HASIL KARYA DARI TOKOH-TOKOH DAN DASAR-DASAR FILSAFATNYA
Makalah
HASIL KARYA DARI TOKOH-TOKOH DAN DASAR-DASAR FILSAFATNYA
NAMA : WAHYUIRIANA H.HANINI
NIM : 291 413 021
UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
Abstrak
Berfikir filsafat merupakan hasil usaha manusia yang berkesinambungan di seluruh jagad raya ini. Akan tetapi, berfikir filsafat dalam arti berfikir bebas dan mendalam atau radikal yang tidak dipengaruhi oleh dogmatis dan tradisi disponsori oleh filosof-filosof Yunani. Oleh karena itu, sebelum kita memperkenalkan filsafat Islam secara Khusus, ada baiknya kita perkenalkan terlebih dahulu filsafat secara umum.
Pengertian Filsafat dan Objeknya
Akal merupakan salah satu anugrah Allah SWT. Yang paling istimewa bagi manusia. Sudah sifat bagi akal manusia yang selalu ingin tahu terhadap segala sesuatu termasuk dirinya sendiri. Pengetahuan yang dimiliki manusia bukan dibawa sejak lahir karena manusia ketika dilahirkan belum mengetahui apa-apa.
PEMBAHASAN
IBNU SINA
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu ‘Ali Al-Husain ibnu ‘Abd Allah ibn Hasan ibnu ‘Ali ibn Sina. Ibnu Sina dilahirkan di Afsyana dekat Bukhara pada tahun 980 M dan meninggal dunia pada tahun 1037 M dalam usia 58 tahun. Jasadnya dikebumikan di Hamadzan.
Karya Tulisnya
Ibnu Sina walaupun sibuk bekerja dalam pemerintahan, namun ia adalah seorang penulis yang luar biasa produktif sehingga ia tidak sedikit meninggalkan karya tulis yang sangat besar pengaruhnya kepada generasi sesudahnya, baik di dunia Barat maupun di dunia Timur. Di antara karya tulisnya yang terpenting, yakni sebagai berikut :
Al-Syifâ’, berisikan uraian tentang filsafat yang terdiri atas empat bagian : ketuhanan, fisika, matematika, dan logika.Al-Najât, berisikan keringkasan dari kitab al-Syifâ’. Karya tulis ini ditunjukannya khusus untuk kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.Al-Qânûn fi al-Thibb, berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam berbagi ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lainnya.Al-Isyârât wa al-TanbÈ‹hât, isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.
Filsafatnya
1. Al-Tawfȋq (Rekonsiliasi) antara Agama dan Filsafat
Ibnu Sina mengusahakan pemaduan (rekonsiliasi) antara agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaanya hanya terletak pada cara memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal materil yang disebut hads (kekuatan, suci, qudsiyyat) sedangkan filosof melalui akal mustafad. Nabi memperoleh akal materil yang dayanya jauh lebih kuat daripada Akal Mustafad sebagai anugerah Tuhan kepada orang pilihan-Nya. Sementara itu, filosof memperoleh Akal Mustafad yang dayanya jauh lebih rendah daripada akal materil melalui latihan berat. Pengetahuan yang diperoleh nabi disebut Wahyu, berlainan pengetahuan yang diperoleh filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduannya tidaklah bertentangan.
2. Ketuhanan
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan (isbât wujûd Allah) dengan dalil wâjib al-wujûd dan mumkin al-wujûd mengesankan duplikat Al-Farabi. Dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada 3 tingkatan dipandang memiliki daya kreasi tersendiri sebagai berikut :
Wâjib al-wujûd, esensi yang tidak dapat tidak mesti mempunyai wujud. Di sini esensi tidak bisa dipisahkan dari wujud; keduanya adalah sama dan satu. Esensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib dan mesti berwujud selama-lamanya.Mukmin al-wujûd, esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud. Dengan istilah lain, jika ia diandaikan tidak ada atau diandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak ada.Mumtani’ al-wujûd, esensi yang tidak dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang ini juga kosmos lain disamping kosmos yang ada.
3. Emanasi
Ibnu Sina, sebagaimana juga Al-Farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat materi (alam) dari yang Esa, jauh dari arti banyak, jauh dari materi, Mahasempurna, dan tidak berkehendak apapun (Allah).
Telah disebutkan bahwa filsafat emanasi ini bukan hasil renungan Ibnu Sina (juga Al-Farabi), tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari yang Esa (The One). Kemudian, filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “dari yang satu hanya satu yang melimpah”. Ini diislamkan oleh Ibnu Sina (juga Al-Farabi) bahwa Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam Alqur’an tidak ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari tiadanya.
4. Jiwa
Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filsafat Jiwa. Kata jiwa dalam Alquran dan hadis diistilahkan dengan al-nafs atau al-rûh sebagaimana terekam dalam surat Shâd: 71-72, al-Isrâ’: 85 dan Al-Fajr: 27-30. Jiwa manusia, sebagai jiwa-jiwa lain dan segala apa yang terdapat di bawah rembulan, memancar dari Akal sepuluh. Secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi pada dua bagian berikut.
Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia
1). Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai tiga daya: makan, tumbuh, dan berkembang biak. Jadi, jiwa pada tumbuh-tumbuhan hanya berfungsi untuk makan, tumbuh, dan berkembang biak.
2). Jiwa binatang mempunyai dua daya: gerak (al-mutaharrikat) dan menangkap (al-mudrikat). Daya yang terakhir ini terbagi menjadi dua bagian:
a). menangkap dari luar (al-mudrikat min al-khârij) dengan pancaindra;
b). menangkap dari dalam (al-mudrikat min al-dâkhil) dengan indra-indra batin (al-hawâs al-bâthinat).
3). Jiwa manusia, yang disebut juga al-nafs al-nâthiqat, mempunyai dua daya : praktis (al-‘âmilat) dan teoretis (al-‘âlimat). Daya ini mempunyai empat tingkatan berikut :
a). Akal materil (al-‘aql al-hayûlâny) yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun sedikit.
b). Akal al-malakat (al-‘aql bi al-malakat) yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal yang abstrak.
c). Akal Aktual (al-‘aql bi al-fi’l) yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
d). Akal Mustafad (al-‘aql al-mustafâd), yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak tanpa perlu daya upaya. Akal inilah yang dapat berhubungan dan menerima limpahan ilmu pengetahuan dari Akal Aktif.
b. Metafisika, membicarakan tentang hal-hal berikut :
1). Wujud jiwa
Dalam membuktikan adanya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan empat dalil berikut:
a). Dalil alam kejiwaan
b). konsep “aku” dan kesatuan fenomena psikologis
c). Dalil kontinuitas (al-istimrâr)
d). Dalil manusia terbang atau manusia terbang diudara
2). Hakikat Jiwa
Untuk mendukung pendapatnya Ibnu Sina mengemukakan beberapa argumen berikut :
a). Jiwa dapat mengetahui objek pemikiran (ma’qûlât) dan ini tidak dapat dilakukan oleh jasad.
b). Jiwa dapat mengetahui hal-hal yang abstrak (kulliy) dan juga zatnya tanpa alat.
c). Jasad atau organnya jika melakukan kerja berat atau berulang kali dapat melakukan letih, bahkan dapat menjadi rusak.
d). Jasad dan perangkatnya akan mengalami kelemahan pada waktu usia tua, misalnya pada umur 40 tahun.
3). Hubungan Jiwa dengan Jasad
Sebelum Ibnu Sina, Aristoteles dan Plato telah membicarakan antara hubungan jiwa dan jasad. Aristoteles menggambarkan hubungan keduanya bersifat esensial. Sebaliknya, Plato, seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, hubungan keduanya bersifat accident karena jiwa dan jasad adalah dua substansi yang berdiri sendiri.
Ibnu Sina kelihatannya menerima penekanannya Aristoteles tentang eratnya hubungan antara jiwa dan jasad, namun hubungan yang bersifat esensial ia tolak karena jiwa akan fana dengan binasanya jasad. Dalam hal ini ia lebih cenderung sependapat dengan Plato bahwa hubungan keduannya bersifat accident, binasanya jasad tidak membawa binasa kepada jiwa.
4). Kekekalan Jiwa
Dalam menerapkan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan 3 dalil berikut :
a). Dalil al-infishâl, yaitu perpaduan antara jiwa dan jasad bersifat aksiden, masing-masing unsur mempunyai substansi tersendiri, yang berbeda antara satu dan yang lainnya.
b). Dalil al-basâthat, yaitu jiwa adalah jauhar rohani yang hidup selalu dan tidak mengenal mati.
c). Dalil al-musyâbahat, dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia, sesuai dengan filsafat emanasi, bersumber dari Akal Fa’âl (Akal Sepuluh) sebagai pemberi segala bentuk.
AL-RAZI
Nama lengkap Al-Razi adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria ibnu Yahya Al-Razi. Dalam wacana keilmuan barat dikenal dengan sebutan Rhazes. Ia dilahirkan di Rayy, sebuah kota tua yang masa lalu bernama Rhogee, dekat Teheran, Republik Islam Iran pada tanggal 1 Sya’ban 251 M/865 M.
Karya Tulisnya
Al-Razi termasuk seorang filosof yang rajin belajar dan menulis tidak mengherankan ia banyak menghasilkan karya tulis. Dalam autobiografinya pernah ia katakan, bahwa ia telah menulis tidak kurang dari 200 buah karya tulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan. Karya tulisnya dalam bidang kimia yang terkenal ialah Kitâb al-Asrâr yang diterjemahkan kedalam bahasa Latin oleh Geard fo Cremon. Dalam bidang medis karyanya yang terbesar ialah al-Hâwi yang merupakan ensiklopedia ilmu kedokteran, diterjemahkan kedalam bahasa Latin dengan judul continens yang tersebar luas dan menjadi buku pegangan utama dikalangan kedokteran Eropa sampai abad ke-17 M. bukunya di bidang kedokteran juga ialah al-Mansuri Liber al-Mansoris 10 jilid disalin kedalam berbagai bahasa barat sampai akhir abad XV M. Kitâb al-Judar wa al-Hasbah tulisannya yang berisikan analisis tentang penyakit cacar dan campak beserta pencegahannya, diiterjemahkan orang ke dalam berbagai bahasa barat dan terakhir ke dalam bahasa Inggris tahun 1847 M, dan dianggap buku bacaan wajib ilmu kedokteran barat. Kemudian, buku-bukunya yang lain ialah alThibb al-Ruhani, al-SÈ‹rah al-Falsafiah, dan lainnya. Sebagian karya tulisnya telah dikumpulkan menjadi satu kitab yang bernama al-Rasâ’il Falsafiyyat yang banyak dikutip dalam buku ini.
Filsafatnya
1. Lima Kekal (Kadim)
Filsafat Al-Razi terkenal dengan ajarannya 5 yang Kekal. Yakni al-Bâry Ta’alâ (Allah Ta’ala), al-Nafs al-Kulliyyat (jiwa Universal), al-Hayûlâ al-È–lâ (Materi Pertama), al-Makân al-Muthlaq (Tempat/Ruang Absolut) dan al-Zamân al-Muthlaq (Masa Absolut).
Menurut Al-Razi dua dari lima yang kekal itu hidup dan aktif : Allah dan roh. Satu diantaranya tidak hidup dan pasif, yakni materi. Dua lainnya tidak hidup, tidak aktif, dan tidak pula pasif, yakni ruang dan masa.
2. Akal, Kenabian, dan Wahyu
Harus diakui bahwa akal merupakan substansi sangat penting yang terdapat dalam diri manusia sebagai cahaya (nûr) dalam hati. Cahaya ini, menurut Al-Razi, bersumber langsung dari Allah, sebagai utusan untuk menyadarkan manusia dari kebodohannya.
Kemudian Al-Razi juga mengkritik agama secara umum. Ia juga menjelaskan kontradiksi Yahudi, Kristen, Mani, dan Majuzi secara rinci. Bahkan lebih lanjut ia katakan tidaklah masuk akal Allah mengutus para nasi sebab mereka menimbulkan kemudaratan. Ia juga mengkritik secara sistematik kitab-kitab Wahyu Alquran dan Injil. Ia menolak kemukjizatan Alquran, baik gayanya maupun isinya dan menegaskan bahwa adalah mungkin menulis kitab yang lebih baik dalam gaya yang lebih baik. Ia lebih suka membaca buku-buku ilmiah daripada Alquran.
IBNU MISKAWAIH
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’cub ibnu Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pata tahun 330 H / 941 M dan wafat di Asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H / 16 Februari 1030 M.
Karya Tulisnya
Ibnu Miskawaih tidak hanya dikenal sebagai seorang pemikir (filosof), tetapi ia juga seorang penulis yang produktif. Dalam buku The History of the Muslim Philosophy disebutkan beberapa karya tulisnya yaitu :
a.) Al-Fauz al-Akbar
b.) Al-Fauz al-Asghar
c.) Tajârib al-Umâm (sebuah sejarah tentang banjir besar yang ditulisnya pada tahun 369 H / 979 M)
d.) Uns al-Farȋd (koleksi anekdot, syair, peribahasa; dan kata-kata hikmah)
e.) TartÈ‹b al-Sa’âdat (isinya akhlak dan politik)
f.) Al-Mustaufa (isinya syair-syair pilihan)
g.) Jâwidâ Khirad (koleksi ungkapan bijak)
h.) Al-Jâmi’
i.) Al-Siyâb
j.) On the Simple Drugs (tentang kedokteran)
k.) On the compisition of the Bajats (seni memasak)
l.) Kitâb al-Ashribah (tentang minuman)
m.) TahzÈ‹b al-Akhlâq (tentang akhlak)
n.) Risâlat fi al-Lazzât wa al-È‚lam fi Jauhar al-Nafs
o.) Ajwibât wa As’ilat fi al-Nafs wa al-‘Aql
p.) Al-Jawâb fi al-Masâ’il al-Salas
q.) Risâlat fi Jawâb fi Su’al Ali ibn Muhammad Abû Hayyân al-Shûfi fi HaqÈ‹qat al-‘Aql
r.) Thahârat al-Nafs.
Filsafatnya
1. Ketuhanan
Tuhan menurut Ibnu Miskawaih, adalah zat yang tidak berjizim, Azali, dan Pencipta. Tuhan Esa dalam segala aspek. Ia tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satupun yang setara dengan-Nya. Ia ada tanpa diadakan dan ada-Nya tidak bergantung kepada yang lain. Sementara yang lain membutuhkan-Nya.
Ibnu Miskawaih menyatakan, Tuhan adalah Zat yang jelas dan Zat yang tidak jelas. Dikatakan Zat yang jelas bahwa Ia adalah yang Hak (Benar). Yang benar adalah Terang. Dikatakan tidak jelas karena kelemahan akal pikiran kita untuk menangkap-Nya, disebabkan banyak dinding-dinding atau kendala kebendaan yang menutupi-Nya. Pendapat ini bisa diterima karena wujud manusia berbeda dengan wujud Tuhan.
Tuhan dapat dikenal dengan propogasi negatif dan tidak dapat dikenal dengan sebaliknya, propogasi positif (yu’raf bi al-salb dun al-Ijâb). Alasannya propogasi positif akan menyamakan Tuhan dengan alam.
2. Emanasi
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawiah juga menganut paham Emanasi, yakni Allah menciptakan alam secara pancaran. Namun, emanasinya berbeda (bertentangan) dengan emanasi Al-Farabi. Menurutnya entitas pertama yang memancarkan dari Allah ialah ‘Aql Fa’âl (Akal Aktif). Akal aktif ini tanpa perantara sesutupun. Ia kadim, sempurna, dan tak berubah.
Untuk lebih jelasnya dapat dikemukakan perbedaan emanasi antara Ibnu Miskawaih dan Al-Farabi sebagai berikut :
a.) Bagi Ibnu Miskawaih, Allah menjadikan alam ini secara emanasi (pancaran) dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut Al-Farabi alam dijadikan Tuhan secara pancaran dari sesuatu atau bahan yang sudah ada menjadi ada.
b.) Bagi Ibnu Miskawaih Ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Aktif. Sementara itu, bagi Al-Farabi ciptaan Allah yang pertama ialah Akal Pertama dan Akal Aktif adalah Akal yang Kesepuluh
3. Kenabian
Sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menginterpretasikan kenabian secara ilmiah. Usahanya ini dapat pula memperkecil perbedaan antara nabi dan filosof dan memperkuat hubungan dan keharmonisan antara wahyu dan akal.
Menurut Ibnu Miskawaih, nabi adalah seorang Muslim yang memperoleh hakikat-hakikat atau kebenaran karena pengaruh Akal Aktif atas daya imajinasinya.
Persamaan antara nabi dan filosof, bagi Ibnu Miskawiah, adalah dalam mencapai kebenaran, bukan persamaan keduanya dalam tingkatan, kemuliaan, dan kemaksuman.
4. Jiwa
Jiwa, menurut Ibnu Miskawaih, adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Ia adalah kesatuan yang tidak terbagi-bagi. Ia akan hidup selalu. Ia tidak dapat diraba dengan pancaindra karena ia bukan jisim dan bagian dari jisim. Jiwa dapat menangkap keberadaan zatnya dan ia mengetahui ketahuan dan keaktivitasannya.
Tentang balasan di Akhirat, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu Miskawaih juga menyatakan bahwa jiwalah yang akan menerima balasan (kebahagiaan dan kesengsaraan) di akhirat. Karena, menurutnya, kelezatan jasmaniah bukanlah kelezatan yang sebenarnya
5. Akhlak
Akhlak, menurut konsep Ibnu Miskawaih, ialah suatu sikap mental atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk berbuat tanpa pikir dan pertimbangan. Sementara tingkah laku manusia terbagi menjadi dua unsur, yakni unsur watak naluriah dan unsur lewat kebiasaan dan latihan.
Berdasarkan ide di atas, secara tidak langsung Ibnu Miskawaih menolak pandangan orang-orang Yunani yang mengatakan bahwa akhlak manusia tidak dapat berubah. Bagi Ibnu Miskawiah akhlak yang tercela bisa berubah menjadi akhlak yang terpuji dengan jalan pendidikan (tarbiyah al-akhlâq) dan latihan-latihan.
IBNU RUSYD
Abu Al-Walid Muhammad ibnu Muhammad ibnu Rusyid dilahirkan di Cardova, Andalus pada tahun 510H/1126 M, sekitar 15 tahun wafatnya Al-Ghazali. Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rusyd.
Karya Tulisnya
Telah dikemukakan bahwa Ibnu Rusyd seorang pengarang yang produktif. Salah satu kelebihan karya tulisnya ialah gaya penuturan yang mencakup komentar, koreksi, dan opini sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka. Namun, amat disayangkan karangannya sulit ditemukan dan sekiranya ada sudah diterjemahkan orang ke dalam bahasa Latin dan Hebrew (Yahudi), bukan dalam bahasa aslinya (Arab).
Kekndatipun demikian, sampai hari ini karya tulis Ibnu Rusyd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut :
Fashl al-Maqâl fi mâ bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishâl berisikan korelasi antara agama dan filsafat.Al-kasyf’an Manâhij al-Adillat fi ‘Aqâ’id al-Millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufiTahâfut al-Tahâfut, berisikan kritik terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahâfut al-Falâsifat.Bidâyat al-Mujtahid wa Nihâyat al-Muqtashid, berisikan uraian-uraian di bidang fiqih.
Filsafatnya
1. Jawabannya terhadap sanggahan Al-Ghazali
Sehubungan dengan sanggahan yang mematikan dari Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim, inilah jawaban Ibnu Rusyd dalam tiga butir masalah sebagai berikut :
Alam Kadim
Menurut Al-Ghazali, sesuai dengan keyakinan kaum teolog Muslim Allah menciptakan alam dari tiada menjadi ada (al-È‹jâd min al-‘adam, creatio ex nihilo). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada.
Menurut Ibnu Rusyd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa kadimnya alam sama dengan kadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain.
Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di Alam
Yang dimaksudkan para filosofi muslim adalah pengetahuan Allah tentang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah berfisat kadim yakni sejak azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan Manusia berbentuk akibat.
Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Menurut Ibnu Rusyd sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim, tentang kebangkitab jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian. Semua agama, tegas Ibnu Rusyd, mengakui adanya hidup kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya.
Hal ini sesuai dengan hadis: “Di sana akan dijumpai apa yang tak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tak pernah terlintas dalam pikiran”.
2. Hukum Sebab Akibat (Kausalitas) dan Hubungannya dengan Mukjizat
Dalam karyanya Tahâfut, Ibnu Rusyd mengkritik apa yang telah dikemukakan oleh Al-Ghazali tentang hubungan sebab-akibat serta kaitannya dengan perkara yang menyimpang dari kebiasaan dan mukjizat nabi. Inilah bantahan Ibnu Rusyd tersebut:
ü Terdapat hubungan yang dharûrÈ‹y (pasti) antara sebab dan akibat
ü Hubungan sebab akibat dengan adat atau kebiasaan
ü Hubungan sebab akibat dengan akal
ü Hubungan sebab akibat dengan Mukjizat
3. Kritik Ibn Rusyd terhadap Emanasionisme Para Filosof Muslim
Ibnu Rusyd menolak secara tegas emanasionisme yang dikemukakan para filosof Muslim sebelumnya. Dalam kkritiknya ia mengemukakan beberapa kelemahan, kesulitan, dan pertentangan yang terdapat dalam ramuan Neoplatonisme tersebut sebagai berikut:
Pertama, bahwa dari al-Fa’il al-Awwal (Pencipta Pertama) hanya memancar satu, bertentangan dengan pendapatnya sendiri, bahwa yang memancar dari yang satu pertama terdapat padanya yang banyak, padahal dari yang satu mesti memancar satu.
Kedua, akibat kurang ketelitian Al-Farabi dan Ibnu Sina, maka pendapat ini telah diikuti orang banyak, kemudian mereka menisbatkannya kepada para filosof, dalam hal ini Aristoteles, padahal mereka tidak berpendapat demikian.
Ketiga, menurut Ibnu Rusyd prinsip-prinsip (al-mabâdi)yang memancar dari prinsip yang lain sebagai dikemukakan, merupakan sesuatu yang tidak dikenal oleh filosof-filosof terdahulu.
4. Pengaruh Pemikiran Ibnu Rusyd di Eropa
Ibnu Rusyd merupakan satu-satunya filosof Muslim yang paling besar pengaruhnya ke Barat. Pokok pikiran Ibnu Rusyd yang paling istimewa ialah merekonsiliasikan antara agama (wahyu) dan filsafat (akal) atau secara kasarnya mempertemukan antara Aristoteles dan Muhammad. Usaha rekonsiliasi ini dipandang ciri terpenting dalam filsafat islam.
MUHAMMAD IQBAL
Muhammad Iqbal dikenal sebagai penyair (filsuf, ahli hukum, pemikir politik, dan reformis muslim adalah seorang tokoh dominan umat islam abad ke-20) lahir pada bulan Dzulhijjah 1289 H, atau 22 Februari 1873 di Sialkot. Nenek moyangnya adalah orang-orang Brahmana Kasymir dan telah memeluk agama islam 3 abad sebelum kelahiran Iqbal.
Hasil Karya
Di perkirakan Muhammad Iqbal meninggalkan tidak kurang dari 21 karya monumental, yaitu :
Ilm al-Iqtisad, (1903);Development of Metaphysics in Persia: A Constribution to the History of Muslim Philosophy,(1908); Islam as a Moral and Political Ideal(1909); Asrar- I khudi [Rahasia Pribadi]Rumuz –I Bekhudi [Rahasia Peniadaan Diri],(1918); Payam-I Masyriq [Pesan Dari Timur],(1923); Bang-I Dara [Seruan Dari Pejalanan],(1924) Self in the Light of Relativity Speeches and Statements of Iqbal.(1925); Zaboor-I’ Ajam [Kidung Persia],(1927) Khusal Khan Khattak,(1928); A Plea for Deeper Study of Muslim Scientist,(1929); Presidential Addres to the All-India Muslim Leaque,(1930); Javid Nama (Kitab Keabadian),(1932); McTaggart Philosophy,(1932);The Reconstruction of Religious Thought in Islam (Pembangunan Kembali Pemikiran Keagamaan dalam Islam),(1934); Letters of Iqbal to Jinnah,(1934); Bal-I Jibril [Sayap Jibril],(1935); Pas Chih Bayad Kard Aqwam-I Sharaq,(1936); Matsnawi Musafir, (1936); Zarb-I Kalim [Tongkat/ Pukulan Nabi Musa],(1936); dan Armughan-I Hejaz [Hadiah dari Hejaz],(1938).
Filsafatnya
a. Ego atau Khudi
Konsep tentang hakikat ego atau individualitas merupakan konsep dasar dari filsafat Iqbal dan menjadi alas penopang keseluruhan struktur pemikiran-pemikirannya. Menurut Iqbal, khudi, arti harfiahnya ego atau self atau individualitas, merupakan suatu kesatuan yang riil atau nyata, adalah pusat dan landasan dari semua kehidupan, Ia merupakan satu kebulatan yang jelas dan mempunyai arti, yang menjadi sentral dari segala struktur kehidupan manusia. Hidup manusia ditentukan oleh aktivitas khudinya. Aktivitas khudi yang selalu mengarah kepada kesempurnaan suatu waktu akan mencapai perkembangannya yang tertinggi, yakni kesempurnaan di mana pada waktu itu dia akan merangkum samudera ketuhanan(khuda).
b. Ketuhanan
Pemahaman Iqbal tentang Ketuhanan mengalami tiga tahap perkembangan, sesuai dengan pengalaman yang dilaluinya dari tahap pencarian sampai ke tahap kematangan. Ketiga tahap itu adalah :
ü Pada masa pertama (dari tahun 1901 sampai kira-kira tahun 1908). Iqbal meyakini Tuhan sebagai keindahan Abadi, yang ada tanpa tergantung dan mendahului segala sesuatu, bahkan menampakkan diri dalam semuanya itu. Dia menyatakan dirinya di langit dan di bumi,di matahari dan di bulan, disemua tempat dan keadaan
ü Pada masa kedua (1908-1920).Pada tahap ini Iqbal tertarik kepada Rumi yang dijadikan sebagai pembimbing rohaninya. Pada tahap ini, Tuhan bukan lagi dianggap sebagai Keindahan Luar,tetapi sebagai Kemauan Abadi, sementara Keindahan hanyalah sebagai sifat Tuhan disamping ke-Esa-an Tuhan. Karena itu, Tuhan itu menjadi asas rohaniah tertinggi dari segala kehidupan.
ü Pada masa ketiga (1920-1938). Jika masa kedua dapat dianggap sebagai masa pertumbuhan, maka pada masa ketiga ini dapat dianggap sebagai masa kedewasaan dan merupakan pengembangan menuju kematangan konsepsi tentang Ketuhanan.Tuhan adalah ”hakikat sebagai suatu keseluruhan”, dan hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual, dalam arti suatu individu dan suatu ego. Untuk menjadi sempurna memerlukan suatu keadaan di mana tak ada bagian organisme yang terlepas dapat hidup secara terpisah. Dari bagian ini jelas bahwa individu yang sempurna merupakan unsur paling esensial dalam konsepsi al-Qur’an tentang Tuhan
c. Materi dan Kausalitas
Menurut Iqbal, kodrat realitas yang sesungguhnya adalah rohaniah dan semua yang sekuler sebenarnya adalah suci dalam akar-akar perwujudannya. Adapun materi adalah suatu kelompok ego-ego berderajat rendah, dan dari sana muncul ego yang berderajat lebih tinggi, apabila penggabungan dan interaksi mereka mencapai suatu derajat koordinasi tertentu.
d. Moral
Filsafat Iqbal adalah filsafat yang meletakkan kepercayaannya kepada manusia yang dilihatnya mempunyai kemungkinan yang tak terbatas, yang mempunyai kemampuan untuk mengubah dunia dan dirinya sendiri, serta mempunyai kemampuan untuk ikut memperindah dunia. Ada dua cara untuk memahami manusia, menurut Iqbal. Pertama, cara intelektual, dan kedua cara vital. Cara intelektual memahami dunia sebagai suatu sistem tegar tentang sebab-akibat, cara vital menerima mutlak adanya keharusan yang tidak dapat dihindarkan dari kehidupan, yakni kehidupan di pandang sebagai suatu keseluruhan. Cara vital ini dinamakan ‘iman’, iman bukanlah sekedar percaya secara pasif akan masalah tertentu, melainkan merupakan keyakinan yang hidup, yang didapatkan dari pengalaman yang jarang terjadi.
e. Insan al-Kamil
Iqbal menafsirkan Insan al-Kamil atau manusia utama, setiap manusia potensial adalah suatu mikrokosmos dan bahwa insan yang telah sempurna kerohaniannya menjadi cermin dari sifat-sifat Tuhan, sehingga sebagai orang suci dia menjadi khalifah atau wakil Tuhan di muka bumi.Iqbal berpendapat, bahwa setiap manusia merupakan suatu pribadi atau suatu ego yang berdiri sendiri, tetapi belumlah dia menjadi pribadi yang utama. Dia yang dekat kepada Tuhan adalah yang utama, semakin dekat semakin utama. Sedangkan kian jauh jaraknya dari Tuhan, kian berkuranglah bobot kepribadiannya.
Adapun yang dianggap dapat melemahkan ego adalah : takut, sombong, dan suka meminta-minta (su’al). su’al merupakan tema Iqbal yang menjadi antithesis dari Isqy,juga menjadi antithesis dari faqr. Karena, su’al menurut Iqbal adalah segala sesuatu yang diperoleh bukan dengan usaha sendiri. Yang harus dikembangkan pula sikap toleransi, yaitu kesadaran akan perlunya menghargai orang lain.
MUHAMMAD ARQOUN
Mohammad Arkoun lahir pada tanggal 1 Februari 1928 di Taourito Mimoun, Kabilia sebelah timur Aljir, Aljazair, suatu daerah yang terletak di pegunungan Berber. Keadaan itulah yang menghadapkannya sejak masa mudanya pada tiga bahasa : bahasa Kabilia, bahasa Arab yang dibawa bersama ekspansi Islam sejak abad pertama hijriah, dan bahasa Prancis yang dibawa oleh bangsa yang menguasai Aljazair antara tahun 1830-1962.
Hasil Karya
Karya besar Arqoun yaitu :
La pensee Arabe (Dunia perkembangan Arab) Paris, 1973.Ouvertures sura Islam (catatan-catatan pengantar untuk memahami islam)Contribution atitude de Islam humannisme arabae au IV/X siecle : Miskawayh Philosiphe historien (sumbangan pada Pembahasan Humanisme Arab pada Abad IV/X; Miskawaih sebagai Filsuf dan Sejarawan) Paris, Grancher 1989.Essais sur la pensce Islamique (Esai-esai tentang Pemikiran Islam), Paris Virin 1973.Lectures de Coran (Tokoh tentang Alquran) Paris, 1982.Pour une Critique de la Raison Islamique (Demi Kritik Nalar Islami) Paris, 1984.
Filsafatnya
Adapun dasar-dasar pemikiran dari Muhammad Arqoun yang membahas hal-hal berikut :
1. Alat-alat untuk pemikiran baru
Periodisasi sejarah pemikiran dan sastra selama ini ditentukan oleh peristiwa-peristiwa politis. Kita sekarang ini berbicara tentang periode Umayyah, Abbasiyah, dan Utsmani. Bagaimanapun, ada lebih banyak kriteria yang mencerahkan yang dapat kita gunakan untuk membedakan periode-periode perubahan dalam sejarah pemkiran. Kita harus mempertimbangkan diskontinuitas-diskontinuitas yang mempengaruhi kerangka kerja konseptual yang digunakan dalam sebuah wilayah kultural yang telah ada (a given cultural space). Konsep-konsep mengenai nalar dan sains yang digunakan dalam al-Qur’an misalnya, tidak sama dengan yang kemudian dikembangkan oleh kaum falasifa, menurut aliran Platonik dan Arestotelian. Bagaimanapun, konsep-konsep yang dielaborasi dalam wacana al-Qur’an sekarang masih digunakan secara akurat karena episteme yang diperkenalkan al-Qur’an tidak pernah dipertimbangkan secara intelektual.
2. Mode-mode Pemikiran
Muhammad Arqoun mengklarifikasi dan melakukan diferensiasi antara dua mode pemikiran yang diadopsi oleh para pemikir muslim saat lahirnya modernitas intelektual dalam masyarakat mereka (bukan hanya dalam pemikiran), yaitu sejak permulaan Nahdha di abad ke-19. Arkoun tidak akan menekankan trend yang dikenal baik dari pemikiran reformis salafi yang dipelopori oleh Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh. Inilah yang Muhammad Arqoun sebut sebagai jalan pemikiran ishlahi yang telah menjadi karakteristik pemikiran Islam sejak wafatnya Nabi.
3. Dari yang tak Terpikirkan ke yang Terpikirkan
Islam dipresentasikan dan dihidupkan sebagai sebuah sistem kepercayaan dan non-kepercayaan yang tidak bisa ditundukkan pada penelitian kritis apapun. Dengan demikian, membagi wilayah menjadi dua bagian: yang tak terpikirkan dan bukan terpikirkan. Kedua konsep ini bersifat historis dan tidak filosofis. Wilayah perspektif dari masing-masing bagian berubah melalui sejarah dan berbeda dari satu kelompok sosial ke kelompok sosial lainnya.
4. Masyarakat Kitab
Muhammad Arqoun memperkenalkan konsep ini sebagai suatu kategori historis untuk memperdalam analisi mengenai agama-agama wahyu. Pertama menekankan fakta yang signifikan bahwa tiga agama wahyu belum pernah diteliti secara komparatif. Bahkan, masih ada literatur deskriptif, terutama mengenai Islam dan Kristen, tengah dikembangkan sesuai dengan dialog Islam-Kristen, tapi postulat-postulat teologis yang diterima dalam masing-masing tradisi masih mendominasi berbagai analis tentang agama-agama wahyu.
Arqoun menyebut masyarakat-masyarakat Kitab yang telah dibentuk sejak abad pertengahan oleh kitab sebagai sebuah fenomena religius dan kultural. Kitab itu sendiri mempunyai dua makna dalam persperktif ini. Kitab Langit (The Heavenly Book) yang dijaga oleh Tuhan dan memuat semua firman Tuhan yang disebut Umm al-Kitab dalam al-Qur’an.
5. Strategi Dekonstruksi
Hingga kini kita telah mempresentasikan unsur-unsur dan kekuatan-kekuatan yang bertindak dalam Masyarakat Kitab. Ini tidak cukup memikirkan dalam cara baru mengenai pertentangan antara masyarakat-masyarakat kitab dan masyarakat-masyarakat sekular. Memikirkan tentang pertentangan ini berarti memikirkan dari perspektif baru mengenai nasib manusia dengan dua akibat historis utama. Masyarakat Kitab, seperti halnya dengan masyarakat sekular, telah menunjukkan batas-batas intelektual dan kegagalan-kegagalan empirik dari paradigma respektif mereka bagi tindakan historis.
Memikirkan situasi historis kita yang baru merupakan sebuah usaha positif. Tidak bermaksud mengajukan kritik negatif terhadap upaya-upaya sebelumnya pada emansipasi eksistensi manusia sebagai mana kita ingin memberikan jawaban-jawaban yang relevan bagi persoalan-persoalan yang tertunda dan menekan. Inilah mengapa Arqoun lebih suka berbicara mengenai strategi dekonstruksi, kita harus mendekonstruksi imaginaire sosial yang telah distrukturkan selama berabad-abad oleh fenomena Kitab sperti halnya dengan kekuatan-kekuatan sekular dari peradaban material sejak abad ke-17.
6. Wahyu dan Sejarah
Strategi dekonstruksi mengarah pada konfrontasi mutlak yang menentukan dalam masyarakat-masyarakat kitab. Ketika kita menemukan fungsi imaginaire sosial seperti menghasilkan sejarah kelompok, kita tidak bisa lagi mempertahankan teori tentang wahyu seperti yang telah dielaborasi sebelumnya, yaitu sebagai citra-citra yang dihasilkan fenomena kompleks dari intervensi profetik.
Al-Qur’an menekankan pentingnya manusia untuk mendengar, menyadari, merefleksikan, menembus, memahami, dan merenungkan. Semua kata kerja ini merujuk pada aktivitas-aktivitas intelektual yang mengarah pada suatu jenis rasionalisasi yang didasarkan pasa paradigma eksistensial yang diungkapkan bersama sejarah keselamatan. Sejarah merupakan inkarnasi aktual dari wahyu sebagiamana ia diinterpretasikan oleh para ulama dan disimpan dalam kenangan kolektif. Wahyu memelihara kemungkinan memberi sebuah legitimasi “transenden” bagi tatanan sosial dan proses historis yang diterima oleh kelompok itu. Namun kemungkinan ini fapat dipertahankan hanya selama sistem kognitif yang didasarkan pada imaginaire sosial, tidak digantikan oleh suatu rasionalitas baru, rasionalitas yang lebih masuk akal berkaitan dengan organisasi yang berbeda dari wilayah sosial historis. Inilah satu alasan bagi pertentangan yang sudah dikenal antara kaum falasifa dan mutkallimun, atau fuqaha.
PENUTUP
Filsafat merupakan suatu ilmu yang mendukung nmanusia untuk bertindak lebih bijaksana, dikarenakan dalam filsafat terdapat unsur-unsur etika dan estetika. Disamping filsafat sebagai cikal bakal atau induk dari ilmu pengetahuan, filsafat juga merupakan metode berpikir, yakni berpikir yang kritis, analitis, rasional, sistematik, dan radikal. Filsafat juga membantu manusia untuk menyelesaikan masalah-masalah yang di hadapi yang bersifat konkret, meskipun filsafat itu sendiri bersifat abstrak.
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. H. Sirajuddin Zar, M.A., filsafat islam, filosof dan filsafatnya, jakarta: rajawali pers, 2004.
Muhammad Yusuf Musa, falsafat al-Ahklaq fi al-Islam, kairo: Dar al-A’raf, 1945.
Supriyadi, Dedi. M.Ag. Pengantar Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia
Rukmana, Aan. 2013. Ibn Sina. Jakarta: Dian Rakyat
Sonneborn, Liz. 2013. Averroes. Jakarta: PT. Gramedia