Strategi Psikologis dalam Forum Dialog Umum

10 September 2013 12:50:14 Dibaca : 1108

Terkadang, dalam suatu acara kita dihadapkan pada sesuatu yang mendadak dan mendesak, serta masalah yang tidak ada kesepakatan sebelumnya. Bahkan seba-gian hadirin tidak pernah kenal sebelumnya. Suatu ketika —dalam suatu diskusi—, tiba- tiba pembicaraan berkisar tentang dakwah Ikhwanul Muslimin. Saya paparkan beberapa pom seputar pemikiran Al-Ikhwanul Muslimun, sejarah, dan hal-hal
yang berkaitan dengannya. Setelah ceramah, saya menunggu reaksi para peserta. Muncullah pertanyaan dari salah seorang peserta, ia mengatakan, "Kita adalah Ikhwan, apa sikap kita terhadap orang-orang yang menghalangi dakwah kita? Saya ingin penjelasan tentang pokok-pokok pemikiran Ikhwan dan sejarahnya sehingga saya dapat membelanya?"
Pada saat yang bersamaan ada peserta lain yang bertanya, "Kalian adalah Ikhwan. Bagaimana kalian menghadapi tantangan, tuduhan, dan rencana musuh- musuh dakwah Islam?"
Dari dua tanggapan tersebut, saya menyadari sekali-gus menyimpulkan bahawa penanya pertama telah dibu-kakan hatinya oleh Allah sehingga merespon dan merasa mantap terhadap dakwah Ikhwan. Sementara penanya kedua masih ragu-ragu dan belum mantap menerima manhaj dakwah Ikhwan, sehingga masih perlu mendapat banyak penjelasan. Maka, langsung saja saya mengarah-kan perhatian dan pembicaraan kepada penanya kedua dengan penuh rasa hormat. Saya tidak berusaha mem-bantah dan menghubungkan pertanyaannya dengan penanya pertama. Seandainya saya melakukan hal itu, bererti saya telah membuat jarak secara kejiwaan antara keduanya kerana terjadi perbezaan pemikiran/pendapat.
Sebenarnya, secara kejiwaan seseorang itu tidak menyukai orang lain yang tidak sependapat dengannya. Saya menyadari bahawa menyampaikan dakwah pada sekelompok orang yang mempunyai latar belakang dan tujuan berbeda-beda, kecil kemungkinannya dapat me- nembus hati dan pikiran mereka, kerana jumlahnya yang banyak. Yang terjadi justru munculnya perbezaan pen-dapat dan madzhab. Kerana kebiasaan seorang pembi-cara adalah mempertahankan pendapatnya, baik ber-dalih kepada kebenaran maupun kebatilan, sehingga timbullah perdebatan yang tak bermanfaat.
Akan tetapi dakwah fardiyah adalah menyentuh inti permasalahan dan memberikan kesempatan lebih luas dalam berdialog yang bebas dan tenang atau dalam baha-sa dakwah "billati hiya ahsan ", 5ehingga dapat saling tukar pandangan dan adu argumentasi. Dakwah fardiyah me-rupakan cara untuk saling terbuka, kerana terkadang ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak dapat diungkap di depan umum. Seperti tuduhan-tuduhan buruk yang sempat merasuki pikiran generasi muda, yang tidak mengetahui hakikat sebenarnya tentang kondisi politik : Kairo yang
dikendalikan oleh musuh-musuh dakwah Islam, yaitu musuh-musuh yang selalu ingin menutup jalan Allah. Namun, Allah berkuasa terhadap utusan-Nya, "Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya." (Yusuf:21