Rangkuman Hubungan masyarakat

04 June 2021 16:27:08 Dibaca : 12

A.    Pentingnya hubungan Masyarakat dengan Sekolah

Hubungan sekolah dengan masyarakat pada hakikatnya merupakan suatu sarana yang sangat berperan dalam membina dan mengembangkan pertumbuhan pribadi peserta didik di sekolah. Sekolah dan masyarakat memiliki hubungan yang sangat erat dalam mencapai tujuan sekolah atau pendidikan secara efektif dan efisien.

 

Menurut pandangan ‘filosofis’ tentang hakikat sekolah itu sendiri dan hakikat  masyarakat, diantaranya sebagai berikut:

1.  Sekolah adalah bagian integral dari masyarakat; ia bukan merupakan lembaga yang terpisah dari masyarakat.

2.   Sekolah adalah lembaga sosial yang berfungsi untuk melayani anggota-anggota masyarakat dalam bidang pendidikan.

3.   Kemajuan sekolah dan masyarakat saling berkorelasi; keduanya saling membutuhkan.

 

B.     Jenis-jenis Hubungan Sekolah dan Masyarakat

1)    Hubungan edukatif, merupakan hubungan kerjasama dalam hal mendidik, yaitu antara guru dan orang tua di dalam keluarga. Hubungan ini di maksutkan agar tidak terjadi perbedaan prinsip dan pertentangan yang dapat menggakibatkan keragu-raguan pada diri anak atau murid. Cara kerjasama tersebut dapat direalisaskan dengan mengadakan pertemuan yang direncanakan secara periodik antara guru-guru di sekolah dengan orang tua murid.

2)   Hubungan kultural, ialah usaha kerjasama antara sekolah dengan masyarakat yang memungkinkan adanya saling membina dan mengembangkan kebudayaan masyarakat tempat sekolah itu berada. Untuk itu diperlukan adanya hubungan kerjasama yang fungsional antara kehidupan di sekolah dan kehidupan dalam masyarakat. Kegiatan kuikulum sekolah disesusikan dengan kebutuhan dan tuntunan perkembangan masyarakat.

3)  Hubungan institusional, yakni hubungan kerjasama antara sekolah dengan lembaga-lembaga atau instansi-instansi resmi lain. Dengan adanya hubungan ini, sekolah dapat meminta bantuan dari lembaga lain, baik berupa tenaga pengajar, pemberi ceramah, dan pengembangan materi kurikulum, maupu bantuan yang berupa fasilitas.

 

C.    Fungsi dan Tujuan Hubungan Sekolah dan Masyarakat

Ø  Fungsi pokok dari keduanya adalah menarik simpati masyarakat dan publik, sehingga dapat meningkatkan relasi serta animo masyarakat terhadap sekolah tersebut yang mampu menambah “income” bagi sekolah yang bermanfaat terhadap tercapainya tujuan yang telah ditetapkan.

 

Ø      Tujuan:

a.      Meningkatkan popularitas sekolah dimata masyarakat, sehingga prestise sekolah dapat meningkat pula.

b.      Memajukan kualitas pembelajaran, dan pertumbuhan anak.

c.      Memperkokoh tujuan serta meningkakan kualitas hidup dan penghidupan masyarakat.

d.      Menggairahkan masyarakat untuk menjalin hubunggan dengan sekolah.

 

   D.    Penggolongan Jenis-Jenis Kegiatan Humas di Sekolah

o       Kegiatan Eksternal

Kegiatan ini selalu berhungan atau ditujukan kepada publik atau masyarakat di luar warga sekolah, bisa dilakukan secara langsung, seperti rapat bersama, kunjugan tamu, dan lain-lain, konsultasi dengan tokoh-tokoh masyarakat. Atau tidak langsung, seperti; informasi lewat TV, radio, media cetak, pameran sekolah, dan lain-lain.

o       Kegiatan Internal

Kegiatan ini merupakan publisitas ke dalam sasarannya tidak lain adalah warga sekolah yang bersangkutan, yakni para guru, tenaga tata usaha, dan seluruh siswa. Kegiatan ini juga bisa dilakukan secara langsung seperti; rapat dewan guru, upacara sekolah, rekreasi bersama, dan lain-lain. Dan yang diakukan secara  tidak lsngsung antara lain: menyampaikan informasi melalui surat edaran, papan pengumuman di sekolah, majalah dinding dan lain-lain.

 

Pada prinsipnya, kegiatan Internal bertujuan untuk:

1.      Memberi penjelasan tentang kebijaksanaan penyelenggaraan sekolah, situasi dan perkembangannya.

2.      Menampung sarana dan pendapat dari warga sekolah.

3.      Dapat memelihara hubungan yang harmonis dan terciptanya kerjasama.

 

Faktor pendukung kegiatan hubungan sekolah dan masyarakat

1.      Adanya program dan perencanaan yang sistematis.

2.      Tersedia basis dokumentasi yang lengkap.

3.      Tersedia tenaga terampil, alat sarana dan dana yang memadai.

4.      Kondisi organisasi sekolah yang memungkinkan untuk meningkatkan kegiatan ini.[7]

 

Hubungan yang harmonis antara sekolah dan masyarakat akan membentuk:

1)      Adanya saling pengertian antara organisasi/ instansi dengan pihak luar.

2)      Adanya kegiatan yang membantu karena mengetahui manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing.

3)      Adanya kerjasama yang erat dengan masing-masing pihak dan merasa ikut bertanggung jawab atas suksesnya usaha pihak yang lain.

 

Dengan hubungan yang harmonis tesebut diharapkan tercapai tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat, yaitu terlaksananya proses pendidikan di sekolah secara produktif, efektif, dan efisien sehingga menghasilkan lulusan sekolah yang produktif dan berkualitas.

2.1.4. Ruang Lingkup Hubungan Sekolah dan Masyarakat

Ruang lingkup hubungan sekolah dan masyarakat dalam suatu organisasi atau lembaga, yaitu: 1) Humas eksternal (publik eksternal), yang dimaksud dengan publik eksternal adalah publik umum (masyarakat). Mengusahakan tumbuhnya sikap dan gambaran publik yang positif terhadap lembaga yang diwakilinya. Berdasarkan macam-macam khalayak ini dikenal sebagai media massa, pemerintah, masyarakat setempat, kontraktor, serta pelanggan (orang tua siswa); dan 2) Humas internal (publik internal), yang dimaksud dengan publik internal adalah publik yang menjadi bagian dari unit/organisasi/lembaga itu sendiri. Tujuan hubungan sekolah dan masyarakat kedalam pada hakikatnya untuk meningkatkan kegairahan bekerja para guru, tenaga akademik, karyawan lembaga/instansi yang bersangkutan. Sebagai garis besar, publik internal meliputi warga dalam sekolah, yaitu guru, siswa, tenaga kependidikan, dan komite sekolah (Rahmat, 2016).

2.1.5. Tujuan Hubungan Sekolah dan Masyarakat

Hubungan sekolah dengan masyarakat sebagai salah satu aktivitas yang mendapat kedudukan setara dengan kegiatan pengajaran, pengelolaan keuangan, pengelolaan kesiswaan dan sebagainya (substansi kegiatan managemen sekolah) juga harus direncanakan, dikelola dan dievaluasi secara baik. Tanpa perencanaan dan pengelolaan serta evaluasi yang baik, tujuan yang hakiki dari kegiatan hubungan sekolah dengan masyarakat tidak akan tercapai (Rahmat, 2016).

Elsbree dalam Ismaya (2015) telah mengemukakan tujuan hubungan sekolah dengan masyarakat sebagai berikut:

1) Untuk meningkatkan kualitas belajar

dan pertumbuhan anak 2) Untuk meningkatkan

pemahaman pentingnya pendidikan dan meningkatkan kualitas

masyarakat akan

kehidupan masyarakat.

3) Untuk mengembangkan antusiasme

saling bantu antara sekolah dengan masyarakat demi kemajuan kedua belah pihak.

Berdasarkan beberapa tujuan humas yang telah dikemukakan di atas mengacu pada segala program yang dilaksanakan oleh bidang humas yang jika dapat terlaksana, maka persepsi masyarakat tentang sekolah akan dapat dibangun secara optimal.

 

2.2.1. Perencanaan Hubungan Sekolah dan Masyarakat

Perencanaan sebagai fungsi manajemen dilakukan pada tahap pertama sebelum melaksanakan kebijakan, program dan kegiatan. James Stoner A.F, Freeman R.W dan Gilbert Jr., 1996 (Rahmat, 2016) mengatakan perencanaan sebagai cetak biru (blu print) atas kebijakan, program dan kegiatan-kegiatan organisasi. Secara sederhana, perencanaan adalah usaha sadar, terorganisir dan terus- menerus dilakukan guna memilih alternatif yang terbaik dari sejumlah alternatif untuk mencapai tujuan.

Perencanaan, yaitu suatu proses persiapan mengenai apa yang harus diperbuat di masa yang akan datang dengan mempertimbangkan segala sarana dan ketersediaan peralatan pendukung serta memprediksi kemungkinan hambatan yang akan dihadapi dan cara menyelesaikannya (Terry & Rue, 2001).

