ARSIP BULANAN : October 2022

Kerangka Dasar Agama Islam tentang Aqidah, Syariah, dan Akhlak

11 October 2022 11:28:13 Dibaca : 72807

Nama                                   : Laila N. Karim

NIM                                      : 411422016

Semester / Kelas           : I (Satu) / A

Program Studi                : Pendidikan Matematika

Mata Kuliah                     : Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh      : Prof. Dr. Novianty, S.Pd.I, M.Pd.I

 

Agama Islam merupakan agama yang paling mulia dan sempurna dihadapan Allah SWT. Proses perkembangan, pertumbuhan, serta penyebaran agama Islam diseluruh penjuru dunia tidak semudah membalikkan telapak tangan. Semua itu tidak terlepas dari perjuangan Nabi Muhammad SAW. Sehingga, perkembangan agama Islam masih ada sampai sekarang dan berkembang pesat. Namun, perkembangan itu berbanding terbalik dengan akhlaq. Penurunan akhlaq disebabkan karena kurangnya pengetahuan yang mendalam tentang Islam. Kehidupan manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah SWT. Dengan segala pemberian-Nya manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya. Tapi terkadang manusia lupa akan dzat Allah SWT yang telah memberi segala kenikmatan. Manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di dalam kehidupannya dapat berbuat sesuaidengan bimbingan Allah SWT. Oleh karena itu perlunya pemahaman tentang Kerangka Dasar Agama Islam yang meliputi aqidah, syari’at, dan akhlaq. Sehingga kita bisa lebih mudah untuk memahami Islam lebih jauh.

Kerangka dasar ajaran Islam merupakan dasar-dasar pokok ajaran Islam yang membekali setiap orang untuk bisa mempelajari Islam yang lebih luas dan mendalam. Memahami dan mengamalkan kerangka dasar ajaran Islam merupakan keniscayaan bagi setiap Muslim yang menginginkan untuk menjadi seorang Muslim yang kaffah. Tiga kerangka dasar Islam, yaitu Aqidah, syariah, dan akhlak mempunyai hubungan yang sangat erat, bahkan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Oleh karena itu, ketiga kerangka dasar tersebut harus terintegrasi dalam diri seorang Muslim. Integrasi ketiga komponen tersebut dalam ajaran Islam ibarat sebuah pohon, akarnya adalah aqidah, sementara batang, dahan, dan daunya adalah syariah, sedangkan buahnya adalah akhlak.

1. Aqidah

Pengertian Aqidah Akidah berakar dari kata yang berarti tali pengikat sesuatu dengan yang lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika masih dapat dipisahkan berarti belum ada pengikat dan sekaligus berarti belum ada akidahnya. Dalam pembahasan yang masyhur akidah diartikan sebagai iman, kepercayaan atau keyakinan. Akidah adalah ikatan dan perjanjian yang kokoh. Manusia dalam hidup ini terpola kedalam ikatan dan perjanjian baik dengan Allah, dengan sesama manusia maupun dengan alam lainnya. Ruang Lingkup kajian akidah berkaitan erat dengan rukun iman. Adapun kata iman, secara etimologis, berarti percaya atau membenarkan dengan hati. Sedang menurut istilah syara’, iman berarti membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lidah, dan melakukan dengan anggota badan. Dengan pengertian ini, berarti iman tidak hanya terkait dengan pembenaran dengan hati atau sekedar meyakini adanya Allah saja. Misalnya, Iman kepada Allah berarti meyakini bahwa Allah itu ada; membuktikannya dengan ikrar syahadat atau mengucapkan kalimat-kalimat dzikir kepada Allah; dan mengamalkan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Inilah makna iman yang sebenarnya, sehingga orang yang beriman berarti orang yang hatinya mengakui adanya Allah (dzikir hati), lidahnya selalu melafalkan kalimat- kalimat Allah (dzikir lisan), dan anggota badannya selalu melakukan perintah-perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya (dzikir perbuatan).

Tujuan Aqidah Islam:  

a) Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah hanya kepada Allah. Karena Allah adalah Pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepada-Nya .

b) Membebaskan akal dan pikiran dari kegelisahan yang timbul dari lemahnya akidah. Karena orang yang lemah akidahnya, adakalanya kosong hatinya dan adakalanya terjerumus pada berbagai kesesatan dan khurafat.

c) Ketenangan jiwa dan pikiran tidak cemas. Karena akidah ini akan memperkuat hubungan antara orang mukmin dengan Allah, sehingga ia menjadi orang yang tegar menghadapi segala persoalan dan sabar dalam menyikapi berbagai cobaan.

2. Syariah

Syariah Secara bahasa, syariah artinya jalan lurus menuju mata air digambarkan sebagi sumber kehidupan. Syariah berarti jalan lurus menuju sumber kehidupan yang sebenarnya. Sumber hidup manusia sebenarnya adalah Allah. Untuk menuju Allah Ta’ala, harus menggunakan jalan yang dibuat oleh Allah tersebut (syariah). Syariah ini menjadi jalan lurus yang harus di tempuh seorang muslim. Tidak ada jalan lain bagi orang muslim kecuali menggunakan syariah Islam Allah Swt. Berfirman dalam QS. Al-Jaatsiyah [45]: 18;

Artinya : Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah (syariat itu) dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.

Secara istilah, syariah adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah untuk mengatur manusia baik hubungannya dengan Allah Swt., dengan sesama manusia, dengan alam semesta, dan dengan makhluk ciptaan lainnya. Para fuqaha (ahli fiqih) menjelaskan syariah untuk menunjukkan hukum yang ditetapkan oleh Allah untuk para hamba-Nya dengan perantara Rasul-Nya, supaya para hamba-Nya itu melaksanakannya dengan dasar iman, baik hukum itu mengenai hukum formal maupun hukum etika (akhlak). Allah adalah pembuat hukum yang tertinggi. Syariah islam adalah penjelmaan konkret kehendak Allah ditengah manusia hidup bermasyarakat. Syariah merupakan prinsip yang tercantum dalam Al-Qur’an dan prinsip Al-Qur’an itu sendiri. Agar prinsip tersebut dapat diwujudkan dengan baik, tentu memerlukan contoh. Dalam hal ini, dibutuhkan contoh-contoh dari Nabi. Melalui perilaku dan ucapan Nabi tersebut, manusia dapat memahami apa yang menjadi kehendak Allah SWT itu. Oleh karena itu, Nabi dan rasul patut dicontoh dalam melaksanakan syariah.

Fungsi Syariah hukum-hukum Allah jauh lebih efektif untuk mencegah segala bentuk kejahatan yang merajalela. Disamping itu, bukan hanya mencegah kejahatan melainkan mengarahkan pada kebaikan. Berikut ini beberapa fungsi syariah, yaitu :

a) Menghantarkan manusia sebagai hamba Allah yang mukhlis. Syariah adalah aturan-aturan Allah yang berisi perintah Allah untuk ditaati dan dilaksanakan, serta aturan-aturan tentang larangan Allah untuk dijauhi dan dihindarkan. Ketaaatan terhadap aturan menunjukkan ketundukan manusia terhadap Alah dan penghambaan manusia kepada-Nya. Tanpa melaksanakan Syariah, maka manusia tidak akan sampai pada posisi sebagai hamba Allah yang baik dan benar.

b) Menghantarkan manusia sebagai khalifah Allah SWT. Manusia sebagai khalifah Allah harus mengikuti hukum Allah yang diwakilinya. Kalau melampau batas bukan lagi wakil. Maka dari itu, syariah islam memberikan batasan yang jelas dari kebebasan yang dimiliki manusia. Dengan demikian, kekhalifahan manusia diatur dalam tatanan pencapaian kesejahteraan lahir-batin manusia dan terhindar dari kesesatan sejalan dengan kehendak Allah SWT.

3. Akhlak

Akhlak Secara bahasa kata akhlak berasal dari bahasa Arab al-akhlak, yang merupakan bentuk jamak dari kata khuluq atau al-khaliq yang berarti:

a) Tabiat, budi pekerti.

b) Kebiasaan atau adat.

c) Keperwiraan, kesatriaan, kejantanan.

Sedangkan secara istilah, akhlak adalah suatu keadaan yang melekat pada jiwa manusia, yang melahirkan perbuatan-perbuatan yang mudah, tanpa melalui proses pemikiran, pertimbangan atau penelitian. Jika keadaan tersebut melahirkan perbuatan yang baik dan terpuji menurut pandangan akal dan hukum Islam, disebut akhlak yang baik. Jika perbuatan-perbuatan yang timbul itu tidak baik, dinamakan akhlak yang buruk.

Namun berdasarkan beberapa pendapat dari ulama, akhlak adalah sifat yang sudah tertanam dalam jiwa yang mendorong perilaku seseorang dengan mudah sehingga menjadi perilaku kebiasaan. Jika sifat tersebut melahirkan suatu perilaku yang terpuji menurut akal dan agama dinamakan akhlak baik (akhlak mahmudah). Sebaliknya, jika ia melahirkan tindakan yang jahat, maka disebut akhlak buruk (akhlak mazmumah). Karena akhlak merupakan suatu keadaan yang melekat di dalam jiwa, maka perbuatan baru disebut akhlak kalau terpenuhi beberapa syarat, yaitu:

a. Perbuatan itu dilakukan berulang-ulang. Kalau perbuatan itu dilakukan hanya sesekali saja, maka tidak dapat disebut akhlak. Misalnya, pada suatu saat, orang yang jarang berderma tiba-tiba memberikan uang kepada orang lain karena alasan tertentu. Tindakan seperti ini tidak bisa disebut murah hati berakhlak dermawan karena hal itu tidak melekat di dalam jiwanya.

b. Perbuatan itu timbul mudah tanpa dipikirkan atau diteliti terlebih dahulu sehingga benar-benar merupakan suatu kebiasaan. Jika perbuatan itu timbul karena terpaksa atau setelah dipikirkan dan dipertimbangkan secara matang tidak disebut akhlak. Akhlak menempati posisi yang sangat penting dalam Islam, sehingga setiap aspek dari ajaran agama ini selalu berorientasi pada pembentukan dan pembinaan akhlak yang mulia, yang disebut al-akhlak al-karimah.

Manusia Memiliki Keterkaitan Erat dengan Agama

09 October 2022 05:52:44 Dibaca : 2634

Nama                                   : Laila N. Karim

NIM                                      : 411422016

Semester / Kelas           : I (Satu) / A

Program Studi                : Pendidikan Matematika

Mata Kuliah                     : Pendidikan Agama Islam

Dosen Pengampuh      : Prof. Dr. Novianty, S.Pd.I, M.Pd.I

 

Tema           : Manusia Dan Agama

Judul           : Manusia Memiliki Keterkaitan Erat dengan Agama

 

Antara manusia dan agama tidak bisa di pisahkan. Kebermaknaan hidup manusia di tentukan oleh faktor agama. Atau mengandung aspek keyakinan, tata aturan peribadatan, dan tata nilai moral, yang implikasinya bukan hanya terbatas pada kehidupan profan di dunia tetapi juga pada kehidupan di akhirat (hidup sesudah mati). Agama telah menjadi kebutuhan dasar manusia jika mereka ingin menjadikan hidup dan kehidupan ini bermakna.

Keharusan Agama Bagi Manusia

Benar manusia bisa hidup tanpa agama, sebagaimna halnya dengan makhluk-makhluk lainnya di muka bumi ini seperti khayawan. Akan tetapi kita harus menginsyafi bahwa manusia mempunyai martabat yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk lainnya itu Manusia telah dikaruniai jasmani dan rohani yang lebih baik. Manusia telah dikaruniai akal di samping hawa nafsu yang dengan akalnya itu ia dapat menciptakan kemajuan-kemajuan dalam hidupnya. Di samping manusia dikaruniai Agama, untuk mengendalikan akal dan hawa nafsunya itu, agar manusia dapat menciptakan kehidupan yang aman dan tenteram, rukun damai, serta adil dan makmur Agama adalah untuk manusia-manusia yang berakal sehat. Orang-orang yang tidak berakal sehat memang tidak memerlukan agama, dan kalaupun mereka beragama namun agama itu tidak berfaedah bagi mereka.

Hidup beragama adalah sesuai dengan martabat manusia sebagai makhluk yang tertinggi. Makhluk makhluk lainnya di bumi ini lebih rendah martabatnya, dan mereka tidak memerlukan agama, Sebab itu, orang orang yang membenci agama, atau yang ingin menghapuskan agama-agama di muka bumi ini berarti ingin menurunkan manusia itu kepada martabat yang lebih rendah lagi hina. Padahal kita sudah dikaruniai martabat yang mulia.

Dari sekian jiwa dari jumlah penduduk di dunia ini adalah umat yang beragama. Kalau sekiranya agama itu memang tidak diperlukan dan tidak bermanfaat bagi kehidupan manusia, niscaya tak akan terdapat jumlah yang begitu besar dari pemeluk-pemeluk agama dan niscaya kita tidak akan mewarisi bangunan bangunan indah indah yang berupa pyramide-pyramide, kuil-kuil, candi-candi, gereja-gereja, dan masjid-masjid, musholla-nuusholla, yang berjuta-juta jumlahnya, tersebar di seluruh pelosok dunia ini. Dan niscaya juga Negara kita tak akan mengadakan suatu Departemen khusus untuk mengurusi kehidupan agama bangsa kita.

Kehidupan beragama yang sesuai dengan fitrah manusia, merupakan tuntutan hati nuraninya. Karena itu, orang-orang yang mengingkari agama adalah membohongi hati nuraninya sendiri. Hal ini dibuktikan oleh banyak peristiwa di mana orang-orang yang mengatakan mereka anti-agama, atau tidak percaya akan keberadaannya Tuhan, pada saat-saat mereka mengalami kesulitan atau di waktu mereka hampir mati, lalu menyebut-nyebut nama tuhan.

Manusia lari ke agama karena ketidakberdayaannya dalam menghadapi bencana atau musibah. Ini artinya bahwa manusia perlu agama untuk menghindarkan diri dari rasa takut ataupun bahaya. Semakin manusia melakukan kesalahan, semakin dihantui oleh rasa takut akan ancaman dan cobaan yang datang dari keyakinan terhadap sesuatu yang dianggap suci dari agama yang dianutnya.

Secara spekulasif sebagian orang beranggapan bahwa agama adalah respons terhadap kebutuhan kebutuhan yang tidak sepenuhnya terpenuhi. Pernyataan diatas belum dapat dikatakan benar, namun setidaknya ada gambaran bahwa orang memerlukan agama untuk memperoleh rasa nyaman, aman, damai, dan terbebas dari mara bahaya. Keinginan orang terhadap rasa nyaman,aman, damai, dan terhindar dari bahaya-bahaya dalam kehidupan adalah suatu keniscayaan yang harus konkrit dalam dimensi psikologis. Apabila semua itu tidak realistis, orang merasakan ada sesuatu yang hilang, sehingga dapat menimbulkan kegalauan, stress, depresi.

Individu yang beragama, seyogyanya berperilaku layaknya seorang hamba Tuhan dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan pelanggaran untuk kemudian menunaikan kewajiban-kewajiban yang mendatangkan kemaslahatan bagi dirinya dan lingkungannya. Karena agama sesungguhnya adalah seperangkat aturan yang membantu umat menjalani kehidupan yang baik, sesuai kodrat kemanusiaannya yang menolak kenistaan dan menemukan kehidupan sejati lahir dan batin.

Agama berkaitan dengan upaya manusia untuk mengukur makna eksistensinya sendiri dan eksistensi alam semesta. Agama dapat membangkitkan kebahagiaan batin yang paling sempurna, dan juga perasaan takut dan ngeri. Meskipun perhatian kita tertuju sepenuhnya kepada adanya suatu dunia yang tidak dapat dilihat (akhirat), namun agama juga melibatkan dirinya dalam masalah-masalah kehidupan sehari hari di dunia ini. Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati sanubari terhadap alam ghaib dan surge-surga telah didirikan di alam tersebut. Namun demikian agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang usang.

Agama memberi lambang-lambang kepada manusia, dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan, meskipun hakikat pengalaman keagamaan selamanya tidak dapat diungkapakan. Ide tentang Tuhan telah membantu memberi semangat kepada manusia dalam menjalankan tugas-tugasnya sehari-hari, menerima nasibnya yang tidak baik, atau bahkan berusaha mengatasi kesukaran kesukaran yang banyak dan berusaha mengakhirinya. Bagi orang-orang yang hidup dalam masyarakat apa pun, konsepsi agama merupakan bagian integral dari pandangan hidup mereka dan sangat dipengaruhi oleh perasaan khusus mereka terhadap apa yang dianggap suci. Di antara masyarakat Barat, agama terkait erat dengan cita-cita yang kita dambakan, dengan kepercayaan kepada Tuhan Allah (Bapa), Yesus Kristus Putra, dan pada takdir umat manusia yang sangat berharga dan mulia. Namun agama dalam pengertian umum tidak dapat disamakan dengan pemahaman kita sendiri atau bahkan dengan pola pemikiran apapun. Agama yang dianut manusia, tidak seperti perekonomiannya, tidak dapt diambil dari salah satu anugrah yang dimiliki bersama dengan binatang-binatang lainnya.

Agama Dan Hubungan Manusia

Kondisi umat islam dimasa ini semakin diperparah dengan merebaknya fenomena kehidupan yang dapat menumbuh kembangkan sikap dan prilaku yang tidak bermoral atau degradasi nilai-nilai keimanannya. Fenomena yang cukup berpengaruh itu adalah:

1. Tayangan media televist tentang cerita yang bersifat tahayul atau kemusrikan, dan film-film yang berbau porno.

2. Majalah atau tabloid yang covernya menampilkan para model yang mengubar aurat.

3. Krisis ketauladanan dari para pemimpin, karena tidak sedikit dari mereka itu justru berprilaku yang menyimpang dari nilai-nilai agama.

4. Krisis silaturahmi antara umat islam, mereka masih cenderung mengedepankan kepentingan kelompoknya (partai atau organisasi) masing-masing.

Sosok pribadi orang islam seperti di atas sudah barang tentu tidak menguntungkan bagi umat itu sendiri, terutama bagi kemulaian agama islam sebagai agama yang mulia dan tidak ada yang lebih mulia di atasnya. Kondisi umat islam seperti inilah yang akan menghambat kenajuan umat islam dan bahkan dapat memporakporandakan ikatan ukuwah umat islam itu sendiri. Agar umat islam bisa bangkit menjadi umat yang mampu menwujudkan misi "Rahmatan lil'alamin" maka seyogyanya mereka memiliki pemahaman secara utuh (Khafah) tentang islam itu sendiri umat islam tidak hanya memiliki kekuatan dalam bidang imtaq (iman dan takwa) tetapi juga dalam bidang iptek (ilmu dan teknologi).

Mereka diharapkan mampu mengintegrasikan antara pengamalan ibadah ritual dengan makna esensial ibadah itu sendiri yang dimanifestasikan dalam kehidupan sehari-hari, seperti: pengendalian diri, sabar, amanah, jujur, sikap altruis, sikap toleran dan saling menghormatai tidak suka menyakiti atau menghujat orang lain. Dapat juga dikatakan bahwa umat islam harus mampu menyatu padukan antara nilai-nilai ibadah mahdlah (hablumminalaah) dengan ibadah ghair mahdlah (hamlumminanas) dalam rangka membangun "Baldatun thaibatun warabun ghafir" Negara yang subur makmur dan penuh pengampunan Allah SWT.

Agama sangat penting dalam kehidupan manusia antara lain karena agama merupakan:

a) Sumber moral,

b) Petunjuk kebenaran,

c) Sumber informasi tentang masalah metafisika,

d) Bimbingan rohani bagi manusia, baik di kala suka maupun duka.

Konsep Ketuhanan dilihat dari Matematika

07 October 2022 04:17:07 Dibaca : 638

Nama                              : Laila N. Karim

NIM                                 : 411422016

Semester / Kelas      : I (Satu) / A

Dosen Pengampuh : Prof. Dr. Novianty Djafri, S.pd.I, M.pd.I

Mata Kuliah                : Pendidikan Agama Islam 

Jurusan                          : Matematika 

Program Studi            : Pendidikan Matematika 

 

John Byl menyatakan bahwa banyak kalangan yang berpikir tidak ada koneksi antara Matematika dan ketuhanan. Hal ini karena logika, bilangan dan geometi adalah sama bagi kelompok yang percaya pada Tuhan maupun kelompok yang tidak percaya pada Tuhan (Ateis). Dalam pandangan lainnya, Matematika dikatakan memiliki hubungan dengan ketuhanan. Pendapat ini dikatakan oleh Eric Steinhart yang menyatakan bahwa Matematika memiliki peranan penting didalam sains, sepenting bagaimana memahami Tuhan melalui penyelidikan ilmiah. Tuhan dapat dipahami, salah satunya melalui persoalan ketakhinggaan Tuhan dan Matematika dapat digunakan untuk menyusun model tentang ketakhinggaan Tuhan tersebut. Alvin Plantinga juga mengakui bahwa terdapat hubungan erat antara Matematika dan Ketuhanan dalam tulisannya yang berjudul “Theism and Mathematics”. Menurut Ladislav Kvasz, Matematika kuno tidak menjadikan ketakhinggaan (infinity) sebagai bagian dari matematika. Hal ini berbeda dengan Matematika abad ketujuh belas yang memasukkan ketakhinggaan menjadi bagian dari Matematika dikarenakan pengaruh teologi pada matematika. Perbedaan tersebut juga dikarenakan pada era klasik, ontologi dan epistemologi merupakan kesatuan, sedangkan pada era modern terjadi pembedaan antara keduanya. Pengaruh teologi pada Matematika ditunjukkan dengan adanya metafora teologis dalam Matematika. Dengan demikian, sesungguhnya Matematika dapat digunakan oleh manusia untuk memahami ketuhanan.

Perdebatan tentang Matematika dan Ketuhanan ternyata tidak hanya sebatas persoalan intenal Matematika. Diskusi tentang kaitan Matematika dan Ketuhanan tidak dapat dilepaskan dari perdebatan relasi antara Agama dan Sains. Memang pada dasarnya Agama dan Sains adalah dua bidang yang harus bersinergi dalam kehidupan manusia, seperti yang diungkapkan Albert Einstein mengenai hubungan antara Agama dan Sains. Ia mengungkapkan hal ini menjadi dua bagian pemikiran, yang pertama pada tahun 1939 dan yang kedua pada tahun 1941 dimana ia membarikan kontribusi pada siposium yang diselenggarakan di New York. Menurutnya, Sains tanpa Agama adalah lumpuh dan Agama tanpa Sains adalah buta (Science without religion is lame, religion without science is blind). Bahkan terbukti tanpa adanya sinergi antara Agama dan Sains, bom atom yang merupakan hasil penemuan Albert Einstein telah menimbulkan tragedi kemanusiaan ketika dilakukan pemboman di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang pada Perang Dunia II tahun 1945. Tragedi yang telah terjadi itu memiliki signifikansi kontemporer dalam upaya menumbuhkan rasa perdamaian dan nilai-nilai kemanusiaan. Mengenai penggunaan bom atom ini, Einstein dengan keras menyatakan bahwa pada dasarnya penyalahgunaan bom atom tersebut bukan hanya dapat menghancurkan musuh seorang, tetapi juga menghancurkan semua umat manusia. Oleh karena itu, relasi Agama dan Sains tidak hanya mengkaji persoalan ketuhanan, tetapi juga kemanusiaan (humanity). Selain itu, dimensi ketuhanan dan kemanusiaan dalam Sains tidak boleh diabaikan begitu saja.

Dalam pandangan pemikir Muslim, relasi Agama dan Sains menjadi perdebatan, sehingga muncul istilah Sains Islam dan Islamisasi pengetahuan. Sains yang berkembang dalam islam, diantaranya Matematika ilmuwan al-Khawarizmi, Abu al-Wafa’ al-Buzjani, Umar Khayyam; Astronomi dengan ilmuwan al-Farghani, al-Battani, Nasir al-Din al-Tusi; Fisika dengan ilmuwan Ibn al-Haytham, al-Biruni, al-Khazini; Kimia dengan ilmuwan Jabir bin Hayyan, Zakariyya’ al-Razi, dan masih banyak ilmuwan lain dengan bidang yang lain. Sains tersebut berkembang dengan baik karena dilandasi berbagai faktor, seperti dorongan agama, apresiasi masyarakat, dan dukungan penguasa. Dalam al-Qur’an dinyatakan bahwa Allah akan mengangkat orang-orang yang berilmu beberapa derajat. Nabi juga menyatakan agar umat Islam menuntut ilmu walau harus ke negeri Cina. Apresiasi masyarakat yang ditunjukkan saat itu adalah mereka begitu menghormati sosok ilmuwan, dan ini dilengkapi dengan dukungan penguasa yang memberikan fasilitas yang memadai kepada para ilmuwan. Contoh konkret dukungan dari penguasa juga adalah dengan mendirikan lembaga pendidikan seperti Bayt al-Hikmah yang dirintis pada masa Khalifah Harun al-Rashid dan mencapai puncaknya pada masa Khalifah al-Ma’mun. Kemudian, al-Ma’mun membuat tim untuk menerjemahkan karya-karya klasik Yunani. Para ilmuwan muslim di Bayt al-Hikmah mengkaji, antara lain al-Qur’an, filsafat, kedokteran, astronomi, juga matematika.

Sains yang dikembangkan dalam Islam dilakukan dengan menggunakan pendekatan atau metode yang komprehensif. Setidaknya ada empat metode yang digunakan, yaitu metode tajribi, burhani, ‘irfani, dan bayani. Tajribi bisa serupa eksperimen dan observasi yang menggunakan alat indera dan digunakan untuk bidang empiris/fisik. Burhani atau demonstrasi menggunakan akal atau rasio untuk meneliti obyek non fisik. ‘Irfabi digunakan untuk mengetahui sesuatu berdasarkan kehadiran, sehingga menggunakan hati (qolb) untuk merasakannya. Sedangkan Bayani digunakan untuk memahami teks misalnya al-Qur’an. Pada prakteknya, Sains yang dikembangkan dalam Islam menggunakan beragam pendekatan secara ekletik. Dalam arti adanya perpaduan metode, sehingga kemudian antara Agama dan Sains bisa terjadi integrasi. Sains dalam Islam tidak mempersoalkan dimensi ketuhanan. Dimensi ini terintegrasi didalam Sains Islam. Hal ini berbeda dengan corak Sains Barat. Pernah terjadi pertentangan antara Sains dan Agama, seperti yang dikemukakan oleh Ian G. Barbour. Ia menyebutkan hubungan yang tidak harmonis antara Sains dan Agama itu dengan istilah konflik. Konflik yang timbul itu adalah cermin atas keterpisahan Sains dan Agama. Konflik dapat muncul dikarenakan pada satu sisi, agama bersumber pada wahyu dan memiliki ranah yang berbeda dengan Sains yang sumbernya adlah obyek-obyek empirik. Dalam agama terkandung unsur keimanan dalam meyakini kebenaran, dan dalam sains suatu kebenaran harus dibuktikan secara obyektif. Keterpisahan sains dan agama di Barat dipertegas dengan munculnya positivisme seperti yang dikatakan oleh Auguste Comte. Dengan prinsip positivisme, didalam sains dikembangkan metode ilmiah, yang pada dasarnya dalam tradisi ilmiah Islam termasuk kedalam pendekatan tajribi. Metode ilmiah ini menjadi suatu metode untuk mengungkap kebenaran. Disisi lain, berdasarkan pandangan Huston Smith, Sains tidak selalu harus bertentangan dengan agama. Ada ruang yang dapat diisi oleh agama kedalam sains. Hal ini karena sains juga memiliki keterbatasan. Karenanya, diperlukana pandangan campur tangan Tuhan dalam menjelaskan hal-hal yang yak terungkap oleh sains. Dengan begitu, agama tidak harus mati dibawah hegemoni sains.

Islam memandang sains yang bermanfaat dapat mendekatkan orientasi manusia kepada Tuhan. Ini berarti sains memiliki dimensi ketuhanan. Selain itu, sains juga dapat berkontribusi membawa kebaikan untuk kehidupan manusia dan alam. Secara teori maupun praktis sains itu membawa kemaslahatan. Ini berarti sains memiliki dimensi kemanusiaan. Dengan demikian, bagi penemu dan pelaksana sains itu akan menjadi nilai ibadah. Hal itu sangat kontras dengan sains Barat dewasa ini, yang meminggirkan Tuhan dari arena sains dan menganggap sains bersifat bebas nilai. Akibatnya, terjadi penyalahgunaan sains yang merusak keharmonisan manusia dan alam. Sebagai contoh, terjadi problem lingkungan dalam bingkai krisis manusia modern karena sains Barat yang materialistik dan sekuler tanpa etika. Sains dalam perspektif Islam tidak bebas nilai. Nilai ini diperlukan agar pengguaan sains tidak serampangan. Jika sains dalam Islam tidak bebas nilai, pun demikian pada matematika. Matematika juga memiliki dimensi kemanusiaan dan ketuhanan. Dalam Islam, matematika menjadi salah satu ilmu yang dikembangkan umat Islam dengan mengintegrasikan agama didalamnya. Salah satu karya yang berpengaruh dalam bidang matematika adalah Al-Kitab al-Mukhtasar fi Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah (selanjutnya disebut al-Muqabalah) yang ditulis oleh al-Khawarizmi. Ia merupakan pelopor pengembangan matematika dalam peradaban Islam. Salah satu aplikasi ilmu aljabar yang diajarkan al-Khawarizmi digunakan untuk menyelesaikan persoalan dalam kehidupan manusia sehari-hari, seperti masalah warisan.

