ARSIP BULANAN : August 2021

KONSELING KRISIS

04 August 2021 12:48:57 Dibaca : 27

KONSELING KRISIS

Konseling krisis didefinisikan secara berbeda oleh banyak tokoh. Richard K. James dan Burl E. Gilliland mendefinisikan kondisi krisis sebagai persepsi tentang suatu peristiwa atau situasi sebagai sesuatu yang tidak dapat ditoleransi dan melebihi sumber daya dan mekanisme koping dari pertahanan diri seseorang. Kecuali jika orang tersebut mendapatkan bantuan, kondisi krisis yang dihadapinya akan berpotensi menyebabkan gangguan afektif, kognitif, dan perilaku yang parah. Krisis bersifat universal dan idiosinkratik (kondisi serupa tapi yang dialami berbeda-beda pada setiap orang). Tidak peduli seberapa tangguh seseorang, jika durasi dan intensitas krisis cukup parah, tidak ada yang kebal dari kehancuran. Krisis juga idiosinkratik karena apa yang mungkin berhasil diatasi oleh satu orang, mungkin tidak bagi orang lain, meskipun keadaannya hampir sama.

Bagi kebanyakan orang, krisis memiliki waktu yang terbatas, berlangsung dari 6 hingga 8 minggu. Pada masa krisis ini, orang tersebut harus mendapatkan kembali rasa keseimbangan-nya. Namun, hal ini tidak berarti dampak dari krisis sudah bisa teratasi. Dengan kondisi ini berarti orang harus memulihkan kapasitasnya untuk beraktifitas sehari-hari. Jika resolusi krisis tidak berlanjut atau terhambat, masalah yang berasal dari krisis dapat meluas. Masalah akan berubah dari keadaan akut ke keadaan kronis di mana individu terus-menerus berisiko jatuh kembali ke dalam siklus krisis yang berkelanjutan. Jika ini terjadi, orang tersebut akan berada dalam keadaan transkrisis.

Tujuan utama dari konseling krisis

1. Tujuan utama dari konseling krisis adalah untuk membantu seseorang memulihkan rasa kendali dan penguasaan setelah peristiwa krisis atau bencana. Bukan hal yang aneh bahwa dalam suatu krisis atau peristiwa bencana individu dapat mengatasi secara normal kapasitas dikenakan pajak. Individu dapat menjadi kewalahan secara emosional dan mungkin mengalami kesulitan dengan pemecahan masalah dan keterampilan koping lainnya. Juga, keyakinan dasar individu (fenomena barat) tentang diri mereka sendiri (saya bisa menjaga diri aman), lainnya (manusia umumnya baik [umumnya ditantang dalam bencana yang disebabkan oleh manusia seperti terorisme, perang, dll]) dan dunia (umumnya merupakan tempat yang aman) mungkin telah dilanggar. 2. Konseling krisis bersifat terpisah dan memiliki tujuan terbatas untuk memastikan keselamatan dan meningkatkan stabilitas secara keseluruhan. Tujuannya adalah untuk memberikan dukungan emosional dan umpan balik / bantuan konkret untuk individu. Konseling krisis membantu pemecahan masalah dan membantu individu dalam memperoleh sumber daya yang tersedia. 3. Durasi konseling krisis dapat berkisar antara 15 menit hingga 2 jam, sedangkan frekuensi krisis konseling dengan orang yang sama berkisar antara 1 sampai 3 kali.

Hal yang perlu diingat saat melakukan konseling krisis:

  • Pengkajian secara komprehensif dan ketajaman semua area masalah
  • Gunakan pendekatan konseling yang sesuai

Protokol Konseling Krisis

  • Jalin hubungan baik
  • Ceritakan kisah mereka
  • Identifikasi masalah utama
  • Kaji masalah keamanan
  • Atasi perasaan
  • Jelajahi alternatif
  • Kembangkan rencana aksi
  • Jika sesuai, buat rujukan (layanan berkelanjutan)

Sasaran Konseling Krisis

  1. Keamanan: Memastikan individu tersebut aman. Jika kematian sudah ada sebelum konseling krisis, risiko ini telah dikurangi dan sumber daya, jika tersedia, telah disediakan
  2. Stabilitas: Memastikan individu stabil dan memiliki rencana jangka pendek yang mencakup penguasaan diri dan situasi darurat atau bencana
  3. Koneksi: Membantu menghubungkan individu ke sumber daya dan dukungan formal dan informal. Jika sumber daya dukungan tidak tersedia, konseling krisis membantu individu mengejar potensi alam dukungan / sumber daya.

 

SEJARAH BIMBINGAN DAN KONSELING

04 August 2021 12:05:49 Dibaca : 260

SEJARAH BIMBINGAN DAN KONSELING

Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP. Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.Pra Lahirnya Pola 17Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala diantaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja.Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut :1. Belum adanya hukumSejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya.2. Semangat luar biasa untuk melaksanakanBP di sekolahLahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah.3. Belum ada aturan main yang jelasApa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga ketika orang tua dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa dengan anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya. Selain itu dengan pola yang tidak jelas tersebut mengakibatkan:

Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi tanggungjawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.nya. Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam kelas-kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir. Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tidak memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau rok. Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di sekolahnya, Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling.Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia.

 

 

UNIVERITAS NEGERI GORONTALO MEMILIKI SDM YANG UNGGUL

04 August 2021 11:26:35 Dibaca : 7

Miliki Segudang SDM Unggul, UNG Puji UnimaDinilai memiliki segudang Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul, Universitas Negeri Gorontalo (UNG) memuji Universitas Negeri Manado (Unima). Hal itu disampaikan Ketua Senat UNG Prof. Dr. Rauf Hatu MSi dalam kunjungan kerja sekaligus melaksanakan Focus Group Discussion (FGD), bertempat di ruang senat lantai III Unima, Kamis (17/6).

“Pengembangan SDM Unima sudah lebih unggul dan maju, karena rata-rata di setiap fakultas telah memiliki profesor, guru besar. Sedangkan di UNG baru 39 orang, itupun ada dua fakultas yang sama sekali belum ada profesor,” ungkapnya kepada media ini.

Dirinya pun mengapresiasi kepada civitas akademika Unima karena mampu menuangkan pikiran-pikiran dan ide untuk memajukan kampus. “Saya selaku ketua senat salut dengan pikiran-pikiran dan ide yang ada di Unima yang dituangkan dalam Statuta maupun peraturan rektor,” ucapnya.

Prof Rauf menyampaikan, tujuan dari kunjungan UNG ke Unima ini dalam rangka penyesuaian Statuta.“Jadi Statuta kami dalam rangka penyusunan. Guna memperkuat dan memperdalam, makanya melakukan perbandingan dengan perguruan tinggi lain, termasuk Unima,” jelasnya.

Kata dia, ada sepuluh perguruan tinggi yang dikunjungi, salah satunya Unima. “Kenapa berkunjung ke Unima, karena kampus ini merupakan salah satu kampus tertua, dan UNG juga salah satu bagian dari Unima dulu. Alasannya, karena UNG dulu pernah jadi kampus jauhnya Unima,” sebutnya.

“Jadi tujuan utama kami ke Unima adalah untuk melakukan sharing mengenai Statuta,” tuturnya.

Setelah melakukan sharing tadi, kata Prof Rauf, pihak UNG mendapatkan masukan dan tentu boleh melengkapi penyusunan Statuta.

Dirinya mencontohkan, misalkan tugas belajar dan izin belajar. Kalau di Unima itu diatur dalam peraturan rektor, dan ini akan kita bawah ke kampus UNG untuk didiskusikan.

“Kalau di UNG boleh tugas belajar dan izin belajar sekaligus masih menjabat. Jadi apa masukan yang kami dapat dari Unima akan diskusikan di internal kami nantinya, salah satunya soal tugas belajar dan izin belajar,” ujarnya.

“Kami berharap pertemuan ini bukan hanya sekali, mungkin kedepan kita akan datang lagi ke Unima untuk sharing, agar supaya kampus UNG bisa lebih berkembang,” harapnya.

Sementara itu, Rektor Unima Prof. Dr. Deitje A. Katuuk MPd mengapresiasi tim UNG yang telah memilih Unima menjadi salah satu kampus untuk bertukar pikiran terkait penyusunan Statuta dan Organisasi Tata Kerja (OTK) perguruan tinggi.

“Kami sangat berterima kasih dan mengapresiasi tim UNG yang telah memilih kampus Unima untuk tukar pikiran mengenai penyusunan Statuta,” ungkap Prof Dei.

Prof Dei menjelaskan, Statuta merupakan undang-undangnya universitas, pedoman atau peraturan tertinggi di setiap kampus. Jadi ide atau gagasan yang dituangkan dalam Statuta berkaitan dengan norma yang sesuai dengan kebutuhan kampus itu sendiri.

“Jadi norma atau aturan universitas semua ditata dalam panduan Statuta, turunannya yah tentu peraturan rektor dan lain sebagainya. Tentunya, harus sejalan dengan kebutuhan internal kampus itu sendiri,” terangnya.

Unima pun, tambah Prof Dei, terus berbenah untuk peningkatan kualitas pendidikan dengan melaksanakan berbagai program, salah satunya merevisi dan mengusulkan Statuta dan OTK yang sementara ini menunggu disahkan oleh kementerian.

Dikatakannya, melalui Statuta ataupun OTK tertuang tentang perencanaan, pengembangan program dan penyelenggaraan kegiatan fungsional sesuai dengan visi dan misi dari program Unima.

Tentu, berisi dasar yang dipakai sebagai rujukan pengembangan peraturan umum, peraturan akademik dan lain sebagainya.

Turut hadir dalam FGD diantaranya, Wakil Rektor II Bidang Umum dan Keuangan UNG Dr. Ir. Yuniarti Koniyo MP didampingi para anggota senat yakni Prof. Dr. Fenty U. Puluhulawa SH MH, Prof. Dr. H. Abdul Haris Panal SPd MPd, pihak Unima yakni Pembantu Rektor I Prof. Dr. Orbanus Naharia, Pembantu Rektor II Prof. Dr. Sanusi Gugule, Sekretaris Senat Prof. Dr. Lexie Lumingkewas, para dekan dan kabag

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong