SEJARAH SINGKAT PAHLAWAN PATTIMURA

09 November 2014 21:50:00 Dibaca : 238

Nama asli dari THOMAS MATTULESY atau PATTIMURA adalah KABARESI, ia dilahirkan ditanah Maluku pada tahun 1784 dan dibesarkan dalam keluarga MATTULESY. Ketiga ia dibaptis diberi nama THOMAS MATTULESY, selanjutnya setelah dewasa ia memasuki dinas kemiliteran militsi Kerajaan Inggris yang saat itu menduduki Indonesia dari tahun 1811-1817.

Karena keberaniannya didalam tugas kemiliteran militsi Kerajaan Inggris, ia mencapai pangkat SERSAN MAYOR, dan karier militernya harus berakhir karena di Eropa tengah berlangsung Revolusi Perancis, dan untuk membendung revolusi Perancis maka Indonesia harus dikembalikan kepada Belanda.

Guna melicinkan jalannya penyerahan Indonesia kepada Belanda, Negara-negara koalisi di Eropa kontra Revolusi Perancis mengadakan muktamar di Wina pada tahun 1814 dan menganjurkan kepada inggris agar mengembalikan Indonesia kepada Belanda. Sejalan dengan muktamar WINA tersebut, maka pada tahun yang sama antara Inggris dan Belanda mencapai kesepakatan yang capai melalui TRAKTAT LONDON 1814 yang salah satu isinya “Inggris mengembalikan Indonesia kepada Belanda.”

Pada tahun 1816, Pemerintah Belanda mengutus 3 (tiga) orang Komisaris Jendral masing-masing bernama : ELANT, BUYSHES dan VAN DER CAPELEN untuk datang ke Indonesia dalam rangka menerima penyerahan Indonesia dari Pemerintahan Inggris. Pada tanggal 17 Agustus 1816 Pemerintah Inggris yang diwakili oleh Letnan Gubernur JOHN VENDEL menyerahkan Indonesia kepada Pemerintahan Belanda, tetapi penyerahan tersebut tidak membawa situasi damai bahkan melahirkan konflik bersenjata di Maluku Tengah tepatnya di SAPARUA.

Konflik bersenjata di Maluku Tengah ini dipimpin oleh Thomas Mattulesy yang disebut LAKI-LAKI KABARESI. Thomas Mattulesy menyadari bahwa kembalinya Belanda ke Indonesia akan memberlakukan kembali HONGITOCHTEN di Maluku bahkan kerja rodi dengan DAG ORDER akan dihidupkan kembali, oleh sebab itu Thomas Mattulesy bersama kawan-kawannya : ANTHONY REBOK, SAID PARINTAH dan PHILIP LATUMAHINA menggerakkan rakyat di Saparua untuk menggempur BENTENG DUURSTEDE tempat kediaman orang Belanda.

Pada tanggal 15 MEI 1817 Benteng Duurstede di serang, dimana semua orang Belanda terbunuh termasuk RESIDEN VAN DEN BERG, kecuali anak Van Der Berg yang masih kecil diselamatkan oleh Thomas Mattulesy yang dipelihara sampai besar yang kemudian dipulangkan ke Belanda dan diberi nama VAN DEN BERG VAN SAPARUA. Inilah yang menunjukkan bahwa Thomas Mattulesy memiliki rasa kemanusiaan yang tinggi.

Bersama dengan serangan terhadap Benteng Duurstede di Saparua, di NUSALAUT pergerakkan dipimpin oleh CHRISTINA MARTHA TIAHOHU dan PAULUS TIAHOHU bapaknya menyerang dan menduduki BENTENG SELANDIA di NALAHIA NUSALAUT. Kedua serangan yang dilakukan terhadap Belanda di Benteng Duurstede dan Benteng Selandia mengejutkan Pemerintah Belanda di AMBON.

Untuk menumpas gerakan di Saparua dan di Nusalaut, maka GUBERNUR VAN MIDELCOP di Ambon menugaskan EKSPEDISI PERTAMA dibawah pimpinan KAPTEN BECEES berangkat ke Saparua untuk menumpas gerakan Thomas Mattulesy dan kawan-kawan. Ketika pasukan Kapten Becees akan mendarat di PANTAI WAISISIL, ARMADANYA dapat dihancurkan oleh pasukan Thomas Mattulesy pada tanggal 20 Mei 1817.

Dengan gagalnya Kapten Becees dengan pasukannya, maka Gubernur Van Midelcop memerintahkan pembentukan EKSPEDISI KEDUA dibawah pimpinan KOLONEL VAN DE GROOT. Ketika Kolonel Van De Groot bersama pasukannya tiba di Saparua, maka setiap tempat yang didatanginya di bumi hanguskan sehingga ruang gerak pasukan Thomas Mattulesy dan kawan-kawan dipersempit, yang pada akhirnya mereka tertangkap dan ditawan.

Demikian pula dengan pergerakan dari Christina Martha Tiahohu dan Paulus Tiahohu, yang pada akhirnya tertangkap, dimana Paulus Tiahohu dihukum pacung dihadapan rakyat Nusalaut, sedangkan Christina Martha Tiahohu dibawa ke Saparua dan bersama-sama Thomas Mattulesy, Said Parintah, Anthony Rebok dan Philip Latumahina dibawa ke Ambon untuk menjalani hukuman mati, dengan kapal laut EVERTSEN para pejuang kusuma bangsa ini dibawa ke Ambon.

Saat kapal Evertsen kira-kira diantara pulau ambon dan pulau Buru, tiba-tiba air mata membasahi geladak kapal Evertsen dimana Christina Martha Tiahohu kusuma bangsa yang memiliki semboyan, “LEBIH BAIK MATI BERKALANG TANAH DARIPADA HIDUP DIBAWAH TELAPAK KAKI PENJAJAH BELANDA,” berpulang dipangkuan TUHAN YANG MAHA PENCIPTA dengan tenang, jenasahnya dikebumikan di laut BANDA. Selanjutnya Thomas Mattulesy, Anthony Rebok, Said Parintah dan Philip Latumahina melanjutkan perjalanan ke Ambon dan ditawan di BENTENG VICTORIA AMBON.

Tepat pada tanggal 16 Desember 1817, para pejuang kusuma bangsa ini menjalani hukuman mati gantung didepan Benteng Victoria, satu persatu naik ke tiang gantungan, pada saat tiba Thomas Mattulesy melaksanakan hukuman tersebut, berpesanlah ia kepada seluruh rakyat Maluku demikian, “KAMI PATTIMURA-PATTIMURA TUA BOLEH DIHANCURKAN, TETAPI KELAK AKAN MUNCUL PATTIMURA-PATTIMURA MUDA UNTUK MENERUSKAN PERJUANGAN KAMI”.

Perlu diketahui bahwa Thomas Mattulesy diberi gelar PATTIMURA sebab ia merupakan pemimpin yang pertama atau yang paling awal yang muncul di Indonesia bagian timur yang menentang kembalinya penjajahan Belanda.

Pemerintah NKRI memberikan penghargaan sebagai “PAHLAWAN NASIONAL” dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 087/TK/1973 tanggal 06 Nopember 1973, sedangkan Christina Martha Tiahohu diberikan penghargaan oleh Pemerintah NKRI sebagai “PAHLAWAN KEMERDEKAAN NASIONAL” dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor : 012/TK/1969 tanggal 20 Mei 1969.

Demikian sejarah singkat perjuangan Pahlawan Nasional PATTIMURA dan CHRISTINA MARTHA TIAHOHU untuk kita kenang bersama.

 

SEJARAH RAJA SULTAN HURUDJI

23 October 2014 23:32:20 Dibaca : 1546


  Sultan Hurudji merupakan Raja Pertama Boalemo yang dinobatkan pada tahun 1607 M atau sekitar abad ke 16 silam. Makam Sultan Hurudji adalah makam tua yang sudah hadir sejak zaman kolonial Belanda. Dan nama Sultan Hurudji sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Boalemo. Raja pertama Boalemo ini bernama lengkap Raja Hurudji Bin Idrus Andi Mappanyuki. Dan makamnya berada di dalam sebuah mesjid megah. Siapa pun yang datang ke lokasi makam, pasti kaget dengan kemegahan yang ada. Di depan mesjid tertulis Makam Raja Hurudji Bin Idrus Andi Mappanyuki (1604-1686) Pembuka / Pendiri Wilayah Boalemo, Tilamoeta-Gorontalo “Olongia Lolipu”. Dilihat dari tulisan dan jenis huruf yang ada, ini sudah ada sejak dulu.

Konon menurut sejarah asal usulnya, pada abad 16 silam, ada sebuah pulau ditemukan rombongan pedagang ketika berlabuhnya perahu besar yang dikenal Jarangga. Rombongan ini dinahkodai Idrus Andi Is Mapanyuki yang tidak lain orang tua Raja Hurudji yang sempat mengarungi perdagangan menuju Kepulauan Ternate. Dalam rombongan para pedagang itu ikut pula sang isterinya, Zaenab Sultan Babullah bersama empat orang putranya, masing-masing Hurudji yang lahir 1578 M, Mauhe lahir sekitar 1579 M, Humongio lahir 1580 M dan Hutudji lahir 1582 M.

Pulau yang ditemukan oleh rombongan pedagang ini adalah kawasan pantai dengan keberadaan daratannya yang subur dipenuhi jenis tanaman dan pohon jeruk suanggi. Tumbuhan ini hidup dengan lebat dan buah yang melimpah. Sehingganya oleh Idrus Andi Is Mapanyuki yang merupakan salah seorang putra Bone, Sulawasi Selatan itu menyebutnya sebagai buah jeruk.

Karena dalam perjalanan rombongan pedagang ini sempat menuai hambatan badai angin serta ombak yang kencang. Maka mereka terpaksa berlabuh dipantai pada pulau yang dikenal subur ini. Rombongan segera mendirikan pemukiman dan membuka lahan. Karena sudah cukup lama bermukim dan memenuhi kehidupannya di wilayah pantai tersebut, oleh Andi Is Mapanyuki kemudian menyebutnya daratan itu dengan nama Boalemo sejak abad 16.

Asal mula kata Boalemo ini diambil dari Bahasa Bone dengan alasan wilayah ini ditemukan oleh orang-orang Bugis Bone. Sementara dalam bahasa Bugis sendiri, kata Boalemo dibagi dalam dua kata, yakni Boa yang artinya buah dan Lemo berarti Lemon.

Setelah daratan pantai yang ditumbuhi pepohonan dan buah jeruk sudah dikenal wilayah Boalemo, maka saat itu pula mulai ramai dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai macam suku bangsa. Meski demikian yang paling dominan adalah Suku Bugis dan Suku Ternate. Seiring dengan waktu bertambahnya para penduduk, maka dibentuklah sebuah kerajaan Boalemo. Ini dapat ditandai lewat peringatan upacara agama seperti lebaran Islam dan upacara serah terima jabatan bupati, camat (Waleya Lo Lipu) yang berpusat di Tilamuta.

Demikian halnya dengan kebiasaan penyambutan tamu (Motombulu Lo Lipu) ikut menggelar suksesi adat. Menariknya suksesi adat ini dilaksanakan dengan cara mengantar bupati bersama camat yang baru saja dilantik dan diarak dari rumah kediaman bupati dan camat (Yiladiya) menuju Masjid Jami sambil diselingi musik berupa Tambur (Towahu) atau oleh masyarakat Gorontalo dikenal dengan Hantalo, dihadiri para pemangku adat (Baate) dan prajurit (Apita Lau).

Prosesi adat ini konon ikut digelar saat pengangkatan Sultan Hurudji ketika dinobatkan menjadi raja pertama kali di Boalemo pada tahun 1607 M yakni abad ke 16 silam. Selama kepemerintahan Sultan Hurudji ini, wilayah Boalemo semakin maju dan terus mengadakan kerja sama dengan sejumlah wilayah seperti Ternate dan daerah lainnya. Bahkan semasa hidupnya, Sultan Hurudji ini sempat tiga kali menunaikan ibadah haji bersama sang isteri dan membawa anak yang pertama bernama I Djawa dengan menggunakan perahu Jarangga hasil buatan empat bersaudara.

Raja Hurudji beserta isterinya, Tawila wafat pada tahun 1686 M yang saat itu bertepatan hari Jumat secara bersamaan dan hanya dibedakan oleh waktu. Keduanya dimakamkan di atas sebuah bukit kecil yang kini nampak megah ini. Makam ini terletak di Desa Modelomo Kecamatan Tilamuta atau tepat berada di tepi jalan ketika hendak menuju Pelabuhan Perikanan. Posisi makam Raja Sultan Hurudji berada di dalam mesjid.

Sebenarnya, makam ini tidak berada dalam masjid jika melihat sejumlah arsip akhir tahun 2006. Artinya, masjid sengaja dibangun di lokasi makam agar nampak bahwa makam tersebut berada dalam masjid dan untuk melindungi makam ini, agar sejarahnya tak akan lapuk oleh zaman. Dan Sejarah kerajaan Boalemo ini dijadikan dasar oleh pemerintah ketika menggagas terbentuknya Kabupaten Boalemo yang pisah dari Kabupaten Gorontalo.

Keberadaan makam ini, telah di renovasi pada tahun 1998-1999, yakni pada saat Gorontalo masih tergabung dalam wilayah Provinsi Sulawesi Utara di era pemerintahan Gubernur Sulut E.E. Mangindaan dan Wakil Gubernur Prof. DR. H.H.A. Nusi. Perbaikan makam sultan hurudji kembali dilaksanakan pada tahun 2001, setelah Provinsi Gorontalo resmi berdiri. Saat itu, bantuan renovasi oleh pejabat Gubernur Gorontalo, H. Tursandi Alwi melalui Dinas Perhubungan dan Parpostel Provinsi Gorontalo pada proyek APBD Provinsi Gorontalo tahun anggaran 2001-2002.
   Merupakan makam sejarah para raja gorontalo.Akses menuju lokasi makam Sultan Hurudji dari Pusat Ibukota Provinsi Gorontalo, dapat di tempuh dalam waktu 2 jam dengan menggunakan kenderaan bermotor, baik yang beroda dua maupun beroda empat. Selain dapat berkunjung ke makam bersejarah ini, pengunjung pun dapat melakukan kunjungan wisata menarik lainnya yang ada di Kabupaten Boalemo

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong