanyian yang sedih, walaupun nyanyian Barat atau Timur. Bila mana lalu dihadapan rumahnya seorang buta bersama-sama cucunya yang kecil, kerapkali ia menitikkan airmata. Bagaimanakah perasaannya kelak jikalau dia ada pula di tempat yang indah itu? Sentiasa saya hitung pertukaran hari ke bulan dan dari bulan ke tahun. Apabila cuti sekolah bagi bulan puasa telah hampir, gembiralah hati saya kerana akan dapat saya mengadap ibu saya memaparkan di hadapannya bahawa ia sudah patut gembira kerana anaknya ada harapan akan menjadi orang alim dan dapat pula bersimpuh di hadapan Engku Haji Jaafar yang dermawan, bahawa pertolongannya ada harapan akan berhasil, bersimpuh pula di hadapan Mak Asiah kerana dengan pertolongannya saja saya telah menjadi orang baik. Kemudian dari itu akan dapat pula bertemu dengan Zainab. Saya akan nyatakan di hadapannya pengalaman yang telah saya dapat selama pergi menuntut ilmu, dan saya hadiahkan kepadanya gambar dari "Panorama" keliling kota Padang Panjang yang saya ambil gambarnya bersama-sama teman sejawat saya. Tentu akan saya terangkan di hadapannya dengan gembira, dengan besar hati, sehingga ia akan termanggu-
manggu mendengar cerita saya, apa lagi ia amat sukar akan dapat keluar dari lingkungan rumahnya. Apabila sekolah saya tutup, segala segala cita-cita yang telah saya reka selama belajar, dan telah saya susun di jalan antara Padang Panjang dengan Padang semuanya dapat saya jalankan; ibu saya menitik airmata kerana kegirangannya, Engku Haji Jaafar tersenyum mendengar saya mengucapkan terima kasih. Mak Asiah memuji-muji saya sebagai seorang anak yang berbudi, Cuma ketika berhadapan dengan Zainab dalam rumahnya, mulut saya tertutup, saya menjadi seorang yang bodoh atau pengecut. " Bila abang pulang?" Katanya. " Pukul sepuluh pagi tadi." Jawab saya. " Apa khabar?Baik?" " Alhamdulillah………." Setelah itu saya menjadi bingung, tidak tentu lagi apa yang akan saya terangkan kepadanya. Segala rancangan saya terhadap dirinya yang saya reka-rekakan tadi, semuanya hilang. Ia melihat tenang-tenang kepada saya, seakan ada pembicaraan saya yang ditunggunya, tetapi kian lama saya kian gugup, sehingga sudah lalu hampir lima belas minit, tidak ada diantara kami yang bercakap. "Mudah-mudahan kelak selamatlah, dan kerapkali datang kemari kalau masih di rumah"- katanya pula; lalu ia berdiri dari tempat duduknya, kembali ke pekarangan belakang, ke dalam pingitan. Saya pun berdiri saya ambil songkok saya sambil menarik nafas panjang saya pun keluar. Dalam hati, saya teringat hendak menulis surat kepadanya akan ganti diri saya menerangkan segala perasaan hati. Surat itu akan saya tulis dengan tulus ikhlas, tidak bercampur dengan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan hati, baik perkara cinta atau perkara lain-lainnya, apa lagi surat itu tidak akan diketahui oleh orang isinya jika ditulis dalam bahasa Balanda. Tetapi ha…saya tak sampai hati, sebab perbuatan itu hanya sehingga daerah persaudaraan antara adik dan abang, tidaklah mengapa. Tetapi adalah saya ini seorang yang lemah, otak saya tak dapat mempengaruhi dan mengendalikan hati saya, sepandai-pandainya mengatur dan menyusun kata, akhirnya tentu salah satu perkataan di dalam surat itu terpaksa juga membawa erti lain, padahal dalam perkara yang halus-halus anak perempuan amat dalam pemeriksaannya. Cinta itu adalah " jiwa" antara cinta yang sejati dengan jiwa tak dapat dipisahkan, cinta pun mereka sebagaimana jiwa, ia tidak memperbezakan di antara darjat dan bangsa, di antara kaya dan miskin, mulia dan papa demikianlah jiwa saya, diluar dari pada resam basi, terlepas daripada kekang kerendahan saya dan kemuliaannya; saya merasainya, bahawa Zainab adalah diri saya, Saya merasai ingat kepadanya adalah kemestian hidup saya. Rindu kepadanya membukakan pintu angan-angan saya menghadapi zaman yang akan datang. Dahulu saya tidak pedulikan hal itu, tetapi setelah saya besar dan berpisah daripadanya, barulah saya insaf, bahawa kalau bukan di dekatnya, saya berasa kehilangan. Mustahil ia akan dapat menerima cinta saya, kerana dia langit dan saya bumi, bangsanya tinggi dan saya daripada kasih sayang ayahnya. Bila saya tilik diri saya, tidak ada padanya tempat buat
lekat hati Zainab. Jika kelak datang waktunya orang tuanya bermenantu, mustahil pula saya akan temasuk golongan orang yang terpilih untuk menjadi menantu Engku Haji Jaafar, kerana tidak ada yang akan dapat diharapkan dari saya, tetapi tuan…. Kemustahilan itulah yang kerapkali memupuk cinta. Setelah puasa habis, saya kembali ke Padang Panjang. Sebelum berangkat saya datang ke rumahnya menemuinya, menemui ayah dan ibunya. Daripada ayahnya saya dapat nasihat; " Belajarlah sungguh-sungguh, Hamid, mudah-mudahan engkau lekas pintar dalam perkara agama dan dapat hendaknya saya menolong engkau sampai tamat pelajaranmu….." " InsyaAllah Engku"- jawab saya. Setelah itu saya berangkat; seketika saya melengung yang penghabisan ke belakang; kelihatan oleh saya Zainab berdiri di pintu tengah, melihat kepada saya. Di situ timbul pula kembali sifat saya yang pengecut; saya mengadap ke muka dan saya pun pergi…… Bersambung....
SEPERUNTUNGAN Setelah beberapa lama kemudian, dengan tidak disangka-sangka satu musibah besar telah menimpa kami berturut-turut. Pertama ialah kematian sekonyong-konyong dari Engku Haji Jaafar yang dermawan. Ia seorang yang sangat dicintai oleh penduduk negeri, kerana ketinggian budinya dan kepandaiannya dalam pergaulan; tidak ada satu pun perbuatan umum di sana yang tak dicampuri oleh Engku Haji Jaafar. Kematiannya membawa perubahan yang bukan sedikit kepada perhubungan kami dan rumahtangga Zainab. Dia yang telah membuka pintu yang luas kepada saya memasuki rumahnya di zaman hidupnya, sekarang pintu itu mahu tak mahu telah tertutup. Sebagai seorang lain, Pertemuan kami tidak berleluasa seperti dulu lagi. Ah…. zaman semasa anak-anak, dia telah pergi dari kalangan kami dan tak akan kembali lagi. Belum beberapa lama setelah budiman itu menutup matanya,datang pula musibah baru kepada saya. Ibu saya yang tercinta, yang telah membawa saya menyeberangi hidup bertahun-tahun telah ditimpa sakit, sakit yang selama ini telah melemahkan badannya, iaitu penyakit dada. Kerapkali Zainab dan ibunya datang melihat ibuku, dan duduk dekat kepalanya, sedang saya duduk menjaga dengan diam dan sabar. Kerapkali juga Mak Asiah berkata; " Ah luka lama yang belum sembuh sekarang datang pula yang baru. Belum lama saya menjagai suami saya sakit, sekarang saya mesti melihat sahabat saya yang menanggung sakit. Mudah-mudahan ia lekas sembuh." Waktu itu Zainab diam dalam menungnya, di hadapan ibu yang sedang sakit, kerapkali ia melihat kepada saya dengan muka yang tenang, dan agaknya bersertaan dengan nasib yang ditanggungnya sendiri. Tetapi sepatah kata pun tak keluar daripada mulutnya dan saya pun melihat pula, sehingga kedua mata kami bertemu dan dari dalam ruang-ruang mata yang hitam, seakan-akan terbayang berulang-ulang beberapa perkataan yang penting, meskipun lidah tiada sanggup menunjukkan ertinya. Mak Asiah pergi bersama Zainab, di meja mereka letakkan sepinggan bubur yang telah didinginkan, ditutup dengan sebuah piring kecil untuk ibu, kerana dia tak kuat makan nasi. Ketika ia akan pergi, ia berkata:" Jagalah ia baik-baik, jika ia bangun kelak, berilah bubur ini barang sesenduk pun." " Baiklah mak"-kata saya.
Pintu mereka tutupkan baik-baik dan mereka pun pergi. Setelah beberapa saat kemudian ibuku mengembangkan matanya; di dalamnya hanya kelihatan tinggal cahayaa dari kekerasan hati, padahal Kekuatan telah habis sama sekali. Dicarinya saya dengan matanya yang telah kabur, tangannya yang telah tinggal jangat pembalut tulang itu mencapai-capai ke kiri ke kanan mencari tangan saya, dengan segera saya berikan tangan kanan saya, dipegangnya erat-erat dan dibawanya kemulutnya seraya diciumnya, lama sekali; dari matanya titik airmata yang panas. " Hamid"- katanya, rupanya kekuatan kembali sedikit; " Ibu hendak berbicara dengan engkau, penting sekali, nak!" " Lebih baik ibu diamkan dahulu, agaknya ibu terlalu payah." " Tidak, Mid, kekuatan ibu dikembalikan Tuhan untuk menyampaikan bicara ini kepadamu." " Apakah yang ibu maksudkan?" " Sebagai seorang yang telah lama hidup, ibu telah mengetahui suatu rahsia pada dirimu." " Rahsia apa ibu?" " Engkau cinta kepada Zainab!" " Ah, tidak ibu, itu barang yang amat mustahil dan itulah yang sangat anakanda takuti. Anakanda tak cinta padanya dan takut akan cinta, anakanda belum kenal " cinta." Anakanda tahu bahawa jika anakanda menyerahkan cinta kepadanya, takkan ubahnya seperti seorang yang mencurahkan semangkuk air tawar ke dalam lautan yang amat luas; laut tak akan berubah sifatnya kerana semangkuk air itu." " Wahai anakku, dari susunan katamu itu telah dapat ibu membuktikan bahawa engkau sedang diserang penyakit cinta, takut akan kena cinta, itulah dia sifat daripada cinta; cinta itulah yang telah merupakan dirinya menjadi suatu perbuatan, cinta itu kerapkali berupa putus harapan, takut, cemburu, hiba hati terkadang-kadang berani. Di hadapan ibumu yang telah lama merasai pahit dan manis kehidupan tidaklah dapat engkau sembunyikan lagi. Mataku telah kabur, tetapi hatiku masih terang-benderang." " Anakku …… sekarang cintamu masih bersifat angan-angan, cinta itu kadang-kadang hanya menurutkan perintah hati, bukan menurut pendapat otak. Dari belum berbahaya sebelum ia mendalam, kerapkali kalau yang kena cinta tak pandai ia merosakkan kemahuan dan kekerasan hati lelaki. Kalau engkau perturutkan tetap engkau menjadi seorang anak yang berputus asa, apa lagi kalau cinta itu tertolak, terpaksa ditolak oleh keadaan yang ada di sekelilingnya….. " Hapuskanlah perasaan itu dari hatimu, jangan timbul-timbulkan juga. Engkau tentu memikirkan juga, bahawa emas tak setara dengan loyang, sutera tak sebangsa dengan benang." " Ayahnya, orang yang telah memenuhi cita-cita kita dengan nikmat, sekarang tak ada lagi, ertinya telah putus tali yang memperhubungkan kita dengan rumahtangga orang di sana. Meski pun ibu Zainab seorang yang penuh dengan budi pekerti. Tentu saja kebaikannya kepada kita tidak lagi sebagai suaminya hidup. Apa lagi famili-famili mereka yang bertali darah sudah banyak yang akan turut mengatur keadaan pergaulan rumahtangga itu, iaitu orang-orang baru yang tidak kenal akan kita."
" Memang anak,….. cinta itu " Adil" sifatnya, Allah telah mentakdirkan dia dalam keadilan, tidak memperbeza-bezakan antara raja dengan orang meminta-minta, tiada menyisihkan orang kaya dengan orang miskin, orang mulia dengan orang hina, bahkan kadang-kadang tidak juga berbeza baginya antara bangsa dengan bangsa, tetapi aturan pergaulan hidup, tiada membiarkan yang demikian itu berlaku, orang sebagai kita ini telah dicap dengan darjat " Bawah" atau " Kebanyakkan" sedang mereka diberi nama " cabang atas"; cabang atas ada kalanya kerana pangkat dan ada kalanya kerana harta benda. Cincin emas orang sayang hendak memberi bermatakan kaca, tentu dicarikan orang, biar lama, permata intan berlian, atau zamrud dan nilam yang telah diasah oleh orang rantai perintang-perintang hatinya, kerana lama menanggung dalam penjara." " meski pun Zainab suka kepada engkau…. Kerana agaknya batinnya suci daripada perasaan takbur dan mengangkat dirinya, tidaklah langsung kalau ibunya tak suka. Diletakkan ibunya suka, bermuafakat orang itu dahulu dengan kaum kerabat, handai dan taulan. Kalau mereka tak sepakat, waktu itulah kelak kau diserang oleh putus asa, oleh malu, dan kadang-kadang memberi melarat kepada jiwamu. Sebab api masih belum besar tidak engkau padami lebih dahulu." " Tidak ada yang lebih baik untuk melupakan hal itu sebelum ia mendalam, sebab cinta kepada orang yang demikian, adalah cinta arwah ayahmu hendak kembali ke dunia, kerana ia berbesar hati melihat engkau telah besar. Ia tahu dan melihat segala apa yang kejadian dalam dunia ini, dan ia ingin sekali hendak datang. Tetapi sayang…. Alam dunia telah terbatas jauh sekali dengan alam barzakh….." Lama saya termenung mendengarkan perbicaraan ibu itu, pertama kerana amat dalam penyelidikannya kepada faham hidup ini, kedua memikirkan kekuatan jiwanya yang timbul, seakan-akan malaikat yang memimpin dia sedang berbicara, yang tidak saya sangka-sangka akan sejelas itu. Beberapa saat antaranya saya pun menjawab:" Terima kasih, ibu, nasihat ibu masuk benar kedalam hatiku, semuanya benar belaka, sebenarnya sudah lama pula anakanda merasa yang demikian, sehingga dengan hati sendiri anakanda berjanji hendak melupakannya, yang amat ajaib ialah peperangan otak dengan hati. Tetapi bila kelihatan rumahtangga, atau kelihatan rupanya sendiri, dan kadang-kadang bila namanya disebut orang hati ini lupa akan perintah otak, ia kembali berdebar, ia surut kepada kenang-kenangannya yang lama. Inilah yang kerapkali mengalahkan anakanda." " Ah, anakku, pandai benar engkau mewartakan nasibmu kepada ibumu! Mengapa engkau segila itu benar, pada hal agaknya engkau belum mengetahui bagaimana pula perasaan Zainab kepada dirimu?" " Wahai ibu, Cuma anakanda tahu bahawa cintaku mendapat sambutan dengan semestinya, agaknya tidaklah separah ini benar luka hatiku, kerana cinta yang dibalas itulah ubat yang paling mujarab bagi seorang anak muda dalam hidupnya, tak akan lebih pintanya daripada itu, hati anak muda akan besar dan merasa beruntung, jika anakanda ketahui bahawa airmata anakanda yang selama ini telah banyak tercurah tidak bagai air yang tenggelam di pasir; bahawa pengharapan dalam menuju hidup tak terhambat ditengah jalan; bahawa cita-cita hendak memandangi langit tidak di halangi oleh awan. Cinta anakanda kepadanya bukan mencintai tubuhnya dan bentuk badannya, tetapi jiwa anakandalah yang mencintai jiwanya, kecintaan anakanda bukan dipeterikan oleh kebiasaan bergaul dan bukan pula kerana kepandaian menyusun surat-surat kiriman. Kebebasan pergaulan bisa ditutupi dengan perangai yang dibuat-buat dan kepintaran mengarang surat dapat pula menyembunyikan kepalsuan hati. Anakanda menyintai Zainab kerana budinya; di dalam matanya ada terkandung suatu lukisan hati yang suci dan bersih."
" Anakku, sudah tinggi fikiranmu rupanya, sudah dapat engkau menerangkan perasaan hati dengan perkataan yang cukup, sudah menurun pada dirimu kelebihan ayahmu. Ibu tak dapat menyambung perkataan lagi….. perkataanmu hanya ibu sambut dengan airmata. Hanya kepada Tuhan ibu berharap, mudah-mudahan Dia memberikan anugerah dan perlindungan akan dirimu. Dia yang telah menanamkan perasaan itu ke dalam hatimu, Dia pula yang berkuasa mencabutnya. Mudah-mudahan itu hanya suatu khayal, suatu angan-angan yang kerapkali mempengaruhi hati anak muda, yang dapat hilang kerana pergantian siang dan pertukaran malam." " Mudah-mudahan," jawab saya. Demikianlah nasihat kepada saya, setelah itu kekuatannya tak ada lagi. Dari saat ke saat, hanya kelihatan kepayahannya menyelesaikan nafas yang turun naik. Kadang-kadang dilihatnya saya tenang-tenang dan dingangakan mulutnya sedikit minta minum. Ubat-ubatnya tak memberi faedah lagi. Tidak beberapa malam setelah dia memberi nasihat itu, datanglah masa yang ditunggu-tunggunya, masa berpindah daripada alam yang sempit kepada alam yang lapang. Sementara saya asyik meminumkan ubat, di tangan kanan saya terpegang sudu dan di tangan kiri terpegang gelas. Ia melihat kepada saya dengan tenang, alamat berpisah yang akhir. Dari mulutnya keluar kalimah suci, bersamaan dengan kepergian nyawanya ke dalam alam yang baqa', yang di sana tempat manusia lepas daripada segala penyakit. Saya tercengang dan seakan-akan bingung, di tangan kanan saya sudu masih terpegang, di tangan kiri saya berisi ubat; saya lihat ke atas meja, di sana terletak beberapa botol yang telah kosong dan ramuan dukun yang telah layu, limau manis yang dihantarkan oleh Zainab pagi hari itu baru diusiknya seulas, lebihnya masih tinggal terletak di atas meja. Waktu itulah baru saya insaf bahawa itu bukan perkara sudu, gelas, bukan perkara ubat ramuan, tetapi perkara ajal semata-mata….. Sekarang saya sudah tinggal sebatang kara di dunia ini! Bersambung.... TEGAK DAN RUNTUH Telah lalu kejadian itu dan dia telah memberi kesan ke dalam jantung saya; rupa-rupanya kedukaan dan cubaan mesti diturunkan kepada manusia secukup-cukupnya dan sepuas-puasnya, menanglah siapa yang tahan. Sejak kematian itu tidak beberapa kerap lagi saya datang ke rumahnya, saya karam dalam permenungan, memikirkan hidup saya di belakang hari, sebatang kara di dunia ini. Pada suatu petang sedang matahari akan tenggelam ke dasar lautan di Batang Arau, di antara Hujung Gunung Padang, di celah-celah ombak yang memecah ke atas pasir yang putih di Pulau Pandan, di waktu saya sedang berjalan seorang diri di pesisir Batang Arau yang indah, melihat perahu keluar masuk, tiba-tiba...... kelihatan oleh saya sebuah perahu tumpangan datang dari seberang, di atasnya duduk tiga orang perempuan yang agak tua, bertudung kain bugis halus, setelah perahu kecil itu hampir, keluar dari dalamnya perempuan-perempuan itu, seorang di antaranya ialah Mak Asiah sendiri, ia lekas melihat saya, " Oh, engkau Hamid? Mengapa di sini?" Katanya. " Berjalan-jalan emak," jawabku; " Dan emak dari mana?"
" Dari menziarahi kubur bapamu….mengapa engkau tak datang ke rumah semenjak ibumu meninggal?" Kerana Engku Haji Jaafar tiada lagi, akan engkau alangi saja datang ke rumah? " Tidak emak, Cuma kematian yang bertimpa-timpa itu agak mendukacitakan hatiku, itu sebab saya kurang benar keluar rumah. " Tak boleh begitu, Hamid; sebabnya engkaulah yang mesti menyabarkan hati kami. Besok engkau mesti datang ke rumah, ibu tunggu kedatanganmu, banyak yang perlu kita bincangkan." " Baiklah mak." " Saya tunggu, ya?" " Baik, mak!" Setelah itu ia pun pergi di tengah jalan, sebelum mereka naik dari sampan, rupanya pembicaraan mereka terhadap diri saya saja. Kerana tak berapa jauh langkahnya, perempuan-perempuan tua yang lain semuanya menoleh kepada saya sebagai rupa orang menunjukkan belas kasihan. Besoknya janji itu pun saya tepati. Wahai tuan, hari itulah masa yang tak dapat saya lupakan! Saya datang ke rumah itu, rumah tempat saya bersenda gurau dengan Zainab di waktu kecil, rumah itu seakan-akan hilang semangat dan memang kehilangan semangat, kerana bekas-bekas kematian masih kelihatan nyata. Pintu luar terbuka sedikit dan saya ketuk pintunya yang mengadap ke dalam; pintu terbuka…. Zainab yang membukakan. " Abang Hamid!" katanya. Waktu itu kelihatan nyata oleh saya mukanya merah, nampak sangat gembiranya melihat kedatangan saya. Baru sekali itu dan baru saat itu selama hidup saya melihat mukanya demikian, yang tak pernah saya gambarkan dan tuturkan dengan susunan kata, pendeknya wajah yang memberikan saya penuh pengharapan. " Bang Hamid!" katanya menyambung perkataannya, " Sudah lama benar abang tak kemari, lupa agaknya abang kepada kami!" Gugup saya hendak menjawab; saya pintar mengarang khayal dan angan-angan tetapi bila sampai di hadapannya saya menjadi seorang yang bodoh. " Tidak, Zainab" jawabku dengan gugup; " Tetapi….. bukankan kita sama-sama kematian?" " Memang, kematian itulah yang sepatutnya menjadikan abang kerap kemari." Seketika itu mukanya kembali ditekurkannya menghadapi kakinya, tangannya berpegang ke pinggir pintu, rambutnya yang halus menutupi sebahagian keningnya dan sepatah kata pun dia tidak berbicara lagi. " Zainab…" kataku pula. " Sebetulnya tidak saya…. Pernah lupa datang kemari, barangkali engkaulah… agaknya yang … lupa kepadaku."
Mendengar itu ia bertambah menekur, tak berani ia mengangkat muka lagi, dan saya pun gugup hendak menambah perkataan, memang bodoh saya ini, dan pengecut! Tiba-tiba dalam saya menyediakan perkataan yang akan saya katakana pula dalam sedang merenungi kecantikan Zainab, kedengaranlah dari halaman tapak kaki emak Asiah menginjak batu; Zainab mengangkat mukanya seraya berkata: " Itu ibu datang." Saya masih dalam kebingungan, Zainab lalu kehadapan saya mengadap kedatangan ibunya. Ketika sampai ke beranda dia berkata " Sudah lama Mid?" " Baru sebentar, mak" jawabku. Saya disuruh duduk, Zainab dengan segera pergi ke belakang memasak kopi sebagaimana kebiasaannya. " Hampir mak terlupa akan janji kita. Tadi mak pergi ke rumah orang sebelah kerana tiada lama lagi dia akan mengahwinkan anaknya; jadi dari sekarang sedang bersiap-siap menyediakan yang perlu, maklumlah tetangga, perlu bantu-membantu." Saya dengarkan perkataannya, tetapi fikiran saya masih tetap ingat kepada kejadian tadi. Fikiran saya menjalar kemana-mana, memikirkan tegur Zainab dan mukanya yang merah ketika mula-mula melihat saya; hanya suatu kejadian yang tiba-tibakah itu, atau adakah dia merasai apa yang saya rasai? Dalam pada itu Mak Asiah masih tetap membicarakan beberapa perkara menyebut-nyebut jasa suaminya, menyebut kebaikan ibuku. Akhirnya sampai pembicaraan kepada Zainab. " Bagaimanakah fikiranmu Hamid, tentang adikmu Zainab ini?" " Apakah yang emak maksudkan' Tanya saya. " Semua keluarga di darat (darat adalah sebutan dari Padang Halus) telah bermuafakat dengan emak hendak mempertalikan Zainab dengan seorang anak saudara almarhum bapamu, yang ada di darat itu, dia sekarang sedang bersekolah di Jawa. Maksud mereka dengan perkahwinan itu supaya hartabenda almarhum bapanya dapat dijagai oleh familinya sendiri, oleh anak saudaranya, sebab tidak ada saudara yang lain, dialah anak yang tunggal. Pertunangan itu telah dirunding oleh orang yang sepatutnya, jika tiada aral melintang, bulan depan hendak dipertunangkan dahulu, nanti apabila tamat sekolahnya akan dilangsungkan perkahwinan. Hal ini telah mak rundingkan dengan Zainab, tetapi tiap-tiap ditanya dia menjawab belum hendak bersuami, katanya, tanah perkuburan ayahnya masih merah, airmatanya belum kering lagi. Itulah sebabnya engkau disuruh kemari, akan emak lawan berunding, mak masih ingat pertalian engkau dan Zainab masa engkau kecil dan masih sekolah; engkau banyak mengetahui tabiatnya apalagi engkau tidak dipandangnya sebagai orang lain, sukakah engkau Hamid, menolong emak?" Lama saya termenung….. " Mengapa engkau termenung, Hamid? Dapatkan engkau menolong emak, melembutkan hatinya dan memujuk ia supaya mahu? Hamid!.... emak percaya sepenuh-penuhnya kepadamu sebagai Allahyarham bapamu percaya kepada engkau!' " Apakah yang akan dapat saya Bantu mak? Saya seorang yang lemah. Sedangkan ibunya sendiri tak dapat mematah dan melembutkan hatinya apatah lagi saya orang lain, anak semangnya." " Jangan bercakap begitu, Hamid, engkau bukan emak pandang sebagai orang lain lagi, almarhum telah memasukkan engkau ke dalam golongan kami, walaupun beragih tetapi tak bercerai. Maka di atas namanya hari ini, di atas nama Haji Jaafar mak meminta tolong melembutkan hati
adikmu." " Oh itu namanya perintah, saya kabulkan permintaan mak." Mukanya kelihatan gembira, meskipun dia tak sempat memperhatikan bagaimana perubahan muka saya yang telah muram. Kemudian keluarlah Zainab membawa dua cawan kopi dan beberapa piring kuih. Ibunya melihat kepadanya dengan kasih dan mesra, kerana pada diri anaknya itulah tergantung pengharapannya dan penghabisan. " Duduk, Nab, abangmu Hamid hendak berkata-kata sepatah dua kata dengan engkau." Saya masih agak bingung dan Zainab telah duduk dekat ibunya dengan wajah kemalu-maluan. Beberapa minit lamanya tenang saja dalam ruangan itu tak seorang jua pun di antara kami yang berkata; ibunya seakan-akan menunggu supaya perkataan itu lekas dimulai, Zainab kelihatan malu tak mahu melihat muka saya, sedang saya masih termenung memikirkan dari manakah percakapan itu akan saya mulai. " Bicaralah, Hamid, amat banyak masa terbuang," kata ibu dengan tiba-tiba. Sulit sekali untuk memulai pembicaraan itu, sulit menyuruh seorang mengerjakan suatu pekerjaan yang berat hatinya melakukan, pekerjaan yang berlawanan dengan kehendak hatinya sendiri. Tetapi di balik itu, sebagai seorang anak muda yang telah dicurahi orang kepercayaan dengan sepenuhnya, yang sudi mengorbankan jiwa untuk menyimpan rahsia. Akhirnya hati saya dapat saya bulatkan dan mulai berkata: " Begini Zainab…. Sudah lama ayah meninggal, semenjak itu lenganglah rumah ini, tiada seorang pembela pun yang akan dapat menjaganya. Selain dari itu, menurut aturan hidup di dunia, seorang gadis perlulah mengikut perintah orangtuanya, terutama kita orang Timur ini. Buat menunjukkan setia hormatnya kepada orangtuanya, ia perlu menekan perasaan hati sendiri. Dia mesti ingat sebuah saja, iaitu mempergunakan dirinya, baik murah atau mahal, untuk berkhidmat kepada orangtuanya." " Sekarang, kerana memikirkan kemuslihatan rumahtangga dan memikirkan hati ibumu, pada hal hanya sendiri lagi yang dapat engkau khidmati, ia berkehendak supaya engkau mahu dipersuamikan…. dipersuamikan dengan…kemanakan ayahmu." Seakan-akan terlepas dari suatu beban yang maha hebat saya rasanya, setelah selesai perkataan yang sulit itu. Selama saya berbicara Zainab masih tetap menekur ke meja, tanganya mempermain-mainkan sebuah pontong macis, diramas-ramasnya dan dipatah-patahnya, belum sebuah juga perkataan keluar dari mulutnya. Setelah kira-kira lima minit lamanya, barulah mukanya diangkat, airmatanya kelihatan mengalir, mengalir setitik dua titik ke pipinya yang halus dan indah itu. " Bagaimana, Zainab, jawablah perkataanku!" " Belum abang, saya belum hendak kahwin. " Atas nama ibu, atas nama almarhum ayahmu." " Belum abang!"
" Sampai hati abang memaksa aku?" " Abang bukan memaksa engkau, adik… ingatlah ibumu." Mendengar itu dia kembali terdiam, ibunya pun terdiam, ia telah menangis pula. Karam rasanya bumi ini saya pijakkan, gelap tujuan yang akan saya tempuh. Dua kejadian yang hebat telah membayang dalam kehidupan saya sehari itu, tak ubahnya dengan seorang yang bermimpi mendapat sebutir mutiara ditepi lautan besar, sebelum mutiara itu dibawa pulang, tiba-tiba sudah tersedar; meskipun mata dipaksa hendak tidur, mimpi yang tadi telah tinggal mimpi, ia telah tamat sehingga itu tidak akan bertambah-tambah lagi. Selama ini saya masih ragu, adakah Zainab membalas cinta saya; pertemuan saya dengan dia itu memberikan pengharapan sedikit pada saya, tetapi belum pengharapan itu dapat saya yakni tibalah penyerahan ibunya yang berat itu. Hanya hingga itu dapat saya ceritakan kepada tuan apa yang terjadi sehari itu. Setelah itu saya pun pulang ke rumah saya, di jalan pulang saya rasakan badan saya sebagai bayang-bayang tanah serasa bergoyang saya pijakkan. Bersambung....
BERJALAN JAUH Dua kejadian yang berjuang pada hari itu, cukuplah untuk menentukan tujuan nasib saya; nikmat hati hanya lalu sebagai khayal belaka. Setelah melayap laksana satu bayangan, ia pun hilang dan tidak akan kembali lagi. Kepada Tuhan dapatlah saya menghantarkan satu kesyukuran yang bersih, sebab saya telah dapat memberikan suatu pengorbanan untuk seorang perempuan yang lemah, saya telah menolongnya, memujuk anaknya yang keras. Untuk itu perasaan hati sendiri telah saya tekankan; sungguh besar sekali korban yang saya berikan, memang kalau diukur dengan fikiran, saya ini hanya pantas menjadi saudara Zainab, menjadi pembelanya, tetapi cinta mempunyai suatu lapangan yang lebih luas daripada ukuran fikiran itu. Inilah yang tertulis dalam hati, yang sukar dilupakan selamanya. Ada suatu jawapan yang tergantung, yang saya sempat dengar dari mulut Zainab, dan keras persangkaan saya akan dirinya pada hari itu; itulah yang sentiasa menjadi penyakit pada saya, tetapi menjadi ubat juga. Kemudian saya insaf, bahawa alam ini penuh dengan kekayaan. Allah menunjukkan kuasaNya. Tidaklah adil jika semua makhluk dijadikan dalam tertawa, yang akan menangis pun ada pula. Kita mesti mengukur perjalanan alam dengan ukuran yang luas, bukan dengan nasib diri sendiri. Bukankah patut saya syukur dan terima kasih, sebab seorang perempuan tua dapat saya tolong, saya patahkan hati anaknya yang hanya satu tempat menumpahkan segala pengharapannya. Kalau kelak terjadi perkahwinan Zainab dengan kemanakan ayahnya dan mereka hidup beruntung, sehingga Mak Asiah waktu menutup mata tidak merasa bahawa ia masih ada hutang piutang dengan anaknya, bukankah saya telah mengusahakannya? Memang, mula-mula hati itu mesti bergoncang; bukahkan loceng-loceng dirumah juga berbunyi keras dan berdengung jika kena pukul? Tetapi akhirnya, dari sedikit ke sedikit, dengung itu akan berhenti juga. Cuma saja saya mesti berikhtiar, supaya luka-luka yang hebat itu jangan mendalam kembali, saya mesti berusaha, supaya ia beransur-ansur sembuh. Untuk itu saya mesti berusaha, saya mesti meninggalkan Kota Padang, terpaksa tak melihat wajah Zainab lagi, saya berjalan jauh.
Setelah saya siapkan segala yang perlu dan rumahtangga saya pertaruhkan kepada salah seorang sahabat handai yang setia, dengan tak seorang pun yang mengetahui, saya berangkat meninggalkan Kota Padang, kota yang permai dan yang sangat saya cintai itu, dengan menekankan dan membunuh segala perasaan yang sentiasa mengharu hati, saya tumpangi kereta yang berangkat ke Siantar. Di kiri kanan saya banyak penumpang lain yang akan menuju ke kota Medan, setelah saya sampai ke Medan, saya buat surat kepada Zainab, sesudah hati saya, saya beranikan; itulah surat saya yang pertama kali kepadanya. Jika kelak ternyata dia tak cinta kepada saya, syukur, sebab saya tak melihat mukanya yang kesal membaca surat. Tetapi kalau ia nyata ada mempunyai perasaan sebagi yang saya rasai dan surat itu diterimanya dengan sepertinya, tentu sekurang-kurangnya saya akan menerima belas kasihannya, sebagai seorang melarat yang diarak oleh untung nasib saya. Demikian bunyi surat itu masih hafaz oleh saya: " Menyesal sekali, kerana sebelum berangkat tak sempat saya bertemu muka dengan adinda lebih dahulu, maafkanlah adik, kerama amat banyak halangan yang menyebabkan saya tak sempat datang ketika itu, halangan yang tak sapat saya sebutkan. Barangkali agak sedikit tentu adik bertanya juga dalam hati, apa gerangan sebabnya abang Hamid berangkat dengan tiba-tiba. Biarlah hal itu menjadi soal buat sementara waktu, lama-lama tentu akan hilang jua dengan sendiri. Banyak hal-hal yang akan saya terangkan dalam surat ini, tetapi tak sanggup pena saya menulisnya. Hanya dengan surat ini saya bermohon sangat supaya adik menuruti cita-cita ibu. Jika kelak maksud famili sampai dan adik bersuami; berikan kepadanya kesetiaan yang penuh. Akan hal diri saya ini, ingatlah sebagai mengingat seorang yang telah pernah bertemu dalam peri penghidupanmu, seorang sahabat dan boleh juga disebut saudara yang ikhlas dan saya sendiri akan memandang tetap engkau sebagai adikku. Jika pergaulanmu kelak dengan suamimu berjalan dengan gembira dan beruntung, sampaikanlah salam abang kepadanya. Katakan bahawa di suatu negeri yang jauh, yang tak tentu tanahnya, ada seorang sahabat yang sentiasa ingat akan kita. Dan biarlah Allah memberi perlindungan atas kita semuanya. Wassalam abangmu, Hamid, Demikianlah bunyinya surat yang saya kirimkan. Tiada lama saya di Medan, saya menuju ke Singapura, mengembara ke Bangkok, belayar terus memasuki tanah-tanah Hindustan, dan dari Karachi belayar menuju ke Mesir masuk ke Iraq, melalui Sahara Najad dan akhirnya sampailah saya ke tanah suci ini. Sekarang sudah tuan lihat, saya telah ada di sini, di bawah lindungan Ka'bah yang suci, terpisah daripada pergaulan manusia yang lain. Di sinilah saya selalu tafakur memohon kepada Tuhan seru sekalian alam, supaya ia memberi saya kesabaran dan keteguhan hati menghadapi kehidupan. Setiap malam saya duduk beri'tikaf di dalam Masjidil Haram, doa saya telah berangkat ke langit
biru, membumbung ke dalam alam ghaib bersama-sama permohonan segala makhluk yang makbul. Segala ingatan kepada zaman yang lama-lama, dari sedikit beransur-ansur lupa juga. Cuma sekali-sekali ia terlintas difikiran, ketika itu saya menarik nafas panjang, kerana biar pun luka sembuh dengan kunjung, bekasnya mesti ada juga. Tetapi hilang pula dengan segera, bila saya bawa tawaf dan sa'ie(berjalan antara Safa dan Marwah), atau saya bawa bertekun di dalam masjid tengah malam. Sudah hampir datang tamaninah (ketetapan) ke dalam hati saya menurut persangkaan saya mula-mula, tamatlah cerita ini sehingga itu. Bersambung....
BERITA DARI KAMPUNG Setelah setahun saya di sini dan waktu mengerjakan haji telah datang. Tuan sendiri yang mula-mula saya kenal semenjak orang-orang yang akan mengerjakan haji dari tanahair kita. Kemudian sebagai tuan maklum, datanglah pula saudara kita Salleh ini. Salleh adalah salah seorang teman saya semasa kami bersekolah agama di Padang dan Padang Panjang; oleh kerana sekolahnya di Padang telah tamat, dia hendak meneruskan pelajarannya ke Mesir, ia singgah di Mekah ini untuk mencukupkan rukun. Sekarang ia berangkat ke Medinah, supaya sehabis haji dapat ia menumpang kapal yang membawa orang Mesir kembali yang sewanya lebih murah dari kapal-kapal lain. Dengan kebetulan sekali, dia telah memilih syeikh kita menjadi tempatnya, menumpang, sehingga sahabat lama itu bertemu kembali, setelah kami bercerai selama itu. Wahai tuan….. kedatangannya telah menghidupkan ingatan kembali kepada yang lama-lama, dia menceritakan kepadaku, bahawa dia telah beristeri dan isterinya telah sudi melepaskan die belajar sejauh itu. Padahal mereka baru saja berkahwin. Dipujinya isterinya sebagai seorang perempuan yang setia, yang teguh hatinya melepaskan suaminya berjalan jauh, kerana untuk menambah pengetahuannya. Setelah beberapa hari dia datang, dibawanya saya ke Maala di atas sebuah bangku di halaman qahwa ia membicarakan akan suatu hal yang sangat menggerakkan fikiran saya. Sambil meminum syahi (teh) Arab yang panas dan enak, ia mulai berkata: " Hamid! Tempoh hari sudah saya katakan, bahawa saya telah beristeri, isteri saya itu ialah Rosnah..ingatkah engkau akan Rosnah, sahabat karib Zainab?" Saya pucat mendengar nama Zainab disebutnya. Kerana sudah lama benar saya tiasa mendengar nama itu disebut orang, kecuali saya sendiri, perubahan muka saya itu dilihat oleh Salleh sambil tersenyum duka. " Kerapkali isteriku disuruhnya datang kerumahnya" katanya meneruskan ceritanya. " Kerana hubungan persahabatan mereka itu yang karib. Rupanya Zainab telah sudi membukakan rahsia-rahsianya yang sulit kepada isteri saya. Yang paling hebat, ialah seketika pada suatu hari isteri saya datang ke rumahnya, didapatinya Zainab merenung sebuah album, di dalam album itu terkembang sehelai surat kecil yang telah lusuh dan lunak, kerapkali dibaca dan dibuka lipatannya. " Setelah adinda kelihatan olehnya" kata isteriku," album itu ditutupnya dengan segera dan surat itu disimpannya baik-baik ke dalam laci mejanya, setelah itu dia kelihatan kepada adinda dengan tenang, wajahnya muram, matanya berbekas tangis dan dia menarik nafas panjang".
" Tiada tahan rupanya hati isteriku melihat kejadian itu, maklumlah kaum perempuan itu seperasaan, lalu ia berkata: " Zainab!.... mengapa engkau menangis pula, sahabat? Tidakkah di rumah yang sepermai ini sarang orang yang berdukacita.Di rumah yang indah-indah dan gedung yang permai, yang di kiri kanannya dikelilingi oleh kebun-kebun yang subur, cukup dengan orang-orang gajian yang setia, tiadalah patut terdapat orang yang mengalirkan airmata. Disana tidaklah ada kesedihan dan kedukaan." Zainab menjawab: " Salah sekali persangkaanmu, sahabat! Bahawasanya airmata tidaklah ia memilih tempat untuk jatuh, tidak pula memilih waktu untuk turun. Airmata adalah kepunyaan bersyarikat, dipunyai oleh orang-orang yang melarat yang tinggal di dangau-dangau yang buruk, oleh tukang sabit rumput yang masuk ke padang yang luas dan ke tebing yang curam, dan juga oleh penghuni gudang-gudang yang permai dan istana-istana yang indah. Bahkan di situlah lebih banyak orang menelan ratap dan memulas tangis. Luka jiwa yang mereka hidupkan, dilingkung oleh tembok dinding yang tebal dan tinggi, sehingga yang kelihatan oleh orang di luar penuh dengan kepahitan." " Kesedihan orang lain lebih merdeka dan lebih puas, dapat ia menerangkan fahamnya yang tertumbuk kepada alam yang sekelilingnya, dapat pula mereka lupakan dan menghilangkan. Tetapi di rumahtangga yang sebagai ini, kedukaan akan dirasakan sendiri, airmata akan dicucurkan seorang, rumah dan gedung menjadi kubur kesedihan yang tiada berhujung". Airmata Zainab kembali jatuh. " Mengapa engkau menangis juga, sahabatku! Kesedihan apakah yang engkau tanggungkan? Teringatkah engkau kepada ayahmu? Kalau demikian, engkau salah, Zainab! Lupa engkau agaknya, bahawa kedukaan itu tumbuh diapit oleh dua rumpun kesukaan." " Bukan demikian, sahabat!" jawabnya. " Buat diriku sendiri, Tuhan telah mentakdirkan berlainan dari orang. Kedukaanku tumbuh di antara dua kedukaan pula. Dahulu saya telah berduka, sekarang berdukacita dan kelak akan terus berluka hati." " Engkau mengesali nasib, Zainab!" " Menyesali nasib saya tidak, menyedar untung saya bukan, melainkan yang sebe

KISAH CINTA ADAM DAN HAWA

30 April 2013 20:50:38 Dibaca : 2610

Kisah Cinta Adam dan Hawa


Segala kesenangan ada di dalamnya.Semua tersediaapa saja yang diinginkan,
tanpa bersusah payah memperolehinya.Sungguh suatu tempat yang amat indah dan
permai, menjadi idaman setiap insan.Demikianlah menurut riwayat, tatkala Allah
SWT.selesai mencipta alam semesta dan makhluk-makhluk lainnya, maka dicipta-Nya
pula Adam ‘alaihissalam sebagai manusia pertama.Hamba yang dimuliakan itu
ditempatkan Allah SWT di dalam Syurga (Jannah).


Adam a.s hidup sendirian dan sebatangkara , tanpa mempunyai seorang kawan
pun.Ia berjalan ke kiri dan ke kanan, menghadap ke langit-langit yang tinggi, ke bumi
terhampar jauh di seberang, maka tiadalah sesuatu yang dilihatnya dari mahkluk
sejenisnya kecuali burung-burung yang berterbangan kesana ke mari, sambil berkejarkejaran
di angkasa bebas, bernyanyi-nyanyi, bersiul-siul, seolah-olah mempamerkan
kemesraan.


Adam a.s terpikat melihatnya, rindu berkeadaan demikian.Tetapi sungguhmalang ,
siapalah gerangan kawan yang hendak diajak.Ia merasa kesepian, lama sudah.Ia tinggal
di syurga bagai orang kebingungan, tiada pasangan yang akan dibujuk bermesra
sebagaimana burung-burung yang dilihatnya.
Tiada pekerjaan sehari-hari kecuali bermalas-malas begitu saja, bersantai
berangin-angin di dalamtaman syurga yang indah permai, yang ditumbuhi oleh
bermacam bunga-bunga kuntum semerbak yang wangi, yang di bawahnya mengalir anakanak
sungai bercabang-cabang, yang desiran airnya bagai mengandung pembangkit
rindu.


Apasaja di dalam syurga semuanya nikmat!Tetapi apalah erti segalanya kalau hati
selalu gelisah resah di dalam kesepian seorang diri?
Itulah satu-satunya kekurangan yang dirasakan Adam a.s di dalam syurga.Iaperlu
kepada sesuatu, iaitu kepada kawan sejenis yang akan mendampinginya di dalam
kesenangan yang tak terhingga itu. Kadangkala kalau rindu dendamnya datang,
turunlahia ke bawah pohon-pohon rendang mencari hiburan, mendengarkan burungburung
bernyanyi bersahut-sahutan, tetapi aduh hai kasihan...bukannya hati menjadi
tenteram, malah menjadi lebih tertikam.Kalau angin bertiup sepoi-sepoi basah di mana

daun-daunan bergerak lemah gemalai dan mendesirkan suara sayup-sayup, maka
terkesanlah di hatinya keharuan yang begitu mendalam; dirasakannya sebagai derita batin
yang tegak di sebalik nikmat yang dianugerahkan Tuhan kepadanya.
Tetapi walaupun demikian, agaknya Adam a.s malu mengadukan halnya kepada
Allah SWT.Namun, walaupun Adam a.s malu untuk mengadu, Allah Ta'ala sendiri Maha
Tahu serta Maha Melihatapa yang tersembunyi di kalbu hamba-Nya.Oleh itu Allah Ta'ala
ingin mengusir rasa kesepian Adam.


Tatkala Adam a.s sudah berada di puncak kerinduan dan keinginan untuk
mendapatkan kawan, sedangia lagi duduk terpekur di atas tempat duduk yang berlapiskan
tilam permaidani serba mewah, maka tiba-tiba ngantukpun datanglah menawannya serta
langsung membawanya hanyut ke alam tidur.
Adam a.s tertidur nyenyak, tak sedar kepada sesuatu yang ada di
sekitarnya.Dalam saat-saat yang demikian itulah Allah SWT menyampaikan wahyu
kepada malaikat Jibril a.s untuk mencabut tulang rusuk Adam a.s dari lambung sebelah
kiri.Bagai orang yang sedang terbius, Adam a.s tidak merasakan apa-apa ketika tulang
rusuknya dicabut oleh malaikat Jibril a.s.


Dan oleh kudrat kuasa Ilahi yang manakala menghendaki terjadinya sesuatu
cukup berkata “Kun!” maka terciptalah Hawa dari tulang rusuk Adam a.s, sebagai insan
kedua penghuni syurga dan sebagai pelengkap kurnia yang dianugerahkan kepada Adam
a.s yang mendambakan seorang kawan tempatia boleh bermesra dan bersenda gurau.
Hawa duduk bersandar pada bantal lembut di atas tempat duduk megah yang
bertatahkan emas dan permata-permata bermutu manikam, sambil terpesona
memperhatikan kecerahan wajah dari seorang lelaki kacak yang sedang terbaring, tak
jauh di depannya.
Butir-butir fikiran yang menggelombang di dalam sanubari Hawa seolah-olah
merupakan arus-arus tenaga elektrik yang datang mengetuk kalbu Adam a.s, yang
langsung menerimanya sebagai mimpi yang berkesan di dalam gambaran jiwanya
seketika itu.


Adam terjaga....! Alangkah terkejutnyaia ketika dilihatnya ada makhluk manusia
seperti dirinya hanya beberapa langkah di hadapannya.Ia seolah tak percaya pada
penglihatannya.Ia masih terbaring mengusap matanya beberapa kali untuk memastikan

apa yang sedang dilihatnya.
Hawa yang diciptakan lengkap dengan perasaan malu, segera memutar badannya
sekadar untuk menyembunyikan bukit-bukit di dadanya, seraya mengirimkan
senyummanis bercampur manja, diiringi pandangan melirik dari sudut mata yang
memberikan sinar harapan bagi hati yang melihatnya.
Memang dijadikan Hawa dengan bentuk danparas rupa yang sempurna.Ia dihiasi
dengan kecantikan, kemanisan, keindahan, kejelitaan, kehalusan, kelemah-lembutan,
kasih-sayang, kesucian, keibuan dan segala sifat-sifat keperibadian yang terpuji di
samping bentuk tubuhnya yang mempesona serta memikat hati setiap yang
memandangnya.
Iaadalah wanita tercantik yang menghiasai syurga, yang kecantikannya itu akan
diwariskan turun temurun di hari kemudian, dan daripadanyalah maka ada kecantikan
yang diwariskan kepada wanita-wanita yang datang dibelakangnya.
Adam a.s pun tak kurang gagah dan kacaknya.Tidak dijumpai cacat pada dirinya
keranaia adalah satu-satunya makhluk insan yang dicipta oleh Allah SWT secara
langsung tanpa perantaraan.
Semua kecantikan yang diperuntukkan bagi lelaki terhimpun padanya.Kecantikan
itu pulalah yang diwariskan turun temurun kepada orang-orang di belakangnya sebagai
anugerah Allah SWT kepada makhluk-Nya yang bergelar manusia.Bahkan diriwayatkan
bahawa kelak semua penduduk syurgaakan dibangkitkan dengan pantulan dari cahaya
rupa Adam a.s.
Adam a.s bangkit dari pembaringannya, memperbaiki duduknya.Iamembuka
matanya, memperhatikan dengan pandangan tajam.Ia sedar bahawa orang asing di
depannya itu bukanlah bayangan selintas pandang, namun benar-benar suatu kenyataan
dari wujud insani yang mempunyai bentuk fizikal seperti dirinya.Ia yakin ia tidak salah
pandang.Ia tahu itu manusia seperti dirinya, yang hanya berbeza kelaminnya saja.Ia serta
merta dapat membuat kesimpulan bahawa makhluk di depannya adalah perempuan.Ia
sedar bahawa itulah dia jenis yang dirindukannya.Hatinya gembira, bersyukur, bertahmid
memuji Zat Maha Pencipta.
Ia tertawa kepada gadis jelita itu, yang menyambutnya tersipu-sipu seraya
menundukkan kepalanya dengan pandangan tak langsung, pandangan yang menyingkap
www.rajaebookgratis.com
apa yang terselit di kalbunya.
Adam terpikat pada rupa Hawa yang jelita, yang bagaikan kejelitaan segala puteriputeri
yang bermastautin di atas langit atau bidadari-bidadari di dalam syurga.
Tuhan menanamasmara murni dan hasrat berahi di hati Adam a.s serta
menjadikannya orang yang paling asyik dilamun cinta, yang tiada taranya dalam sejarah,
iaitu kisah cinta dua insan di dalam syurga. Adam a.s ditakdirkan jatuh cinta kepada
puteri yang paling cantik dari segala yang cantik, yang paling jelita dari segala yang
jelita, dan yang paling harum dari segala yang harum.
Adam a.s dibisikkan oleh hatinya agar merayu Hawa.Iaberseru: “Aduh, hai si
jelita, siapakah gerangan kekasih ini?Dari manakah datangmu, dan untuk siapakah
engkau disini?”Suaranya sopan, lembut, dan penuh kasih sayang.
“Aku Hawa,” sambutnya ramah.“Aku dari Pencipta!” suaranya tertegun
seketika.“Aku....aku....aku, dijadikan untukmu!” tekanan suaranya menyakinkan.
Tiada suara yang seindah dan semerdu itu walaupun berbagai suara merdu dan
indah terdengar setiap saat di dalam syurga.Tetapi suara Hawa....tidak pernah di
dengarnya suara sebegitu indah yang keluar dari bibir mungil si wanita jelita itu.Suaranya
membangkit rindu, gerakan tubuhnya menimbulkan semangat.
Kata-kata yang palingsegar didengar Adam a.s ialah tatkala Hawa mengucapkan
terputus-putus: “Aku....aku....aku, dijadikan untukmu!”Kata-kata itu nikmat, menambah
kemesraan Adam kepada Hawa.
Adam a.s sedar bahawa nikmat itu datang dari Tuhan dan cintapun datang dari
Tuhan.Iatahu bahawa Allah SWT itu cantik, suka kepada kecantikan.Jadi, kalau cinta
kepada kecantikan berertilah pula cinta kepada Tuhan.Jadi cinta itu bukan dosa tetapi
malah suatu pengabdian.Dengan mengenali cinta, makrifah kepada Tuhan semakin
mendalam.Cinta kepada Hawa bererti cinta kepada Pencipta. Dengan keyakinan
demikian Adam a.s menjemput Hawa dengan berkata: “Kekasihku, ke marilah
engkau!”Suaranya halus, penuh kemesraan.
“Aku malu!” balas Hawa seolah-olah menolak.Tangannya, kepalanya, memberi
isyarat menolak seraya memandang Adam dengan penuh ketakjuban.
“Kalau engkau yang inginkan aku, engkaulah yang ke sini!”Suaranya yang
bagaikan irama seolah-olah memberi harapan.
www.rajaebookgratis.com
Adam tidak ragu-ragu.Iamengayuh langkah gagah mendatangi Hawa.Maka sejak
itulah teradat sudah bahawa wanita itu didatangi, bukan mendatangi.
Hawa bangkit dari tempat duduknya, menggeser surut beberapa langkah.Iasedar
bahawa walaupun dirinya diperuntukkan bagi Adam a.s, namunlah haruslah mempunyai
syarat-syarat tertentu. Di dalam sanubarinya,ia tak dapat menyangkal bahawa iapun
terpesona dan tertarik kepada rupa Adam a.s yang sungguh indah.
Adam a.s tidak putus asa.Iatahu itu bukan dosa.Ia tahu membaca isi hati.Ia tahu
bukannya Hawa menolak, tetapi menghindarnya itu memanglah suatu perbuatan wajar
dari sikap malu seorang gadis yang berbudi.Ia tahu bahawa di balik “malu” terselit “rasa
mahu”. Kerananyaia yakin pada dirinya bahawa Hawa diperuntukkan baginya.Naluri
insaninya bergelora.
Tatkala sudah dekatia pada Hawa serta hendak mengulurkan tangan sucinya
kepadanya, maka tiba-tiba terdengarlah panggilan ghaib berseru:
“Hai Adam....tahanlah dirimu.Pergaulanmu dengan Hawa tidak halal kecuali
dengan mahar dan menikah!”.
Adam a.s tertegun, balik ke tempatnya dengan taat.Hawa pun mendengar teguran
itu dan hatinya tenteram.
Kedua-dua manusia syurga itusama terdiam seolah-olah menunggu perintah.
Allah SWT.Yang Maha Pengasih untuk menyempurnakan nikmatnya lahir dan
batin kepada kedua hamba-Nya yang saling memerlukan itu, segera memerintahkan
gadis-gadis bidadari penghuni syurga untuk menghiasi dan menghibur mempelai
perempuan itu serta membawakan kepadanya hantaran-hantaran berupa perhiasanperhiasan
syurga.Sementara itu diperintahkan pula kepada malaikat langit untuk
berkumpul bersama-sama di bawah pohon “Syajarah Thuba”, menjadi saksi atas
pernikahan Adam dan Hawa.
Diriwayatkan bahawa pada akad pernikahan itu Allah SWT.berfirman: “Segala
puji adalah kepunyaan-Ku, segala kebesaran adalah pakaian-Ku, segala kemegahan
adalah hiasan-Ku dan segala makhluk adalah hamba-Ku dan di bawah kekuasaan-Ku.
Menjadi saksilah kamu hai para malaikat dan para penghuni langit dan syurga bahawa
Aku menikahkan Hawa dengan Adam, kedua ciptaan-Ku dengan mahar, dan hendaklah
keduanya bertahlil dan bertahmid kepada-Ku!”.
www.rajaebookgratis.com
Setelah akad nikah selesai berdatanganlah para malaikat dan para bidadari
menyebarkan mutiara-mutiara yaqut dan intan-intan permata kemilau kepada kedua
pengantin agung tersebut.Selesai upacara akad, dihantarlah Adam a.s mendapatkan
isterinya di istana megah yangakan mereka diami.
Hawa menuntut haknya.Hak yang disyariatkan Tuhan sejak semula.
“Mana mahar?” tanyanya. Ia menolak persentuhan sebelum mahar pemberian
ditunaikan dahulu.
Adam a.s bingung seketika.Lalu sedar bahawa untuk menerima haruslah sedia
memberi.Iainsaf bahawa yang demikian itu haruslah menjadi kaedah pertama dalam
pergaulan hidup.
Sekarangia sudah mempunyai kawan.Antara sesama kawan harus ada saling
memberi dan saling menerima.Pemberian pertama pada pernikahan untuk menerima
kehalalan ialah mahar.Oleh kerananya Adam a.s menyedari bahawa tuntutan Hawa untuk
menerima mahar adalah benar.
Pergaulan hidup adalah persahabatan! Dan pergaulan antara lelaki dengan
wanitaakan berubah menjadi perkahwinan apabila disertai dengan mahar.Dan kini apakah
bentuk mahar yang harus diberikan?
Itulah yang sedang difikirkan Adam.
Untuk keluar dari keraguan, Adam a.s berseru: “Ilahi, Rabbi! Apakah gerangan
yangakan kuberikan kepadanya? Emaskah, intankah, perak atau permata?”.
“Bukan!” kata Tuhan.
“Apakah hamba akan berpuasa atau solat atau bertasbih untuk-Mu sebagai
maharnya?”tanya Adam a.s dengan penuh pengharapan.
“Bukan!” tegas suara Ghaib.
Adam diam, mententeramkan jiwanya.Kemudian bermohon dengan tekun: “Kalau
begitu tunjukilah hamba-Mu jalan keluar!”.
Allah SWT.berfirman : “Mahar Hawa ialah selawat sepuluh kali atas Nabi-Ku,
Nabi yang bakal Kubangkit yang membawa pernyataan dari sifat-sifat-Ku: Muhammad,
cincin permata dari para anbiya’ dan penutup serta penghulu segala Rasul. Ucapkanlah
sepuluh kali!”.
Adam a.s merasa lega.Iamengucapkan sepuluh kali salawat ke atas Nabi
www.rajaebookgratis.com
Muhammad SAW.sebagai mahar kepada isterinya.Suatu mahar yang bernilai spiritual,
kerana Nabi Muhammad SAW adalah rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Hawa mendengarkannya dan menerimanya sebagai mahar.
“Hai Adam, kini Aku halalkan Hawa bagimu”, perintah Allah, “dan dapatlah ia
sebagai isterimu!”.
Adam a.s bersyukur lalu memasuki isterinya dengan ucapansalam .Hawa
menyambutnya dengan segala keterbukaan dan cinta kasih yang seimbang.
Allah SWT.berfirman kepada mereka: “Hai Adam, diamlah engkau bersama
isterimu di dalam syurga dan makanlah (serta nikmatilah) apa saja yang kamu berdua
ingini, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini kerana (apabila mendekatinya)
kamu berdua akan menjadi zalim”.
(Al-A’raaf: 19).
Dengan pernikahan ini Adam a.s tidak lagi merasa kesepian di dalam
syurga.Inilah percintaan dan pernikahan yang pertama dalam sejarah ummat manusia,
dan berlangsung di dalam syurga yang penuh kenikmatan.Iaitu sebuah pernikahan agung
yang dihadiri oleh para bidadari,jin dan disaksikan oleh para malaikat.
Peristiwa pernikahan Adam dan Hawa terjadi pada hari Jumaat.Entah berapa lama
keduanya berdiam di syurga, hanya Allah SWT yang tahu.Lalu keduanya diperintahkan
turun ke bumi.Turun ke bumi untuk menyebar luaskan keturunan yangakan mengabdi
kepada Allah SWT dengan janji bahawa syurga itu tetap tersedia di hari kemudian bagi
hamba-hamba yang beriman dan beramal soleh.
Firman AllahSWT.: “Kami berfirman: Turunlah kamu dari syurga itu.Kemudian
jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku,
nescaya tidak ada kekhuatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
(Al-Baqarah: 38)

 

Kategori

Blogroll

  • Masih Kosong