Memperkenalkan Seni Budaya Daerah Sejak Usia Dini

19 September 2020 15:51:20 Dibaca : 16

Sebenarnya teater/drama, tari tradisional, tari kreasi, busana adat, dan kebudayaan sudah diperkenalkan kepada kita sejak dari Taman Kanak-kanak. 

Seingat saya, sejak Taman Kanak-kanak saya sudah diajarkan mengenakan busana daerah, berpasangan berjalan-jalan di perayaan 17 agustusan dan parade budaya lainnya. 

 

  

Itu saya lihat dari foto-foto dari masa kecil saya, serta diminta memainkan peran penting pada drama sekolah, dan juga diajarkan gerakan-gerakan dasar tari tradisional daerah. Saya sudah diajarkan menari dengan irama musik ringan oleh guru-guru saya, demikian juga saat di Sekolah Dasar, saya juga latihan menari.

Sekarang ini setelah saya berprofesi sebagai koreografer dan berkecimpung/mengajar les singkat bidang seni budaya di Sekolah Menengah Pertama dan Menengah Atas khususnya di pelosok-pelosok desa di Bangka Belitung, saya tidak menemukan ada ekstrakulikuler seni tari, drama/teater di sekolah-sekolah tersebut. 

Padahal saat pertemuan-pertemuan bidang seni di ajang FLS2N banyak sekolah-sekolah mengirimkan Tim keseniannya, namun sayang kemampuan mereka masih dibawah rata-rata, ini bukan merendahkan namun setiap lomba sekolah-sekolah pedalaman selalu berada dibawah sekolah yang ada diperkotaan. Mungkin banyak kekurangan yang harus diperhatikan, umpamanya; pengajar dan lokasi. Namun ada juga sebagian kecil sekolah tersebut menunjukkan taringnya menjuarai FLS2N dan itu sangat membanggakan.

Saya yakin sekali anak-anak Sekolah Dasar/SMP/SMA dipelosok desa itu sangat menyukai teater dan menari, dan dari pemerintah juga sudah memasukkan program Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS) yang merupakan salah satu program direktorat kesenian, dilaksanakan dalam bentuk kegiatan ekstrakuliker agar para peserta didik dapat menyerap secara langsung ilmu pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dimiliki seniman-seniman. Program ini bagus karena saya pernah satu kali ikut dalam kegiatan ini mengajar salah satu SMP di daerah saya. Pada program ini tiap sekolah akan bergantian mendapatkan GSMS di tiap tahunnya, agar merata.

Jika anak-anak sekolah masih tetap ingin belajar seni budaya, sudah ada sanggar-sanggar seni yang didirikan seniman daerah dan anak-anak dapat belajar disanggar mereka. Gratis atau tidaknya pembelajaran itu tergantung kebijakan dari si seniman (sanggarnya). Sedangkan sanggar saya, saya gratiskan, namun saya tidak memilih sembarangan penari, saya memilih anak-anak yang disiplin tinggi dan semangat untuk maju.

Saya biasanya memberi pelajaran seni tari pada anak-anak atau penari pemula dengan beberapa tahapan saja.

1. Belajar menari tari tradisional daerah. Tiap anak daerah sewajarnya belajar seni budaya tradisional daerahnya dulu. Ini penting sebagai pengetahuannya dan agar ia tidak melupakan seni tradisionalnya hingga dewasa nanti. Setelah paham dan fasih baru ia berolah tubuh menarikan tari kreasi ataupun kontemporer agar ia nanti bisa menyatukan tari tradisional dan kreasi. Sudah pasti dengan menguasai seni tradisional ia akan mudah menyatukannya dengan gerakan kreasi ataupun kontemporer, karena kemampuannya dalam menggabungkan dua unsur ini akan membangkitkan semangatnya untuk bisa menciptakan karya baru. Tapi tidak harus bisa, terkadang seorang anak muda yang iseng membuat suatu gerakan  tari dan mempostingnya di medsos, jika disukai ribuan orang akan dianggap baik. Dikatakan ia memiliki bakat terpendam dan dalam waktu singkat ia mampu menjadi seseorang yang berguna bagi daerahnya.

2. Mempelajari musik tradisional dan musik kreasi. Latihan secara rutin bersama para pemusik akan memunculkan minat anak-anak, sering mendengarkan musik daerah pasti menumbuhkan rasa suka mereka, dapat menimbulkan tanggung jawab pada seni daerahnya sendiri.

3. Mempelajari busana adat dan bahasa daerah.

Seorang penari sudah pasti diinginkan yang cerdas, mengenal busana adat dan bahasa daerahnya sendiri karena busana dan bahasa daerah sangat diperlukan dalam seni pertunjukan berbasis kedaerahan dan berguna bagi dirinya kelak.

 

  

Seorang anak yang menyukai seni tari, seni teater, lukis, musik dan kebudayaan biasanya bisa bersikap sopan dan santun karena seni budaya daerah selalu mengajarkan etika dan moral yang sudah tertanam sejak dulu kala. Selain itu, kebanyakan seni pertunjukan di atas panggung di Indonesia ini selalu menjaga nilai kesopanan. Namun tiap-tiap daerah memiliki seni budaya tradisi yang berbeda-beda, dan inilah kekayaan budaya kita dan kita harus saling menghargai budaya daerah masing-masing.

Merawat Keberagaman dengan Komunikasi Antar Budaya

19 September 2020 15:43:10 Dibaca : 10

Keberagaman budaya yang ada di Tanah Air terbentuk oleh sekian ratus suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia dan melahirkan keanearagaman budayanya seperti adat-istiadat kebudayaan, agama, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem politik, kepercayaan atau nilai-nilai yang tumbuh dalam suatu masyarakat suku serta karakteristiknya masing-masing. Keanekaragaman budaya yang ada ini tentu telah ikut turut menyumbang kedalam daftar panjang kekayaan kebudayaan nasional yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia.

Dalam lain sisi, ternyata keberagamaan budaya ini justru menimbulkan permasalahan, yaitu “rasa perbedaan” antar setiap suku bangsa yang tidak sering pula menjadi boomerang bagi bangsa Indonesia yang dapat menimbulkan perpecahan. Hal ini dikarenakan sulitnya komunikasi yang dibangun antar kebudayaan dalam proses menjalankan kehidupan bersama sebagai rakyat Indonesia. 

  Rasa perbedaan yang ada ini ditunjukan dengan cara pandang yang berbeda antar suku bangsa dan kebudayaan dalam menilai berbagai hal, yang dikhwatirkan menjadi masalah perpecahan. Hal semacam ini seharusnya dikesampingkan karena dinilai menjadi faktor penghambat integrasi dan turut menjadi penghambat proses pembangunan (Soedjatmoko, 1983).

Komunikasi antar budaya terjadi setiap kali seseorang dari satu budaya tertentu memberikan pesan yang kemudian diproses dan dimaknai oleh seseorang yang memiliki budaya yang berbeda (Samovar, 2009). Proses inilah yang kemudian dibutuhkan oleh bangsa Indonesia dalam menjaga persatuan dan kesatuannya ditengah keberanekaragaman suku bangsa dan budaya yang dimiliki. Dialog yang terjadi ini dapat membuat pemahaman budaya satu terhadap budaya lainnya menjadi lebih tepat dengan cara memberikan ruang untuk berdiskusi untuk mencapai suatu cara pandang yang benar dalam menilai suatu kebudayaan

Penjilat Dungu

19 September 2020 15:36:43 Dibaca : 31

Saya sangat terinspirasi dengan metode dialektika dari filsuf Sokrates dalam mencari ilmu pengetahuan. Di mana sang guru sejati ini selalu mengatakan bahwa pengetahuan sejati adalah mengetahui bahwa kamu tidak tahu apa-apa. Inilah makna dungu bagi kita para pencinta dunia filsafat.

Dari Yunani kuno, saya membawa kita untuk melihat situasi dan kondisi bangsa kita saat ini. Di mana aku dan diriku yang lain adalah penjilat dungu dalam republik ini! Mengapa saya katakan demikian?

Sebab kita selalu mendukung wacana dan retorika bullshit dari para penguasa. Apalagi penguasa 

Saya terkejut dan tersihir dengan status WhatsAPP dari Wartawan senior dari kota kelahiranku. Beliau mengatakan," Pendukung dinasti politik adalah penjilat-penjilat dungu."

Istilah dungu saya sudah terbiasa mendengarnya dari Rektor sekaligus dosen Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang. Sewaktu masih berstatus sebagai mahasiswa pengantar filsafat, kami selalu diidentikkan dengan 'dungu.'

 Dungu adalah sebutan bagi para pencinta dunia filsafat. Karena dalam dunia filsafat, kita selalu diajarkan untuk selalu menjadi orang dungu/bodoh. 

 Saya sangat terinspirasi dengan metode dialektika dari filsuf Sokrates dalam mencari ilmu pengetahuan. Di mana sang guru sejati ini selalu mengatakan bahwa pengetahuan sejati adalah mengetahui bahwa kamu tidak tahu apa-apa. Inilah makna dungu bagi kita para pencinta dunia filsafat.

Dari Yunani kuno, saya membawa kita untuk melihat situasi dan kondisi bangsa kita saat ini. Di mana aku dan diriku yang lain adalah penjilat dungu dalam republik ini! Mengapa saya katakan demikian?

Sebab kita selalu mendukung wacana dan retorika bullshit dari para penguasa. Apalagi penguasa yang selalu berorientasi pada pemenuhan ego sendiri dan  koloninya. Dalam hal ini para 'pendukung dinasti politik yang merupakan penjilat-penjilat yang tak berperikemanusiaan.

Diriku yang lain (Liyan) sementara berjuang untuk bertahan hidup di tengah perubahan revolusi industri 4.0. Sementara para penjilat dungu terus mencari sensasi di dalam ruang publik. Ruang publik seolah dijadikan seperti kamar tidur sendiri. Sesuka hati tanpa memikirkan psikologis dirinya yang lain.

Kemanusiaan itu jauh lebih tinggi daripada kepentingan golongan.  

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong