Rangkuman AKSES MASYARAKAT DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Nama : Rinfinila Damopolii
Kelas : 6E
Nim : 151418151
Mata kuliah : Hubungan sekolah dan masyarakat
A.PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PENDIDIKAN YANG LEBIH BERKUALITAS
Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis dalam pembangunan nasional untuk mencapai bangsa yang maju, mandiri dan beradab. Oleh karena itu, Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan pendidikan merupakan salah satu agenda penting dalam pembangunan nasional sebagaimana termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 sekaligus menjadi prioritas utama dalam rencana kerja Pemerintah. Menyadari akan pentingnya pendidikan bagi seluruh anak bangsa, Pemerintah terus berupaya memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia. Hal ini penting seperti telah ditegaskan dalam UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Pendidikan bahkan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam memasuki era persaingan global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang sangat ketat.
1.Permasalahan yang dihadapi
Tingkat pendidikan penduduk relatif masih rendah. Pada awal periode RPJMN 2004-2009, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk usia di atas 10 tahun yang mempunyai tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs/sederajat baru mencapai sekitar 36,2 persen (Susenas 2003). Angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7—12 tahun pada tahun 2004 sebesar 96,42 persen, usia 13—15 tahun sebesar 81,01 persen, dan 16—18 tahun sebesar 50,97 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 19,0 persen penduduk usia 13—15 tahun dan sekitar 49 persen penduduk usia 16—18 tahun yang belum pernah sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Angka putus sekolah yang masih cukup signifikan ini lebih banyak diakibatkan oleh persoalan ekonomi terutama bagi anak-anak pada jenjang pendidikan dasar yang berasal dari keluarga miskin.
2.Pembangunan pendidikan belum sepenuhnya mampu mengikuti dinamika perubahan struktur penduduk
Keberhasilan Program Keluarga Berencana mengakibatkan jumlah penduduk kelompok usia 7—12 tahun menurun dan berdampak pada stabilnya jumlah siswa yang bersekolah pada jenjang SD/MI dari tahun ke tahun. Pada saat yang sama, struktur usia siswa SD/MI mengalami perubahan dengan semakin menurunnya proporsi siswa berusia lebih dari 12 tahun dan semakin meningkatnya proporsi siswa berusia kurang dari 7 tahun. Hal ini terjadi pada saat proporsi penduduk usia dewasa meningkat dan berdampak pada perlunya pengembangan penyediaan layanan pendidikan sepanjang hayat secara berkelanjutan melalui jalur pendidikan nonformal yang bertujuan untuk memberi pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan kelompok usia in
3.Kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antarkelompok masyarakat
Kesenjangan pendidikan lebih terlihat pada jenjang SMP/MTs ke atas. Pada tahun 2003, APS penduduk usia 13—15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya (kuintail 5) sudah mencapai 93,98 persen sementara APS kelompok 20 persen termiskin (kuintail 1) baru mencapai 67,23 persen. Kesenjangan yang lebih besar terjadi pada kelompok usia 16—18 tahun dengan APS kelompok termiskin dan terkaya berturut-turut sebesar 28,52 persen dan 75,62 persen.
B.KUALITAS PEDIDIKAN YANG RELATIF RENDAH
Rendahnya kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh: (i) kurang memadainya ketersediaan pendidik dalam hal jumlah dan kualitas; (ii) rendahnya kesejahteraan pendidik; (iii) belum mencukupinya fasilitas belajar beserta sarana dan prasarana pendukungnya; dan (iv) masih tingginya biaya operasional pendidikan. Pada awal periode RPJMN 2004-2009, belum semua pendidik berhasil memenuhi standar minimal kualifikasi akademik. Baru sekitar 61,4 persen guru SD/MI/sederajat memiliki kualifikasi minimal Diploma II (D2) dan hanya 75,1 persen guru SMP/MTs/sederajat berpendidikan Diploma III (D3) atau lebih (Depdiknas, 2004). Sementara itu, 82,0 persen guru SMA/sederajat memiliki kualifikasi akademik S1 atau lebih. Standar yang berlaku pada waktu itu, kualifikasi akademik minimal yang harus dimiliki oleh guru SD/MI/sederajat, SMP/MTs/sederajat, dan SMA/SMK/MA/sederajat berturut-turut adalah D2, D3, dan S1/Diploma IV (D4). Selain itu, banyak pula dijumpai guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang ilmu yang dimilikinya atau lazim disebut mismatch, misalnya guru dengan latar belakang ilmu sosial ditugasi mengajar mata pelajaran MIPA. Pelaksanaan sertifikasi dan evaluasi kinerja guru yang masih belum mantap juga mengakibatkan belum optimalnya kualitas pendidikan. Kualitas fasilitas layanan pendidikan masih sangat terbatas. Hal itu ditandai dengan banyaknya gedung sekolah yang rusak, terutama gedung sekolah SD/MI yang dibangun secara besar-besaran pada saat dimulainya Program Inpres SD tahun 1970-an dan Program Wajib Belajar Enam Tahun pada tahun 1980-an. Kondisi ini diperburuk dengan terbatasnya biaya perawatan dan perbaikan. Pada tahun 2004, sekitar 57,2 persen gedung SD/MI/sederajat dan 27,3 persen gedung SMP/MTs/sederajat mengalami kerusakan ringan dan berat. Selain itu, sebagian besar satuan pendidikan tidak memenuhi syarat minimum sarana dan prasarana yang harus tersedia untuk menjamin terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas.
1.Manajemen dan tata kelola penyelenggaraan pendidikan belum efektif dan efisien
Dengan dilaksanakannya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah memiliki kewenangan sejak proses perencanaan, penentuan prioritas, serta mobilisasi sumber daya yang ada untuk melaksanakan rencana tersebut. Dengan kebijakan desentralisasi pendidikan, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih tanggap dalam memenuhi kebutuhan setempat. Namun, desentralisasi pendidikan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan 27 - 7 karena belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan termasuk kontribusinya dalam penyediaan anggaran pendidikan. Selain itu, masih terdapat keterbatasan kapasitas kelembagaan di daerah di samping masih belum terlaksananya standar pelayanan minimal yang harus ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan acuan dari pemerintah.
2. Alokasi anggaran pendidikan yang masih sangat rendah
Data Human Development Report 2004 mengungkapkan bahwa ratarata anggaran Pemerintah untuk sektor pendidikan hanya sebesar 1,3 persen dari produk domestik bruto (PDB), jauh lebih rendah dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia (7,9 persen), Thailand (5,0 persen), dan Filipina (3,2 persen). Padahal, Amandemen UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas mengamanatkan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana pendidikan minimal sebesar 20 persen dari APBN dan 20 persen dari APBD. Pada tahun 2004, proporsi anggaran pembangunan pendidikan baru mencapai sekitar 6,6 persen dari APBN