Sejarah Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan hasil dari organisasi sosial yang telah terbentuk atau sebagai hasil dinamika dari interaksi sosial. Selama bebebarapa dekade, kepemimpinan telah dipelajari secara ekstensif dalam berbagai konteks dan dasar teoritis. Jika dilihat dalam perspektif sejarah kepemimpinan dari sudut pandang seni, dapat dikatakan bahwa kepemimpinan adalah seni yang usianya setua usia manusia di bumi, yang telah dipraktekkan dalam sepanjang sejarah manusia. Sejarah teori kepemimpinan dan penelitian. Dalam sebuah tinjauan komprehensif teori kepemimpinan (Stogdill, 1974), beberapa kategori yang berbeda telah diidentifikasi yang menangkap esensi studi kepemimpinan dalam abad kedua puluh. Kecenderungan pertama berurusan dengan atribut pemimpin besar.
Sebagai seni, kepemimpinan telah dipraktekkan oleh penguasa-penguasa dunia zaman kuno seperti pada kerajaan Mesopotamia, Persia, Mesir klasik di Timur Tengah; penguasa India,Tiongkok dan Jepang klasik di Timur, dan penguasa Indian Inka di Amerika Latin, penguasa zaman tengah Babylon (Mesopotamia), Persia, Yunani dan Romawi, penguasa zaman masehi, di Eropa termasuk negara-negara baru seperti Perancis dan Jerman, Ingris, dan sebagainya sampai kepada penguasa dari kerajaan-kerajaan tua di Timur Jauh, serta kelompok masyarakat-budaya lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Dalam kaitan ini, dapat dikatakan pula bahwa sebagai seni, kepemimpinan pun telah dipraktekkan oleh tokoh-tokoh dunia yang besar dan terkenal yang berkiprah dalam segala bidang kehidupan, mulai dari Hammurabi, raja Babylon yang sezaman dengan Abraham (Kejadian 14), para Firaun Mesir,, sampai ahli seni perang klasik Sun Tzu dan filsuf Lao Tzu di Tiongkok, serta filsuf klasik Yunani seperti Plato, Aristoteles dan Socrates, Sidharta Gautama, termasuk Kaisar-kaisar Romawi terkenal, seperti raja Perancis Charlemagne, para raja dalam dinasti-dinasti klasik Tiongkok, Inggris, dan Jenghiz Khan, raja Mongol, penulis dan negarawan Italia, Niccolo Di Benardo Macchiavelli, reformator Protestan Mathin Luther, dramator Inggris, William Shakespeare, ahli pedang Jepang Miyamoto Musashi, Patih Gajamada, penguasa kolonial Belanda, pelukis Raden Saleh, dan Soekarno, Presiden RI pertama, serta banyak lagi. Para tokoh besar yang disinggung di atas ini telah membuktikan diri sebagai manusia-manusia luar biasa yang menerapkan seni kepemimpinan dalam karir mereka, namun, karya-karya besar mereka yang gemilang tidak dapat diklasifikasikan secara penuh sebagai karya dasar bagi ilmu kepemimpinan.
PERJALANAN ILMU KEPEMIMPINAN MELINTASI SEJARAH.
Dalam sejarah di dunia Barat, diakui bahwa istilah leader atau pemimpin itu telah ada dalam kamus berbahasa Inggris sejak tahun 1300, tetapi penggunaan istilah kepemimpinan itu baru saja ada pada pertengahan abad ke sembilanbelas. Dalam studi Timur klasik pun sudah ditemukan adanya upaya penerapan seni kepemimpinan dalam peran pemimpin serta upaya perkembangan pemimpin. Namun dapat dilihat adanya indikasi kecenderungan yang sama yaitu belum adanya konsep baku tentang kepemimpinan yang dikembangkan serta diterapkan secara ilmiah. Implikasi di atas ini cukup menarik untuk disimak sebagai dasar untuk mengidentifikasi perkembangan sejarah kepemimpinan sebagai suatu ilmu. Upaya mengidentifikasi perkembangan ilmu kepemimpinan telah dilakukan oleh, Profesor Dr.J.Robert Clinton dari Fuller Theological Seminary, School of Inter-cultural Studies. Dalam hasil risetnya, Profesor Clinton mengidentifikasi perkembangan ilmu kepemimpiman dengan membuat klasifikasinya kedalam beberapa era perkembangan. Klasifikasi perkembangan ilmu kepemimpinan dimaksud adalah sebagai berikut ini.
1. Great Man Era, yang meliputi tahun 1841-1904.
Great Man Era menunjuk kepada inti teori yang menegaskan bahwa pemimpin terlahir sebagai pemimpin dengan bawaan lahir serta faktor keluarga dan lingkungan yang mendukungnya.
2. Trait Era, yang meliputi tahun 1904-1948.
Teori kepemimpinan pada Trait Era menunjuk kepada faktor karakteristik, yang menjelaskan bahwa pemimpin memiliki karakteristik khas, yang merupakan bawaan lahir serta kepribadiannya.
3. Behavior Era, yang meliputi tahun 1948-1967.
Teori kepeimpinan pada Behavior Era menunjuk kepada kesadaran tentang adanya interaksi pengaruh antara pemimpin, bawahan dan situasi. Faktor interaksi ini sangat ditentukan oleh pengaruh serta perilaku pemimpin dalam kepemimpinan.
4. Contingency Era, yang meliputi tahun 1967-1980.
Teori kepemimpinan dalam Contingancy Era mengakui adanya pengaruh yang kontingen antara faktor kelahiran atau keluarga, lingkungan pembesaran, karakteristik serta faktor pengaruh interaktif lainnya yang mempengaruhi pemimpin dan kepemimpinan.
5. Complexity Era, yang meliputi tahun 1980-1986, dst.
Teori kepemimpinan pada Complexity Era mengakui pengaruh dari semua faktor yang disinggung di atas, dengan kesadaran bahwa kepemipinan dapat dipelajari. Complexity Era menyadari dan mengakui adanya perkembangan ilmu kepemimpinan yang terjadi dengan begitu pesat terbukti mempengaruhi segala bidang hidup. Perkembangan dan pengaruh ini nampak dalam indikator fenomenal pada masa kini, dimana pemimpin dan kepemimpinan tidak sekedar diedintifikasi dengan sebutan tradisional seperti kepemimpinan atau pemimpin visioner, kharismatik, reformatif, transformatif, futuristik, dan sebagainya, tetapi juga disebut dengan kepemimpinan serta pemimpin pos-mo, informatif, global, dan seterusnya, yang dipengaruhi berbagai faktor yang kompleks.
SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU KEPEMIMPINAN DI INDONESIA.
Dalam analisa yang bersifat umum, sejarah kepemimpinan di Indonesia dapat dikategorikan dengan memperhatikan beberapa fase perkembangan berikut;
Fase Pertama, Masa Kolonial Belanda sampai 1953, yang dapat disebut fase mandor atau fase klerek. Masa ini adalah sebagai “masa primadona administrasi” (administratie), dimana administrasi memegang peran penting. Dalam kaitan ini, penguasa kolonial Belanda yang cenderung otokratis menempatkan para pemimpin inlander hanya pada level mandor, klerek, kopral atau sersan dan sebagainya yang menjelaskan bahwa para pemimpin ini hanya sampai pada aras operasional. Pemimpin aras operasional ini ini hanya berperan sebagai “middle administrator” atau “supervisor kerja” saja bukanlah manajer atau top leader, karena top leader hanyalah kelompok kolonial yang diyakini oleh mereka bahwa mereka lahir untuk memimpin.
Fase Kedua, tahun 1953 sampai dengan 1970-1980. Dalam fase ini dapat disebut sebagai fase perkembangan administrasi dan manajemen. Pada era ini ilmu administrasi sangat populer di Indonesia, yang ditandai dengan adanya akademi-akademi administrasi dan kesekretariatan. Dalam bidang pemerintatahan, Lembaga Administrasi Negara (LAN) memegang peran utama untuk mengembangkan pemimpin untuk bidang pemerintahan. Masa ini ditandai pula dengan munculnya ilmu manajemen di Indonesia, mulai dengan manajemen klasik, manajemen berdasarkan sasaran, manajemen performansi tinggi, manajemen perencaraan strategis, sampai dengan manajemen total kualitas.
Fase Ketiga, tahun 1980-2000 sampai saat ini, yang dapat disebut sebagai fase kepemimpinan baru atau fase kepemimpinan global. Fase ini diawali dengan adanya upaya mengembangkan ilmu yang disebut Manajemen Sumberdaya Manusia (Human Resources Management yang dibedakan dengan Personnel Management pada era sebelumnya). Pada sisi lain, secara umum terlihat bahwa bidang studi kepemimpinan mulai marak berkembang dalam masyarakat Indonesia, yang tersebar dari bidang umum sampai pada bidang-bidang khusus, seperti keagamaan (termasuk pendidikan teologi), perusahan swasta, pendidikan umum, dan sebagainya. Perkembangan selanjutnya terlihat pada adanya pendidikan serta pelatihan kepemimpinan (formil, non-formil dan informil) yang marak dalam segala bidang kerja.