ARSIP BULANAN : August 2015

PEMUDA INDONESIA, NASIONALISME, DAN KELAUTAN

22 August 2015 11:37:54 Dibaca : 212

Pemuda Indonesia umumnya belum sadar akan ancaman arus global yang terus menerus menggerogoti identitas bangsa. Jika kita tengok sejenak ke belakang puluhan tahun yang lalu, bagaimana pemuda Indonesia berusaha dengan gigih menyatakan keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia dalam satu wadah yaitu Indonesia. Hal demikian bukanlah perkara yang mudah, semudah membalikkan telapak tangan, melainkan menghadapi berbagai kendala. Bayangkan saja, bukankah tidak mudah menyatukan berbagai pendapat yang notabennya berlatar belakang berbeda! Tidak dapat dipungkiri, semakin ke timur kondisi alam Indonesia semakin kering dan panas, hal itu menyebabkan sifat dan karakter masyarakatnya juga menjadi semakin tempramental, sensitif dan mudah sekali tersinggung. Untungnya kondisi demikian tidak menyurutkan semangat para pemuda. Mereka berusahan mengesampingkan ego kedaerahan mereka demi sebuah janji persatuan. Yakni satu bangsa, tanah air, dan bahasa.
Dalam konteks Indonesia, nasionalisme mendasarkan diri pada nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki dan bersifat asasi. Tujuannya, mengangkat harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan setiap bangsa untuk hidup bersama secara adil dan damai tanpa diskriminasi didalam hubungan-hubungan sosial. Sebenarnya rasa nasionalisme itu sudah dianggap telah muncul manakala suatu bangsa memiliki cita-cita yang sama untuk mendirikan suatu negara kebangsaan. Sedangkan, ciri nasionalisme Indonesia yaitu nasionalisme religius seperti yang dicetuskan Bung Karno (Soekarno) adalah nasionalisme yang tumbuh dari budaya Indonesia.
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan sumber daya alam berlimpah, namun masyarakat Indonesia terutama pemuda belum mampu memanfaatkan potensi yang dimilikinya. Kondisi ini terjadi karena rendahnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dibidang Maritim. Salah satunya, Indonesia masih kekurangan tenaga pelaut. Krisis tenaga pelaut di Tanah Air hingga kini masih menjadi masalah serius. Jumlah lulusan pendidikan tersebut belum seimbang dengan kebutuhan dibidang pelayaran. Di sektor angkatan laut minim tenaga pelaut. Para lulusan pelaut tingkat perwira hampir 75% memilih bekerja di kapal asing atau berbendera asing dari pada mengabdikan diri untuk perusahaan pelayaran nasional dengan alasan yang masuk akal yakni penghasilan yang lebih besar.
Dunia maritim Indonesia telah mengalami kemunduran yang cukup signifikan, kalau pada zaman dahulu mencapai kejayaan, baik dalam bidang politik maupun ekonomi, sekarang ini tidak tampak sedikit pun kemajuan yang dapat dilihat. Ironis memang, Indonesia yang mempunyai potensi laut sangat besar di dunia kurang begitu memperhatikan sektor ini Padahal, laut menjadi salah satu faktor dalam mempertahankan eksistensi wilayah suatu negara “Barang siapa yang menguasai laut, ia akan menguasai dunia”, demikian dalil Alfred Thayer Mahan (1890) dalam karyanya : The Influence of Sea Power Upon History (1660-1783).
Sekalipun kaya akan hasil laut, bangsa Indonesia tidak dikenal sebagai pemakan ikan. Oleh karena itu, budaya maritim harus berwujud reformasi kultural, atau jika meminjam istilah Presiden Terpilih, Bapak Joko Widodo, “Revolusi Mental”, yang diawali dari meja makan, dimana ikan harus menjadi menu utama bangsa Indonesia. Rata-rata konsumsi ikan orang Indonesia adalah 30 kg/tahun masih kalah dengan konsumsi ikan orang Malaysia yang mencapai 37 kg/tahun. Jika dibandingkan dengan Jepang, kita hanya separuh dari konsumsi mereka yang mencapai lebih dari 60 kg/tahun. Kalau konsumsi ikan saja masih rendah, itu artinya tidak mengherankan jika penanganan illegal fishing tidak dianggap penting.
Berdasarkan uraian penjelasan diatas, penulis merekomendasikan beberapa hal, yaitu : (1) Melatih dan menumbuhkan rasa kecintaan tanah air sejak dini melalui pengenalan terhadap gambar-gambar tentang ragam keunikan tanah air, (2) Peningkatan jumlah sekolah pelaut harus segera direalisasikan agar terjadi peningkatan kapasitas suplai pelaut Negara Indonesia, (3) Pemerintah lebih memfokuskan pembangunan sesuai dengan kondisi geografis yang dimiliki bangsa ini yaitu berkiblat pada sektor laut atau sebagai Negara maritim, (4) Dalam mewujudkan budaya maritim, pemeritah harus mendorong dunia pendidikan, keluarga dan lembaga terkait menjadikan konsumsi ikan laut sebagai program utama pemerintah dan menjadikannya sebagai tradisi agar terjadi peningkatan komsumsi ikan di Negara Indonesia, (5) Pemerintah harus lebih serius menangani lautnya agar kebutuhan konsumsi ikan orang Indonesia dapat terpenuhi, (6) Pemerintah harus lebih serius menangani tata kelola kelautan dan mengurai masalah yang terjadi karena tumpang tindih peraturan yang tidak terkoordinasi dengan tata kelola laut akibat ego sektoral, (7) Pemerintah harus lebih aktif dalam berkerja, karena kerugian Indonesia terkait dengan illegal fishing dapat dialokasikan sebagai dana pendidikan anak bangsa.

Kategori

Blogroll

  • Masih Kosong