Mahasiswa dan Budaya Menulis

07 August 2021 15:23:54 Dibaca : 14

Menjadi penulis terkenal dan profesional tentu merupakan dambaan bagi setiap orang yang mempunyai bakat menulis.

Bakat menulis seseorang timbul karena faktor genetik ataupun terkadang timbul dari lingkungan, tempat di mana seseorang itu tumbuh.

Fakor genetik yang maksud adalah sesorang mempunyai bakat menulis karena bapak/ ibunya dulu adalah seorang penulis. Sehingga bakat itu menular dari orang tua ke anak.

 

  

Fakor lingkungan juga merupakan faktor dominan bagaimana seseorang mengembangkan bakatnya sebagai penulis.

 

 

Misalnya seseorang yang semasa kecilnya tidak pandai dalam menulis, tetapi begitu dewasa, ia menjadi penulis profesional karena ia bergaul dengan kawanan penulis profesional semasa mudanya.

Menjadi seorang penulis bukan semata-mata karena bakat lahiriah (genetik) atau karena fakor lingkungan. Melainkan lebih dari itu adalah kemauan untuk menulis dan membuat tulisan. Kemauan untuk berani menuangkan ide-ide dan gagasan lewat menulis.

Kemauan dan niat itulah yang secara berlahan membentuk sebuah habitus atau kebiasaan menulis dan berangkat dari kebiasaan itu timbulah budaya menulis.

Dalam konteks budaya menulis inilah, seseorang telah mengaggap kegiatan menulis merupakan sesuatu yang telah melekat, sudah menjadi kebiasaan dan wajid dilaksanakan.

Kehidupan mahasiswa pada dasarnya tidak pernah lepas dari kegiatan menulis, entah menulis catatan materi kuliah, buku harian, puisi, cerpen, makalah, artikel dan opini yang khusus di muat majalah ilmiah kampus, bahkan di media cetak, seperti surat kabar, koran atau media online.

Sejenak menengok realitas kehidupan di kampus, nyatanya budaya menulis akhir-akhir ini tergerus oleh mentalitas para mahasiswa yang hanya mementingkan aktifitas hiburan yang tidak berbobot.

Perkembangan teknologi di bidang telekomunikasi dan informasi telah melahirkan perangkat-prangkat teknologi smart seperti handphone, Iphone, tablet, nyatanya memudahkan para mahasiswa menikmati berbagai aplikasi hiburan seperti permainan online, mobile legend yang begitu diminanti oleh kalangan mahasiswa.

Di Balik Lenyapnya "Rasa Ingin Tahu" Mahasiswa

07 August 2021 15:18:53 Dibaca : 13

Kebosanan menjadi sesuatu yang lumrah dirasakan oleh mahasiswa pada masa perkuliahan. Terkadang, metode mengajar dosen menjadi salah satu alasan yang dikeluhkan banyak mahasiswa. 

Akibatnya para mahasiswa menjadi tidak aktif dan antusias di kelas saat proses belajar mengajar serta lenyapnya 'rasa ingin tahu' pada diri mahasiswa.

Hal-hal yang dijejali ke dalam kepala mahasiswa hanya gagasan yang "siap pakai" di mana pengetahuan diterima. Di sini, cara berpikir kritis tidak dikembangkan secara maksimal. 

 

  

Usaha untuk berpikir menjadi sebuah kegiatan yang tidak menarik ntuk dilakukan. Bahkan terkadang masih ada sebagian dosen yang mahasiswanya diminta untuk menghafal serangkaian teori dan data yang kerapkali tak ada kaitan dengan kebutuhan mahasiswa.

Kasus seperti ini memang masih banyak terjadi di berbagai perguruan tinggi, hanya saja ini saya yang masih berstatus mahasiswa baru mencoba untuk mengungkapkan pengalaman pribadi saya bersama teman-teman di kampus. 

Menghadapi kasus demikian, saya dan sebagain teman-teman mengungkapkan protes, tapi lama-kelamaan juga menemui titik jenuh.

Ada banyak aspirasi yang disampaikan, namun tak sampai kepada mereka yang berhak menindak lanjuti. Wadah untuk menyampaikan aspirasi memang telah tersedia, hanya saja tindak lanjutnya sebatas basa-basi yang disampaikan kepada kami dan dibumbui dengan kalimat penenang.

Kadang terbesit ingin melakukan perubahan namun lebih memilih diam "mengikuti arus". 

Sebenarnya siapa yang tidak peduli, mahasiswa atau mereka yang mempunyai kewenangan akan hal ini? Kalau ingin melakukan perubahan jangan tunduk terhadap kenyataan. Asalkan kita yakin di jalan yang benar, maka lanjutkan!

Di beberapa kampus yang lain juga mengalami kasus yang serupa terkait problem mahasiswa dan dosennya. 

Sistem perkuliahan daring atau online di masa pandemi Covid-19 ternyata  membuat sebagian besar mahasiswa mengalami kesulitan. Maka, kuliah daring belum sepenuhnya dapat menjadi alternatif pembelajaran yang memadai. Hal ini tercermin dari hasil "Survei Kuliah Daring Mahasiswa" yang saya lakukan (8 Juni 2020) dengan 149 responden mahasiswa di 3 perguruan tinggi.

Saat ditanyakan "apa hambatan/kendala Anda dalam mengikuti kuliah daring?" Faktanya, 65% mahasiswa terhambat masalah jaringan internet atau kuota, 26% hambatan soal waktu, 7% hambatan soal ponsel/laptop, dan 2% hambatan lain. Kondisi ini memberi sinyal kuat. Bahwa mahasiswa pada umumnya sama sekali tidak siap untuk melakukan kuliah daring. Di samping menjadi "pekerjaan rumah" untuk kampus dalam mensosialisasikan kuliah daring sebagai alternatif pembelajaran di era digital.

Patut diduga, hasil survei ini pun menyiratkan sebagian besar mahasiswa hanya memiliki akses internet sesuai dengan kuota yang dibeli untuk durasi waktu singkat. Entah, paket harian, paket 3 harian atau paket semingguan. Di sisi lain, survei ini pun menegaskan dominasi kuat kuliah tatap muka di kelas. Baik dalam situasi darurat seperti wabah Covid-19 atau tidak darurat. Kuliah daring nyatanya belum menjadi pilihan di kalangan perguruan tinggi.

 

  

Sementara banyak perguruan tinggi, akibat wabah Covid-19, telah mengimbau untuk mengganti kuliah tatap muka menjadi kuliah daring. Ternyata di lapangan, sebagain besar mahasiswa mengalami hambatan. Sehingga efektivitas perkuliahan pun tidak optimal. Sedangkan dalam situasi pandemic Covid-19, sudah pasti kuliah tatap muka di kelas tidak dapat dilakukan. Karena membahayakan mahasiswa tertular virus corona.

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong