Konsep Ketuhanan dilihat dari Matematika

07 October 2022 04:17:07 Dibaca : 639

Nama                              : Laila N. Karim

NIM                                 : 411422016

Semester / Kelas      : I (Satu) / A

Dosen Pengampuh : Prof. Dr. Novianty Djafri, S.pd.I, M.pd.I

Mata Kuliah                : Pendidikan Agama Islam 

Jurusan                          : Matematika 

Program Studi            : Pendidikan Matematika 

 

John Byl menyatakan bahwa banyak kalangan yang berpikir tidak ada koneksi antara Matematika dan ketuhanan. Hal ini karena logika, bilangan dan geometi adalah sama bagi kelompok yang percaya pada Tuhan maupun kelompok yang tidak percaya pada Tuhan (Ateis). Dalam pandangan lainnya, Matematika dikatakan memiliki hubungan dengan ketuhanan. Pendapat ini dikatakan oleh Eric Steinhart yang menyatakan bahwa Matematika memiliki peranan penting didalam sains, sepenting bagaimana memahami Tuhan melalui penyelidikan ilmiah. Tuhan dapat dipahami, salah satunya melalui persoalan ketakhinggaan Tuhan dan Matematika dapat digunakan untuk menyusun model tentang ketakhinggaan Tuhan tersebut. Alvin Plantinga juga mengakui bahwa terdapat hubungan erat antara Matematika dan Ketuhanan dalam tulisannya yang berjudul “Theism and Mathematics”. Menurut Ladislav Kvasz, Matematika kuno tidak menjadikan ketakhinggaan (infinity) sebagai bagian dari matematika. Hal ini berbeda dengan Matematika abad ketujuh belas yang memasukkan ketakhinggaan menjadi bagian dari Matematika dikarenakan pengaruh teologi pada matematika. Perbedaan tersebut juga dikarenakan pada era klasik, ontologi dan epistemologi merupakan kesatuan, sedangkan pada era modern terjadi pembedaan antara keduanya. Pengaruh teologi pada Matematika ditunjukkan dengan adanya metafora teologis dalam Matematika. Dengan demikian, sesungguhnya Matematika dapat digunakan oleh manusia untuk memahami ketuhanan.

Perdebatan tentang Matematika dan Ketuhanan ternyata tidak hanya sebatas persoalan intenal Matematika. Diskusi tentang kaitan Matematika dan Ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan relasi antara Agama dan Sains. Memang pada dasarnya Agama dan Sains adalah dua bidang yang harus bersinergi dalam kehidupan manusia, seperti yang diungkapkan Albert Einstein mengenai hubungan antara Agama dan Sains. Ia mengungkapkan hal ini menjadi dua bagian pemikiran, yang pertama pada tahun 1939 dan yang kedua pada tahun 1941 dimana ia membarikan kontribusi pada siposium yang diselenggarakan di New York. Menurutnya, Sains tanpa Agama adalah lumpuh dan Agama tanpa Sains adalah buta (Science without religion is lame, religion without science is blind). Bahkan terbukti tanpa adanya sinergi antara Agama dan Sains, bom atom yang merupakan hasil penemuan Albert Einstein telah menimbulkan tragedi kemanusiaan ketika dilakukan pemboman di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pada Perang Dunia II tahun 1945. Tragedi yang telah terjadi itu memiliki signifikansi kontemporer dalam upaya menumbuhkan rasa perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan. Mengenai penggunaan bom atom ini, Einstein dengan keras menyatakan bahwa pada dasarnya penyalahgunaan bom atom tersebut bukan hanya dapat menghancurkan musuh seorang, tetapi juga menghancurkan semua umat manusia. Oleh karena itu, relasi Agama dan Sains tidak hanya mengkaji persoalan ketuhanan, tetapi juga kemanusiaan (humanity). Selain itu, dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam Sains tidak boleh diabaikan begitu saja.