Kitab tersebut berisi dasar-dasar aljabar modern sehingga karya al-Khawarizmi ini sangat penting dalam pengembangan matematika. Selain itu, kitab Al-Jabr wa al-Muqabalah adalah kitab pertama yang berkaitan dengan penerapan dalam kehidupan sehari-hari. Sejarawan matematika juga menilai kitab al-Jabr wa al-Muqabalah yang ditulis al-Khawarizmi sebagai kitab pertama matematika yang pada akhirnyamemunculkan istilah aljabar. Karenanya, ia dijuluki sebagai Bapak Aljabar. Namun, muncul perdebatan dari sebagian kalangan ilmuwan dimana Diophantus yang lebih layak menjadi Bapak Aljabar. Nurit Zehayi dari Science Teaching Departement, Weizmann Institute of Science, Israel dan Giora Mann dari Levinsky College of Education, Israel, masih ragu dalam memastikan siapa yang menjadi Bapak Aljabar. Joce Kurian, seorang peneliti dari Mumbai, India mantap menyatakan al-Khawarizmi sebagai Bapak Aljabar paling tidak karena tiga alasan, yaitu : (1) Karya-karya al-Khawarizmi menjadi pondasi matematika Eropa, (2) Ide-ide aljabar dan aritmatika al-Khawarizmi menjadi rujukan bagi matematikawan lain, dan (3) Karya-karya al-Khawarizmi menjadi pondasi matematika modern.

Meneliti karya al-Khawarizmi tidak semata-mata dilihat seberapa besar pengaruhnya karya tersebut terhadap matematika medern, melainkan dapat juga untuk mengeksplorasi aspek lainnya. Adapun aspek-aspek tersebut seperti dimensi kemanusiaan dan ketuhanan dalam matematika al-Khawarizmi, serta penafsiran terhadap matematik al-Khawarizmi terkait pembentukan sikap, semangat, dan mentalisme bagi manusia melalui matematika. Dimensi kemanusiaan dalam matematika al-Khawarizmi yang dapat dieksplorasi, diantaranya adalah sejarah, estetika, dan bahasa. Pengungkapan dimensi ketuhanan dalam matematika al-Khawarizmi dapat ditinjau dari pembahasan tentang ketakhinggaan bilangan seperti yang al-Khawarizmi kemukakan dalam pengantar kitab Al-Jabr wa al-Muqabalah. Pada akhir kitab Al-Jabr wa al-Muqabalah dipaparkan pula persoalan dan penyelesaian, misalnya tentang warisan yang merupakan bagian dari hukum dalam Islam. Artinya, aspek agama memiliki kaitan dengan matematika. Dengan kata lain, religiusitas dapat dieksplorasi melalui matematika Al-Jabr wa al-Muqabalah.

Dalam mempelajari matematika, seseorang dapat mengintegrasikan matematika dengan nilai-nilai kualitatif. Mengenai ini, al-Khawarizmi telah melakukan imtegrasi, misalnya integrasi matematika dan agama dalam kitabnya. Ia mengaplikasikan konsep aljabarnya dengan konteks masalah keislamian. Hal senada diungkapkan dalam buku yang dieditori oleh Paul Ernnest, yaitu Mathematics, Education and Philosophy yang menyatakan terdapat kaitan antara matematika, filsafat, dan pendidikan.

Dengan demikian, pemanusiawian dalam pembelajaran matematika memiliki dimensi ketuhanan pula. Dalam arti, matematika dapat dijadikan alat untuk menyelesaikan persoalan dalam agama yang merupakan bagian dari hukum Tuhan, seperti zakat dan warisan. Selain itu, peran penting pendidikan matematika adalah tersedianya wahana untuk menumbuhkan sikap, semangat dan mentalis terpuji dalam diri manusia melalui matematika.