Metode Pembelajaran Community Language Learning (CLL)
Community Language Learning (CLL) tumbuh dari suatu ide untuk menerapkan konsep psikoterapi dalam pengajaran bahasa. Metode pengajaran CLL dikembangkan oleh Charles A. Curran pada tahun 1972 dan biasa disebut juga dengan metode konseling, karena dalam aplikasi teori ini penggunaan tekhnik konseling dalam pengajaran bahasa sangat dikedepankan.
1.Prinsip CLL
Dalam CLL, siswa dianggap sebagai ‘whole persons’ atau seorang (individu) yang utuh, artinya guru tidak hanya memperhatikan perasaan dan kepandaian siswa tapi juga hubungan dengan sesama siswa dan hasrat siswa untuk belajar. Menurut Curran (1986:89), siswa merasa tidak nyaman pada situasi yang baru.
Dengan memahami perasaan ketakutan dan sensitif siswa, guru dapat menghilangkan perasaan negatif siswa menjadi energi positif untuk belajar. Selain itu, seorang siswa kadang takut terihat bodoh didepan kelas sehingga mereka cendrung bersikap pasif dalam aktivitas kelas. Oleh karena itu, seorang guru harus memposisikan dirinya sebagai seorang konselor yang akan memahami perasaan dan permasalahan yang dihadapi oleh siswanya.
Keberadaan seorang guru tidak dilihat sebagai sebuah ancaman yang memperlihatkan kesalahan dan keterbatasan siswa, melainkan menjadi seorang konselor yang memusatkan perhatiannya kepada siswa dan kebutuhannya.
Metode ini memberikan tekanan pada peran ranah afektif dalam pembelajaran kognitif. Sehingga dalam pendekatannya, seorang guru harus melihat siswanya sebagai sebuah kelompok yang membutuhkan terapi dan konseling yang mana dinamika sosial dalam kelompok ini sangat penting.
Ketika seorang siswa merasa nyaman dan akrab dengan guru dan teman-teman yang ada dalam kelompoknya, maka ia dapat mengungkapkan dan mengekspresikan dirinya. Selain itu, affective filter yang ada dalam dirinya (yang membuatnya merasa gugup dan tak berani untuk berbicara) akan mulai berkurang karena telah merasakan kedekatan dengan lingkungan kelompoknya.
2.Tujuan/sasaran dalam penggunaan metode CLL
Pembelajaran dilakukan berdasarkan pada kesulitan siswa. Tujuan dari pembelajaran sendiri adalah untuk membangun hubungan komunikasi dan menghilangkan ketakutan dalam diri siswa saat ia mempelajari bahasa kedua. Oleh karena itu, metode pembelajaran CLL bertujuan agar para siswa dapat belajar bagaimana cara menggunakan bahasa target (bahasa yang dipelajari) secara komunikatif.
3.Peran guru dan siswa
Metode CLL lebih ditujukan untuk menghilangkan kecemasan atau ketakutan (anxiety) siswa saat mempelajari bahasa kedua. Konsekuensinya, pendekatan tersebut lebih menekankan ke arah bimbingan konseling daripada pengajaran biasa. Oleh karena itu, guru lebih berposisi sebagai pembimbing (counselor) yang melatih siswanya. Siswa pun dipandang sebagai klien, sehingga hubungan antara guru dan siswa adalah ibarat pembimbing dan klien.
Melihat pentingnya hubungan yang dibangun antara guru dan siswa, metode CLL ini bukan pembelajaran yang berasaskan student-centered maupun teacher-centered, tetapi lebih kepada teacher-student centered, dengan kedua-duanya menjadi pembuat keputusan di kelas.
4.Karakteristik dalam proses pembelajaran
Dalam kaitannya dengan keadaan psikologi siswa, Curran menyebutkan ada enam unsur yang perlu diperhatikan dalam proses pembelajaran:
· Security (ketenangan atau keamanan)
· Aggression (agresi/terlibat secara aktif)
· Attention (perhatian)
· Reflection (refleksi)
· Retention (ingatan)
· Discrimination (diskriminasi)
Dari keenam hal tersebut dapat disimpulkan bahwa metode ini ingin menciptakan rasa aman dalam lingkungan belajar para siswa sehingga mereka berani untuk terlibat secara aktif dalam kelas, seorang guru harus memberikan perhatian terhadap siswanya.
Terdapat lima tahapan yang dilalui oleh siswa dalam menggunakan pendekatan ini. Pertama, Embryonic/birth stage adalah tahap siswa masih menggunakan bahasa pertamanya untuk menyampaikan harapan dan keinginannya (ketergantungan siswa pada gurunya adalah 100 atau mendekati 100%).
Kedua, Self-Assertion Stage adalah tahap dimana siswa telah mendapat dukungan moral dari rekan senasibnya ataupun dari guru mereka sehingga siswa mulai berani menggunakan bahasa keduanya di dalam kelas walaupun dalam bentuk sederhana.
Ketiga, Separate-Existence Stage yaitu ketika siswa secara bertahap mulai mengurangi pemakain bahasa ibunya dan berani mengungkapkan berbagai hal dengan bahasa keduanya, serta menganggap semua orang di dalam kelas memahami ungkapan tersebut.
Keempat, Reversal Stage dimana siswa mulai terbiasa memakai bahasa kedua secara bebas dan terjadi hubungan komunikasi dengan siswa lain (pada proses pembelajaran siswa tidak diam lagi dan sudah aktif bicara).
Kelima, Independent Stage yaitu tahap di mana siswa telah menguasai semua bahan yang akan dibahas, dan siswa sudah bisa memperluas bahasanya dan dapat menjadi pembimbing untuk membimbing bahasa kedua kepada siswa lainnya.
5.Kelebihan dan kekurangan
Dalam pembelajarannya CLL tidak memakai teks atau alat peraga apa pun, dan guru mengijinkan siswa untuk menentukan jenis percakapan dan menganalis bahasa asing secara induktif. Dengan demikian faktor yang cenderung menjadi ancaman dalam mempelajari bahasa kedua dapat dikalahkan karena guru berperan besar pada pemberian motivasi intrinsik siswa.
Akan tetapi, CLL ini hanya bisa dilakukan dalam kelas kecil, berkisar 6-12 siswa. Siswa pada awalnya sangat bergantung pada guru, dan guru harus memiliki keahlian (mahir) dalam bahasa target dan bahasa siswa. Guru juga harus mempunyai energy ekstra baik fisik maupun psikis.
Oleh karena itu, kesuksesan daripada metode CLL ini sebagian besar tergantung pada keahlian terjemahan guru. Penerjemahan adalah suatu proses yang kompleks dan ruwet yang sering “mudah dikatakan daripada prakteknya”; jika aspek bahasa yang sulit diterjemahkan salah, maka bisa terjadi kesalahpamahaman dalam berbahasa.
6.Teknik-teknik Community Language Learning :
a.Tape-recording Student Conversation
b.Transcription
c.Reflection on Experience
d.Reflective Listening
e.Human Computer
f.Small Group Task