ARSIP BULANAN : April 2015

Etika & Filsafat Komunikasi (Part 2)

15 April 2015 09:22:25 Dibaca : 254

Tri Indah Sari - 291414031 - Ilmu Komunikasi (A) - "Etika & Filsafat Komunikasi"

 

4. HAKIKAT FILSAFAT

Filsafat adalah merupakan ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan tentang apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Pada kenyataannya banyak sekali orang yang enggan untuk berfilsafat bahkan berfikir filsafati. Dahal dengan kita berfikir filsafatt, maka kita akan mengetahui kebenaran suatu hal yang sudah kita ketahui dengan kebenaran yang hakiki. Sehingga pengetahuan manusia akan suatu kebenaran tersebut terbatas dan tidak berkembang dengan pemikiran yang lain. Karna filsafat adalah suatu titik penemuan tentang hakikat kebenaran yang sudah ada namun ingin dikebangkan lebih mendalam tanpa adanya ujung dari kebenaran ayang ada karna penyelanyesaian masalah dalam filsafat itu bersifat mendalam dan universal.
Jika dibandingkan antara filsafat dengan pengetahuan tentang suatu ilmu atau pelajaran, maka berfikir filsafat adalah lebih unggul. Karena penarian kebenaran dari filsafat tidak ada habisnya sedangkan berfikir tentang pengetahuan suatu ilmu itu hanya berujung pada pengetahuan itu saja. Maka dari pada itu berfilsafat akan menjadikan kita terus dan terus berfikir tentang suatu hakekat kebenaran yang sudah kita ketahui.
Filsafat menurut arti kata, terdiri atas kata philein yang artinya cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar, atau yang berkobar-kobar, atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kenenaran yang sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Pengertian umum filsafat adalah ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Sedangkan berfilsafat sendiri adalah berfikir secara mendalam, menyeluruh, dan kritis inilah yang disebut berfilsafat. Kemudian, berfilsafat juga berarti berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah diketahui dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Berfilsafat berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk beretrusterang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang dicari telah dijangkau. Dengan kita berfilsafat maka kita akan lebih menggunakan akal dan fikiran kita untuk mencari suatu hakikat dari kebenaran yang ada dan yang sudah kita ketahui.
Selanjutnya, karakteristik berfikir filsafat sendiri adalah meliputi karakteristik yang bersifat menyeluruh, bersifat mendasar, dan bahkan bersifat spekulatif. Maksudnya adalah bahwa seseorang dalam mereka berfilsafat itu tidak hanya ingin tahu pada satu objek saja namun ingin mengetahui seluruh objek yang belum mereka ketahui secara filsafati. Lalu seseorang yang berfikir filsafat itu tidak mau hanya sekedar menerima pendapat dari satu objek, namun ia ingin mengkaji dengan sendirinya tentang hakikat kebenaran dari suatu objek kajian. Dan dalam mereka menemukan hakikat kebenaran yang sesungguhnya, mereka membutuhkan landasan atau patokan yang menguatkan mereka dan menjadi dasar bagi mereka atas kebenaran yang mereka peroleh dari suatu objek kajian.

Perspektif Pribadi :

Karena kehidupan yang kita jalani penuh kekerasan, maka dorongan untuk berfilsafat terus muncul dan bersemayam dalam kehidupan modern. Tapi waktu sekarang ini amat terbatas, sehingga untuk berfilsafat kita hanya mempunyai kesempatan untuk memikirkan sebagian masalah-masalah dengan mengajukan pertanyaan yang tidak menyeluruh, sehingga tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang menjadi hajat hidup banyak orang.
Dari pengalaman saya pribadi selama belajar filsafat dibangku perkuliahan, Biasanya, hanya ada sedikit orang yang mengajukan pertanyaan :
Ø Adakah alam semesta ini suatu alam semesta dari pikiran atau hanya dari benda mati?
Ø Dapatkah ia masih menganut suatu pandangan keagamaan mengenai manusia?
Ø Adakah Tuhan itu?
Ø Dari apa benda tersebut?
Ø Apakah akal kita yang kini terpukau-pukau dan keheranan merupakan salah satu dari benda?
Ø Saya hidup. Apa itu hidup?
Ø Ada apa sesudah mati?
Ø Apa itu benar dan apa itu salah?
Ø Apakah pertanyaan ini bisa terjawab?
Ø Apa yang mejadi batas sebuah pengetahuan?
Ø Kita lihat bulan yang indah, mentari yang terbenam amat memukau, dan segala keindahan lain. Lalu, apakah tanpa mata keindahan ada? Apakah tanpa organ lain keindahan itu ada? Lalu, apa itu keindahan?
Ø Apa pula pertanyaan itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan yang menjijikan, ngeri, mengapa begitu bodoh terlintas di dalam kepala kita. Tetapi, justru itulah masalah-masalah Filsafat. Karena itulah Filsafat ada. Filsafat ada karena manusia bertanya tentang hidup, Filsafat ada karena adanya masalah-masalah tersebut.
Menurut beberapa referensi yang say abaca, Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu.
Tentu saja kebenaran yang hendak digapai bukanlah kebenaran yang meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan, setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang lebih pasti. Demikian seterusnya.
Jelas terlihat bahwa kebenaran filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. Kebenaran yang baru ditemukan itu juga terbuka untuk dipersoalkan kembali demi menemukan kebenaran yang lebih meyakinkan.dengan demikian, terlihat bahwa salah satu sifat dasar filsafat ialah memburu kebenaran. Upaya memburu kebenaran itu adalah demi kebenaran itu sendiri, dan kebenaran yang diburu adalah kebenaran yang meyakinkan serta lebih pasti.
Semakin hari saya mulai sedikit demi sedikit memahami bahwa kemungkinan besar salah satu penyebab lahirnya filsafat ialah keraguan. Untuk menghilang¬kan keraaguan diperlukan kejelasan. Mengejar kejelasan berarti harus berjuang dengan gigih untuk mengelimi¬nasi segala sesuatu yang tidak jelas, yang kabur, dan yang gelap, bahkan juga yang serba rahasia dan berupa teka-teki. Tanpa kejelasan, filsafat pun akan menjadi sesuatu yang mistik, serba rahasia, kabur, gelap, dan tak mung¬kin dapat menggapai kebenaran.
Jelas terlihat bahwa berfilsafat sesungguhnya merupakan suatu perjuangan untuk mendapatkan kejelasan pengertian dan kejelasan seluruh realitas. Perjuangan mencari kejelasan itu adalah salah satu sifat dasar filsafat.
Menurut saya, kejelasan yang dicari oleh seorang anak manusia pun terkadang tidak selaras dengan logikanya, sehingga ia beruapaya untuk terus berfilsat atau terus berusaha untuk mencari sebuah kebenaran yang sedalam-dalamnya dan sejelas – jelasnya yang tentunya dapat diterima oleh akal sehatnya/ Tetapi tidak serta merta diterima begitu saja, melainkan harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kejelasannya baik secara nurani maupun logika. Karena, Filsafat bukan hanya mengacu kepada bagian tertentu dari realitas, melainkan kepada keseluruhannya. Dalam memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas. Seorang filsuf akan selalu berupaya untuk menemukan asas yang paling hakiki dari realitas.
Selain itu, saya pun pernah membaca tentang C.J. Ducasse yang mengatakan bahwa filsafat merupakan usaha untuk mencari pengetahuan, berupa fakta-fakta, yang disebut penilaian. Yang dibicarakan dalam penilaian ialah tentang yang baik dan buruk, yang susila dan asusila dan akhirnya filsafat sebagai suatu usaha untuk mempertahankan nilai. Maka selanjutnya, dibentuklah sistem nilai, sehingga lahirlah apa yang disebutnya sebagai nilai sosial, nilai keagamaan, nilai budaya, dan lainnya.
Sesuatu yang dicari itu pun pastinya adalah Sesuatu yang bernilai tentu di dalamnya penuh dengan arti. Agar para filosof dalam mengunkapkan ide-idenya sarat denga arti, para filosof harus dapat menciptakan kalimat-kalimat yang logis dan bahasa-bahasa yang tepat, semua itu berguna untuk menghindari adanya kesalahan/sesat piker.
Kendati demikian, saya pun terkadang berfikir bahwa Pemikiran filsafat mempunyai kecenderungan sangat umum, dan tingkat keumumannya sangat tinggi. Karena pemikiran filsafat tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus, akan tetapi bersangkutan dengan konsep-konsep yang sifatnya umum, misalnya tentang manusia, tentang keadilan, tentang kebebasan, dan lainnya. Karena, ada juga kebenaran yang tidak factual, Kata lain dari tidak faktual adalah spekulatif, yang artinya filsafat membuat dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai sesuatu dengan tidak berdasarkan pada bukti. Hal ini sebagai sesuatu hal yang melampaui tapal batas dari fakta-fakta pengetahuan ilmiah. Jawaban yang didapat dari dugaan-dugaan tersebut sifatnya juga spekulatif. Hal ini bukan berarti bahwa pemikiran filsafat tidak ilmiah, akan tetapi pemikiran filsafat tidak termasuk dalam lingkup kewenangan ilmu khusus. Sebab, Menurut Clarence L. Lewis seorang ahli logika mengatakan bahwa filsafat itu sesungguhnya suatu proses refleksi dari bekerjanya akal. Sedangkan sisi yang terkandung dalam proses refleksi adalah berbagai kegiatan/problema kehidupan manusia. Tidak semua kegiatan atau berbagai problema kehidupan tersebut dikatakan sampai pada derajat pemikiran filsafat, tetapi dalam kegiatan atau problema yang terdapat beberapa ciri yang dapat mencapai derajat pemikiran filsafat
Akhirnya, saya pun menilai bahwasannya Filsafat merupakan sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam dan biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat juga dianggap sebagai kreasi berpikir dengan menggunakan metode-metode ilmiah untuk memahami dunia. Filsafat bertujuan untuk memahami dunia dan memperpadukan hasil dan ilmu pengetahuan ke ilmu pengetahuan special agar menjadi suatu pandangan hidup yang seragam. Itu merupakan tujuan Filsafat dari jaman Thales (Bapak Filsafat) hingga jaman sekarang.
Di masa sekarang ini, manusia bercorak individualistis, humanistis, romantis, sehingga manusia cepat beralih pada kepentingan-kepentingan dekat dan “dunia” memiliki arti yang lain bagi manusia. Kondisi manusia yang hidup di perkotaan, dengan kendaraan, perumahan, dan segalanya yang ada di kota, membuat manusia semakin jauh dengan dunia astronomis. Disamping itu, Karena kehidupan yang kita jalani penuh kekerasan, maka dorongan untuk berfilsafat terus muncul dan bersemayam dalam kehidupan modern. Tapi waktu sekarang ini amat terbatas, sehingga untuk berfilsafat kita hanya mempunyai kesempatan untuk memikirkan sebagian masalah-masalah dengan mengajukan pertanyaan yang tidak menyeluruh, sehingga tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang menjadi hajat hidup banyak orang. Sebab, untuk menyelesaikan permasalahan hidup sendiri pun seringkali masih susah. Sehingganya hakikat filsfat itu perlu, karena dengan berfilsfat orang akan semakin mencari tahu dan akhirnya mengetahui segala sesuatu tentang sebuah kebenaran.

5. TEMA POKOK – MANUSIA MAKHLUK SIMBOLIK

Manusia adalah makhluk sosial. Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan masyarakat umum tentang definisi manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena tak ada satupun manusia yang mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau bahkan bantuan makhluk hidup lainnya. Misalnya, anjing yang dapat membantu manusia untuk menjaga rumahnya. Oleh sebab itu, manusia dalam kehidupan sehari-harinya pasti melakukan interaksi dengan orang lain maupun makhluk hidup lainnya. Dalam interaksi tersebut, manusia memiliki sistem simbol dalam berkomunikasi, sehingga manusiapun tidak hanya dikatakan sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai makhluk simbolik atau Homo Symbolicum.
Dalam komunikasi dikenal sebuah teori tentang interaksi manusia, yaitu teori interaksi simbolik. Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang menjadi ciri khas manusia, yaitu komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik berasal dari pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal, yaitu “The Theoretical Perspective” yang merupakan cikal bakal Teori Interaksi Simbolik. Teori ini juga sering disebut dengan Mazhab Chicago, karena Mead tinggal di Chicago selama kurang lebih 37 tahun.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini mengatakan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra mereka. Teori interaksi simbolik ini memiliki tujuh prinsip sebagai berikut:

1) Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. Manusia dan hewan adalah makhluk hidup, tetapi manusia diberkahi dengan kemampuan berpikir, sedangkan hewan tidak. Oleh sebab itu, setiap manusia dapat berinteraksi dengan hal-hal di sekelilingnya dengan menggunakan aturan seperti saat seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain, dia harus meminta maaf kepada orang tersebut. Akan tetapi, hewan tidak perlu meminta maaf kepada hewan lainnya ketika melakukan kesalahan, karena hewan tidak memiliki akal untuk berpikir bahwa mereka harus berinteraksi dengan hewan lainnya dengan menggunakan aturan.
2) Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. Manusia memiliki kemampuan berpikir yang memang sudah diberikan oleh sang pencipta, tetapi kemampuan berpikir manusia tersebut dapat terbentuk dan semakin berkembang melalui interaksi sosial. Dalam berinteraksi, manusia menggunakan akal mereka untuk memahami hal-hal yang ada di sekeliling mereka dan melalui pemahaman tersebut kemampuan berpikir manusia terbentuk dan semakin berkembang.
3) Dalam interaksi sosial, manusia mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yaitu berpikir. Manusia berpikir untuk menginterpretasi makna dari simbol-simbol yang mereka temukan dalam kehidupan mereka.
4) Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan dan interaksi yang khas manusia. Makna dan simbol yang telah diinterpretasi melalui berpikir oleh manusia kemudian dilanjutkan dengan tindakan dan interaksi-interaksi selanjutnya yang kemudian menjadi kebiasaan manusia dalam sehari-harinya.
5) Manusia mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Dengan berpikir pula, manusia kemudian tidak hanya menginterpretasi makna dan simbol dalam kehidupan mereka, tetapi juga memodifikasi atau mengubah makna dan simbol tersebut, atau bahkan menciptakan simbol-simbol mengenai hal-hal yang ada di sekeliling mereka.
6) Manusia mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya.
7) Pola-pola tindakan dan interaksi yang berkelanjutan ini membentuk kelompok dan masyarakat. Kelompok masyarakat ini lalu membuat kesepakatan atas hal-hal yang ada di sekeliling mereka mengenai simbol-simbol dan maknanya yang kemudian mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk simbolik.

Perspektif Pribadi :

Setelah membaca buku Pengantar Ilmu Komunikasi karya Prof. Deddy Mulyana, saya mulai memahami bahwasannya Simbolik merupakan hal-hal yang mengandung simbol-simbol. Jadi, dapat dikatakan bahwa makhluk simbolik merupakan makhluk yang menggunakan hal-hal yang simbolik atau mengandung simbol-simbol. Simbol-simbol yang dimaksud disini bukan sekedar simbol-simbol tak bermakna, tetapi hal-hal tersebut memiliki makna masing-masing dan tidak satupun simbol yang tercipta tanpa memiliki makna tersendiri. Misalnya, warna merah dan warna putih pada bendera Indonesia, warna merah pada bendera tersebut dianggap sebagai simbol keberanian dan warna putih dianggap sebagai simbol kesucian. Ada juga symbol ungu yang sebagian besar orang mengatakan bahwa warna ungu merupakan symbol ‘janda’
Menurut riset yang saya lakukan di internet, Simbol merupakan salah satu bagian dari semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tentang tanda. Semiotika ini pertama kali diprkenalkan oleh dua filsuf bahasa yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Menurut Saussure, setiap tanda itu terbagi atas dua bagian, yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Saya pun sepakat dengan pendapatnya, yakni tanda merupakan kesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Sedangkan menurut Pierce, semiotika terbagi atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, dan simbol. Sementara, Ikon merupakan hubungan antara tanda dan acuannya yang berupa hubungan kemiripan, seperti sebuah foto dan orangnya. Indeks merupakan hubungan antara tanda dengan acuannya yang timbul karena adanya kedekatan eksistensi, seperti sebuah tiang penunjuk jalan dan sebuah gambar panah penunjuk arah. Indeks juga dapat menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda yanf bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan, misalnya adanya asap karena ada api. Simbol merupakan hubungan yang berbentuk konvensional, yaitu suatu tanda merupakan suatu hasil kesepakatan masyarakat.
Menurut beberapa sumber yang saya baca, Manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik karena dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering menggunakan simbol-simbol. Salah satu contoh penggunaan simbol dalam kehidupan sehari-hari adalah simbol-simbol pada peraturan lalu lintas, misalnya lampu lalu lintas atau lebih sering disebut lampu merah oleh masyarakat luas yang terdiri dari tiga warna yaitu merah, kuning, dan hijau. Warna-warna tersebut masing-masing memiliki makna tersendiri yakni warna merah yang memerintahkan para pengguna jalan untuk berhenti, warna kuning yang memerintahkan untuk berhati-hati, dan lampu hijau yang memerintahkan untuk kendaraan jalan.
Lampu lalu lintas ini diciptakan oleh penemunya Garrett Augustus Morgan setelah ia melihat tabrakan antara mobil dan kereta kuda pada suatu hari yang kemudian membuatnya berpikir untuk membuat sesuatu yang dapat mengatur lalu lintas yang lebih aman dan efektif. Sebenarnya pada saat itu, telah ada suatu sistem pengaturan lalu lintas dengan sinyal stop and go. Sinyal lampu ini pernah digunakan di London pada tahun 1863. Namun, pada penggunaannya sinyal lampu ini tiba-tiba meledak, sehingga tidak dipergunakan lagi. Berdasarkan pengalamannya tersebut Morgan kemudian menciptakan suatu pengatur lalu lintas yang terdiri dari tiga jenis warna, yaitu merah, kuning, dan hijau.
Tidak hanya itu, Simbol-simbol dalam kehidupan manusia juga erat kaitannya dengan budaya. Dalam suatu kebudayaan, masyarakat dalam kebudayaan tersebut sering menggunakan simbol-simbol dalam melambangkan sesuatu. Misalnya, dalam budaya islam yakni mengenai akikah, pada acara tersebut ada persyaratan yang harus dipenuhi, yakni dua ekor kambing bagi anak laki – laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Hal ini sudah menjadi hal yang umum dalam masyarakat islam dan telah dilaksanakan secara turun-temurun oleh masyarakat pemeluk agama islam di Indonesia, khususnya di Gorontalo dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan contoh di atas, dapat dikatakan bahwa manusia dalam menggunakan atau menciptakan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka berasal dari pengalaman hidup mereka. Seperti Garrett Augustus Morgan yang menciptakan lampu lalu lintas setelah melihat kecelakaan lalu lintas. Maka dari itu, manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik.
Pernyataan manusia sebagai makhluk simbolik membuat salah satu sarjana feminis Luce Irigaray menempatkan dunia simbolik dalam kehidupan manusia pada lapis puncak piramida dalam abstraksi piramidal yang dibuatnya. Abstraksi piramidal tersebut terdiri atas dunia biologis pada lapis pertama, kemudian dunia sosial dan budaya pada lapis tengah.
Dunia biologis ditempatkan pada lapis pertama, karena menurut Irrigaray jika dilihat dari sisi biologis semua manusia memiliki kesetaraan, dan hal tersebut tidak menimbulkan konflik dalam diri manusia sehingga perbedaan biologis dalam diri manusia adalah sesuatu yang bersifat statis. Perempuan dan laki-laki telah memiliki perannya masing-masing.
Kemudian dunia sosial dan budaya ditempatkan pada lapis kedua. Menurut Irigaray, dalam dunia sosial dan budaya manusia mulai menemukan konflik di dalamnya. Perempuan dan laki-laki dalam konteks sosial dan budaya sering kali menampakkan diri mereka dengan cara yang berbeda. Pendapat masyarakat umumpun mengenai posisi perempuan dan laki-laki dalam konteks sosial dan budaya berbeda. Misalnya, pada acara adat dalam masyarakat Bugis. Perempuan dan laki-laki pasti menempatkan diri mereka masing-masing dan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya pasti berbeda. Sehingga dalam konteks sosial dan budaya, perbedaan jender dalam diri manusia mulai ditampakkan yang dapat menyebabkan adanya konflik dalam diri manusia. Konflik tersebut dapat saja muncul ketika salah satu dari mereka ada yang menempatkan diri di tempat yang tidak seharusnya. Contohnya, seorang laki-laki yang mengambil alih tugas perempuan.
Selanjutnya, dalam dunia simbolik yang ditempatkan oleh Irigaray pada lapis puncak piramida, posisi perempuan dal laki-laki semakin nampak perbedaannya. Dalam dunia simbolik, Irigaray mengatakan bahwa tubuh lelaki dipersepsi dan diekspresikan sebagai tubuh yang mewakili kualitas Tuhan (the Authority Principle of God) dan tubuh perempuan dianggap mewakili kualitas pemberontakan setan (the Rebellious Principle of Satan). .oleh sebab itu, Irigaray menempatkan dunia simbolik ini pada puncak abstraksi piramidal yang dibuatnya. Melalui hal ini, Irigaray juga menunjukkan bahwa hal tersebutlah yang menjadi penyebab timbulnya kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, dalam beberapa kebudayaan, simbol-simbol akan kebutuhan laki-laki diekspresikan melalui tubuh perempuan.
Melalui abstraksi piramidal ini, Irigaray ingin menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk biologis memiliki kesetaraan dan perempuan dan laki-laki sudah memiliki peran mereka masing-masing. Sehingga, perempuan dan laki-laki tidak perlu bersaing dan menimbulkan konflik di antara mereka. Kemudian, manusia sebagai makhluk sosial dalam konteks sosial dan budaya harus melakukan interaksi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Akan tetapi, dalam konteks tersebut, manusia biasanya menemui konflik dengan sesamanya karena adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam interaksinya. Lalu, manusia sebagai makhluk simbolik merupakan puncak dari adanya konflik-konflik antar manusia, terutana antar perempuan dan laki-laki yang dapat menyebabkan adanya kekerasan terhadap perempuan.
Sehingganya, sebagai manusia pastinya akan selalu berkomunikasi secara simbolis. Karena komunikasi secara langsung itu tidak afdol apabila tidak dibarengi dengan komunikasi verbal dan komunikasi non-verbal.
Karena sampai kapanpun peran manusia sebagai makhluk simbolis tidak akan pernah hilang dan akan terus melekat pada diri setiap manusia.

 

6. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL (BLUMER & MEAD)

Sejarah sistematisasi teori interaksionisme simbolik tak dapat dilepaskan dari pemikiran George Herbert Mead (1863- 1931). Semasa hidupnya, Mead memainkan peranan penting dalam membangun perspektif dari Mazhab Chicago, sebuah mazhab yang memfokuskan dalam memahami suatu interaksi perilaku sosial.
Mead tertarik pada interaksi, dimana isyarat non- verbal dan makna dari suatu pesan verbal akan mempengaruhi pikiran orang yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi yang dipikirkan Mead, setiap isyarat non- verbal (seperti body language, gerak fisik, pakaian, status, dsb.) dan pesan verbal memiliki makna yang disepakati secara bersama- sama oleh semua pihak yang terlibat interaksi.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, dimana individu- individu berpotensi mengeluarkan simbol. Perilaku seseorang dipengaruho oleh simbol yang diberikan oleh orang lain. Melalui pemberian isyarat berupa simbol maka kita dapat mengutarakan perasaan,pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan oleh orang lain.
Generasi setelah Mead merupakan awal perkembangan interaksi simbolik, yang mana ketika itu dasar pemikiran Mead terpecah menjadi dua mazhab yang berbeda dalam hal metodologi. Kedua mazhab itu ialah Mazhab Chicago(1969) yang dipelopori oleh Herbert Blumer dan Mazhab Iowa yang dipelopori oleh Manfred Kuhn bersama dengan Kimball Young.
Layaknya sebuah bangunan yang terdiri atas sejumlah komponen, interaksionisme simbolik pun memiliki tiga elemen.
1) Sifat- sifat
Teori interaksionisme simbolik dikonstruksikan atas sejumlah ide- ide dasar yang mengacu kepada beberapa masalah kelompok manusia. Berikut uraiannya secara singkat.
a. Sifat masyarakat
Secara mendasar, masyarakat atau kelompok manusia berada dalam tindakan dan harus dilihat dari segi tindakan pula. Prinsip utama dari interaksi simbolik adalah apapun yang berorientasi secara empiris masyarakat, dan darimana pun sumbernya, haruslah mengingat kenyataan bahwa masyarakat merupakan sekumpulan manusia yang tengah bersama- sama dalam sebuah aksi sosial.
b. sifat interaksi sosial
Masyarakat merupakan bentukan dari interasksi antar individu. Teori interaksionisme ini melihat pentingnya interaksi sosial sebagai sebuah sarana ataupun sebagai sebuah musabbab ekspresi atau tingkah laku manusia.
c. ciri- ciri obyek
Posisi teori interaksionisme simbolik adalah bahwa dunia- dunia yang ada untuk manusia dan kelompok mereka merupakan kumpulan dari obyek sebagai hasil dari interaksi simbolis. Obyek adalah sesuatu hal[3](yang dapat diindikasikan atau ditunjukkan). Obyek yang sama mempunyai arti yang berbeda untuk tiap individu. Dari proses indikasi timbal balik, obyek- obyek umum bermunculan. Obyek- obyek umum inilah yang akan dipandang secara universal. Blumer menyebutkan bahwa sesuatu obyek memiliki tiga macam bentuk yaitu benda fisik (things), benda sosial (social things), dan ide (abstract things).
d. manusia sebagai makhluk bertindak
Teori interaksionisme simbolis memandang manusia sebagai makhluk sosial dalam pengertian yang mendalam. Maksudnya ialah manusia merupakan makhluk yang ikut serta dalam interaksi sosial dengan dirinya sendiri dengan membuat sejumlah indikasi sendiri, serta memberikan respon pada indikasi. Manusia bukanlah makhluk yang sekedar berinteraksi lalu merespon, tetapi juga makhluk yang melakukan serangkaian aksi yang didasarkan pada perhitungan yang matang.
e. sifat aksi manusia
Manusia individual adalah manusia yang mengartikan dirinya dalam dunia ini agar bertindak. Tindakan atau aksi bagi manusia terdiri atas penghitungan berbagai hal yang ia perhatikan dan kenampakan sejumlah tindakan berdasarkan pada bagaimana ia menginterpretasikannya. Dalam berbagai hal tersebut, seseorang harus masuk ke dalam proses pengenalan dari pelakunya agar mengerti tindakan atau aksinya. Pandangan ini juga berlaku untuk aksi kolektif dimana sejumlah individu ikut diperhitungkan.
f. pertalian aksi
Aksi bersama dari situasi baru muncul dalam sebuah masyarakat yang bermasalah. Proses sosial dalam kehidupan kelompok lah yang menciptakan dan menegakkan kehidupan kelompok. Aksi bersama mengacu kepada aksi- aksi yang merubah sangat banyak kehidupan kelompok manusia, dan tidak hanya menyajikan pertalian horizontal tetapi juga tali vertikal dengan aksi sebelumnya.
g. Orientasi Metodologis
Menurut Blumer teori interaksionisme simbolik telah diamati dengan menggunakan dua pendekatan utama yaitu eksplorasi dan inspeksi [4].
Berangkat dari kedua pemikiran diatas, muncul beberapa implikasi metodologis para ahli interaksi simbolik terhadap kehidupan kelompok dan aksi sosial yang dapat kita amati pada empat hal, yaitu individu, kolektivitas manusia, tindakan- tindakan sosial, serta tindakan yang memiliki pertalian kompleks.
h. Prinsip Metodologis
Interaksionisme simbolik meliputi serangkaian prinsip metodologis yang memiliki perbedaan khas antara aliran Chicago dan aliran Iowa. Blumer berargumen bahwa metodologi yang khas untuk meneliti perilaku manusia merupakan metode yang biasa digeneralisasi. Sebaliknya, Manford Kuhn menekankan kesatuan metode ilmiah, semua medan ilmiah, termasuk sosiologi harus bertujuan pada generalisasi dan kesatuan hukum. Mereka tak bisa sepakat mengenai bagaimana suatu hal harus diteliti. Blumer cenderung menggunakan interspeksi simpatik yang bertujuan untuk dapat masuk ke dalam dunia cakrawala pelaku dan memandangnya sebagaimana sudut pandang si pelaku. Para sosiolog, menurutnya, harus menggunakan intuisinya untuk bisa mengambil sudut pandang para pelaku yang sedang mereka teliti, bahkan bila diperlukan, juga menggunakan kategori yang sesuai dengan apa yang ada di benak pelaku.
Sedangkan Kuhn lebih tertarik dengan fenomena empiris yang sama, namun dia mendorong para sosiolog untuk mengabaikan teknik- teknik tak ilmiah. Dan menggantinya dengan indikator- indokator yang tampak, seperti tingkah laku, untuk mengetahui apa yang sedang berlangsung dalam benak pelaku.

Perspektif Pribadi :

Menurut saya interaksi simbolik adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antar manusia dapat diketahui melalui simbol yang di bangun oleh setiap individu. Dan pengaruh dari penilaian kita melalui simbol yang diberikan kepada orang lain bisa berpengaruh positif dan negatif tergantung dari interpretasi individu masing-masing.
Saya sependapat dengan John Dewey yang menyatakan bahwa manusia tidak secara pasif menerima begitu saja pengetahuannya dari luar, karena pengetahuan individu di dapatkan dari pengalaman yang di alami oleh individu tersebut. Artinya, jika dilihat dari sudut pandang filsafat, maka seseorang yang menerima informasi tidak akan mudah percaya sebelum informasi yang diterimanya sesuai dengan kebenaran, sehingganya orang tersebut bisa dipastikan telah melalui proses ‘berfilsafat’ dalam menerima informasi ataupun pengetahuan.
Menurut Cooley individu dan masyarakat merupakan dua sisi dari realitas yang sama. Keduannya ibarat dua sisi dari satu mata uang. Cooley mengacu pada gagasan wiliam james tentang konsep “diri sosial”. Konsep “diri” seseorang dipahami sebagai bayangan yang menurut dirinya dimiliki oleh orang lain (tentang dirinya tersebut). Sehingga bisa dikatakan bahwa seseorang melihat dirinya melalui mata orang lain. Menurut saya, hal ini cenderung terjadi kepada siapa saja selaku manusia yang hidup dibumi. Sebab, saya percaya bahwa setiap orang berhak untuk menginterpretasikan orang lain, tetapi seseorang tersebut bukan berarti berhak untuk menginterpensi orang-orang lain yang diinterpretasikannya.
Disamping itu, Mead juga memperkenalkan dialektika hubungan antara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Bagi Mead, individu merupaka makhluk yang sensitif dan aktif. Keberadaan sosialnya sangat mempengaruhi bentuk lingkungannya (secara sosial maupun dirinya sendiri). Secara efektif, sebagaimana lingkungan mempengaruhi kondisi sensivitas dan aktifitasnya. Mead menekankan bahwa individu itu bukanlah merupakan “budak masyarakat”. Dia membentuk masyarakat sebagaimana masyarakat membentuknya. Bagi Mead tertib masyarakat akan terjadi manakala ada komunikasi yang dipraktikan melalui simbol-simbol.
Begitu juga dengan Blumer yang banyak mengembangkan pemikiran-pemikiran Mead. Bahwasanya teori interaksionisme simbolis bertumpu pada tiga premis:
•Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka.
•Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain.
•Makna-makna tersebut disempurnakan disaat proses interaksi sosial sedang berlangsung.

Berdasarkan teori Teori interaksionisme simbolik dikonstruksikan atas sejumlah ide-ide dasar. Ide dasar ini mengacu pada masalah-masalah kelompok manusia atau masyarakat, interaksi sosial, obyek, manusia sebagai pelaku, tindakan manusia dan interkoneksi dari saluran-saluran tindakan. Secara bersama-sama, ide-ide mendasar ini mepresentasikan cara dimana teori interaksonalisme simbolik ini memandang masyarakat mereka memberikan perangkat kerja pada ilmu sekaligus menganalisisnya. Secara singkat kerangka-kerangka itu diantaranya adalah sifat masyarakat, sifat interaksi social, ciri-ciri obyek,manusia sebagai makhluk bertindak, sifat aksi manusia dan pertalian aksi. Beberapa implikasi metodologis para ahli teori interaksionisme simbolis terhadap kehidupan kelompok dan aksi sosial dapat diketahui pada empat hal, yang pertama individu, kedua kolektifitas manusia, ketiga tindakan sosial secara sendiri-sendiri atau bersama, keempat tindakan-tindakan pertalian komplek. Yang selanjutnya mengenai Prinsip-prinsip dasar teori interaksi smbolik yang pertama: tak seperti binatang, manusia dibekali kemampuan untuk berpikir. Kedua: Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. Ketiga Dalam interaksi sosial manusia mempelajari arti dan simbol yang memungkinkan mereka menggunakan kemampuan berpikir mereka yang khusus itu. Keempat: Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan khusus dan berinteraksi. Kelima: Manusia mampu mengubah arti dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan penafsiran mereka terhadap situasi. Keenam: Manusia mampu membuat kebijakan modifikasi dan perubahan, sebagian karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri mereka sendiri, yang memungkinkan mereka menguji serangkaian peluang tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relative mereka, dan kemudian memilih satu di antara serangkaian peluang tindakan itu. Ketujuh: Pola tindakan dan interaksi yang saling berkaitan akan membentuk kelompok dan masyarakat.
Tidak hanya itu, saya juga sepakat dengan Mead yang mendalami filsafat dan penerapannya pada psikologi sosial. Tokoh yang selanjutnya yakni Herbert Blumer yang banyak mengembangkan pemikiran-pemikiran George Herbert Mead. Bagi Blumer manusia bertindak bukan hanya faktor eksternal (fungsionalisme struktural) dan internal (reduksionis psikologis) saja, namun individu juga mampu melakukan self indication atau memberi arti, menilai, memutuskan untuk bertindak berdasarkan referensi yang mengelilinginya itu. Pada dasarnya tindakan manusia itu terdiri dari pertimbangan atas berbagai hal. Metode empiris Blumer lewat pengamatan (inquiry), penjelajahan (exploration), dan pemeriksaan (inspection). Blumer menekankan pada aspek kemanusiaan (humanis) yang unik dan berbeda satu sama lain, memiliki cita, rasa, karsa, serta multi variat. Selain itu, Blumer mengatakan bahwa individu bukan di kelilingi oleh lingkungan obyek-obyek potensial yang mempermainkannya dan memebentuk perilakunya. Gambaran yang benar ialah ia membentuk obyek-obyek itu.
Dalam pada itu, maka individu sebenarnya sedang merancang obyek-obyek yang berbeda, memberinya arti, menilai kesesuaiannya dengan tindakan dan mengambil keputusan berdasarkan penilaian tersebut. Inilah yang dimaksud dengan penafsiran atau bertindak berdasarkan simbol-simbol.
Dengan begitu, manusia merupakan aktor yang sadar dan reflektif, yang menyatukan obyek-obyek yang di ketahuinya melalui apa yang disebut Blumer sebagi self indication. Self indication adalah proses komunikasi yang sedang berjalan dimana individu mengetahui sesuatu, menilainya, memberinya makna dan memutuskan untuk bertindak berdasarkan makna itu. Proses self indication ini terjadi dalam konteks sosial dimana individu mencoba “mengantisipasi” tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana dia menafsirkan tindakan itu
Berdasarkan teori-teori yang telah saya tuliskan diatas, maka saya pun mencoba untuk membuat sebuah kesimpulan bahwasannya mengapa manusia dikatakan sebagai makhluk sosial ialah dikarenakan setiap manusia tidak bisa hidup sendiri atau tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Begitu pun dengan diri saya, saya sebagai seorang manusia dan merasa sebagai makhluk sosial tentunya saya pun tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, tetapi bukan berarti saya menggantungkan hidup saya sepenuhnya kepada orang lain, sehingganya disamping melaksanakan peran saya sebagai makhluk sosial, maka saya pun mencoba untuk hidup secara mandiri, yakni dengan melakukan sendiri sesuatu yang bisa saya lakukan, karena saya meyakini bahwasanya saya tidak akan pernah tahu apabila saya tidak pernah mencoba.

 

REFERENSI

http://perkuliahan-perkuliahan.blogspot.com/2009/03/materi-kuliah-pengantar-filsafat-02.html
http://catatan-anakfikom.blogspot.com/2012/03/filsafat-komunikasi-dan-ilmu-komunikasi.html
http://bangdodz.blogspot.com/2012/10/filsafat-komunikasi.html
http://vhicca.blogspot.com/2013/05/v-behaviorurldefaultvmlo_2806.html
http://ahmadmukhlasinalkasuba.blogspot.com/2012/09/teori-tentang-kebenaran-korespondensi.html
http://hendymanajaerpendidikan.blogspot.com/2013/05/hakikat-pengetahuan-filsafat.html
https://van88.wordpress.com/teori-teori-kebenaran-filsafat/
http://filsafat.kompasiana.com/2010/08/17/mahluk-simbolik-229756.html
https://Soeprapto, Riyadi. 2001. Interaksionisme Simbolik perspektif sosiologi modern. Malang: Averroes Press

 

Etika & Filsafat Komunikasi (Part 1)

15 April 2015 09:15:06 Dibaca : 1591

Tri Indah Sari - 291414031 - Ilmu Komunikasi(A) - "Etika & Filsafat Komunikasi"

 

1. PENGANTAR FILSAFAT

Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani philosophia (philos dan sophia). Kata philos memiliki arti kekasih atau sahabat, sedangkan kata sophia memiliki makna kebijaksanaan atau pengetahuan. Jadi, secara harfiah philosohia dapat diartikan sebagai yang mencintai kebijaksanaan atau sahabat pengetahuan.
Menurut Rapar (1996: 14-16) para filsuf pra-Socratik menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas ada dengan mengandalkan akal budi. Plato, menyebutkan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang berusaha meraih kebenaran yang asli dan murni. Selain itu, Plato juga menyebutkan bahwa filsafat adalah penyelidikan tentang sebab-sebab dan asas-asas yang paling akhir dari segala sesuatu yang ada.
Aristoteles—murid Plato—mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip-prinsip dan penyebab-penyebab dari realitas ada. Aristoteles juga menyebutkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang berupaya mempelajari being as being atau being as such. Sementara itu Rene Descartes mengatakan bahwa filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.
Willian James, filsuf dari Amerika mengatakan bahwa filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang. R.F. Beerling, guru besar filsafat Universitas Indonesia, mengatakan bahwa filsafat berupaya memajukan pertanyaan tentang kenyataan seluruhnya atau tentang hakikat, asas, dan prinsip dari kenyataan.
Konsep atau gagasan tentang definisi filsafat yang beragam tidak harus menjadikan kita bingung, akan tetapi justru memperlihatkan kepada kita bahwa betapa luasnya ruang lingkup filsafat sehingga tidak dibatasi oleh batasan-batasan yang mempersempit ruang gerak filsafat itu sendiri. Perbedaan perspektif dalam filsafat justru akan memperkaya wacana filsafat, sedangkan kesamaan dan kesatuan pikiran atau perspektif dalam filsafat justru akan mematikan dan mempersempit filsafat dengan sendirinya.
Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Pada perkembangan selanjutnya, ilmu terbagi dalam beberapa disiplin, yang membutuhkan pendekatan, sifat, objek, tujuan dan ukuran yang berbeda antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Pembahasan filsafat ilmu sangat penting karena akan mendorong manusia untuk lebih kreatif dan inovatif. Filsafat ilmu memberikan spirit bagi perkembangan dan kemajuan ilmu dan sekaligus nilai-nilai moral yang terkandung pada setiap ilmu baik pada tataran ontologis, epistemologis maupun aksiologi. Ontologi adalah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan ultimate reality yang berbentuk jasmani / kongkret maupun rohani / abstrak. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Aksiologi berkaitan dengan kegunaan dari suatu ilmu, hakekat ilmu sebagai suatu kumpulan pengetahuan yang didapat dan berguna untuk kita dalam menjelaskan, meramalkan dan menganalisa gejala-gejala alam. Setiap jenis pengetahuan selalu mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling berkaitan; ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu, epistemologi ilmu terkait dengan aksiologi ilmu dan seterusnya. Pembahasan mengenai epistemologi harus dikatikan dengan ontologi dan aksiologi.
Selanjutnya muncul pertanyaan, bagaimanakah filsafat itu tercipta? Hal apa yang menyebabkan manusia berfilsafat? Pada dasarnya ada empat hal yang merangsang manusia untuk berfilsafat, yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.

