Bila Cemas Mendatangi Hati

22 February 2013 15:03:29 Dibaca : 688

Alhamdulillaahirabbil 'aalamiin, Allahuma shalli 'ala Muhammad wa'ala aalihi washahbihii ajmai'iin. Saudaraku yang budiman, kita janganlah pernah bermimpi dapat hidup dengan tenang dan bahagia sekiranya kita belum memiliki ilmu yang benar untuk mengarungi belantara dunia yang penuh dengan jebakan, rintangan dan ancaman berbahaya ini. Cobalah tengok bagaimana kisah tarzan; semua hal yang mungkin dapat menyulitkan dan menyengsarakan, ternyata hal yang mudah saja bagi sang tarzan. Karena ia memiliki kunci pokok untuk mengatasi semua masalah dan kebutuhannnya tersebut, yakni ilmu. Ya tarzan tahu ilmu tentang seluk beluk hutan dan cara mengatasinya.

Tapi bandingkan dengan orang yang masuk ke hutan tanpa tahu seluk beluk hutan, tidak tahu cara menembusnya dan bagaimana menundukan binatang buas yang berkeliaran, niscaya dirinya akan dicekam perasaan tidak tentram, cemas, was-was, dan serba takut, walaupun dia berbekal ransel penuh dengan makanan, minuman, pakaian tahan dingin, dompet penuh uang serta senjata lengkap, tetapi karena tidak berbekal ilmu maka tetap saja kecemasan mendatangi hatinya.

Jadi apa sebenarnya ilmu untuk mengatasi rasa cemas dan was-was tadi? ilmunya hanyalah satu saudaraku, yakni ilmu dari Allah, dzat yang menciptakan dunia beserta segala isinya. Itulah Al Islam, dengan pedoman pokoknya berupa Al Qur’an dan As Sunnah. Semua rahasia kehidupan dunia dan akhirat dibeberkan dengan sempurna dan cermat di dalamnya, sehingga tidak ada satupun urusan, kecuali mesti ada rahasia jalan keluarnya.
Dengan demikian, kalau toh hidup ini kerapkali dicekam perasaan yang kacau balau dan menyengsarakan, maka penyebab pokoknya adalah karena kita kurang memahami ilmu dengan benar.

Dalam sebuah hadits dinyatakan, pada suatu ketika datanglah seseorang kepada Ibnu Ma’ud r.a, sahabat Rasulullah saw, untuk meminta nasihat. Wahai Ibnu Mas’ud, “ujarnya“ "berilah nasihat yang dapat kujadikan obat bagi jiwaku yang sedang dilanda kecemasan dan kegelisahan. Dalam beberapa hari ini aku merasa tidak tentram.Jiwaku gelisah dan pikiran pun serasa kusut, makan tak enak, tidur pun tidak nyenyak.” Mendengar hal itu, Ibnu Mas’ud kemudian menasehatinya “Kalau penyakit seperti itu yang menimpamu, maka bawalah hatimu mengunjungi tiga tempat, yaitu ke tempat orang membaca Al Qur’an, kau baca Al Qur’an atau dengarkanlah baik-baik orang yang membacanya; atau pergilah ke majelis pengajian yang mengingatkan hati kepada Allah; atau carilah waktu dan tempat yang sunyi, kemudian berkhalwatlah untuk menyembah-Nya, misalnya di tengah malam buta, ketika orang-orang sedang tidur nyenyak, engkau bangun mengerjakan shalat malam, memohon ketenangan jiwa, ketentraman pikiran dan kemurnian hati kepada-Nya. Seandainya jiwamu belum terobati dengan cara ini, maka mintalah kepada Allah agar diberi hati yang lain karena hati yang kau pakai itu bukanlah hatimu. Setelah orang itu kembali ke rumahnya, diamalkannyalah nasihat Ibnu Mas’ud tersebut. Dia pergi mengambil air wudhu. Setelah itu, diambilnya Al Qur’an, kemudian dibacanya dengan hati yang khusyuk. Selesai membaca Al Qur’an, ternyata jiwanya berubah menjadi sejuk dan tentram, pikirannya pun menjadi tenang, sedangkan kegelisahannya hilang sama sekali.

