Sinergitas Absurd antara Dosen dengan Mahasiswa

02 April 2014 20:54:57 Dibaca : 1971

     Dulu saat SMA saya menganggap kuliah itu ‘sekolah bebas’, kuliah bisa menggunakan pakaian bebas, tidak ada apel pagi, di kelas hanya pada saat jam kuliah saja, dan bahkan kita bisa membantah dosen bila ingin. Sungguh secara pribadi saya, mungkin juga teman-teman, dibuat penasaran dengan yang namanya ‘kuliah’. Tapi anggapan kita tidak semuanya benar. Memang kita bisa membantah dosen, tapi jangan kaget kalau pada akhirnya nilai kita bermasalah.

     Sistem yang ditawarkan oleh kampus menjadikan dosen mempunyai otoritas terhadap mahasiswa, yakni berupa nilai yang tidak siapapun bisa mengganggu tanpa seizin dosen, sekalipun itu rektor. Secara praktis sistem ini banyak menyusahkan mahasiswa, secara normatif dosen berkuasa setingkat dibanding mahasiswa, dan secara teori sistem ini mirip teori Schramm ‘teori peluru komunikasi’1 ‘peluru’ yang ditembak oleh dosen mahasiswa tidak bisa membalikkannya, keseluruhannya adalah dosen penentu terakhir ‘nasib’ mahasiswa. Padahal perlu diingat dosen itu manusia yang masih tergantung pada penilaian yang bersifat subjektif.

     Saya yakin kita pasti sudah merasakan dampak dari otoritas dosen seperti ini. Semester I kemarin kita sudah merasakan sendiri bagaimana nilai yang kita peroleh tidak sesuai dengan yang kita harapakan, bahkan beberapa dari kita sudah ada yang tidak bisa mengontrak semua mata kuliah semester sekarang. Pernah seorang dosen yang hanya beberapa kali memberikan kuliah, tidak mengadakan UTS dan UAS, padahal sudah beberapa kali dihubungi pada akhirnya nilai kita B, siapa yang tidak keberatan?

     Ketika kita yakin kehadiran kita ok, keaktifan ok, tugas ok, UTS dan juga UAS ok tetapi nilai kita B min, dan teman lain yang tidak memenuhi keseluruhannya mendapat B plus. Ketika teman-teman yang tidak bisa baca-tulis Al-Quran diberikan nilai D, padahal hanya diberi waktu beberapa hari saja untuk belajar. Ketika kita diberikan tugas yang begitu menyulitkan, kita begitu serius dan setengah mati untuk mengerjakannya dan si dosen membacanya pun tidak. Ketika kita seharian menunggu dosen dan si dosen beralasan sibuk dan dengan tenangnya memindahkan jam kuliah, padahal kita juga punya kesibukan yang tidak kalah penting. Ketika kita ingin melayat saudara kita atau ingin mnghadiri acara pernikahan keluarga sehingga minta izin untuk beberapa hari, dengan jawaban sok kritis “memang tidak mo jadi so kalau kalian tidak ada?” padahal belum tentu demikian kalau dia sendiri yang mengalaminya.

     Sekarang adalah musimnya penyusunan skripsi senior kita. Pengajuan judul yang butuh satu-dua hari untuk dapat disetujui oleh dosen, penulisan yang sangat menyibukkan, cari data sana sini, ironisnya ada yang rela bayar orang beberapa juta rupiah demi tersusunnya skripsi. Dosen dengan otoritasnya itu bisa berulang-ulang memenuhi proposal dengan tinta merah, tentu mahasiswa tidak bisa berbuat banyak.

     Banyak stereotip yang mengatakan bahwa dosen itu tidak bisa membedakan lifestyle dengan akademik, dosen tidak demokratis, dosen sok pintar, dosen killer dan sebagainya. Subjektifitas dosen sebenarnya bukanlah hal yang salah, hanya ketika sistem memberikan wewenang sedemikian rupa kepada dosen maka kejadiannya akan seperti tadi. Tentu tidak menjustifikasi semua dosen, kami hanya menyayangkan bila harapan yang selalu digaung-gaungkan oleh dosen “demi kecerdasan dan kedisiplinannya ngoni uwti” akan membelok menjadi demi ego pribadi dosen.

    Dosen seharusnya bisa memahami posisi kita sebagai mahasiswa, orang yang sedikit lagi dewasa. Mahasiswa adalah generasi bangsa yang menentukan baik-buruk wajah bangsa secara umum. Dosen bersama mahasiswa adalah dua agen yang memiliki tupoksi berbeda namun wajib untuk bersinergi agar hasilnya akan lahir sarjana berkualitas, calon ilmuwan, dan induk dari lahirnya teori-teori selanjutnya.

     Dalam dunia akademis yang diadopsi dari filsafat bahwa kebenaran suatu teori itu adalah relatif. Yakni dibelakang teori masih ada latar zaman, pola pikir, lingkungan, dan tujuan dari ilmuwannya. Kata Enstein – kurang lebih— kalau ingin suatu bidang ilmu maju dan berkembang, haruslah para ilmuwan bisa saling berbagi dan menerima teori baru antar mereka. Tegasnya, ilmu adalah sesuatu yang dinamis. Jadi, harus diakui bahwa tidak semua dosen tahu semuanya, dengan demikian tidak semua mahasiswa itu berada pada posisi pelajar. Sungguh suatu yang absurd atau tidak masuk akal kalau kita menginginkan mutu keilmuan yang berkembang dan maju di kampus kita khususnya dan umumnya untuk kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia, kalau seperti ini.