Ada beberapa hal yang penting dilaksanakan terus menerus dalam manajemen pendidikan sebagai implementasi perencanaan, diantaranya: a) Merinci tujuan dan menerangkan kepada setiap pegawai/personil lembaga pendidikan; b) Menerangkan atau menjelaskan mengapa unit organisasi diadakan; c) Menentukan tugas dan fungsi, mengadakan pembagian dan pengelompokkan tugas terhadap masing- masing personil; d) Menetapkan kebijaksanaan umum, metode, prosedur dan petunjuk pelaksanaan lainnya; e) Mempersiapkan uraian jabatan dan merumuskan rencana/sekala pengkajian; f) Memilih para staf (pelaksana), administrator dan melakukan pengawasan; g) Merumuskan jadwal pelaksanaan, pembakuan hasil kerja (kinerja), pola pengisian staf dan formulir laporan pengajuan; h) Menentukan keperluan tenaga kerja, biaya (uang) material dan tempat; i) Menyiapkan anggaran dan mengamankan dana; j) Menghemat ruangan dan alat-alat perlengkapan erta bergerak untuk mencapai maksud- maksud yang hendak dicapai dan merasa berkepentingan serta bersatu padu dengan rencana dan usaha organisasi (Kurniadin dan Machali, 2016).

Terry (1986) yang mendefinisikan pelaksanaan (actuating) sebagai usaha menggerakkan anggota kelompok sedemikian rupa hingga mereka berkeinginan dan berusaha untuk mencapai sasaran perusahaan yang bersangkutan dan sasaran anggota perusahaan, karena para anggota itu ingin mencapai sasaran-sasaran tersebut (Marno & Supriyatno, 2009).

Suryosubroto (2012) dalam Evendy (2015) mengemukakan bahwa pelaksanaan humas di sekolah dikenal dengan kegiatan humas keluar (eksternal) dan humas kedalam (internal).

Rangkuman AKSES MASYARAKAT DALAM DUNIA PENDIDIKAN

25 March 2021 21:33:13 Dibaca : 13

Nama : Rinfinila Damopolii

Kelas : 6E

Nim   : 151418151

Mata kuliah : Hubungan sekolah dan masyarakat

 

 

A.PENINGKATAN AKSES MASYARAKAT TERHADAP PELAYANAN PENDIDIKAN YANG LEBIH BERKUALITAS

Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis dalam pembangunan nasional untuk mencapai bangsa yang maju, mandiri dan beradab. Oleh karena itu, Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan pendidikan merupakan salah satu agenda penting dalam pembangunan nasional sebagaimana termuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 sekaligus menjadi prioritas utama dalam rencana kerja Pemerintah. Menyadari akan pentingnya pendidikan bagi seluruh anak bangsa, Pemerintah terus berupaya memenuhi hak setiap warga negara dalam memperoleh layanan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa Indonesia. Hal ini penting seperti telah ditegaskan dalam UUD 1945 bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan dan Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pendidikan untuk mencapai tujuan negara, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahteraan umum. Pendidikan bahkan merupakan syarat mutlak yang harus dipenuhi dalam memasuki era persaingan global yang sarat dengan persaingan antarbangsa yang sangat ketat.

1.Permasalahan yang dihadapi

 Tingkat pendidikan penduduk relatif masih rendah. Pada awal periode RPJMN 2004-2009, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas baru mencapai 7,1 tahun dan proporsi penduduk usia di atas 10 tahun yang mempunyai tingkat pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP)/MTs/sederajat baru mencapai sekitar 36,2 persen (Susenas 2003). Angka partisipasi sekolah (APS) penduduk usia 7—12 tahun pada tahun 2004 sebesar 96,42 persen, usia 13—15 tahun sebesar 81,01 persen, dan 16—18 tahun sebesar 50,97 persen. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat sekitar 19,0 persen penduduk usia 13—15 tahun dan sekitar 49 persen penduduk usia 16—18 tahun yang belum pernah sekolah atau tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Angka putus sekolah yang masih cukup signifikan ini lebih banyak diakibatkan oleh persoalan ekonomi terutama bagi anak-anak pada jenjang pendidikan dasar yang berasal dari keluarga miskin.

2.Pembangunan pendidikan belum sepenuhnya mampu mengikuti dinamika perubahan struktur penduduk

Keberhasilan Program Keluarga Berencana mengakibatkan jumlah penduduk kelompok usia 7—12 tahun menurun dan berdampak pada stabilnya jumlah siswa yang bersekolah pada jenjang SD/MI dari tahun ke tahun. Pada saat yang sama, struktur usia siswa SD/MI mengalami perubahan dengan semakin menurunnya proporsi siswa berusia lebih dari 12 tahun dan semakin meningkatnya proporsi siswa berusia kurang dari 7 tahun. Hal ini terjadi pada saat proporsi penduduk usia dewasa meningkat dan berdampak pada perlunya pengembangan penyediaan layanan pendidikan sepanjang hayat secara berkelanjutan melalui jalur pendidikan nonformal yang bertujuan untuk memberi pelayanan pendidikan sesuai dengan kebutuhan kelompok usia in

3.Kesenjangan tingkat pendidikan yang cukup lebar antarkelompok masyarakat

Kesenjangan pendidikan lebih terlihat pada jenjang SMP/MTs ke atas. Pada tahun 2003, APS penduduk usia 13—15 tahun dari kelompok 20 persen terkaya (kuintail 5) sudah mencapai 93,98 persen sementara APS kelompok 20 persen termiskin (kuintail 1) baru mencapai 67,23 persen. Kesenjangan yang lebih besar terjadi pada kelompok usia 16—18 tahun dengan APS kelompok termiskin dan terkaya berturut-turut sebesar 28,52 persen dan 75,62 persen.

 

B.KUALITAS PEDIDIKAN YANG RELATIF RENDAH

Rendahnya kualitas pendidikan sangat dipengaruhi oleh: (i) kurang memadainya ketersediaan pendidik dalam hal jumlah dan kualitas; (ii) rendahnya kesejahteraan pendidik; (iii) belum mencukupinya fasilitas belajar beserta sarana dan prasarana pendukungnya; dan (iv) masih tingginya biaya operasional pendidikan. Pada awal periode RPJMN 2004-2009, belum semua pendidik berhasil memenuhi standar minimal kualifikasi akademik. Baru sekitar 61,4 persen guru SD/MI/sederajat memiliki kualifikasi minimal Diploma II (D2) dan hanya 75,1 persen guru SMP/MTs/sederajat berpendidikan Diploma III (D3) atau lebih (Depdiknas, 2004). Sementara itu, 82,0 persen guru SMA/sederajat memiliki kualifikasi akademik S1 atau lebih. Standar yang berlaku pada waktu itu, kualifikasi akademik minimal yang harus dimiliki oleh guru SD/MI/sederajat, SMP/MTs/sederajat, dan SMA/SMK/MA/sederajat berturut-turut adalah D2, D3, dan S1/Diploma IV (D4). Selain itu, banyak pula dijumpai guru yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang bidang ilmu yang dimilikinya atau lazim disebut mismatch, misalnya guru dengan latar belakang ilmu sosial ditugasi mengajar mata pelajaran MIPA. Pelaksanaan sertifikasi dan evaluasi kinerja guru yang masih belum mantap juga mengakibatkan belum optimalnya kualitas pendidikan. Kualitas fasilitas layanan pendidikan masih sangat terbatas. Hal itu ditandai dengan banyaknya gedung sekolah yang rusak, terutama gedung sekolah SD/MI yang dibangun secara besar-besaran pada saat dimulainya Program Inpres SD tahun 1970-an dan Program Wajib Belajar Enam Tahun pada tahun 1980-an. Kondisi ini diperburuk dengan terbatasnya biaya perawatan dan perbaikan. Pada tahun 2004, sekitar 57,2 persen gedung SD/MI/sederajat dan 27,3 persen gedung SMP/MTs/sederajat mengalami kerusakan ringan dan berat. Selain itu, sebagian besar satuan pendidikan tidak memenuhi syarat minimum sarana dan prasarana yang harus tersedia untuk menjamin terjadinya proses pembelajaran yang berkualitas.

1.Manajemen dan tata kelola penyelenggaraan pendidikan belum efektif dan efisien

Dengan dilaksanakannya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah memiliki kewenangan sejak proses perencanaan, penentuan prioritas, serta mobilisasi sumber daya yang ada untuk melaksanakan rencana tersebut. Dengan kebijakan desentralisasi pendidikan, diharapkan pemerintah daerah dapat lebih tanggap dalam memenuhi kebutuhan setempat. Namun, desentralisasi pendidikan belum sepenuhnya dapat dilaksanakan 27 - 7 karena belum mantapnya pembagian peran dan tanggung jawab masing-masing tingkat pemerintahan termasuk kontribusinya dalam penyediaan anggaran pendidikan. Selain itu, masih terdapat keterbatasan kapasitas kelembagaan di daerah di samping masih belum terlaksananya standar pelayanan minimal yang harus ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan acuan dari pemerintah.

2. Alokasi anggaran pendidikan yang masih sangat rendah

Data Human Development Report 2004 mengungkapkan bahwa ratarata anggaran Pemerintah untuk sektor pendidikan hanya sebesar 1,3 persen dari produk domestik bruto (PDB), jauh lebih rendah dibanding negara-negara tetangga seperti Malaysia (7,9 persen), Thailand (5,0 persen), dan Filipina (3,2 persen). Padahal, Amandemen UUD 1945 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dengan jelas mengamanatkan kewajiban Pemerintah dan pemerintah daerah untuk mengalokasikan dana pendidikan minimal sebesar 20 persen dari APBN dan 20 persen dari APBD. Pada tahun 2004, proporsi anggaran pembangunan pendidikan baru mencapai sekitar 6,6 persen dari APBN

 

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong