DAMPAK PSIKOLOGIS KORBAN FENOMENA KLITIH DI YOGYAKARTA

15 May 2023 21:41:14 Dibaca : 1028

Siti Bidaria PaputunganProgram Studi Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri GorontaloEmail: siti_s1psikologi@mahasiswa.ung.ac.id

AbstractAdolescents begin to understand their self-concept, they form self-perceptions in accordance with the surrounding environment. Teenagers not only begin to understand their self-concept but also their self-esteem in the community environment. The concept or self-perception refers to the understanding of one's meaning while self-esteem refers to the overall view of oneself. If their self-esteem is low, various problems will occur, one of which is juvenile delinquency. Initially, it was discovered that Klitih had been killed by a Seyegan Vocational High School student by 12 students from a high school in Sleman. As time went on, Klitih became known to the public, and information was retrieved at the end of 2020 around the Jombor Flyover by a group of motorists with the victim being a print media employee. with seven sharp object slashes, and in early 2021 about the stabbing of three motorbike riders on Jalan Gambiran. This clit has many negative impacts on victims, such as victims feeling excessive fear and anxiety when they go out alone or in public places, and are traumatized. Because the incident created ongoing trauma that affected changes in the victim's communication behavior. Where this behavior is divided into three, namely effective behavior (emotional), cognitive behavior (knowledge) and conative behavior (habits). Klitih is a negative action carried out by teenagers to prove their existence, the occurrence of klitih is due to environmental factors and the perpetrator's low self-confidence and identity search for the perpetrator. Klitih has a negative impact on victims such as victims will experience fear, excessive anxiety and prolonged trauma. Therefore, treatment is needed regarding the impact on victims of this clit, such as pharmacotherapy or psychotherapyKeywords: klitih, adolescent, psychological

AbstrakMasa remaja mulai memahami konsep dirinya,mereka membentuk persepsi dirinya sesuai dengan lingkungan sekitar.Remaja bukan hanya mulai memahami konsep dirinya tetapi juga akan harga dirinya dilingkungan masyarakat. Konsep atau persepsi diri mengacu pada pemahaman akan pemaknaan dirinya sedangkan harga diri mengacu pada pandangan secara keseluruhan mengenai dirinya. Jika harga diri mereka rendah maka akan terjadinya berbagai pemasalahan,salah satunya kenakalan pada remaja. Awalnya klitih diketahui dilakukan pembunuhan siswa SMK Seyegan oleh 12 orang pelajar dari salah satu SMA di Sleman.Sering berjalannya waktu,klitih terus dikenal masyarakat,dan didapatkan kembali informasi di akhir tahun 2020 di sekitar Flyover Jombor oleh sekelompok orang bermotor dengan korban seorang karyawan media cetak dengan tujuh sabetan benda tajam, dan diawal 2021 tentang pembacokan tiga pengendara motor di jalan Gambiran. Klitih ini memberikan banyak dampak yang negatif bagi korban, seperti korban merasa ketakutan serta cemas yang berlebihan ketika mereka keluar sendiri atau berada ditempat umum, dan trauma. Karena kejadian tersebut menciptakan trauma berkelanjutan sehingga memperngaruhi perubahan perilaku komunikasi korban. Dimana perilaku tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu perilaku efektif (emosional), perilaku kognitif (pengetahuan) dan perilaku konatif (kebiasaan).Klitih merupakan aksi negatif yang dilakukan remaja untuk membuktikan eksistensi mereka, terjadinya klitih karena faktor lingkungan serta rendahnya rasa percaya diri pelaku dan pencarian identitas bagi pelaku. Klitih ini memberikan dampak negatif bagi korban seperti korban akan mengalami ketakutan, kecemasan yang berlebihan hingga trauma yang berkepanjangan.Maka dari itu perlunya penanganan mengenai dampak bagi korban klitih ini, seperti farmakoterpi ataupun psikoterapiKata Kunci:Klitih, remaja, psikologis.

Pendahuluan:Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa, dimana masa ini remaja mulai banyak mengeksplore berbagai kegitan. Pada masa ini juga remaja mulai mencoba berbagai hal baru, maka dari itu perlunya bimbingan dari orang tua mereka agar remaja tidak akan terjerumus ke hal-hal yang negatif. Usia 16 hingga 19 tahun menurut Wirawan (2016) tergolong dalam usia remaja. Usia remaja adalah perubahan dari anak-anak kedewasa, secara psikologis menjadi dewasa itu ketika seseorang telah mampu mengubahkan perasaan egosentrisme menjadi perasaan ikut memiliki (extension of the self), mampu melihat diri secara objektif dengan memiliki kemampuan untuk menilai dirinya sendiri dan memiliki falsafah hidup tertentu (Allport dalam Wirawan 2016).Masa remaja mulai memahami konsep dirinya, mereka membentuk persepsi dirinya sesuai dengan lingkungan sekitar. Gambaran akan konsep dirinya tersebut tergantung ketika berada dengan siapa dan bagaimana ia memainkan peran didalamnya. Remaja bukan hanya mulai memahami konsep dirinya tetapi juga akan harga dirinya dilingkungan masyarakat. Konsep atau persepsi diri mengacu pada pemahaman akan pemaknaan dirinya sedangkan harga diri mengacu pada pandangan secara keseluruhan mengenai dirinya. Jika harga diri mereka rendah maka akan terjadinya berbagai pemasalahan, salah satunya kenakalan pada remaja. Banyak sekali kenakalan yang dilakukan oleh remaja salah satunya, fenomena yang sangat marak terjadi di kalangan remaja yaitu klitih, klitih merupakan perilaku agresif dimana remaja melalukan segala cara untuk memperlihatkan eksistensinya. Para pelaku melakukan aksinya tanpa motif apapun serta korbannya merupakan orang yang tidak dikenal. Pelaku diantaranya geng-geng yang berada disekolah menengah pertama hingga atas, mereka melakukan aksi tersebut untuk menunjukan keberadaan mereka lebih dari yang lain.Awalnya klitih diketahui dilakukan pembunuhan siswa SMK Seyegan oleh 12 orang pelajar dari salah satu SMA di Sleman. Peristiwa mengejutkan tersebutbukan hanya heboh dimasyarakat sekitar tetapi juga sampai ke media massa. Berbagai berita sudah lebih dari 20 peristiwa klitih melibatkan remaja. Tahun 2018 telah terjadi 13 kasus klitih di Yogyakarta dan menyebabkan dua orang meninggal dunia. Sering berjalannya waktu, klitih terus dikenal masyarakat, dan didapatkan kembali informasi di akhir tahun 2020 di sekitar Flyover Jombor oleh sekelompok orang bermotor dengan korban seorang karyawan media cetak dengan tujuh sabetan benda tajam, dan diawal 2021 tentang pembacokan tiga pengendara motor di jalan Gambiran.Beberapa aksi yang mereka lakukan seperti tawuran, penganiayaan, menodong korban dengan senjata tajam hingga mencaci maki korban. Berdasarkan cerita dari beberapa mantan pelaku klitih dapat disimpulkan bahwa kelompok sosial yag menjadi pengaruh mereka melakukan aksi tersebut, karena mereka butuh diakui oleh orang lain. Faktor dari remaja tersebut melakukan klitih karena lingkungan mereka seperti pergaulan, lingkungan keluarga yang kurang memberikan perhatian kepada remaja tersebut hingga rasa penghargaan diri mereka rendah. Maka dari itu banyak remaja yang mencari perhatian serta eksistensi mereka dengan melakukan aksi klitih ini. Dampak dari klitih tersebut diantaranya, masalah psikologis dari pelaku hingga korban.PembahasanKlitih ini memberikan banyak dampak yang negatif bagi korban, seperti korban merasa ketakutan serta cemas yang berlebihan ketika mereka keluar sendiri atau berada ditempat umum, dan trauma. Karena kejadian tersebut menciptakan trauma berkelanjutan sehingga memperngaruhi perubahan perilaku komunikasi korban. Dimana perilaku tersebut dibagi menjadi tiga, yaitu perilaku efektif (emosional), perilaku kognitif (pengetahuan) dan perilaku konatif (kebiasaan).Perubahan perilaku efektif (emosional) korban seperti perasaan yang sulit dikontrol dan terlalu sedih setiap teringat trauma kejadian tersebut. Perilaku kognitif (pengetahuan) dimana korban banyak yang tidak ingin keluar dari trauma tersebut, atau kurangnya pemahaman mereka terhadap trauma itu seperti mereka tidak ke psikolog untuk membebaskan mereka dari trauma hingga rasa takut mereka. Kemudian perubahan perilaku konatif (kebiasaan), korban akan kesulitan berkomunikasi dengan lawannya dalam jangka waktu yang lama. Trauma yang berkepanjangan jika tidak dikontrol akan merusak jaringan syaraf otak, jika sudah terjadi akan makin sulit untuk disembuhkan. Dengan komunikasi nonverbal, lawan bicara korban sudah mengetahui isi hati korban dari mimik wajah. Korban klitih akan mengeluarkan ekspresi wajah yang sedih, cemas, dan ketakutan saat bertemu dengan orang baru karena takut tragedi mengerikan itu terulang kembali. Meskipun komunikasi nonverbal kurang dapat dipahami, namun inilah fakta yang dihadapi.Gangguan kecemasan adalah kondisi cemas, gelisah, takut yang tidak jelas dan berlebihan serta panik tanpa alasan. Korban dari aksi klitih ini mengalami rasa takut, khawatir yang berlebihan ketika akan berinteraksi dengan dunia luar karena mereka takut akan terjadi hal tersebut kembali. Korban klitih ini akan cenderung memikirkan hal-hal negatif dan akan kesulitan dalam mengendalikan pikiran-pikiran negatifnya sehingga menyebabkan gangguan kecemeasaan terebut. Selama gangguan kecemasan berlangsung otak akan dipenuhi hormon stress, seperti hormon adrenal, kortisol, norepinefrin yang akan menyebabkan sulit untuk mengatur emosi dan memikirkan hal-hal negatif serta sulit untuk mengendalikan pikiran-pikiran tersebut. Amigdala pusat pengendalian emosi pada saat itu sangat aktif, amigdala memberi respon secara terus menerus bahwa lingkungan memberikan ancaman, ketika amigdala merasa dalam bahaya maka ia akan memberikan respon ke tubuh melalui kecemasan.Selain itu trauma juga dirasakan oleh korban klitih, trauma merupakan gangguan pada mental seperti stress, depresi setelah kejadian traumatis yang dialami. Orang dengan gangguan ini akan ketakutan, dan cemas ketika menghadap kejadian yang akan mengingatkannya kembali dengan peristiwa trauma yang membekas diingatan. Peradangan otak terjadi ketika mengalami trauma ini, karena peradangan pada otak menyebabkan beberapa komplikasi seperti penyusutan pada otak, fungsi neurotransmitter menurun, serta kemampuan pada otak akan menurun. Fungsi pada hipokampus akan menurun karena adanya perubahaan pada jaringan struktur otak sehingga akan mengalami gangguan pada ingatan.Trauma juga berdampak pada hipokampus yang mengatur emosi dan memori ini mengalami penyusutan. Cingulate anterior yang memiliki fungsi untuk pengembangan diri juga mengalami penurunan sehingga menyebabkan korban merasa rendah diri dan sulit untuk mengembangkan dirinya. Amigadala juga terkena dampak dari trauma ini, terjadi penyusutan dan aktivitasnya akan meningkatan karena dampak produksi hormone kortisol yang berlebih.Penangan terhadap korban klitih ini bisa berupa farmakoterpi ataupun psikoterapi, farmakoterapi seperti pemberian obat-obat terapi kepada korban sedangkan untuk psikoterapi memiliki 3 jenis seperti anxiety management, cognitive therapy, dan exposure therapy. Ketiga terapi itu mengarah kepenyembuhan psikologis korban.KesimpulanKlitih merupakan aksi negatif yang dilakukan remaja untuk membuktikan eksistensi mereka, terjadinya klitih karena faktor lingkungan seperti pergaulan yang tidak sehat serta rendahnya rasa percaya diri pelaku dan pencarian identitas bagi pelaku. Klitih ini memberikan dampak negatif bagi korban seperti korban akan mengalami ketakutan, kecemasan yang berlebihan hingga trauma yang berkepanjangan. Maka dari itu perlunya penanganan mengenai dampak bagi korban klitih ini, seperti farmakoterpi ataupun psikoterapi.Daftar RujukanPratiwi, Y. A. 2018. Rasa Bersalah Pada Remaja Pelaku Klitih. Jurnal Riset Mahasiswa Bimbingan Dan Konseling. 4:(7). 298-308.Febriani, A. 2018. Klithih: Faktor Risiko Dan Developmental Pathway Pelakunya. Humanitas. 5:(2). 145 – 159.Pitaloka, S. 2020. Desain Bimbingan dan Konseling Tujuan Hidup Remaja Pelaku Klitih Melalui Metode Konseling Eksistensial. Jurnal Konseling Andi Matappa. 4(1). 18-27.Inayah, M. Yusuf, A. Umam, K. 2021. Krisis Identitas dalam Perkembangan Psikososial Pelaku Klitih di Yogyakarta. Jurnal PKS. 20(3). 245 – 256.

SITI BIDARIA PAPUTUNGAN

171422003

Program Studi Psikologi,Fakultas Ilmu Pendidikan,Universitas Negeri Gorontalo

Dosen Pengampu: Sri Wahyuningsi M Polinggapo M.Psi.,Psikolog

Abstract

       The bullying case that occurred in July 2022 in Tasikmalaya, the victim was 11 years old and the perpetrators were 4 people the same age. The victim was often bullied at school and the worst part was that the victim was forced to have sex with a cat and was recorded by the perpetrators. The victim became increasingly embarrassed and became depressed until she died world. Bullying causes the victim to experience several behavioral disorders such as stress, depression and anxiety disorders. Psychosomatic symptoms will also be felt by victims from their psychological problems and trigger symptoms that interfere with their physical health. Children victims of bullying experience various disorders in their development, ranging from socio-emotional and moral. Bullying is an act of hurting someone's physical and psychological. The environment greatly influences the medicine, therefore attention is needed from the people around the child, the child also needs to be given attention and affection. Bullying education from an early age also needs to be done so that acts like this do not happen again.

Keywords: Bullying, depression, social emotional.

Abstrak

         Kasus bullying yang terjadi Juli 2022 di Tasikmalaya, korban berusia 11 tahun dan pelaku 4 orang yang seusianya.Korban sering dibully ketika berada di sekolah dan yang paling parahnya korban dipaksa untuk menyetubuhi kucing dan direkam oleh para pelaku.Korban semakin malu dan mengalami depresi hingga meninggal dunia.Bullying ini membuat korban mengalami beberapa gangguan pada perilaku seperti stres, depresi hingga gangguan kecemasan. Gejala psikosomatis juga akan dirasakan korban dari masalah psikologisnya dan memicu gejala yang menggangu kesehatan fisiknya.Anak-anak korban bullying mengalami berbagai gangguan pada perkembangannya, mulai dari sosioemosional maupun moral.Bullying merupakan perbuatan menyakiti fisik dan psikologis seseorang. Lingkungan sangat mempengaruhi perubatan tersebut maka dari itu diperlukan perhatian dari orang-orang sekitar anak tersebut,anak juga perlu diberikan perhatian serta kasih sayang.Edukasi bulying sejak dini juga perlu dilakukan agar perbuatan seperti ini tidak terjadi lagi.

Kata Kunci: Bullying, depresi, sosial emosional.

 

PENDAHULUAN:

       Dalam kehidupan kita akan melewati beberapa fase pertumbuhan dan perkembangan mulai dari ketika kita lahir, masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa lansia. Ruang lingkup perkembangan anak meliputi, perkembangan moral, perkembangan fisik dan motorik, perkembangan kognitif, perkembangan bahasa, perkembangan sosial emosional. Dalam perkembangan ini tentu saja banyak perubahan yang terdapat dari dalam diri anak termasuk perubahan sosio emosional yang didasarkan pada perilaku anak. Pada masa perkembangan anak-anak banyak belajar dari lingkungannya karena mereka banyak berinteraksi dengan lingkungan sekitar. Lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan pada anak, utamanya keluarga karena keluarga merupakan lingkungan pertama bagi sang anak. Keluarga sangat berpengaruh pada awal tumbuh kembang anak dalam menentukan pembentukan watak dan sikapnya, sehingga orang tua memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan, perkembangan dan pergaulan anak. Kemudian lingkungan pertemanan,untuk anak usia akhir yang sudah duduk dibangku sekolah dasar, lingkungan pertemanannya  sangat berpengaruh pada proses pertumbuhannya. Anak-anak sudah mulai berinteraksi dengan teman sebayanya, hal ini membuat kemampuan bersosialisasi sang anak meningkat. Dalam berinteraksi dengan teman sebayanya jika anak didik oleh orang tuanya dengan menanamnkan nilai-nilai sosial yang baik maka ia akan bersosialisai dengan baik. Karena manusia bertumbuh dari fase ke fase tanpa meninggalkan apa yang ia pelajari dari fase sebelumnya, jadi anak akan melakukan apa yang orang tua ajarkan kepadanya. Jika orang tua tidak mengajarkan kepada anak tentang nilai-nilai sosial atau mungkin kurang, maka anak akan mengalami hambat dalam psikososialnya. Akibat dari hambatan itu anak akan menunjukan gejala dan perilaku negatif seperti kenakalan yang beresiko serta membahayakan dirinya sendiri dan juga orang lain, salah satunya yang sering terjadi di Indonesia yaitu bulliying.

        Bulliying merupakan tindakan yang menyakiti orang lain secara fisik maupun psikologis hingga orang tersebut mengalami tekanan. Bulliying juga merupakan tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang oleh beberapa orang atau lebih yang  bersifat agresif karena ketidakseimbangan kekuatan antar pihak yang terlibat. Bullying berdampak luar biasa terhadap pelaku dan korban. Pelaku bullying memiliki karakter yang kuat dan merasa memiliki kekuatan, sedangkan korban bullying menjadi cemas, dan dapat meningkat menjadi depresi yang dapat berujung pada bunuh diri. Korban bullying juga bisa saja menjadi sebagai pelaku karena ia berkaca dari apa yang dia alami, bisa saja dia balas dendam atau melampiaskannya dengan melakukan perbuatan yang ia alami kepada orang lain.

        Anak pada usia sekolah dasar melewati tahapan transisi antara tahap praoperasional dan operasional konkret. Perilaku kognisi digunakan beberapa anak yang merupakan ciri khas dari kedua tahapan tersebut. Anak-anak yang memasuki sekolah dasar, dunia serta minatnya semakin meluas sehingga kemapuan kognitifnya juga meningkat dan pengertian mengenai kehidupan maupun objek-objek yang sebelumnya belum dimengerti juga akan bertambah. Namun anak yang mengalami bullying mempengaruhi perkembangan kognitif khususnya pada aspek ekuilibrasi, ekuilibrasi berarti keseimbangan diri dimana keseimbangan itu yang mempengaruhi pola kognitif anak.

      Bulliying sangat marak terjadi di Indonesia, tindakan itu banyak terjadi dikalangan pelajar. KPAI melaporkan, tercatat 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak dalam sembilan tahun sejak 2011 hingga 2019.  Baik dibidang pendidikan maupun dimedia sosial dan laporannya akan terus meningkat. Data dari Komisi Nasional Perlindungan Anak, sepanjang 2019, ada sebanyak 153 anak jadi korban kasus bullying yang terjadi di lingkungan sekolah.

       Kasus bulliying yang terjadi Juli 2022 di Tasikmalaya, korban berusia 11 tahun dan sering dibully oleh 4 anak yang seusianya. Korban sering dibully ketika berada di sekolah dan yang paling parahnya korban dipaksa untuk menyetubuhi kucing dan direkam oleh para pelaku. Video tersebut tersebar luas dan membuat korban makin dibully oleh teman-temannya, korban semakin malu dan mengalami depresi hingga meninggal dunia. Beberapa hari sebelum meninggal korban terlihat sangat murung dan melamun, korban juga sempat memberi tau ibunya bahwa tenggorokannya juga sakit hingga ia enggan untuk makan dan minum. Korban juga sempat muntah ketika diberi minum oleh ibunya, tidak hanya susah untuk makan dan minum, korbanpun sempat kejang-kejang hingga dibawa kerumah sakit sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit tapi malangnya korban meniggal dunia. Kondisi korban ketika dibawah kerumah sakit sudah mengalami penurunan kesadaran sejak satu hari sebelumnya dan korban sudah seminggu mengalami demam hingga tidak bisa makan. Hasil diagnosa dari rumah sakit korban neuropati tapi masih suspek karena korban masih sulit ditanya oleh dokter spesialis kejiwaan. Demam tifoid juga salah satu pemicu korban meninggal dunia.

      Sebelum meninggal dunia ibu korban sempat melihat video perundungan tersebut, dan saat ditanya korban mengaku dipaksa dan dipukul oleh teman-temannya. Keluarga korban hingga kini masih shock dan kondisi psikisnya masih belum stabil. KPAID akan terus mengawal orang tua korban dan pelaku untuk pemulihan psikisnya dan agar proses interogasi bisa berjalan lancar.  Bulliying tersebut menyebabkan permasalahan pada korban maupun pelaku diantaranya:

1.     Depresi dan gangguan kecemasan

      Bulliying ini menyebabkan korban mengalami beberapa gangguan pada perilaku seperti stres, depresi hingga gangguan kecemasan. Gangguan ini disebabkan karena tekanan oleh pelaku yang sering membully serta lingkungan sekitarnya. Rasa sedih, kesepian serta hilangnya minat untuk segala hal yang biasa ia lakukan dan perubahan pada pola tidur ataupun pola makannya. Gejala psikosomatis juga akan dirasakan korban dari masalah psikologis dan memicu gejala yang menggangu kesehatan fisiknya. Untuk pelakupun mengalami berbagai masalah seperti mudah marah, cemas, gelisah dan implusif sampai usia dewasa.

2.     Perkembangan terganggu

       Anak-anak korban bulliying mengalami berbagai gangguan pada perkembangannya, mulai dari sosioemosional maupun moral.

PEMBAHASAN                                                                  

      Kasus pembullyan yang terjadi di Tasikmalaya merupakan tindakan bulliying dalam bentuk verbal, psikis dan fisik. Penyataan ini dibuktikan dengan pengakuan sang korban terhadap ibunya, korban mengatakan bahwa ia sering diejek, dipukul oleh mereka dan sampai pada puncaknya sang anak dipaksa setubuhi kucing. Dampak yang dialami korban yaitu gangguan pada perkembangan sosioemosional dan moral. Gangguan sosial emosional yang dialami anak korban bulliying seperti merasa rendah diri, tidak nyaman, dan takut berinteraksi dengan orang luar. Penyesuaian sosial yang buruk dimana korban menarik diri dari pergaulan teman sebaya dan cenderung menyendiri hingga korban depresi sampai meninggal dunia. Bukan hanya korban saja, tetapi para pelaku juga sebenarnya memiliki permasalahan psikologis karena mungkin kurangnya perhatian atau pola asuh dari orang tuanya yang tidak baik karena anak juga cenderung mencontoh kepada kedua orang tuanya. Kondisi psikologis korban sangat terganggu dengan masalah psikosomatis buktinya korban sampai dibawa ke rumah sakit dan akhirnya meninggal dunia. Bulliying tersebut memberikan dampak pada:

1.     Perkembangan sosial emosional

      Perkembangan sosial merupakan proses untuk berinteraksi dan beradaptasi dengan lingkungan sekitar sedangkan perkembangan emosional merupakan proses anak untuk belajar mengelola perasaannya ketika berinteraksi dengan orang lain. Perkembangan sosial emosional merupakan proses penyesuaian diri dan pengelolaan perasaan anak yang diterima dari lingkungan sekitar. Perkembangan sosial emosional tidak bisa saling dipisahkan karena dalam proses berinteraksi, anak juga akan belajar mengelola emosinya untuk penyesuaian dengan lingkungan sekitar.

       Lingkungan sangat mempengaruhi tingkah laku anak, jika lingkungan memberikan stimulus yang baik maka perkembangannya pun akan baik. Namun, pada kenyataanya masih banyak anak-anak yang terhambat perkembangannya karena faktor lingkungan. Seperti yang terjadi pada bocah di Tasikmalaya yang merupakan korban bulliying oleh teman seusianya, korban menutup dirinya karena merasa malu, rendah diri, dan takut akan orang lain.

       Tindakan bullying menyebabkan terhambatnya perkembangan sosial emosional anak, anak-anak yang seharusnya bebas untuk bermain, dapat bekerja sama dengan lingkungnnya, memiliki rasa percaya diri tetapi karena tindakan bullying yang terjadi anak-anak cenderung menutup dirinya karena merasa malu, rendah diri, dan takut akan orang lain. Orang tua, guru dan lingkungan sekitar sang anak yang memiliki peran penting dalam mencegah tindakan bullying agar perkembangan sosial emosional anak tidak terganggu. Pencegahannya dengan cara selalu memberikan perhatian pada anak, dan berikan edukasi sejak dini kepada mereka terhadap bahaya bulliying. Orang tua juga harus memberikan kasih sayang kepada anak, temani anak dikala ia sedang bahagia dan sedih serta berikan motivasi yang bersifat membangun. Lingkungan pertemanan anak pun perlu diawasi karena jika tidak maka akan berakibat fatal pada perkembangannya.

 

2.     Perkembangan Moral

     Perkembangan moral merupakan pandangan manusia mengenai baik dan buruknya sesuatu. Perkembangan moral pada anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya, anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungan terutama keluarga. Keluarga merupakan lingkungan pertama anak sehingga anak cenderung mencontoh dari apa yang dilihatnya.

Teori Kolhberg

    Kolhberg membagi tahapan perkembangan menjadi 3 tahapan, tahapan prakonvensional, konvensional, dan pascakonvensional. 2 tahapan perkembangan moral pada anak

1)    Tahap prakonvensional

    Tahap prakonvensional pada anak terbagi menjadi 2 tingkatan, tingkatan pertama anak sudah mulai menanggapi norma-norma dan budaya yang berkaitan dengan benar dan salah, dan lain sebagainya. Anak akan melaksanakan norma tersebut sesuai dengan hasil akhir dari tindakannya. Tingkata kedua, perubatan yang benar merupakan perbuatan yang akan memuaskan kebutuhannya sendiri daan kadang kala orang lain juga. tingkatan ini juga hubungan timbal balik memiliki peran yang penting. Bagi para pelaku bullying mereka melakukan tindakan tersebut karena mereka merasa terpuaskan karena melakukan tindakan tersebut padahal mereka tidak tau bahwa tindakan tersebut tidak baik, pelaku ini masih berada di tahap prakonvensional tingkat 2 sehingga perlunya pemahaman dan edukasi sejak dini kepada anak tentang tindakan bullying ini, juga anak harus diajari bagaimana mereka memuaskan kebutuhannya tapi dengan cara yang tepat agar nantinya tidak akan terjadi kesalahan dalam melakukan tindakan.

2)    Tahap Konvensional

      Tahap ini juga terbagi menjadi 2 tingkatan, tingkatan pertama anak cenderung menyenangkan lingkungan sekitarnya dengan membantu mereka. Tingkatan ini bermaksud setiap tindakan yang dilakuka dapat diterima dan dihargai orang lain. Tingkatan kedua yaitu aturan yang ada dalam masyarakat menjadi pedoman anak, untuk melaksanakan itu bukan karena memenuhi kebutuhannya, bukan juga karena takut akan hukuman melainkan karena untuk mendukung dan mempertahankan tatanan sosialnya. Pada kasus bullying anak yang ada pada tahap konvensioal tingkat satu ini mereka melakukan tindakan tersebut juga karena faktor lingkungan, agar teman-teman sekitarnya senang dan bangga bahwa ia bisa melakukan tindakan tersebut sehingga pelaku akan melakukan tindakan itu atas dasar menyenangkan orang lain.

3.     Gangguan kecemasan

     Gangguan kecemasan adalah kondisi cemas, gelisah, takut yang tidak jelas dan berlebihan serta panik tanpa alasan. Anak-anak korban bullying mengalami rasa takut, khawatir yang berlebihan ketika akan berinteraksi dengan dunia luar karena mereka takut akan di bully kembali. Anak-anak korban bullying ini akan cenderung memikirkan hal-hal negatif dan  akan kesulitan dalam mengendalikan pikiran-pikiran negatifnya sehingga menyebabkan gangguan kecemeasaan terebut. Selama gangguan kecemasan berlangsung otak akan dipenuhi hormon stress, seperti hormon adrenal, kortisol, norepinefrin yang akan  menyebabkan sulit untuk mengatur emosi dan memikirkan hal-hal negatif serta sulit untuk mengendalikan pikiran-pikiran tersebut. Amigdala pusat pengendalian emosi  pada saat itu sangat aktif, amigdala memberi respon secara terus menerus bahwa lingkungan memberikan ancaman, ketika amigdala merasa dalam bahaya maka ia akan memberikan respon ke tubuh melalui kecemasan.

4.     Depresi

      Depresi merupakan gangguan emosi yang ditandai dengan kesedihan, kecemasan dan takut sehingga menyebabkan terganggunya aktifitas sehari-hari. Gejala dari depresi seperti perasaan bersalah, cemas, mudah lelah, gangguan tidur, sulit berkonsentrasi dan lain-lain.

      Depresi dapat merusak otak bagian hipokampus, bagian ini yang memproduksi hormon kortisol, hormon ini akan dikeluarkan ketika mengalami stress, saat depresi hormon ini akan diproduksi secara terus menerus. Jika terus menerus memproduksi hormon ini dapat menyusutkan sel saraf dineuron pada hipokamus dan dapat memperlambat produksi sel-sel baru pada hipokampus. Terjadi penyusutan volume pada otak yang biasa disebut atrofi. Kerusakan pada bagian ini menyebabkan kesulitan menyimpan memori jangka panjang dan disorientasi (kesulitan mengenali lingkungan dan identitasnya)

 

      Kemudian ada bagian otak Amigdala yang merupakan pusat untuk mengendalikan emosi, ketika depresi amigdala menerima dampak dari kortisol yang diproduksi berlebih sehingga amigdala juga menjadi lebih aktif. Amigdala yang terlalu aktif dapat merusak amigdala tersebut sehingga menyebabkan kemunculan dari gejala depresi seperti gangguam kecemasan, takut, gangguan tidur,  dan penderita bisa saja menyakiti dirinya sendiri hingga bunuh diri.

      Ketika depresi produksi kortisol berlebih membuat bagian otak korteks prefrontal menyusut. Bagian otak ini yang juga memiliki tugas untuk mengatur emosi, jika terjadi penyusutan maka penderita akan kurang dalam berempati.

        Depresi yang dibiarkan akan membebani pikiran dan  mengganggu sistem kekebalan tubuh. Jika dalam emosi negatif, sedih, marah, kecewa, iri, putus asa, dapat menyebabkan sistem imun kita menurun atau melemah dan sistem imun menjadi tidak normal. Jika sistem imun menurun maka penyakit fisik bisa dengan cepat masuk seperti korban bullying di Tasikmalaya, korban samapi dibawah ke rumah sakit karena mengalami demam tifoid. Karena korban depresi sehingga sistem kekebalan tubuhnya menurun yang mengakibatkan bakteri Salmonella typhi dengan mudahnya masuk dan berkembang. Depresi ini menyebabkan psikosomatis pada penderita karena berawal dari pikiran dan emosi kemudian memberikan dampak pada fisik.

KESIMPULAN

      Bullying merupakan perbuatan menyakiti fisik dan psikologis seseorang yang menyebabkan tekanan pada orang tersebut. Bullying memberikan dampak yang sangat besar pada perkembangan anak, bukan hanya korban tetapi pelaku juga yang terkena dampak dari tindakan tersebut. Terganggunya perkembangan sosial emosional hingga moral serta terdapat juga gangguan perilaku anak mulai dari gangguan kecemasan, stress hingga depresi dan psikosomatis juga akan dirasakan korban dari masalah psikologis dan memicu gejala yang menggangu kesehatan fisiknya. Lingkungan sangat mempengaruhi perubatan tersebut maka dari itu diperlukan perhatian dari orang-orang sekitar anak tersebut, anak juga perlu diberikan perhatian serta kasih sayang. Edukasi bulying sejak dini juga perlu dilakukan agar perbuatan seperti ini tidak terjadi lagi.

 

DAFTAR RUJUKAN 

Aini, D. F. (2018). SELF ESTEEM PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR UNTUK PENCEGAHAN KASUS BULLYING. SELF ESTEEM PADA ANAK USIA SEKOLAH DASAR UNTUK PENCEGAHAN KASUS BULLYING.

Bety Agustina Rahayu, I. P. (2019). BULLYING DI SEKOLAH : KURANGNYA EMPATI PELAKU BUlLYING DAN PENCEGAHAN . BULLYING DI SEKOLAH : KURANGNYA EMPATI PELAKU BUlLYING DAN PENCEGAHAN .

Dwiyanti, R. (2013). PERAN ORANG TUA DALAM PERKEMBANGAN MORAL ANAK (TEORI KOHLBERG). PERAN ORANG TUA DALAM PERKEMBANGAN MORAL ANAK (TEORI KOHLBERG).

Ela Zain Zakiyah, M. F. (2018). DAMPAK BULLYING PADA TUGAS PERKEMBANGAN REMAJA KORBAN BULLYING. Jurnal pekerjaan sosial.

Fianolita Purnaningtias, N. A. (2020). ANALISIS PERAN PENDIDIKAN MORAL UNTUK MENGURANGI AKSI BULLY DI SEKOLAH DASAR. ANALISIS PERAN PENDIDIKAN MORAL UNTUK MENGURANGI AKSI BULLY DI SEKOLAH DASAR.

Ikrommullah, A. (2016). TAHAPAN PERKEMBANGAN MORAL SANTRI MAHASISWA MENURUT LAWRENCE KOHLBERG. Jurnal ilmiah .

Indrawati, I. A. (2014). Hubungan Antara Tindakan Bullying dengan Prestasi Belajar Anak Korban Bullying pada Tingkat Sekolah Dasar. Hubungan Antara Tindakan Bullying dengan Prestasi Belajar Anak Korban Bullying pada Tingkat Sekolah Dasar.

Lubis, N. L. (2009). DEPRESI TINJAUAN PSIKOLOGIS. JAKARTA: KENCANA.

Munawarah, R. R. (2022). DAMPAK BULLYING TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA DINI (STUDI KASUS) DI RAUDHATUL ATHFAL MAWAR GAYO. DAMPAK BULLYING TERHADAP PERKEMBANGAN SOSIAL EMOSIONAL ANAK USIA DINI (STUDI KASUS) DI RAUDHATUL ATHFAL MAWAR GAYO.

Nida, F. L. (2013). INTERVENSI TEORI PERKEMBANGAN MORAL LAWRENCE KOHLBERG DALAM DINAMIKA PENDIDIKAN KARAKTER. Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, 283-284.

Okta Diferiansyah, T. S. (2016). Gangguan Cemas Menyeluruh. Gangguan Cemas Menyeluruh, 1-2.

Rida Nurhayanti, D. N. (2013). TIPE POLA ASUH ORANG TUA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU BULLYING DI SMA KABUPATEN SEMARANG . TIPE POLA ASUH ORANG TUA YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU BULLYING DI SMA KABUPATEN SEMARANG .

Santrock, J. W. (2009). Masa perkembangan anak. Jakarta: Salemba Humanika.

SYOFIYANTI, D. (2016). POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU BULLYING REMAJA. POLA ASUH ORANG TUA TERHADAP PERILAKU BULLYING REMAJA.

 

 

     

5 HARI MENYENANGKAN

22 August 2022 09:38:19 Dibaca : 21

Hari yang saya nantikan tiba yaitu PKKMB(pengenalan lingkungan kampus) senang rasanya dipagi hari yang cerah dan bertemu dengan teman yang baru dan mengikuti pembukaan pkkmb dengan hikmat.Kebetulan saya dipercayai oleh panitia pada pembukaan tersebut untuk membacakan janji mahasiswa dihadapan 4.000 lebih mahasiswa baru,perasaan bangga dan bahagia serta gugup semuanya campur aduk.Tetapi alhamdulillah berjalan sesuai dengan yang dihadapkan.Hari pertama berjalan dengan seru mulai dari pembukaan,ada games,kuis dan penerimaan materi.Hari kedua dan ketiga berjalan tidak kalah asik dengan hari pertama karena selain menerima materi kami mahasiswa baru menikmati pertunjukan dari THE SOUL BAND sehingga kami tidak bosan dalam menerimaa materi selama seharian.Hari keempat berpindah difakultas rasanya sudah hampir sampai kepenghujung kegiatan.Difakultas saya bertemu dengan orang-orang penting di fakultas itu seperti dekan dan doasen-dosen serta para mahasiswa senat fakultas.Tiba dihari terakhir kegiatan yaitu pkkmb prodi,yaps hari ini yang paling saya nantikan karena bisa bertemu dengan teman-teman dan para dosen yang nantinya akan mewarnai 4 tahun atau mungkin 3,5 tahun saya berkuliah di psikolgi ini.Sangat bahagia saya bertemu dengan mereka kegiatan pkkmb prodipun sangatlah seru karena penyampaian materinya yang ditambah dengan games yang membuat kami tidak bosan.Kami juga bisa saling mengenal sesama mahasiswa baru dengan makan siang liwetan bersama tidak hanya para mahasiswa tetapi para dosenpun liwetan bersama.Sampailah dipenghujung acara saya sangat senang karena mendapatkan buku karya kepala prodi kami karena menjadi peserta teraktif pada saat pkkmb.Sekian pengalaman saya di 5 hari menyenangkan ini pesan saya untuk kalian yang menganggap pkkmb itu menankutkan itu semua salah karena pkkmb semenyenangkan yang tidak kalian pikirkan

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong