MACAM-MACAM AIR DAN PEMBAGIANNYA

19 March 2014 06:56:37 Dibaca : 2304

     Para fuqahâ’ telah membagi jenis air menjadi tiga bagian, jika ditinjau dari sisi kesucian dan fungsinya untuk digunakan sebagai media bersuci (Thahârah). Pertama, al-Mâ-ut Thahûr, yaitu air yang suci dan bisa mensucikan yang lain dari na’jis. Kedua, al-Mâ-ut Thahûr Ghairil Muthahhir, yakni air yang suci (tidak na’jis) namun tidak bisa mensucikan yang lain dari na’jis. Ketiga, al-Mâ-un Najas, yaitu air yang tidak suci alias na’jis dan sudah barang tentu tidak bisa mensucikan yang lain.

1. Air Yang Suci Dan Mensucikan. (al-Mâ-ut Thahûr)

Air ini ialah air yang boleh diminum dan dipakai untuk menyucikan (membersihkan) benda yang lain. Yaitu air yang yang masih murni yang jatuh dari langit atau terbit dari bumi dan masih tetap belum berubah keadaannya, seperti; air hujan air laut, air sumur, air es yang sudah hancur kembali, air embun, dan air yang keluar dari mata air. Berikut adalah air yang suci dan mensucikan.

Pertama: Air Hujan

Berdasarkan firman Allâh:

وأَنْزَلْنَا مِنَ السَّماء ماءً طَهُوراً

“…dan Kami telah menurunkan dari langit air yang suci.” [QS. Al-Furqân: 48]

ويُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّماءِ مَاءً ليُطَهّرَكمْ بِهِ
“…dan Kami menurunkan untuk kalian dari langit air yang mensucikan kalian.” [QS. Al-Anfâl: 11]

Kedua: Salju dan Es

Berdasarkan kandungan do’a iftitâh yang dibaca oleh Nabi saat memulai solat:

اللَّهُمَّ نَقِّنِيْ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
“Yâ Allâh, sucikanlah aku dari dosa sebagaimana pakaian disucikan dari kotoran. Yâ Allâh, sucikanlah kotoran-kotoran yang ada padaku dengan air, salju, dan es.” [Bukhâri: 744, Muslim: 598]

Ketiga: Air yang Bersumber dari Mata Air

Berdasarkan firman Allah:

أَلمْ تَرَ أَنَّ الله أَنْزَلَ منَ السَّماء مَاءً فَسَلَكهُ يَنابيعَ في الأرْضِ
“Tidakkah engkau melihat—wahai Rasul—Allâh menurunkan air dari langit kemudian Dia memasukkannya ke dalam bumi dan menjadikannya mata air…” [QS. Az-Zumar: 21]

Keempat: Air Laut

Seorang Sahabat pernah bertutur kepada Nabi: “Wahai Rasûlullâh r, kami pernah berlayar, saat itu kami hanya membawa sedikit air. Jika kami berwudhu dengan air tersebut, maka bisa dipastikan kami akan kehausan, lantas apa kami bisa berwudhu dengan air laut? Beliau bersabda:

هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ، اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Yang namanya laut, itu suci airnya, dan hasilnya pun halal (untuk dikonsumsi sekalipun sudah mati).” [ash-Shâhîhah: 480]

Kelima: Air Zam-Zam

Rasûlullâh r pernah minta seember air yang penuh dengan air zam-zam, maka beliau minum dari air tersebut, kemudian berwudhu dengannya. [lih. Tamâmul Minnah: 46]

Keenam: Air yang Tercampur Oleh Sesuatu yang Suci

Seperti air sabun, air kapur barus, air yang berubah rasa dan warnanya karena telah tercampur dengan dedaunan –bidara misalkan—, atau air yang tersimpan dalam gentong kulit atau perunggu dalam waktu yang lama, sehingga berubah warna dan rasanya. Termasuk dalam hal ini, air laut yang telah terkena ikan-ikan (sekalipun sudah mati) yang menyebabkan air tersebut berubah baunya. Air jenis ini tetap suci dan tidak perlu ragu untuk digunakan sebagai media bersuci jika tidak ada alternatif air yang lain.

Rasûlullâh r pernah menyuruh wanita-wanita yang memandikan jenazah putri beliau Zainab radhiallâhu’anha, agar memandikan jenazahnya dengan air campuran bidara, dan bilasan yang terakhir dengan air campuran kapur barus atau pengharum. [Bukhari: 1253, Muslim: 939]
Rasûlullâh r juga pernah mandi bersama istri beliau, Maimûnah, dengan satu gentong air yang terdapat sisa adonan di dalamnya. [Shahîh Sunan an-Nasâ-i: 234]

Ketujuh: Air Melimpah yang Tekena Na’jis Tapi Warna, Bau, atau Rasanya Tidak Berubah

Perubahan air yang tidak menghilangkan keadaan atau sifatnya’suci menyucikan’. Walaupun perubahan itu terjadi salah satu dari semua sifatnya yang tiga (warna,rasa dan baunya) adalah sebagai berikut:

1. Berubah karena tempatnya, seperti air yang tergenang atau mengalir di batu belerang.

2. Berubah karena lama tersimpan, seperti air kolam.

3. Berubah karena sesuatu yang terjadi padanya, seperti berubah karena ikan atau kiambang.

4. Berubah karena tanah yang suci, begitu juga berubah yang sukar memeliharanya misalnya berubah karena daun-daunan yang jatuh dari poho-pohon yang berdekatan dengan sumur atau tempat-tempat air yang lainnya.

Rasûlullâh r pernah bersabda perihal sumur Budhâ’ah, sebuah sumur di dataran rendah yang sering kemasukan kotoran:

إِنَّ الْمَاءَ طَهُوْرٌ، لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ
“Sesungguhnya air sumur tersebut suci, tidak ada yang menjadikannya na’jis.” [Shahîh Sunan Abi Dâwud: 60]

Rasûlullâh r juga bersabda:

إِذا بَلَغَ الْمَاءَ قُلَّتَيْنِ؛ لَمْ يَحْمِلِ الخَبَثِ
“Jika air sudah mencapai ukuran 2 Qullah (kurang lebih 210-270 liter-pent), maka air tersebut tidak membawa na’jis.” [Shahîh Sunan Abi Dâwud: 56]

Artinya, sedikit na’jis yang mengenai air sebanyak 2 Qullah atau lebih, tidak berpengaruh terhadap kesucian air. [Fatwa Lajnah ad-Dâ-imah no: 20374, alifta.net].

2. Air Suci Tetapi Tidak Menyucikan (al-Mâ-ut Thahûr Ghairil Muthahhir)

Zatnya suci tetapi tidak sah dipakai untuk menyucikan sesuatu. Yang termasuk dalam kategori ini ada tiga macam air :

a. air yang telah berubah salah satu sifatnya karena bercampur dengan sesuatu benda yang suci, selain dari perubahan yang tersebut di atas seperti air teh, air kopi, dan sebagainya.

b. Air sedikit kurang dari dua kulah (tempatnya persegi panjang yang mana panjangnya, lebarnya,dalamnya 1 1/4 hasta.kalau tempatnya bundar maka garis tengahnya 1 hasta, dalam 2 ¼ hasta, dan keliling 3 1/7hasta.) sudah terpakai untuk menghilangkan hadas atau menghilangkan hukum najis. Sedangkan air itu tidak berubah sifatnya dan tidak pula bertambah timbangannya.

c. Air pohon-pohonan atau air buah-buahan, seperti air yang keluar dari tekukan pohon kayu(air nira), air kelapa dan sebagainya.

3. Air Yang Bernajis (al-Mâ-un Najas)

Air yang termasuk bagian ini ada dua macam :

a. Sudah berubah salah satu sifatnya oleh najis. Air ini tidak boleh dipakai lagi, baik airnya sedikit atau banyak , sebab hukumnya seperti najis.

b. Air bernajis tetapi tidak berubah salah satu sifatnya. Air ini kalau sedikit- berarti urang dari dua kulah –tidak boleh dipakai lagi, bahkan hukumnya sama dengan najis. Kalau air itu banyak berarti dua kulah atau lebih, hukumnya tetap suci dan menyucikan. Rasulullah bersabda Saw : Air itu tidak dinajisi sesuatu, kecuali apbila berubah rasa, wana atau baunya.”(Riwayat Ibnu Majah dan Baihaqi). Dalam hadist lain Rasul Saw: ‘Apabila air cukup dua kulah, tidaklah dinajisi oleh sesuatu apapun.(Riwayat oleh lima ahli hadist)

4. Air Yang Makruh

Yaitu air yang terjemur oleh matahari dalam bejana selain bejana emas atau perak. Air ini makruh dipakai untuk badan. Tetapi tidak makruh untuk pakaian; kecuali air yang terjemur di tanah, seperi air sawah, air kolam, dan tempattempat yang bukan bejana yang mungkin berkarat.. Sabda Rasulullah Saw. Dari Aisyah .Sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari. Maka Rasulullah Saw. Berkata kepadanya , ‘Jangan engkau berbuat demikian, ya Aisyah. Sesungguhnya air yang dijemur itu akan menimbulkan sopak.”(Riwayat Baihaqi)

======