ARSIP BULANAN : October 2015

TUGAS AGAMA

01 October 2015 19:08:44 Dibaca : 46357


Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Kerajaan Gorontalo

Dalam catatan sejarah, Gorontalo terbentuk kurang lebih 400 tahun lalu dan merupakan salah satu kota tua di Sulawesi selain Kota Makassar, Pare-pare dan Manado. Gorontalo pada saat itu menjadi salah satu pusat penyebaran agama Islam di Indonesia Timur yaitu dari Ternate, Gorontalo dan Bone. Seiring dengan penyebaran agama tersebut Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan oleh masyarakat di wilayah sekitar seperti Bolaang Mongondow (Sulut), Buol Toli-Toli, Luwuk Banggai, Donggala (Sulteng) bahkan sampai ke Sulawesi Tenggara. Gorontalo menjadi pusat pendidikan dan perdagangan karena letaknya yang strategis menghadap Teluk Tomini (bagian selatan) dan Laut Sulawesi (bagian utara).

Kerajaan Gorontalo mulanya berada di Kelurahan Hulawa Kecamatan Telaga sekarang, tepatnya di pinggiran sungai Bolango. Menurut Penelitian, pada tahun 1024 H, kota Kerajaan ini dipindahkan dari Keluruhan Hulawa ke Dungingi Kelurahan Tuladenggi Kecamatan Kota Barat sekarang. Kemudian dimasa Pemerintahan Sultan Botutihe kota Kerajaan ini dipindahkan dari Dungingi di pinggiran sungai Bolango, ke satu lokasi yang terletak antara dua kelurahan yaitu Kelurahan Biawao dan Kelurahan Limba B. Dengan letaknya yang stategis yang menjadi pusat pendidikan dan perdagangan serta penyebaran agama islam maka pengaruh Gorontalo sangat besar pada wilayah sekitar, bahkan menjadi pusat pemerintahan yang disebut dengan Kepala Daerah Sulawesi Utara Afdeling Gorontalo yang meliputi Gorontalo dan wilayah sekitarnya seperti Buol Toli Toli dan, Donggala dan Bolaang Mongondow.

Sebelum masa penjajahan daerah Gorontalo berbentuk kerajaan-kerajaan yang diatur menurut hukum adat ketatanegaraan Gorontalo dan tergabung dalam satu ikatan kekeluargaan yang disebut "Pohala'a". Menurut Haga (1931) daerah Gorontalo ada lima pohala'a :

Pohala'a Gorontalo
Pohala'a Limboto
Pohala'a Suwawa
Pohala'a Boalemo
Pohala'a Atinggola

Dengan hukum adat itu maka Gorontalo termasuk 19 wilayah adat di Indonesia. Antara agama dengan adat di Gorontalo menyatu dengan istilah "Adat bersendikan Syara' dan Syara' bersendikan Kitabullah". Pohalaa Gorontalo merupakan pohalaa yang paling menonjol diantara kelima pohalaa tersebut. Itulah sebabnya Gorontalo lebih banyak dikenal.

Sebelum islam masuk ke Gorontalo, nilai budaya yang dianut kerajaan gorontalo adalah yang berbasiskan pandangan harmoni dengan mengambil pelajaran yang ditunjukkan oleh alam. Ini berarti penduduknya menganut kepercayaan animisme.

Awal Masuk Islam Ke Gorontalo

Peneliti sejarah sosial dari Universitas Negeri Gorontalo, Basri Amin, menjelaskan mengenai proses masuk Islam ke Gorontalo. "'Sekitar 1525, Islam mulai masuk dalam wilayah kerajaan ini. Islam dibawa oleh sang raja saat itu, Raja Amai," ujarnya seperti yang dilansir kepada Republika.

Masuknya Islam pada waktu itu melalui jalur perkawinan. Bermula dari Raja Amai yang menikahi putri dari kerajaan Palasa, bernama Owutango. Kerajaan Palasa ini berada di Teluk Tomini dan rajanya sudah menganut agama Islam. Sang putri sendiri punya hubungan keluarga dengan pihak kerajaan di Ternate, yang telah lebih dahulu mengenal Islam.

Dosen Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Negeri Gorontalo, Mohammad Karmin Baruadi, juga menjelaskan sejarah kerajaan Gorontalo dalam tulisannya yang berjudul Sendi Adat Dan Eksistensi Sastra: Pengaruh Islam Dalam Nuansa Budaya Lokal Gorontalo. Dalam tulisannya beliau menyebutkan bawah Tokoh yang sangat berperan dengan pemikirannya yang religius Islami adalah istri Amai sendiri yang bernama putri raja Palasa.

Ketika Raja Amai ingin meminang putri raja Palasa, sang putri yang berasal dari kerajaan Islam di Sulawesi Tengah inipun mengajukan beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Pertama, Sultan Amai dan rakyat Gorontalo harus diislamkan dan,
2. Kedua, adat kebiasaan dalam masyarakat Gorontalo harus bersumber dari Alquran.

Kedua syarat itu diterima oleh Raja Amai. Di sinilah awal Islam menjadi kepercayaan penduduk Gorontalo, dalam tulisan Mohammad Karmin Baruadi.

Sebelum menikah Raja Amai mengumpulkan seluruh rakyatnya. Raja Amai dengan terang-terangan mengumumkan diri telah memeluk agama Islam secara sah dan kemudian meminta seluruh pengikutnya untuk melakukan pesta meriah. Pada pesta tersebut Raja Amai meminta kepada rakyatnya untuk menyembelih babi disertai dengan pelaksanaan sumpah adat. Saat pendeklarasian sumpah tersebut, adalah hari terakhir rakyat Gorontalo memakan babi.

Usai proses sumpah adat, Raja Amai kemudian meminta rakyatnya untuk masuk Islam dengan membaca dua kalimat syahadat. Ia sendiri kemudian mengganti gelarnya dengan gelar raja Islam, yaitu sultan.
Prinsip hidup baru ini, mudah diterima oleh masyarakat Gorontalo saat itu, yang tidak tersentuh oleh Hindu-Buddha. Masyarakat merasakan tidak ada pertentangan antara adat dan Islam, namun justru memperkuat dan membimbing pelaksanaannya.

Pada 1550, sepeninggalan Sultan Amai, jabatan kerajaan digantikan oleh putera mahkotanya, Matolodula Kiki. Sultan kedua kesultanan Gorontalo ini menyempurnakan konsep kerajaan Islam yang dirintis oleh ayahnya. Beliau pun melahirkan rumusan adati hula-hula'a to sara'a dan sara'a hula-hula'a to adati, yang artinya adat bersendi syarak, syarak bersendi adat. Islam dan adat, saling melengkapi.

Islam resmi menjadi agama kerajaan ketika kesultanan Gorontalo ada di bawah pemerintahan Sultan Eyato. Konsepnya pun berubah, mirip dengan prinsip masyarakat Minangkabau, adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah. Di bawah kepimpinannnya, Kesultanan Gorontalo mencapai puncak kejayaan.
Bagi masyarakat Uduluwo limo lo Pohalaqa Gorontalo (serikat kerajaan di bawah dua kerajaan Gorontalo dan Limboto), syarak kitabullah dipahami bahwa hukum dan aturan-aturan yang berlaku bersumber dari kitab suci Alquran dan hadis Rasulullah SAW.

Pada masa itu, beberapa perubahan dilakukan, menjadi lebih Islami. Sistem pemerintahannya kini didasarkan pada ilmu akidah atau pokok-pokok keyakinan dalam ajaran Islam.

Dalam ilmu akidah tersebut diajarkan dua puluh sifat Allah SWT, untuk itu Eyato mewajibkan sifat-sifat itu menjadi sifat dan sikap semua aparat kerajaan mulai dari pejabat tertinggi sampai dengan jabatan terendah. Sumpah-sumpah dan adat istiadat yang dipakai, bersumber pada Islam.

Penerapan sistem budaya Islam pada sikap dan perilaku pejabat tersebut telah mengawali pemantapan karakteristik budaya Islam dalam kehidupan masyarakat Gorontalo.

Eyato sendiri awalnya memang seorang ahli agama dan cendekiawan. "Sebelum menjadi raja, Eyato merupakan seorang hatibida'a yang tergolong ulama pada masa itu," tulisnya.

Struktur Pemerintahan Kerajaan Gorontalo

Struktur pemerintahan dalam kerajaan terbagi atas tiga bagian dalam suasana kerja sama yang disebut Buatula Totolu yaitu :

1. Buatula Bantayoyang dikepalai oleh Bate yang bertugas menciptakan peraturan-peraturan dan garis-garis besar tujuan kerajaan.

2. Buatula Bubato yang dikepalai olehRaja (Olongia) dan bertugas melaksanakan peraturan serta berusaha menyejahterakan masyarakat.

3. Buatula Bala yang pada mulanya dikepalai oleh Pulubala, bertugas dalam bidang pertahanan dan keamanan.

Sumber Bacaan :

Sejarah Gorontalo dalam http://www.gorontaloprov.go.id/profil/sejarah diakses pada tanggal 12 Mei 2014

Islamnya Kerajaan Gorontalo dalam http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/12/14/mxrfbn-islamnya-kerajaan-gorontalo diakses pada tanggal 12 Mei 2014

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong