Etika dan Hukum Media Massa

26 March 2017 15:17:31 Dibaca : 71

Haria wartabone, Ani Irmawati, Wira Darmawan Prasca Thian, dan Arif Karim

 

HUKUM MEDIA MASSA


Berita Tidak Berimbang

Kewajiban bagi media untuk memproduksi dan menyebarluaskan informasi secara berimbang telah diatur dalam beberapa ketentuan. Undang Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 36 ayat 4 menjelaskan isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu. Dalam Pasal 48 Ayat 4 (h) pedoman perilaku penyiaran yang menentukan standar isi siaran yang sekurang-kurangnya berkaitan dengan ketepatan dan kenetralan program berita.


Diskriminasi

Menurut Undang Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 1 Ayat 3, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat, pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Dalam Undang Undang No.32 Tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 36 Ayat 6, dijelaskan bahwa Isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.Mengganggu Privasi.


Praduga Tak Bersalah

Undang Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers Pasal 5, juga menyatakan kewajiban pers nasional untuk memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

Junk Food News

Adalah berita yang tidak ada relevansinya dengan kepentingan publik. Dan ini sering kali terjadi dalam berita infotainmen. Infotainmen merupaka fenomena global. Ini merupakan konsekuensi dan komersialisasi media yang makin meluas dan makin mengglobal.

 

ETIKA MEDIA MASSA

Dalam kajian hukum dan media massa, etika tersebut dikaitkan pada kewajiban para jurnalistik antara lain seperti; pelaksanaan kode etik jurnalistik dalam setiap aktivitas jurnalistiknya, tunduk pada institusi dan peraturan hukum untuk melaksanakan dengan etiket baiknya sebagaimana ketentuan-ketentuan di dalam hukum tersebut yang merupakan perangkat prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang pada umumnya sudah diterima dan disetujui oleh masyarakat. Sehubungan dengan hal itu, prinsip etika bagi profesi jurnalistik memberikan dasar hukum bagi pengelolaan pemberitaan di media secara tertib dalam hubungan antar subyek hukum. Abdul Choliq Dahlan (2011:396).

Media secara etika tidak boleh (pertama) mengabaikan atau tidak menghormati hak individu. Media terkadang mengganggu hak individu, walaupun itu dilindungi oleh hukum atau pendapat umum. Isu yang sering terjadi adalah pencmaran nama baik (libel) fitnah, dan hal lain yang mencoreng reputasi individu. Kedua, media tidak boleh membahayakan masyarakat (harm to society). Rasa takut acapkali ditimbulkan oleh publikasi media massa yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama, walaupun efek ini tidak disengaja. Ketiga, membahayakan individu (harm to individuals). Banyak kasus dimana media memainkan peran yang mendorong berbuat jahat, bunuh diri. Konten berisi pornografi dapat menimbulkan perilaku imitasi. Termasuk juga perilaku teroris.

Etika berfungsi umumnya untuk melindungi kepentingan manusia, sehingga pelaksanaan jurnalistik wartawan dapat berlangsung dan dirasakan oleh manusia bahwa pemberitaan tersebut berfungsi dan berkenan bagi rasa tenteram dan damai. Dalam hal ini, maka peranan dari penegakan etika profesi jurnalisme tersebut sangat dominan.

Dalam media kecepatan memperoleh berita belum cukup untuk menjamin posisi keberlangsungan suatu media. Agar tidak ditinggal oleh konsumen, maka media harus selalu mampu mempertegas kekhasannya dan memberi presentasi yang menarik. Tuntutan ini menyeret masuk kepada kecenderungan menampilkan yang spektakuler dan sensasional. Penampilan seperti ini biasanya cenderung superfisial, karena ingin menyentuh banyak orang. Namun, dalam media televisi, tingginya rating adalah ukuran keberhasilan. Sedangkan untuk surat kabar dan majalah, kriteria yang berlaku adalah jumlah pelanggan, yang pada gilirannya akan sangat menentukan daya tarik bagi pemasang iklan. Kekhasan yang seharusnya membentuk citra suatu media (media identity) ironisnya justru menyeret masuk ke suatu jebakan. Lebih tragisnya adalah yang sering tidak disadari adalah jebakan mimetisme. yakni keinginan media untuk memiliki tampilan yang khas yang tidak jarang justru menjerumuskan ke dalam keseragaman. Mimetisme media menunjukkan bagaimana penting/tidaknya pemberitaan sering ditentukan oleh sejauh mana media-media lain dipacu untuk meliputnya. Penentuan nilai pentingnya suatu pemberitaan seolah terletak pada sejauh mana dinginkan oleh media yang lain.

Lingkup manuver yang seharusnya dibuka untuk mengolah kekhasannya (jati diri media), akhirnya jati diri itu tidak tercipta karena justru harus menyesuaikan diri (adaptasi) dengan gairah media-media lain. Bila tidak memberitakan apa yang diberitakan oleh media lain, ada semacam ketakutan ditinggalkan oleh pemirsa atau pembaca, selanjutnya yang dipertaruhkan adalah keuntungan ekonomi. Demikian dalamnya pengaruh determinisme ekonomi dalam dunia media di Indonesia, sehngga hirarkisasi nilai ditentukan oleh konsumsi massa, sedangkan etika dan profesionalisme jurnalis seringkali dikalahkan.