Dalam pandangan pemikir Muslim, relasi Agama dan Sains menjadi perdebatan, sehingga muncul istilah Sains Islam dan Islamisasi pengetahuan. Sains yang berkembang dalam islam, diantaranya Matematika ilmuwan al-Khawarizmi, Abu al-Wafa’ al-Buzjani, Umar Khayyam; Astronomi dengan ilmuwan al-Farghani, al-Battani, Nasir al-Din al-Tusi; Fisika dengan ilmuwan Ibn al-Haytham, al-Biruni, al-Khazini; Kimia dengan ilmuwan Jabir bin Hayyan, Zakariyya’ al-Razi, dan masih banyak ilmuwan lain dengan bidang yang lain. Sains tersebut berkembang dengan baik karena dilandasi berbagai faktor, seperti dorongan agama, apresiasi masyarakat, dan dukungan penguasa. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah akan mengangkat orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Nabi juga menyatakan agar umat Islam menuntut ilmu walau harus ke negeri Cina. Apresiasi masyarakat yang ditunjukkan saat itu adalah mereka begitu menghormati sosok ilmuwan, dan ini dilengkapi dengan dukungan penguasa yang memberikan fasilitas yang memadai kepada para ilmuwan. Contoh konkret dukungan dari penguasa juga adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan seperti Bayt al-Hikmah yang dirintis pada masa Khalifah Harun al-Rashid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah al-Ma’mun. Kemudian, al-Ma’mun membuat tim untuk menerjemahkan karya-karya klasik Yunani. Para ilmuwan muslim di Bayt al-Hikmah mengkaji, antara lain al-Qur’an, filsafat, kedokteran, astronomi, juga matematika.

Sains yang dikembangkan dalam Islam dilakukan dengan menggunakan pendekatan atau metode yang komprehensif. Setidaknya ada empat metode yang digunakan, yaitu metode tajribi, burhani, ‘irfani, dan bayani. Tajribi bisa serupa eksperimen dan observasi yang menggunakan alat indera dan digunakan untuk bidang empiris/fisik. Burhani atau demonstrasi menggunakan akal atau rasio untuk meneliti obyek non fisik. ‘Irfabi digunakan untuk mengetahui sesuatu berdasarkan kehadiran, sehingga menggunakan hati (qolb) untuk merasakannya. Sedangkan Bayani digunakan untuk memahami teks misalnya al-Qur’an. Pada prakteknya, Sains yang dikembangkan dalam Islam menggunakan beragam pendekatan secara ekletik. Dalam arti adanya perpaduan metode, sehingga kemudian antara Agama dan Sains bisa terjadi integrasi. Sains dalam Islam tidak mempersoalkan dimensi ketuhanan. Dimensi ini terintegrasi didalam Sains Islam. Hal ini berbeda dengan corak Sains Barat. Pernah terjadi pertentangan antara Sains dan Agama, seperti yang dikemukakan oleh Ian G. Barbour. Ia menyebutkan hubungan yang tidak harmonis antara Sains dan Agama itu dengan istilah konflik. Konflik yang timbul itu adalah cermin atas keterpisahan Sains dan Agama. Konflik dapat muncul dikarenakan pada satu sisi, agama bersumber pada wahyu dan memiliki ranah yang berbeda dengan Sains yang sumbernya adlah obyek-obyek empirik. Dalam agama terkandung unsur keimanan dalam meyakini kebenaran, dan dalam sains suatu kebenaran harus dibuktikan secara obyektif. Keterpisahan sains dan agama di Barat dipertegas dengan munculnya positivisme seperti yang dikatakan oleh Auguste Comte. Dengan prinsip positivisme, didalam sains dikembangkan metode ilmiah, yang pada dasarnya dalam tradisi ilmiah Islam termasuk kedalam pendekatan tajribi. Metode ilmiah ini menjadi suatu metode untuk mengungkap kebenaran. Disisi lain, berdasarkan pandangan Huston Smith, Sains tidak selalu harus bertentangan dengan agama. Ada ruang yang dapat diisi oleh agama kedalam sains. Hal ini karena sains juga memiliki keterbatasan. Karenanya, diperlukana pandangan campur tangan Tuhan dalam menjelaskan hal-hal yang yak terungkap oleh sains. Dengan begitu, agama tidak harus mati dibawah hegemoni sains.

Islam memandang sains yang bermanfaat dapat mendekatkan orientasi manusia kepada Tuhan. Ini berarti sains memiliki dimensi ketuhanan. Selain itu, sains juga dapat berkontribusi membawa kebaikan untuk kehidupan manusia dan alam. Secara teori maupun praktis sains itu membawa kemaslahatan. Ini berarti sains memiliki dimensi kemanusiaan. Dengan demikian, bagi penemu dan pelaksana sains itu akan menjadi nilai ibadah. Hal itu sangat kontras dengan sains Barat dewasa ini, yang meminggirkan Tuhan dari arena sains dan menganggap sains bersifat bebas nilai. Akibatnya, terjadi penyalahgunaan sains yang merusak keharmonisan manusia dan alam. Sebagai contoh, terjadi problem lingkungan dalam bingkai krisis manusia modern karena sains Barat yang materialistik dan sekuler tanpa etika. Sains dalam perspektif Islam tidak bebas nilai. Nilai ini diperlukan agar pengguaan sains tidak serampangan. Jika sains dalam Islam tidak bebas nilai, pun demikian pada matematika. Matematika juga memiliki dimensi kemanusiaan dan ketuhanan. Dalam Islam, matematika menjadi salah satu ilmu yang dikembangkan umat Islam dengan mengintegrasikan agama didalamnya. Salah satu karya yang berpengaruh dalam bidang matematika adalah Al-Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah (selanjutnya disebut al-Muqabalah) yang ditulis oleh al-Khawarizmi. Ia merupakan pelopor pengembangan matematika dalam peradaban Islam. Salah satu aplikasi ilmu aljabar yang diajarkan al-Khawarizmi digunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti masalah warisan.

Kitab tersebut berisi dasar-dasar aljabar modern sehingga karya al-Khawarizmi ini sangat penting dalam pengembangan matematika. Selain itu, kitab Al-Jabr wa al-Muqabalah adalah kitab pertama yang berkaitan dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Sejarawan matematika juga menilai kitab al-Jabr wa al-Muqabalah yang ditulis al-Khawarizmi sebagai kitab pertama matematika yang pada akhirnyamemunculkan istilah aljabar. Karenanya, ia dijuluki sebagai Bapak Aljabar. Namun, muncul perdebatan dari sebagian kalangan ilmuwan dimana Diophantus yang lebih layak menjadi Bapak Aljabar. Nurit Zehayi dari Science Teaching Departement, Weizmann Institute of Science, Israel dan Giora Mann dari Levinsky College of Education, Israel, masih ragu dalam memastikan siapa yang menjadi Bapak Aljabar. Joce Kurian, seorang peneliti dari Mumbai, India mantap menyatakan al-Khawarizmi sebagai Bapak Aljabar paling tidak karena tiga alasan, yaitu : (1) Karya-karya al-Khawarizmi menjadi pondasi matematika Eropa, (2) Ide-ide aljabar dan aritmatika al-Khawarizmi menjadi rujukan bagi matematikawan lain, dan (3) Karya-karya al-Khawarizmi menjadi pondasi matematika modern.

Meneliti karya al-Khawarizmi tidak semata-mata dilihat seberapa besar pengaruhnya karya tersebut terhadap matematika medern, melainkan dapat juga untuk mengeksplorasi aspek lainnya. Adapun aspek-aspek tersebut seperti dimensi kemanusiaan dan ketuhanan dalam matematika al-Khawarizmi, serta penafsiran terhadap matematik al-Khawarizmi terkait pembentukan sikap, semangat, dan mentalisme bagi manusia melalui matematika. Dimensi kemanusiaan dalam matematika al-Khawarizmi yang dapat dieksplorasi, diantaranya adalah sejarah, estetika, dan bahasa. Pengungkapan dimensi ketuhanan dalam matematika al-Khawarizmi dapat ditinjau dari pembahasan tentang ketakhinggaan bilangan seperti yang al-Khawarizmi kemukakan dalam pengantar kitab Al-Jabr wa al-Muqabalah. Pada akhir kitab Al-Jabr wa al-Muqabalah dipaparkan pula persoalan dan penyelesaian, misalnya tentang warisan yang merupakan bagian dari hukum dalam Islam. Artinya, aspek agama memiliki kaitan dengan matematika. Dengan kata lain, religiusitas dapat dieksplorasi melalui matematika Al-Jabr wa al-Muqabalah.

Dalam mempelajari matematika, seseorang dapat mengintegrasikan matematika dengan nilai-nilai kualitatif. Mengenai ini, al-Khawarizmi telah melakukan imtegrasi, misalnya integrasi matematika dan agama dalam kitabnya. Ia mengaplikasikan konsep aljabarnya dengan konteks masalah keislamian. Hal senada diungkapkan dalam buku yang dieditori oleh Paul Ernnest, yaitu Mathematics, Education and Philosophy yang menyatakan terdapat kaitan antara matematika, filsafat, dan pendidikan.

Dengan demikian, pemanusiawian dalam pembelajaran matematika memiliki dimensi ketuhanan pula. Dalam arti, matematika dapat dijadikan alat untuk menyelesaikan persoalan dalam agama yang merupakan bagian dari hukum Tuhan, seperti zakat dan warisan. Selain itu, peran penting pendidikan matematika adalah tersedianya wahana untuk menumbuhkan sikap, semangat dan mentalis terpuji dalam diri manusia melalui matematika.