 

Berkerja Keras Dengan Cerdas

22 February 2013 15:01:53 Dibaca : 1077

Alhamdulillaahirabbil 'aalamiin, Allahuma shalli 'ala Muhammad wa'ala aalihi washahbihii ajmai'iin. Saudaraku yang baik, semoga Allah mengaruniakan semangat kepada kita untuk senantiasa melakukan yang terbaik dalam hidup ini. Karena, itulah kunci meraih prestasi dalam segala hal. Semangat bekerja keras harus ada dalam diri. Dengan bekal semangat bekerja keras, diharapkan kita mampu berbuat semaksimal mungkin yang kita kerjakan.

Saudaraku, ternyata tidak cukup hanya kerja keras semata. Manusia juga membutuhkan kecerdasan dalam menjalankan aktivitasnya, agar hasil yang diharapkan dapat lebih optimal, dan jauh lebih baik dari sebelumnya. Kita tidak mungkin hanya mengandalkan kondisi fisik semata saat bekerja, karena kemampuan fisik manusia sangat terbatas. Ada potensi lain yang sesungguhnya dapat kita gali dan manfaatkan, yaitu potensi akal. Itulah yang disebut dengan bekerja cerdas. Jadi, kita bekerja dengan ilmu. Karena, ada orang yang kelihatannya sibuk sekali, pontang-panting tetapi hasil ia dapatkan tidak optimal. Malah, bisa jadi kesalahan yang didapatkan.

Saudaraku, minimal kita mengetahui dengan jelas tentang pekerjaan atau apa saja yang kita lakukan. Bagaimana caranya, apa yang harus dilakukan jika ada masalah. Dengan siapa kita dapat bekerjasama, dan segala hal yang menyakut pekerjaan kita. Lebih baik lagi, jika kita terus menambah ilmu, pemahaman agar dapat terus meningkatkan kualitas diri. Dan, orang seperti inilah yang akan bertahan, berprestasi dan memperoleh kesuksesan dalam karirnya.

Saudaraku, selain potensi jasad, dan akal, dimanfaatkan, yaitu potensi hati. Artinya, setelah kita sukses bekerja keras dengan cerdas, kita juga harus ikhlas. Amalan hati ini memang tidak mudah untuk dilakukan. Apalagi, ketika kita merasa sudah mampu menyelesaikan semua pekerjaan dengan baik, kadangkala kita tidak hati-hati, terselip rasa riya (sombong) atau sombong. Menganggap bahwa keberhasilan itu adalah karena usaha kita berpayah-payah, Sehingga kita harus tetap mengikhtiarkan agar sikap ikhlas, mengharap keridhaan Allah tetap menjadi tujuan kita dalam segala aktivitas.

Itulah tiga potensi penting manusia yang telah diberikan Allah agar dapat mengoptimalkan setiap aktivitasnya. Porsi potensi fisik, akal, dan hati haruslah seimbang. Salah satu tidak boleh terlalu mendominasi yang lainnya. Fisik saja, tentu lelah yang akan didapatkan. Akal saja, bisa jadi berbuah kesombongan. Hati saja, tentu sebagai manusia kita juga diharuskan berikhtiar dengan optimal. Karunia Allah tidak datang begitu saja tanpa ada usaha dari setiap makhluknya. Semoga kita digolongkan sebagai orang yang mampu bekerja keras dengan cerdas dan ikhlas, sehingga bermakna bagi dunia, dan berarti pula bagi akhirat.

Menjadi Manusia Tepercaya

22 February 2013 15:00:15 Dibaca : 1119

TIADA kehormatan dan kemuliaan kecuali datangnya dari Allah Dzat Pemilik alam semesta. Ia mengangkat derajat siapa pun yang dikehendaki-Nya dan menghinakan siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Sahabat, apapun yang kita hadapi seharusnya bisa menambah ilmu, wawasan, dan kematangan serta kearifan diri kita. Maka, kapan saja kita mati, warisan terbesar yang harus kita tinggalkan adalah kehormatan pribadi, bukan harta kekayaan semata. Rindukanlah agar saat kematian kita menjadi saat yang paling indah. Harusnya saat malaikat maut menjemput, kita benar-benar dalam keadaan siap; dalam keadaan khusnul khatimah. Kita harus selalu membayangkan bahwa saat meninggal, kita sedang berjuang di jalan Allah dengan niat yang lurus dan hati yang bersih.
Hidup di dunia hanya sekali dan sebentar. Kita harus bersungguh-sungguh meniti karier menjadi orang yang memiliki harga diri, terhormat dalam pandangan Allah Swt dan terhormat dalam pandangan orang beriman. Kita harus merindukan pula kematian kita menjadi sebaik-baik kematian. Kita harus mampu mewariskan nama baik dan kehormatan kita yang tanpa cela dan kehinaan kepada anak cucu dan masyarakat sekitar.

Saudaraku, salah satu langkah awal yang harus kita bangun dalam karier kehidupan ini adalah tekad untuk menjadi seorang Muslim yang sangat jujur dan tepercaya sampai mati. Kita harus seperti Rasulullah Saw., yang memulai karier kehidupannya dengan gelar kehormatan Al-Amin (pribadi yang sangat terpercaya).

Satu hal yang harus kita bangun adalah kepercayaan dari orang lain. Nabi Muhammad Saw., berhasil menuai sukses, dalam sisi apa pun, setelah beliau berhasil membangun kepercayaan orang lain. Memang, komitmen dan kesuksesan hanya akan datang kalau kita memiliki kredibilitas dan kepercayaan. Masyarakat, keluarga, karyawan akan berkomitmen kepada kita, kalau kita memiliki kredibilitas.

Ada beberapa rumus sederhana yang dapat kita aplikasikan dalam hidup agar kita bisa menjadi orang yang kredibel, dipercaya, dan disegani. Pertama, kita harus memiliki kejujuran yang terbukti dan teruji. Tanpa kejujuran, kita tidak akan bernilai di hadapan orang lain. Kedua, kita harus menjadi orang yang cakap dan memuaskan. Walaupun jujur tetapi banyak mengecewakan, kredibilitas kita pun akan jatuh. Ketiga, kita harus kreatif dan inovatif. Mengapa? Siapa pun tentu akan selalu menyukai hal yang baru. Sekarang kita dihormati, besok belum tentu. Nah, andaikata kita tidak memiliki gagasan yang lebih orisinil dan lebih memberi solusi untuk setiap waktu, jangan kaget bila orang tidak lagi memperhitungkan kemampuan kita.
Oleh karena itu, kita harus berjuang mati-matian untuk memelihara diri kita agar menjadi seorang muslim yang tepercaya. Dengan demikian, tidak ada keraguan sama sekali bagi siapa pun yang bergaul dengan kita, baik Muslim maupun non-Muslim, baik kawan maupun lawan, tidak boleh ada keraguan terhadap ucapan, janji maupun amanah yang kita pikul.

* * *
LALU, langkah praktis seperti apa yang harus kita lakukan agar dapat menjadi seorang yang tepercaya? Selain hal di atas, ada beberapa hal lagi yang senantiasa harus kita jaga.

Pertama, jangan pernah berbohong dalam hal apa pun, sekecil dan sesederhana apa pun, walau terhadap anak kecil atau dalam senda gurau. Kita harus berusaha sekuat tenaga untuk benar-benar bersih dan meyakinkan, tidak ada dusta. Pastikan tidak pernah ada dusta! Lebih baik kita disisihkan karena kita tampil apa adanya, daripada kita diterima karena berdusta. Sungguh tidak akan pernah bahagia dan terhormat menjadi seorang pendusta. Tentu saja dalam hal ini bukan berarti harus membeberkan aib diri atau aib orang lain yang telah ditutupi Allah.

Kedua, jaga lisan. Jangan pernah menambah-nambah, mendramatisasi berita dan informasi. Atau sebaliknya, meniadakan apa yang harus disampaikan. Sampaikanlah berita atau informasi yang mesti disampaikan seakurat mungkin sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Terkadang kita ingin menambah-nambah sesuatu atau bahkan merekayasa kata-kata atau cerita. Jangan lakukan! Sama sekali tidak akan menolong kita. Sebab kalau orang tahu informasi yang sebenarnya, maka akan runtuhlah kepercayaan mereka kepada kita.

Ketiga, jangan sok tahu atau sok pintar. Jangan menjawab setiap pertanyaan bila tidak memahami ilmunya. Orang yang selalu menjawab setiap pertanyaan tanpa ilmu, maka kebodohannya sedikit demi sedikit akan terbuka. Yakinlah bahwa sok tahu tanpa ilmu adalah tanda kebodohan kita. Kita harus berani mengatakan "tidak tahu" kalau memang kita tidak mengetahuinya atau jauh lebih baik disebut bodoh karena jujur apa adanya, daripada kita berdusta dalam pandangan Allah.

Keempat, pandai-pandailah menjaga amanat. Jangan pernah membocorkan rahasia atau amanat, terlebih lagi membeberkan aib orang lain. Jangan sekali-kali melakukannya! Ingat, setiap kali kita ngobrol dengan orang lain, maka obrolan itu menjadi amanah buat kita. Orang yang suka membocorkan rahasia akan sangat mudah jatuh harga dirinya. Seharusnya, kita harus menjadi kuburan bagi rahasia dan aib orang lain. Tentu, yang namanya kuburan tidak usah digali-gali lagi, kecuali ada pembeberan yang sah menurut syariat yang membawa kebaikan bagi semua pihak. Bila ada seseorang datang dengan menceritakan aib dan kejelekan orang lain kepada kita, jangan pernah memercayai dia. Karena ketika berpisah dengan kita, dia pun akan menceritakan aib dan kejelekan kita kepada yang lain lagi.

Kelima, tepati janji. Jangan pernah mengingkari janji dan jangan mudah mengobral janji. Pastikan setiap janji tercatat dengan baik dan selalu ada saksi untuk mengingatkan dan berjuanglah sekuat tenaga dan semaksimal mungkin untuk menepatinya, walaupun dengan pengorbanan lahir batin yang berat. Ingat! Semua pengorbanan menjadi kecil dibandingkan kehilangan harga diri sebagai seorang pengingkar janji, seorang munafik, na'udzubillah. Tidak ada artinya. Semua pengorbanan itu kecil dibandingkan dengan julukan "si pengingkar janji".
Saudaraku, marilah kita berlindung kepada Allah Swt. agar dijauhkan dari segala perbuatan yang akan menistakan diri.

Menikmati Setiap Episode Hidup

22 February 2013 14:58:01 Dibaca : 1235

"Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat-menasehati supaya menaati kebenaran dan nasehat-menasehati supaya menetapi kesabaran." (QS. Al-Ashr (103):1-3)

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin, Allahuma shalli 'ala Muhammad waala aalihi washaabihii ajmai'iin, Saudaraku yang budiman, langkah awal agar kita mampu menikmati setiap detik hidup ini, adalah dengan menumbuhkan sikap ridha (rela menerima kenyataan). Kebahagiaan dan kesedihan, keuntungan dan kerugian, akan terasa nikmat dengan sikap ridha. Mengapa demikian?

Kesengsaraan hidup walaupun dihadapi dengan sikap dongkol uring-uringan, keluh kesah, tetap saja kenyataan sudah terjadi. Pendek kata, disesali ataupun tidak, ridha maupun terpaksa, tetap saja kenyataan itu sudah terjadi dan dialami. Jadi, lebih baik hati kita ridha menerimanya.
Tentu saja ridha terhadap kenyataan yang dialami, bukan berarti pasrah total, sehingga tidak bertindak apapun. Itu keliru, ridha itu amalan hati, sedangkan pikiran dan tubuh kita wajib ikhtiar untuk memperbaiki kenyataan dengan cara yang diridhai Allah. Kondisi hati yang ridha sangat membantu menjadikan proses ikhtiar menjdi positif, optimal dan bermutu.

Saudaraku, orang yang stress adalah orang yang tidak memiliki kesiapan mental menerima kenyataan yang ada. Pikiranya tidak realitis, tidak menerima kenyataan dan tidak berpijak kepadanya. Sibuk menyesali sesuatu yang sudah terjadi. Sungguh, suatu kesengsaraan dan kepedihan hidup yang dibuat sendiri.

Oleh karena itu, sadarilah hidup kita ini terdiri dari berbagai episode yang tidak monoton. Kenangilah perjalanan hidup anda, ambilah kearifan dari setiap episode yang anda telah lalui. Kenanglah dengan kelapangan dada, dinginnya emosi, dan keikhlasan. Tidak ada gunanya menyelimuti kenyataan hidup ini dengan keluh kesah. Itupun tidak menyelesaikan masalah, bahkan menambah luka yang anda alami. Tetapi atasi dengan hati yang ridha, sehingga kita menikmati setiap episode hidup kita sambil berikhtiar memperbaiki kenyataan pada jalan yang Allah ridhai.

Menggali Makna Kesuksesan

22 February 2013 14:56:36 Dibaca : 1192

Alhamdulillaahirabbil'aalamiin, Allahuma shalli 'ala Muhammad waala aalihi washaabihii ajmai'iin, Semoga Allah Yang Maha Agung, mengaruniakan kepada kita kehati-hatian atas kesuksesan, karena orang yang diuji dengan kegagalan ternyata lebih mudah berhasil dibandingkan mereka yang diuji dengan kesuksesan. Banyak orang yang tahan menghadapi kesulitan, tapi sedikit orang yang tahan ketika menghadapi kemudahan dan kelapangan.

Ada orang yang bersabar ketika tidak mempunyai harta, tapi banyak orang yang hilang kesabaran ketika hartanya melimpah. Ternyata, harta, pangkat, dan gelar yang seringkali dijadikan sebagai alat ukur kesuksesan, dalam prakteknya malah sering membuat orang tergelincir dalam kesesatan dan kekeliruan.

Lantas, apakah sebenarnya makna dari sebuah kesuksesan? Setiap orang bisa jadi memiliki paradigma yang berbeda mengenai kesuksesan. Namun secara sederhana, sukses bisa dikatakan sebagai sebuah keberhasilan akan tercapainya sesuatu yang telah ditargetkan. Pada dasarnya, dalam dimensi yang lebih luas, sukses adalah milik semua orang. Tetapi persoalan yang sering terjadi adalah bahwa tidak semua orang tahu bagaimana cara mendapatkan kesuksesan itu.

Dalam paradigma Islam, kesuksesan memang tidak hanya dilihat dari aspek duniawi, namun juga ukhrowi. Untuk itu kita butuh suatu sistem atau pola hidup yang memungkinkan kita untuk dapat meraih sukses di dunia sekaligus di akhirat. Satu hal yang sejak awal harus direnungi bahwa sukses dunia jangan sampai menutup peluang kita untuk meraih sukses akhirat. Justru sukses hakiki adalah saat kita berjumpa dengan Allah nanti. Apalah artinya di dunia dipuji habis-habisan, segala kedudukan digenggam, harta bertumpuk-tumpuk, namun ternyata semua itu tidak ada harganya secuil pun di sisi Allah.

Orang yang sukses sebenarnya adalah orang yang berhasil mengenai Allah, berani taat kepada Allah, dan berhasil menjauhi segala larangan-Nya. Orang yang sukses sejati adalah orang yang terus-menerus berusaha membersihkan hati. Di sisi lain dia terus meningkatkan kemampuan untuk mempersembahkan pengabdian terbaik, di mana hal itu akan terlihat dari keikhlasan dan kemuliaan akhlaknya. Sukses akhirat akan kita raih ketika sukses dunia yang didapatkan tidak berbenturan dengan rambu-rambu larangan Allah. Betapa bernilai ketika sukses duniawi diperoleh seiring ketaatan kita kepada Allah SWT.

Oleh karena itu jangan pernah merasa sukses saat mendapatkan sesuatu. Kesuksesan kita adalah ketika kita mampu mempersembahkan yang terbaik dari hidup ini untuk kemaslahatan manusia. Itulah rahmatan lil alamin, rahmat bagi seluruh alam. Itulah Islam. Begitu pula bila kita menyangka bahwa sukses itu jika kita telah memiliki rumah yang megah dan harta yang banyak. Sementara itu, melihat orang yang tinggal di rumah kontrakan kita anggap sebagai tanda kegagalan. Walhasil, kita justru pontang-panting sekedar untuk memenuhi itu semua. Bahkan bisa jadi untuk mendapatkan itu akhlak sama sekali tidak kita perhatian. Na'udzubillahi min dzalik.

Sebenarnya, siapa pun bisa menjadi orang mulia dan sukses, tak peduli ia seorang pembantu rumah tangga, guru, tukang sayur, atau pejabat pemerintah. Selama orang itu bekerja dengan baik dan benar, taat beribadah, dan akhlaknya mulia, dia bisa menjadi orang sukses. Bisa jadi orang yang sukses itu hanyalah seorang pembantu rumah tangga. Saat bekerja ia melakukannya sepenuh hati. Ia bekerja dengan baik. Dalam pekerjaannya itu ia jaga shalatnya, tidak berkata dusta, dan ia benar-benar menjaga ketakutannya terhadap majikan. Sebaliknya ada juga majikan yang kasar, ketus, dan juga kaya, namun kekayaaannya itu sendiri didapatkan dengan cara yang tidak halal. Bukankah lebih mulia pembantu daripada majikan yang seperti itu.

Begitupun yang sukses bisa jadi hanya berprofesi sebagai guru SD. Ia tak begitu dikenal. Ke sekolah pun terkadang dengan berjalan kaki, tetapi dengan tulus ia tetap menjalani profesinya. Bisa jadi ia lebih mulia daripada rektor yang jarang mengenal sujud di hadapan Allah. Sebab apalah arti jabatan rektor tersebut atau gelar profesornya bila tidak memiliki kemampuan mengenal Tuhannya sendiri. Atau mungkin seorang pedagang sayur. Dia jujur dan tidak pernah mengurangi timbangan. Untungnya juga tidak terlalu banyak. Tetapi ia tetap mulia dalam pandangan Allah. Dibanding pengusaha besar yang sudah licik, suka menyuap, juga serakah. Maka, demi Allah! Kedua-duanya akan sampai kepada kematian. Adapun yang mulia di hadapan-Nya tetap orang yang jujur. Maka berhati-hatilah, bukan gelar yang membuat baik seseorang.

Bukan jabatan yang membuat seseorang terlihat baik. Itu semua hanyalah "topeng". Semuanya tak ada apa-apanya kalau pribadinya sendiri tak berkualitas. Oleh karena itu, pantang kita hormat kepada orang yang tidak menjadikan kemuliaannya untuk taat kepada Allah. Entah itu jabatannya sebagai Direktur Utama sebuah perusahaan, entah ia berpangkat sebagai jenderal, menteri, wakil rakyat, bahkan presiden sekalipun, kalau ia menjadikan pengaruhnya untuk berbuat tidak adil dan berakhlak buruk.

Dalam Al-Qur'an Surat Al-Hujuraat ayat 13 dijelaskan, bahwa: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu". Jadi, yang paling mulia bukanlah orang yang paling banyak gelarnya atau orang yang paling kaya dan dianggap paling sukses. Orang mulia dan sukses adalah orang yang berhasil mengenal Allah. Lalu dia taat pada-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya.