MEMAHAMI PERSPEKTIF DALAM ILMU KOMUNIKASI
Sebuah resensi buku: Adrianto Elninano dan Anees Q.Bambang. Filsafat Ilmu Komunikasi. 2007, Bandung : Simbiosa Rekatama Media , Bandung.
Nama : Defri Sofyan
NIM : 291413006
Jurusan : Ilmu Komunikasi
PENDAHULUAN
Pendapat awam mengatakan bahwa komunikasi adalah berbicara. Pendapat itu tidak sepenuhnya salah, akan tetapi tidak semudah itu mendefenisikan komunikasi. Dalam keseharian kita kata “komunikasi” lazim digunakan orang, baik itu di dalam buku-buku, percakapan, bahkan dalam ilmu-ilmu alam pun “komunikasi” sering disebutkan. Seperti, “mereka masih mengkomunikasikan permasalahan itu”, “semut mempunyai cara komunikasi tersndiri”, “alat komunikasi” dan sebagainya. Sebagai bahasa, tentu kata “komunikasi” tidak dilarang untuk menggunakannya. Tetapi komunikasi sebagai ilmu, jangan dianggap sederhana. Saking rumitnya dalam dunia ilmu komunikasi banyak sekali ilmuwan yang mendefenisikannya, bahkan tidak sedikit yang saling bertentangan. Terlepas dari semua perbedaan pendapat – hal ini lazim dalam ilmu sosial – di kalangan ilmuwan karena mengingat latar belakang dan tujuan dari ilmuwannya.
Sudah menjadi prosedur kita sebagai akademisi dalam mendalami suatu ilmu untuk ‘membedah’ kembali kelaziman (proposisi) yang telah diterima umum lewat filsafat, guna mendapatkan suatu pemahaman yang mantap bukan dengan maksud meragukan proposisi itu sehingga kita mengkajinya kembali dari awal. Pemahaman yang mantap inilah yang diperlukan khususnya bagi pemula pada suatu jurusan agar dikemudian hari lebih mudah mempelajari bidangnya secara mendalam. Dan juga bisa menjadi solusi pada permasalahan klasik di kalangan mahasiswa yang akan melakukan penelitian, yang bisasanya ‘buta’ untuk memulai penelitian.
Buku “Filsafat Ilmu Komunikasi” ini ibarat ushul fiqh[1] yang menawarkan pencarian makna dibalik defenisi-defenisi komunikasi sehingga kita bisa mendapatkan alasan yang kuat untuk mempercayai suatu defenisi komunikasi. Bahkan lebih jauh lagi, buku ini memperluas mindset kita hingga kita merasa bisa menciptakan dan mengembangkan defenisi kita sendiri tentang Ilmu Komunikasi.
PEMBAHASAN
‘Perspektif’ Dibalik Ilmu Komunikasi
Perspektif adalah sistematika subjektifitas yang unik dan berbeda dari setiap orang. Seperti sidik jari kita, perspektif mempunyai kedudukan yang sama dalam hal keunikannya. Maka bisa jadi salah satu hal yang membedakan kita dengan orang lain adalah perspektif yang kita gunakan untuk berkomunikasi. Hal ini disebabkan oleh faktor gen dan historis kita pada suatu lingkungan sehingga menjadikan kita individu yang unik. Dengan kata lain perspektif adalah sudut pandang yang digunakan oleh seseorang untuk menilai suatu fakta –bukan fakta itu sendiri – maka berdasarkan perspektif yang kita gunakan akan menghasilkan penilaian yang berbeda dengan orang lain. Pengandaiannya, ketika si A menilai buah Durian sebagai suatu yang lezat dan harum maka akan berbeda dengan penilaian si B yang menganggap Durian adalah buah yang menjijikkan dan bau. Dalam kasus ini sulit untuk mengutarakan alasan masing-masing terhadap penilaiannya terhadap buah Durian, si A mungkin pada masa kecilnya mendapat kesan pertama (sensasi) pada Durian sebagai buah yang enak berbeda dengan si B yang mungkin mendapat sensasi berbeda.
Keunikan adalah salah satu sifat perspektif. Perspektif juga memiliki sifat samar, maksudnya orang kadang-kadang menilainya sebagai suatu fakta, pada contoh diatas si A akan benar-benar membantah penilaian si B begitu juga sebaliknya. Padahal faktanya Durian hanya buah yang kulitnya berduri, mempunyai daging lembek dan biji yang keras dengan bentuk sedemikian rupa, soal rasa dan bau tidak lebih dari persepsi atau pandangan. Karenanya seringkali ketika kita melakukan observasi, kita merasa bersikap netral padahal sadar atau tidak secara teknis dan nonteknis kita melakukannya dengan cara yang kita yakini pas dengan kita. Namun dengan sifat samarnya, perspektif tidak dapat merubah fakta, seyakin apapun kita dengan perpektif yang kita gunakan tidak akan merubah fakta bahwa kulit durian itu berduri. Jangan sampai kita tertipu dengan persepsi kita sendiri dalam membahas ilmu-ilmu sosial yang sifatnya dinamis khususnya Ilmu Komunikasi.
Mungkin sudah timbul pertanyaan, mengapa komunikasi – apabila dikatakan sebagai suatu fakta – bisa banyak defenisi, lalu dimana letak fakta dari komunikasi? Saya tidak akan menjawabnya secara gamblang, karena faktor ruang dari tulisan ini. Lagi pula inti pembahasan kita adalah perspektif. Defenisi komunikasi yang paling terkenal dan sederhana adalah source (sumber), massage (pesan), dan destination (penerima/tujuan). Apakah defenisi ini sebuah fakta dari komunikasi? Jawabannya bisa ya bisa tidak. Kalau jawabannya, defenisi diatas adalah sebuah persepsi, maka perspektif yang digunakan oleh sang ilmuwan sangat pas dan menyentuh substansi dari komunikasi, yaitu minimal dalam komunikasi terdapat sumber, pesan, dan tujuan. Tapi kalau kita menyebutnya sebagai fakta, maka defenisi tersebut masih jauh dari komunikasi yang sebenarnya, yaitu tidak adanya gangguan (noise) dalam prosesnya; komunikator dinilai sebagai sesuatu yang stagnan atau tetap sebagai si ‘source’ dan si ‘destination’, padahal dalam prosesnya komunikasi tidak ditentukan siapa si ‘source dan siapa si ‘destination’ karena keduanya bisa jadi menempati posisi ‘source sekaligus destination’; dan masih banyak lagi variabel komunikasi yang diabaikan pada defenisi itu.
Supaya kita tidak bingung, dalam filsafat dikenal dengan kebenaran absolut (tetap) dan kebenaran relatif (berubah-ubah), mari kita tempatkan persepsi sebagai kebenaran relatif dan fakta sebagai kebenaran absolut. Dalam buku ini dinyatakan bahwa bukan benar tidaknya persepsi yang kita gunakan tapi bermanfaatkah persepsi itu bagi kita? Diantara perselisihan persepsi dengan fakta, sebenarnya yang kita perlukan adalah suatu konsep yang relevan dengan tujuan – dalam hal ini komunikasi – agar persepsi kita bisa dinilai sebagai kebenaran (baca:relatif). Konsep ini merupakan prapersepsi yang membentuk suatu mode rancangan yang dekat dengan substansi komunikasi sehingga kita bisa memilih persepsi yang benar-benar perspektif. Proses terjadinya konsep ini, sebagai berikut: dalam hal memilih persepsi untuk pendekatan suatu fakta kita terlebih dahulu melihat fakta dengan segala variabelnya –kondisi zaman, kondisi masyarakat, perkembangan ilmu pengetahuan, dan sebagainya – tersebut kemudian akan muncul suatu gagasan yang kita sebut perspektif. Dalam buku ini terdapat jenis-jenis perspektif yang mendasari ilmu komunikasi berdasarkan perkembangan zaman.
Perkembangan Perspektif
Seperti yang dibahas diatas bahwa perspektif bukan benar dan salahnya tapi relevan tidaknya ia pada tujuan kita. Relevansi suatu perspektif tentu mempunyai perjalanan panjang. Dari segi waktu pun demikian, perspektif ilmu-ilmu sosial yang kita gunakan sekarang ternyata melalui lika-liku konflik dari zaman ke zaman. Pada awalnya ilmu-ilmu alam yang sudah berkembang lebih dulu, atau dari versi yang terkenal bahwa ilmu-ilmu alam yang pertama memisahkan diri dari tubuh filsafat, sedang ilmu-ilmu sosial pada waktu itu masih bersifat umum dan tergolong sebagai filsafat. Sebelum membahas jenis-jenis perspektif, ada baiknya kita mengenal dulu 3 bentuk konsep yang mendasari seluruh jenis-jenis perspektif.
Realisme
Bulat sebagai persepsi dan Segitiga adalah faktanya. Saya mencoba menjelaskan bahwa realisme menolak mentah-mentah kalau fakta diinterpretasikan oleh persepsi, artinya pada suatu penilitian subjek harus benar-benar memisahkan diri dari objek sehingga hasilnya adalah objektifitas murni. Ini selaras dengan istilah dualisme pemisahan antara inti/fakta dan pinggiran/persepsi. Realis percaya kalau hasil penilitian mereka yang objektif adalah kebenaran mutlak (absolut). Paham ini mungkin cocok pada ilmu alam, Semut dengan reaksi kimianya dan struktur biologinya adalah satu kebenaran (fakta) yang tidak bisa diganggu menggunakan persepsi. Namun ketika masuk ke ranah ilmu sosial yang objek formal dan materinya adalah manusia beserta tindak-tanduknya tentu akan sulit untuk paham ini menentukan fakta dan mengontrolnya kemudian. Kalau kita sudah paham tentang Semut dengan menggunakan ilmu alam maka kita bisa menentukan beberapa faktanya (Semut berkomunikasi lewat feromonnya[2]) dan bisa melakukan kontrol terhadapnya (karena Semut menggunakan feromon untuk berkomunikasi maka kita bisa mengelabuinya dengan menghilangkan jejak feromonnya). Manusia ‘secara sosial’ tidak ada fakta tetap padanya, karenanya kita tidak bisa melakukan ‘kontrol tetap’ pada manusia. Sebagai contoh: saya perokok berat, maka saya akan gelisah kalau dalam beberapa jam tidak merokok. Tapi pada saat bulan ramadhan saya tidak merasakan rasa gelisah itu.
Nominalis
Bentuk hampir segitiga adalah fakta dan ruang kosongnya adalah persepsi. Paham nominalis menghargai interpretasi seseorang terhadap fakta. Karena dalam konstruksi diatas tidak selamanya orang akan menggaris lurus ruang kosong tersebut untuk membentuk segitiga. Bisa jadi dia lebih memilih menambahkan setengah melingkar di ruang kosong tersebut sehingga hasilnya bukan segitiga seperti kebanyakan orang. Fakta bagi sebagian orang adalah suatu konstruksi yang dapat diubah sesuai persepsi yang mereka anggap relevan. Tetapi bentuk hampir segitiga tersebut oleh paham nominalis dianggap sebagai fakta murni yang belum lengkap sehingga harus diinterpretasikan.
Paham ini yang menjadi salah satu dasar dari post-positivisme, bahwa fakta tetaplah fakta yang tidak bisa diganggu oleh persepsi. Namun bedanya pandangan nominalis terhadap fakta tidak sama dengan realisme yang menganggap persepsi tidak bisa diikutsertakan dalam pembentukan suatu fakta. Paham ini sedikit membuka diri terhadap fleksibelitas ilmu sosial. Persepsi mempunyai kedudukan yang penting terhadap pembentukan suatu fakta. Contoh, paham nominalis terhadap dinamika ilmu sosial: saya orangnya perokok berat (fakta) tetapi saya tahu pada saat Ramadhan saya bisa menahannya (persepsi). Contoh tadi mengartikan bahwa perokok bisa menahan kecanduannya pada waktu-waktu tertentu (khas ilmu sosial) sehingga menimbulkan suatu fakta yang terdiri dari fakta dan persepsi: saya perokok berat pada saat-saat tertentu saja. Paham inipun percaya dengan terbentuknya suatu fakta berdasarkan penggabungan persepsi dan fakta maka fakta inipun bisa menjadi alat kontrol sosialnya: karena saya perokok pada saat-saat tertentu saja maka semua perokokpun begitu (khas ilmu alam). Nah, menurut paham selanjutnya (konstruksionis) paham ini masih rancu dalam menanggapi ilmu sosial dengan percaya bahwa dinamika sosial bisa dikontrol berdasarkan fakta-fakta yang telah dibentuk oleh paham nominalis.
Konstruksionis
Paham konstruksionis menganggap segala sesuatu didunia kehidupan ini termasuk fakta dan persepsinya bergantung pada individu yang menilai. Konstruksi suatu fakta sesungguhnya hanya dibentuk oleh persepsi orang terhadapnya. Jika kedua paham diatas menyebutkan segitiga dan hampir segitiga adalah fakta, maka konstruksionis dapat memberikan kritikan “bentuk ‘segitiga’ itu sebenarnya siapa yang memberikan predikat tersebut padanya? Bukankah persepsi yang relevan jua yang mempredikatkan suatu fakta?”
Paham ini meyakini dengan pasti bahwa dinamika sosial tidak dapat dibuatkan fakta yang bersifat objektif. Subjektifitas adalah solusi utama dalam ilmu sosial untuk menemukan serentetan yang diyakini sebagai fakta. Kembali pada dua konsep filsafat tentang kebenaran, yaitu kebenaran absolut dan kebenaran relatif. Konstruksionis memposisikan faktanya – yang dibentuk berdasarkan persepsi – adalah suatu kebenaran yang harus dipercayai, tapi kebenaran disini bersifat relatif, artinya selagi persepsi yang digunakan relevan dan disetujui umum dengan pertimbangan ilmiah maka sepantasnya kita percaya akan suatu fakta tersbut, tetapi jika fakta itu ditentang oleh fakta baru dengan pertimbangan ilmiah pula maka fakta yang barulah yang harus dipercaya.
Perspektif Terdahulu Sampai Sekarang
Tercatat pada buku ini, bahwa tahun 1760-1825 M, Henry Sain Simon bersama muridnya August Comte (1798-1857) mencetuskan ‘paham baru’ bagi ilmu sosial, yaitu dikenal dengan perspektif positivisme. Paham positif (perspektif positivisme) ini berlatarkan kondisi zaman pada waktu itu yang sedang terjadi revolusi kekuasaan di Perancis dengan tokoh revolusionernya adalah kebanyakan dari kalangan Filsuf. Henry kemudian mencetuskan positivisme yang dikembangkan oleh August sebagai solusi yang harus dipakai, karena menurutnya Filsuf-filsuf pada waktu itu masih menggunakan paham mistis (mistisme) yang dikritiknya sebagai suatu kebodohan. Menurutnya sudah saatnya ‘akal sehat’ (logika) digunakan, dia kemudian mengadopsi metode-metode ilmu alam sebagai solusi dari konflik sosial saat itu. Dari awal mulanya paham positivisme ini muncul dikemudian hari mendapat kritikan dan terjadilah rekonseptualisasi hingga dewasa ini muncul paham perpektif kritis.
Kita tidak perlu penjabaran metode-metode yang ada pada setiap perspektif, karena tujuan penulisan ini hanyalah memberikan sebuah pemahaman akan perspektif Ilmu Sosial (Ilmu Komunikasi). Berikut jenis-jenis persepektif:
Perpektif Positivisme (realisme);
Perpektif Post-Positivisme (realisme-nominalis);
Perpektif Interpretif (nominalis-konstruksionis);
Perpektif Konstruktivisme (konstruksionis);
Perpektif Kritis (nominalis-konstruksionis).
KESIMPULAN
Kalau saya ditanya manakah perspektif yang lebih relevan bagi ilmu sosial masa kini, maka secara pribadi saya lebih memilih perspektif Kritis. Tetapi secara bijak saya akan menjawab, bahwa diluar dari pas tidaknya suatu perspektif sesungguhnya perspektif-perspektif ini hanyalah serentetan konsep yang tidak memiliki kebenaran mutlak, karena didalamnya masih banyak terdapat kekurangan yang bisa di temukan maupun tidak. Dalam kehidupan nyata kita, bersosialisai tentu tidak semudah konsep yang ditawarkan diatas, karena memang itulah gunanya konsep, hanya menawarkan tidak menjanjikan. Namun kita patut bersyukur, dengan konsep-konsep cerdas diatas kita bisa berpresepsi secara cerdas dimana menurut kita yang paling relevan untuk digunakan.
Pertanyaan tentang kebenaran suatu fakta di dalam Ilmu Komunikasi pada akhiran ini sudah terjawab. Dari sekian banyak banyak defenisi komunikasi menurut para ahli, ternyata secara pribadi kita masing-masing sudah bisa menilai mana yang paling relevan bagi kita dan mana yang tidak serta secara umum kita bisa menerima defenisi orang lain tentang komunikasi, karena kita paham bahwa komunikasi adalah fenomena sosial yang bebas dipersepsikan oleh siapapun selagi itu bersifat ilmiah. Terakhir, terima kasih untuk para pembaca, dan terutama dosen terkait yang sudah memberikan kami bahan bacaan yang luar biasa. (df)
CATATAN: BUKAN KOPIAN
[1] Ilmu yang membahas tentang alasan-alasan yang ada dibalik kaedah-kaedah ilmu fiqh (hukum Islam).
[2] Zat khas yang dimiliki serangga untuk mengenal sejenisnya. Zat ini juga dipercaya seperti bau badan yang alami (bukan parfum) dan khas pada tubuh manusia, sehingga kadang-kadang istri dapat mengenali suaminya hanya dengan bau badannya.
Kategori
- Masih Kosong