Perspektif Pribadi :

Satu hal mendasar yang saya ketahui tentang Filsafat ialah sebuah ilmu yang dipelajari untuk mencari kebenaran secara mendalam. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka setiap kali saya belajar Filsafat saya selalu memikirkan sesuatu yang kadang-kadang diluar kemampuan saya. Misalnya, dari mana sebuah benda yang saya lihat tersebut berasal? Siapa yang menciptkan benda tersebut? Untuk apa benda tersebut dibuat? Dan mengapa benda tersebut bisa diciptakan?
Pertanyaan-pertanyaan diatas memang terlihat sepele. Tapi untuk dapat menjawabnya secara akurat dan benar ternyata bukanlah hal yang mudah. Karena saya harus benar-benar berfikir keras untuk mendapatkan jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang seringkali saya ciptakan sendiri.
Saya menyadari bahwa Pada dasarnya ada empat hal yang merangsang saya sebagai manusia untuk berfilsafat, yaitu ketakjuban, ketidakpuasan, hasrat bertanya, dan keraguan.
Menurut Aristoteles ketakjuban dianggap sebagai salah satu asal muasal filsafat. Pada awalnya saya sebagai manusia akan merasa takjub terhadap hal-hal yang ada disekitar saya, lama-kelamaan ketakjuban tersebut semakin terarah kepada hal-hal yang lebih luas dan besar, seperti perubahan dan peredaran bulan, matahari, bintang-bintang, asal mula alam semesta, dan seterusnya. Ketakjuban macam ini hakikatnya hanya mungkin dirasakan dan dimiliki oleh mahluk yang selain memiliki perasaan juga mempunyai akal budi (rasio).
Sebelum lahirnya filsafat, kehidupan manusia dikuasai dan diatur oleh berbagai macam mitos dan mistis. Berbagai macam mitos dan mistis tersebut berupaya menjelaskan tentang asal mula dan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam alam semesta, yang terjadi dalam kehidupan manusia sehari-hari. Sayangnya, ternyata penjelasan-penjelasan yang berasal dari mitos dan mistis tersebut makin lama makin tidak memuaskan manusia.
Ketidakpuasan tersebut pada nantinya mendorong saya sebagai manusia untuk terus menerus mencari penjelasan dan keterangan yang lebih meyakinkan bagi diri saya dan yang lebih akurat.
Dilandasi oleh perasaan ketidakpuasan tadi dan upaya mencari penjelasan dan keterangan yang lebih pasti cepat atau lambat akan mengantarkan saya dan mungkin juga menusia lain untuk menuju kepada pemikiran yang rasional. Konsekuensinya adalah akal budi akan semakin berperan dan justru semakin menggeser peran mitos dan mistis dalam kehidupan manusia. Pada saat rasio telah menghapus peran mitos dan mistis tadi, maka dapat dikatakan bahwa saya dan manusia-manusia lain telah mencapai level berfilsafat.
Ketakjuban saya telah melahirkan pertanyaan-pertanyaan, dan ketidakpuasan saya membuat pertanyaan-pertanyaan itu tidak kunjung habisnya. Dengan bekal hasrat bertanya maka kehidupan saya serta pengetahuan semakin berkembang dan maju. Hasrat bertanyalah yang mendorong saya untuk melakukan pengamatan, penelitian, serta penyelidikan. Ketiga hal tersebut yang menghasilkan berbagai penemuan baru yang semakin memperkaya saya dan manusia lain yang melakukan hal yang sama, dengan pengetahuan baru yang terus bertambah.
Sebagai manusia, saya sendiri ketika mempertanyakan segala sesuatu dengan maksud untuk memperoleh kejelasan dan keterangan mengenai hal yang dipertanyakan tersebut, itu berarti saya sedang mengalami keraguan. Keraguan ini dilandasi bahwa sesuatu yang dipertanyakan tersebut belum terang dan belum jelas. Karena itu saya perlu dan harus bertanya. Saya bertanya karena masih meragukan kejelasan dan kebenaran dari apa yang telah diketahuinya. Tapi, tidak jarang ada manusia lain yang bertanya hanya untuk mengetes kemampuan orang lain. Tetapi jika seseorang bertanya karena benar-benar dilanda keraguan, maka dapat dilihat bahwa keraguanlah yang ikut serta mendorong manusia untuk bertanya dan terus bertanya, yang kemudian menggiring manusia untuk berfilsafat.
Dengan terus menerus memiliki hasrat bertanya maka filsafat itu akan tetap ada, dan akan terus ada. Filsafat akan berhenti pada saat manusia telah berhenti mempertanyakan segala sesuatu. Pertanyaan-pertanyaan umum yang sering saya lontarkan pun cenderung mengenai 5W + 1H yaitu Apa, Kapan, Siapa, Dimana, Mengapa dan Bagaimana.
Tetapi, ketika berfislafat pertanyaan yang lebih dominan mengahtui benak saya adalah apa, mengapa, siapa dan bagaimana. Tidak jarang pertanyaan-pertanyaan tersebut membuat saya bingung, kadang saya dibuat linglung oleh pertanyaan-pertanyaan kecil dan sederhana yang mungkin semestinya tidak perlu untuk saya tanyakan, baik kepada diri saya sndiri maupun orang lain. Tapi entah mengapa, hal-hal kecil tersebut justru menarik perhatian saya dan saya tertarik untuk mencaritahu dari mana ia berasal dan bagaimana ia bisa ada dan juga untuk apa dia ada.
Tidak jarang saya mencoba untuk Berpikir radikal. Berpikir sacara radikal bukan berarti saya hendak mengubah, membuang, atau menjungkirbalikkan segala sesuatu, melainkan dalam arti saya berupaya berpikir secara mendalam, untuk mencari akar persoalan yang dipermasalahkan. Karena menurut saya, berpikir radikal justru berupaya memperjelas realitas, melalui penemuan serta pemahaman akan akar realitas itu sendiri. Tidak jarang pula, jawaban-jawaban atas pertanyaan yang saya ciptakan sendiri tersebut mengambang, alias tidak menemukan jawaban yang logis dalam artian logika saya mungkin dapat dikatakan sudah tdak mampu untuk berpikir dan menemukan jawaban yang setidaknya dapat membuat saya lebih berpikir realistis kedepan. Bahkan kadang-kadang jikalau saya paksakan, saya pernah berfikir bahwa berfilsafat itu adalah hal yang berbahaya untuk saya, karena kemungkinan saya bisa saja berfikir lebih rasional tapi dilluar akal sehat saya.
Tetapi, saya kemudian teringat kembali bahwasannya Filsafat itu adalah Ibu dari segala ilmu. Sehingganya dengan belajar berfilsafat maka saya dapat belajar untuk mencari kebenaran atas segala hal secara mendalam.
Disamping itu, Yang namanya kebenaran itu sendiri harus bisa dipertanggungjawabkan. Artinya, kebenaran harus selalu terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang lebih pasti. Dan begitu untuk seterusnya. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa kebenaran dalam artian filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, akan tetapi selalu bergerak dari satu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti.
Yang akhirnya kemudian saya sadari adalah Filsafat itu muncul salah satunya disebabkan adanya keraguan. Untuk mengatasi keraguan tersebut maka dibutuhkan yang namanya kejelasan. Ada filsuf yang mengatakan bahwa berfilsafat artinya berupaya mendapatkan kejelasan dan penjelasan mengenai seluruh realitas. Geisler dan Feinberg (1982: 18-19) mengatakan bahwa ciri khas penelitian filsafati adalah adanya usaha keras demi mengapai kejelasan intelektual (intellectual clarity).
Sehingganya, Berpikir logis juga menuntut pemikiran yang sistematis. Pemikiran yang sistematis adalah rangkaian pemikiran yang berhubungan satu sama lain atau saling berkaitan secara logis. Tanpa disertai pemikiran yang logis-sistematis dan koheren, tidak mungkin dicapai kebenaran yang bisa dipertanggungjawabkan. Dan juga Berpikir kritis artinya menjaga kemauan untuk terus-menerus mengevaluasi argumentasi yang mengklaim dirinya adalah benar. Seseorang yang berpikiran kritis tidak akan mudah meyakini suatu kebenaran begitu saja tanpa benar-benar menguji kekongkretan atas suatu kebenaran tersebut hingga menjadi sesuatu yang benar – benar relevan.

 

2. FILSAFAT & ILMU KOMUNIKASI

Para ahli sepakat bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat melandasi ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos merupakan komponen filsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan, yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing para ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar dan rasional, yang dicirikan oleh argumen - argumen yang logis.
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology:

a. Ontologis: What It Is?
Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.
Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.

b. Epistemologis
Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “belief, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”.
Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini.
Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.
Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.

Perspektif Pribadi :

Salah satu hal yang saya ketahui secara pasti tentang Ilmu Komunikasi ialah suatu ilmu yang mempelajari usaha manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain (Hoeta Soehoet). Suatu disiplin ilmu yang menelaah pemahaman (verstehen) secara fundamental, metodologis, sistematis, analitis,kritis, dan holistik tentang teori dan proses komunikasi yang meliputi segala dimensinya (Onong U.Effendy).
Tetapi bagaimana hingga Komunikasi dapat dikatakan sebagai sebuah Ilmu? Sementara syarat-syarat yang kita ketahui tentang Ilmu ialah : Suatu ilmu harus mempunyai objek kajian; Objek kajiannya terdiri dari satu golongan masalah yang sama tabiatnya baik dilihat dari dalam maupun dari luar; Keterangan mengenai objek kajian tersebut dapat disusun dalam rangkaian hubungan sebab akibat.
Sehingga penjabaran atas ketentuan mengenai Komunikasi menjadi sebuah Ilmu adalah sebagai berikut : Objek kajian Ilmu Komunikasi adalah “usaha manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain” ; Objek kajian ilmu komunikasi terdiri dari satu golongan masalah, yaitu bagaimana usaha manusia menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain, bukan usaha manusia mencari nafkah, bukan usaha manusia mencari keadilan, dan lain-lain; Ilmu komunikasi jg mempunyai satu golongan masalah yang sama tabiatnya maupun menurut kedudukannya tampak dari luar maupun menurut bangunnya baik dilihat dari dalam, yaitu: (1) Usaha manusia untuk menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain bukan usaha binatang, bukan usaha angin, bukan usaha pohon beringin, tetapi usaha manusia yang dapat menggunakan akal budinya, bukan usaha manusia yang tidak dapat menggunakan akal budinya. (2) Usaha manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada manusia lain bukan usaha manusia dalam menyampaikan isi pesannya kepada Tuhan.
Jika ditinjau secara lebih spesifik, Filsafat komunikasi adalah studi secara mendalam tentang pernyataan manusia yg disampaikan pada manusia lain menuju kepengertian bersama. Filsafat Komunikasi dapat juga disebut sebagai penjabaran dari filsafat ilmu melalui tiga hakikatnya sebagai landasan filosofisnya.
Aspek-apsek komunikasi sebagai ilmu pengetahuan, seperti fenomena komunikasi manusia (sebagai suatu obyek), bagaimana mendapatkan pengetahuan tentang komunikasi manusia sebagai ilmu secara benar atau berdasarkan cara-cara tertentu, dan untuk apa komunikasi manusia sebagai ilmu pengetahuan digunakan, dan berbagai ragam pertanyaan filsafat ilmu lainnya tentang komunikasi manusia sebagai sebuah obyek adalah merupakan ruang lingkup dan fokus filsafat komunikasi.
Uraian sebagai penjabaran dapat dilihat dengan memulai pertanyaan: apa yang menjadi obyek telaah ilmu komunikasi? Pertanyaan ontologis ini tentu harus menjawab sejumlah pertanyaan yang merupakan pertanyaan-pertanyaan ontologis seperti wujud dari obyek itu. Katakanlah pesan antar manusia sebagai obyek telaah ilmu komunikasi, apa hakikat pesan-pesan itu, bagaimana wujud pesan-pesan itu.
Secara epistemologis, dalam cara tertentu yang memenuhi unsur-unsur ilmiah, pesan-pesan antar menusia ini disusun hingga menjadi sebuah ilmu pengetahuan. Lalu terakhir, apa-apa saja manfaat dan kegunaan ilmu komunikasi itu bagi kehidupan manusia.
Jadi, Filsafat Komunikasi memberikan petunjuk - petunjuk mengenai bagaimana pengetahuan tentang pesan - pesan antar manusia itu dapat diwujudkan sebagai pengetahuan ilmiah. Sampai disinilah batas kewenangan filsafat komunikasi. Selanjutnya, bagaimana komunikasi itu berkembang dan perkembangannya mengarah ke mana, itu menjadi tugas ilmu pengetahuan, alias tugas ilmu komunikasi itu sendiri.
Filsafat komunikasi sesungguhnya bukan hanya penjabaran belaka dari filsafat ilmu untuk melegitimasi eksistensi ilmu komunikasi sebagai disiplin ilmu tersendiri yang dapat dibedakan dari ilmu-ilmu lainnya. Fenomena komunikasi manusia merupakan sentra bagi ilmu-ilmu tentang prilaku manusia. Oleh karena itu, kajian filsafat tentang komunikasi manusia juga sekaligus menjadi petunjuk bagi ilmu-ilmu lain yang menelaah perilaku manusia. Sehingga, jika ada paham yang mengatakan bahwa Filsfat adalah Ibu dari segala ilmu, maka lain halnya dengan Ilmu Komunikasi. Karena, ada paham yang mengatakan jika ingin menguasai dunia maka kuasailah Ilmu Komunikasi.
Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology, Ontologis: What It Is? Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang cirri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontolgi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek forma melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri. Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.
Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) secara Epistemologis yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat ita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976).
Setelah saya telaah, tenyata secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini.
Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru oada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.
Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.
Hakikat individual secara Aksiologis: What For? ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.
Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information, propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.
Disamping itu, akan lain halnya apabila dilihat dari teori enurut Richard Lanigan, Filsafat komunikasi adalah upaya menjawab pertanyaan: Apa yang aku ketahui ; Bagaimana aku mengetahuinya ; Apakah aku yakin ; Apakah aku benar.
Sebagai contoh jawaban atas pertanyaan – pertanyaan diatas adalah, misalnya : Aku mengetahui uang. Bagaimana aku mengetahuinya? Jawaban untuk pertanyaan ini bisa saja bermacam – macam, seperti : Aku mengetahui uang dari Ayah/Ibuku karena mereka orang pertama yang memberikanku uang, atau bisa saja jawabannya adalah : Aku mengetahui uang sebagai alat untuk membeli dari pedangang, karena saat aku pergi ke pasar tanpa membawa uang, maka pedagang tidak mengizinkan aku untuk mengambil barang dagangan mereka. Setelah itu, Apakah aku yakin bahwa aku mengetahui uang adalah dari orangtuaku atau dari pedang di pasar? Jawabannya pun masih fifty – fifty apalagi jika ditambah dengan apakah aku benar? Nah, untuk pertanyaan satu ini, sebenarnya amat sulit untuk dijawab. Karena menurut persfektif saya pribadi, kebenaran itu sifatnya adalah relative. Artinya, sesuatu yang menurut saya benar, belum tentu menurut orang lain juga benar. Sehingganya untuk menjawab pertanyaan Apakah aku benar? Menurut saya bukanlah hal yang mudah, karena harus ditinjau dari beberapa aspek dan juga dilihat dari beberapa sudut pandang atau tidak bisa jikalau hanya menggunakan satu sudut pandang saja.

3. KEBENARAN


Kebenaran dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu kebenaran epistemologis, kebenaran ontologis dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran ontologis adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Sedangkan kebenaran semantis adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata dan bahasa. [2] Adapun teori-teori kebenaran menurut filsafat adalah sebagai berikut :

1. Teori Korespondensi (The Correspondence Theory of Truth)
Masalah kebenaran menurut Teori Korespondensi ini hanyalah perbandingan antara realita obyek (informasi, fakta, peristiwa, pendapat) dengan apa yang ditangkap oleh subjek (ide, kesan). Jika ide atau kesan yang dihayati subjek (pribadi) sesuai dengan kenyataan, realita, objek, maka sesuatu itu benar.
Teori korispodensi (corespondence theory of truth) menerangkan bahwa kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dimaksud oleh pernyataan tersebut. Contoh dari teori kebenaran ini adalah nilai kebenaran dari pernyataan “Semarang adalah ibu kota Jawa Tengah ”. Pernyataan ini bernilai benar karena pada kenyataannya Ibu kota Jawa Tengah adalah Semarang. Dengan demikian ada lima unsur yang diperlukan, yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)

2. Teori Konsistensi atau Koherensi
Teori ini merupakan suatu usaha pengujian (test) atas arti kebenaran. Hasil test dan eksperimen dianggap reliabel jika kesan-kesan yang berturut-turut dari satu penyelidik bersifat konsisten dengan hasil test eksperimen yang dilakukan penyelidik lain dalam waktu dan tempat yang lain.
Menurut teori konsistensi untuk menetapkan suatu kebenaran bukanlah didasarkan atas hubungan subyek dengan realitas obyek. Sebab apabila didasarkan atas hubungan subyek (ide, kesan dan comprehension-nya) dengan obyek, pastilah ada subyektivitasnya. Oleh karena itu pemahaman subyek yang satu tentang sesuatu realitas akan mungkin berbeda dengan apa yang di dalam pemahaman subyek lain.
Teori ini dipandang sebagai teori ilmiah yaitu sebagai usaha yang sering dilakukan di dalam penelitian pendidikan khsusunya di dalam bidang pengukuran pendidikan. Teori konsisten ini tidaklah bertentangan dengan teori korespondensi. Kedua teori ini lebih bersifat melengkapi. Teori konsistensi adalah pendalaman dan kelanjutan yang teliti dan teori korespondensi merupakan pernyataan dari arti kebenaran. Teori konsistensi atau koherensi menganggap suatu pernyataan benar bila di dalamnya tidak ada pertentangan, bersifat koheren dan konsisten dengna pernyataan sebelumnya yang telah dianggap benar. Dengan demikian suatu pernyataan dianggap benar, jika pernyataan itu dilaksanakan atas pertimbangan yang konsisten dan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya.
Rumusan kebenaran adalah turth is a sistematis coherence dan truth is consistency. Jika A = B dan B = C maka A = C.
Logika matematik yang deduktif memakai teori kebenaran koherensi ini. Logika ini menjelaskan bahwa kesimpulan akan benar, jika premis-premis yang digunakan juga benar. Teori ini digunakan oleh aliran metafisikus rasional dan idealis. Contoh dari teori ini adalah : Premis 1 : “Bilangan genap adalah bilangan yang habis dibagi 2” dan Premis 2 : “4 habis dibagi 2” maka kesimpulannya adalah : “4 adalah bilangan genap”
Teori ini sudah ada sejak Pra Socrates, kemudian dikembangan oleh Benedictus Spinoza dan George Hegel.

3. Teori Pragmatisme
Pragmatisme menguji kebenaran dalam praktek yang dikenal para pendidik sebagai metode project atau metode problem solving dalam pengajaran. Mereka akan benar hanya jika mereka berguna dan mampu memecahkan problem yang ada. Artinya sesuatu itu benar, jika mengembalikan pribadi manusia di dalam keseimbangan dalam keadaan tanpa persoalan dan kesulitan. Sebab tujuan utama pragmatisme ialah supaya manusia selalu ada di dalam keseimbangan, untuk ini manusia harus mampu melakukan penyesuaian dengan tuntutan-tuntutan lingkungan.

Perspektif Pribadi :


Setelah membaca beberapa literature yang ada, saya pun mulai mengetahui bahwa Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan). Teori ini dianut oleh aliran realis yang dipelopori oleh Plato, Aristotels dan Moore kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas, serta oleh Berrand Russel.
Saya pun mulai berfikir bahwasanya cara berfikir ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran menurut korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya. Artinya anak harus mewujudkan di dalam kenyataan hidup, sesuai dengan nilai-nilai moral itu. Bahkan anak harus mampu mengerti hubungan antara peristiwa-peristiwa di dalam kenyataan dengan nilai-nilai moral itu dan menilai adakah kesesuaian atau tidak sehingga kebenaran berwujud sebagai nilai standar atau asas normatif bagi tingkah laku. Apa yang ada di dalam subyek (ide, kesan) termasuk tingkah laku harus dicocokkan dengan apa yang ada di luar subyek (realita, obyek, nilai-nilai) bila sesuai maka itu benar.
Tetapi, sekali lagi, jika berbicara tentang kebenaran maka disatu sisi, perspektif saya akan tetap beranggapan bahwasanya kebenaran itu bersifat relative dalam artian apa yang mungkin menurut saya benar, maka menurut orang lain belumlah tentu benar.
Bahwa kebenaran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan validitas. Kebenaran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas sesuatu itu. Kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Namun, setelah saya telaah kembali, ternyata Kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupakan pemahaman potensi subjek (mental, rasio, intelektual). Substansi kebenaran adalah di dalam intaraksi kepribadian manusia dengan alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya. Semua teori kebenaran itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata di mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
Saya sebagai Manusia tentunya selalu berusaha menemukan kebenaran, beberapa cara yang ditempuh untuk memperoleh kebenaran antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau secara empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang lewat penalaran rasional agar kejadian-kejadian yang ada di dunia itu dapat dimengerti.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran.Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Tingkat pengetahuan yang dianggap lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Sedangkan tingkatan yang dianggap lebih rendah dalam menangkap kebenaran adalah pengetahuan indera dan naluri karena tidak terstruktur dan pada umumnya kabur. Oleh sebab itu pengetahuan harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Sebagai seorang manusia, saya berusaha untuk selalu mencari kebenaran, jika saya sebagai manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasi saya akan terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, saya sebagai manusia mungkin akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan saya selaku manusia juga ada sesuatu yang dilakukan dan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang saya jalani dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Menurut saya, Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.
Proses pencarian kebenaran tentu bukan hal yang mudah dan dapat dikatakan merupakan proses yang sangat melelahkan, bahkan bukan tidak mungkin akan mendatangkan keputusasaan. Manusia yang pada dasarnya adalah makhluk yang selalu bertanya dan selalu merasa ingin tahu pada akhirnya memutuskan untuk tetap selalu mencari kebenaran, tidak peduli betapa keputusasaan telah mengepungnya dari berbagai sudut penjuru. Tujuan akhirnya adalah kebenaran harus ditemukan.
Dan akibat dari keputusasaan itu, pada akhirnya manusia mulai berani berspekulasi tentang kebenaran dan mulai mengurai definisi-definisi tentang kebenaran.”Inilah kebenaran”.
Tetapi, menurut saya pribadi ketika membaca kembali pernyataan – pernyataan yang telah saya tuliskan diatas, maka say pun kembali teringat pada sebuat kalimat, yakni : you will never know until you have tired, if experience is the best teacher. Yang artinya adalah : kamu tidak akan pernah tahu sampai kamu merasa lelah bahwa pengalaman adalah guru yang paling baik. Sehingganya saya pun dapat menyimpulkan sesuatu, bahwa kebenaran itu sejatinya dilihat dari pengalaman yang dimiliki oleh masing-masing individu yang pastinya pernah melakukan kesalahan dan ia belajar dari kesalahan tersebut guna mengetahui sekaligus mendapatkan sebuah kebenaran.