RESUME ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI PART 2
HAKIKAT PENGETAHUAN FILSAFAT
Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu, nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu ( Hatta, Alam Pikiran Yunani, 1966, 1:3 ). Langeveld juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu, maka dalam ia berfilsafat akan semakin mengerti ia apa filsafat itu ( Langeveld, Menudju ke Pemikiran Filsafat, 1961:9 ).
Poedjawijatna ( Pembimbing ke Alam Filsafat, 1974: 11) mendefinisikan filsafta sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Hasbullah Bkry ( Sistematik Filsafat, 1971:11) mengatakan bahwa filsafat sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya mencapai pengetahuan itu.
Apa yang diingatkan oleh Hatta dan Langeveld memang ada benarnya. Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengatakan filsafat ialah hasil pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap. Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the attempt to answer ultimate question critically ( Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education, 1960:3 ). D.C. Mulder ( Pembimbing ke Dalam Ilmu Filsafat, 1966: 10 ) mendefinisikan filsafat sebagai pemikiran teorirtis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan.
Sedangkan filsafat menurut arti kata, terdiri atas kata philein yang artinya cinta dan sophia yang artinya kebijaksanaan. Filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Cinta artinya hasrat yang besar, atau yang berkobar-kobar, atau yang sungguh-sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kenenaran yang sesungguhnya. Jadi filsafat artinya hasrat atau keinginan yang sungguh akan kebenaran sejati. Pengertian umum filsafat adalah ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan tentang apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Dengan cara ini, jawaban yang akan diberikan berupa kebenaran yang hakiki. Ini sesuai dengan arti filsafat menurut kata-katanya. Sementara itu pengertian khusus filsafat telah mengalami perkembangan yang cukup lama dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks sehingga menimbulkan berbagai pendapat tentang arti filsafat dengan kekhususan masing-masing. Berbagai pendapat khusus tentang filsafat anatara lain:
a. Rasionalisme yang mengagungkan akal
b. Materialisme yang mengagungkan materi
c. Idealisme yang mengagungkan idea
d. Hedolisme yang mengagungkan kesenangan
e. Stoikisme yang mengagungkan tabiat saleh
Aliran-aliran tersebut mempunyai kekhususan masing-masing, menekankan kepada sesuatu yang dianggap merupakan inti dan harus di beri tempat yang tinggi misalnya ketenangan, kesalehan, kebendaan, akal dan idea.
Dari beberapa pendapat tersebut, pengertian filsafat dapat dirangkum menjadi seperti berikut:
a. Filsafat adalah hasil yang kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematis
b. Filsafat adalah hasil fikiran manusia yang paling dalam
c. Filsafat adalah refleksi lebih lanjut dari pada ilmu pengetahuan atau pendalaman lebih lanjut ilmu pengetahuan
d. Filsafat adalah hasil analisia dan abstraksi
e. Filsafat adalah pandangan hidup
f. Filsafat adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar, dan menyeluruh.
Berikut ini uraian yang membahas kegunaan filsafat dalam menentukan philosophy of life. Banyak memiliki pandanagn hidup, banyak orang menganggap philosophy of life itu sangat penting dalam menjalani kehidupan.
a. Kegunaan Filsafat bagi Akidah
b. Kegunaan Filsafat bagi Hukum
c. Kegunaan Filsafat bagi Bahasa
Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Sesuai dengan sifatnya menyelesaikan masalah secara mendalam dan universal. Penyelesaian filsafata, filsafat mendalam, artinya ia ingin mencari asal masalah. Universala artinya filsafat ingin masalah itu dilihat dalam hubungan seluas-luasnya agar nantinya penyelesaian itu cepat dan berakibat seluas mungkin.
Manusia dikatakan memiliki keunggulan terutama pada kecerdasannya. Karena hanya manusialah yang mampu menafsirkan alam semesta beserta interaksi-interaksi yang ada di dalamnya melalui rasa ingin tahu. Banyak ilmuwan yang telah berupaya mengidentifikasi perihal kemamapuan manusia untuk “tahu” ini, contohnya melalui tinjauan otak manusia. Manusia itu mempunyai otak besar serta kulit otak yang paling sempurna tumbuhnnya dan paling banyak berliku-likunya. Ini menyebabkan bahwa ia menjadi suatu ‘binatang berpikir’, sehingga ia membuka kemungkinan-kemungkinan bagi kekuatan berpikir, daya mengangan-angankan, kesadaran dan keinsafan, kemampuan bicara, daya belajar yang sempurna sekali dan daya menggunakan alat. Melalui penerjemahan tentang otak tersebut, ilmuwan mencoba memberikan kesimpulan bahwa rasa ingin tahu manusia dapat ada karena salah satunya didukung oleh fisiologi sel-sel otak manusia. Namun sejauh yang penulis ketahui, belum ada ilmu yang mampu menjelaskan lebih rinci mengenai kemampuan dan mekanisme kerja otak manusia yang dapat berpikir untuk tahu, menganalisis, mengingat, dan berangan-angan. Setidaknya biologi telah berupaya menjelaskan otak manusia tersebut, yang dapat memberikan informasi terkait rasa ingin tahu manusia.
Agar lebih sederhana dalam memahami pengetahuan ini, maka penulis menganalogikan dengan hal berikut: Anda adalah mahasiswa baru di sebuah Universitas, kemudian Anda ingin mengetahui perpustakaan Universitas tersebut. Oleh karena itu, Anda menanyakan pada seseorang, yang kemudian dengan informasi yang diberikannya Anda akhirnya tahu dan dapat menemukan perpustakaan Universitas. Informasi yang Anda tanyakan tadi akhirnya membantu Anda untuk menemukan perpustakaan Universitas. Informasi tentang perpustakaan Universitas yang baru Anda dapatkan tadi, itulah pengetahuan baru bagi Anda.
Manusia berpengetahuan bukan semata-mata untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya, melainkan memiliki tujuan-tujuan tertentu. Pada masa lalu, manusia berupaya mencari tahu untuk mengetahui suatu hal, umumnya menggunakan cara-cara yang sederhana yakni melalui aktivitasnya dengan alam. Sehingga ia akan menemukan cara hidup yang sesuai dengan alam. Untuk dapat memahami tahapan pengetahuan, secara umum August Comte (1798-1857) membagi tiga tingkat perkembangan pengetahuan manusia dalam tahap religius, metafisik dan positif. Tahapan tersebut jugalah yang ada pada peradaban bangsa Indonesia. Pada tahap pertama, asas religilah yang dijadikan postulat ilmiah sehingga ilmu merupakan deduksi atau penjabaran dari ajaran religi. Tahap kedua, orang mulai berspekulasi tentang metafisika (kebendaan) ujud yang menjadi objek penelaahan yang terbebas dari dogma religi dan mengembangkan sistem pengetahuan di atas dasar postulat metafisik tersebut. Sedangkan tahap ketiga adalah tahap pengetahuan ilmiah, (ilmu) di mana asas-asas yang dipergunakan diuji secara positif dalam proses verifikasi yang objektif.
Berdasarkan tahapan pengetahuan yang telah dikembangkan oleh August Comte, dapatlah dipahami bahwa pengetahuan manusia pada mulanya didasari dengan suatu sikap pasif terhadap alam semesta. Sehingga yang muncul adalah kepatuhan terhadap alam semesta dengan cara memujanya agar kebaikan-kebaikanlah yang didapatkan dari alam. Hal ini dapat diketahui melalui adat-istiadat beberapa masyarakat kita yang masih mengadakan ritual tertentu sebagai bentuk penghormatan terhadap alam. Secara sederhana masyarakat memandang lingkungan sekitarnya penuh dengan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan, maka sistem pengetahuannya menyatakan bahwa semua itu adalah karunia sesuatu yang tidak tampak. Akhirnya kekompleksitasan yang ada pada alam semesta menjadikan manusia pada zaman dahulu mencoba menafsirkan alam semesta dengan mengkaitkannya pada wujud dan sifat-sifat manusia. Kemudian termanifestasikanlah ke dalam bentuk para dewa. Karena pada dasarnya, setiap suku bangsa umumnya mempunyai cerita mitos yang merupakan hasil pemikiran masyarakat. Mitos mengandung unsur-unsur simbolik yang mempunyai arti dan pesan bagi hubungan sosial maupun kehidupan sehari-hari masyarakat.
Masyarakat Indonesia juga memiliki mitos sendiri yang berasal dari asimilasi paham animisme dengan paham Hindu dalam tindakan religius orang Jawa, akhirnya melahirkan berbagai bentuk dewa. Dapatlah dianalogikan perkembangan pengetahuan manusia menurut August Comte seperti ini, manusia yang hidup dengan mengandalkan alam seperti pertanian. Sebagai contoh, masyarakat Jawa mempercayai bahwa melimpahnya tanaman yang tumbuh di tanah Jawa sebagai karunia Yang Maha Kuasa, yang diperoleh melalui pengorbanan seorang dewi, yaitu Dewi Sri[8]. Melalui pemahaman akan adanya sosok Dewi Sri tersebut, maka masyarakat menganggap tumbuhan yang melimpah adalah karunia sehingga memerlukan perlakuan yang baik. Maka, untuk menjaga agar tumbuhan tetap dapat tumbuh subur dan menghasilkan panen yang melimpah, masyarakat menggelar ritual untuk “menyenangkan” dan menghormati Sang Dewi. Hal tersebut umumnya diselenggarakan dalam bentuk upacara-upacara pada proses penanaman padi, mulai dari pembenihan hingga panen bahkan ketika terjadi gagal panen.
Oleh karena itu, jika pada suatu waktu padi yang ditanam tiba-tiba menjadi mengering dan tidak memberikan hasil panen yang memuaskan, manusia menyimpulkan bahwa alam telah marah padanya karena kurang dimuliakan maka mulailah mereka kembali memuliakan alam melalui ritual-ritual tertentu. Hal tersebut sebagai manifestasi dari pengetahuan manusia bahwa ada kekuatan di luar diri manusia yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia, maka manusia harus memulikan kekuatan tersebut agar kehidupan manusia dapat terjamin. Setelah itu, pengetahuan manusia terus berkembang, sehingga memandang fenomena tanaman yang tiba-tiba tidak produktif ternyata terjadi secara berkala, yakni pada suatu waktu tertentu. Melalui pengalaman tersebut akhirnya manusia menyimpulkan bahwa bukan semata-mata alam marah jika tanaman tidak berproduksi melainkan hal tersebut terjadi karena suatu hal yang tidak nyata di alam namun memiliki pengaruh pada pertumbuhan tanaman, seperti musim. Akhirnya berdasarkan pengalaman manusia, pengetahuannya menyimpulkan bahwa ketika musim tertentu (kemarau) padi yang ditanam tidak akan membuahkan hasil. Dengan demikian pada tahap pengetahuan yang kedua ini, manusia mulai menafsirkan bahwa alam memiliki siklus musim dan jenis tanaman apa yang dapat ditanam pada musim tertentu. Namun, manusia belum dapat berbuat banyak karena hanya sekedar mengetahui adanya musim pengering. Maka, mereka memulai untuk mengantisipasi ketersediaan air melalui sistem irigasi secara sederhana.
Selanjutnya, di tahap akhir manusia menafsirkan alam berdasarkan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini. Manusia mencoba menafsirkan mengapa musim kemarau itu dapat terjadi dan pada dewasa ini cenderung tidak dapat terprediksikan. Sehingga seharusnya mereka dapat memanen hasil pertanian namun terkadang gagal panen karena kekeringan yang melanda. Pada tahap selanjutnya inilah, manusia mulai mengenal ilmu pengetahuan maka untuk menafsirkan fenomena alam yang tidak terprediksikan tersebut mulailah manusia meninjaunya secara lebih objektif atau berdasarkan kondisi alam itu sendiri.
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SIMBOLIK
Manusia adalah makhluk sosial. Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan masyarakat umum tentang definisi manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena tak ada satupun manusia yang mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau bahkan bantuan makhluk hidup lainnya. Misalnya, anjing yang dapat membantu manusia untuk menjaga rumahnya. Oleh sebab itu, manusia dalam kehidupan sehari-harinya pasti melakukan interaksi dengan orang lain maupun makhluk hidup lainnya. Dalam interaksi tersebut, manusia memiliki sistem simbol dalam berkomunikasi, sehingga manusiapun tidak hanya dikatakan sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai makhluk simbolik atau Homo Symbolicum.
Dalam komunikasi dikenal sebuah teori tentang interaksi manusia, yaitu teori interaksi simbolik. Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang menjadi ciri khas manusia, yaitu komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik berasal dari pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal, yaitu “The Theoretical Perspective” yang merupakan cikal bakal Teori Interaksi Simbolik. Teori ini juga sering disebut dengan Mazhab Chicago, karena Mead tinggal di Chicago selama kurang lebih 37 tahun.
Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini mengatakan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra mereka. Teori interaksi simbolik ini memiliki tujuh prinsip sebagai berikut:
1) Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. Manusia dan hewan adalah makhluk hidup, tetapi manusia diberkahi dengan kemampuan berpikir, sedangkan hewan tidak. Oleh sebab itu, setiap manusia dapat berinteraksi dengan hal-hal di sekelilingnya dengan menggunakan aturan seperti saat seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain, dia harus meminta maaf kepada orang tersebut. Akan tetapi, hewan tidak perlu meminta maaf kepada hewan lainnya ketika melakukan kesalahan, karena hewan tidak memiliki akal untuk berpikir bahwa mereka harus berinteraksi dengan hewan lainnya dengan menggunakan aturan.
2) Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. Manusia memiliki kemampuan berpikir yang memang sudah diberikan oleh sang pencipta, tetapi kemampuan berpikir manusia tersebut dapat terbentuk dan semakin berkembang melalui interaksi sosial. Dalam berinteraksi, manusia menggunakan akal mereka untuk memahami hal-hal yang ada di sekeliling mereka dan melalui pemahaman tersebut kemampuan berpikir manusia terbentuk dan semakin berkembang.
3) Dalam interaksi sosial, manusia mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yaitu berpikir. Manusia berpikir untuk menginterpretasi makna dari simbol-simbol yang mereka temukan dalam kehidupan mereka.
4) Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan dan interaksi yang khas manusia. Makna dan simbol yang telah diinterpretasi melalui berpikir oleh manusia kemudian dilanjutkan dengan tindakan dan interaksi-interaksi selanjutnya yang kemudian menjadi kebiasaan manusia dalam sehari-harinya.
5) Manusia mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka gunakan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Dengan berpikir pula, manusia kemudian tidak hanya menginterpretasi makna dan simbol dalam kehidupan mereka, tetapi juga memodifikasi atau mengubah makna dan simbol tersebut, atau bahkan menciptakan simbol-simbol mengenai hal-hal yang ada di sekeliling mereka.
6) Manusia mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya.
7) Pola-pola tindakan dan interaksi yang berkelanjutan ini membentuk kelompok dan masyarakat. Kelompok masyarakat ini lalu membuat kesepakatan atas hal-hal yang ada di sekeliling mereka mengenai simbol-simbol dan maknanya yang kemudian mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk simbolik.
Simbolik merupakan hal-hal yang mengandung simbol-simbol. Jadi, dapat dikatakan bahwa makhluk simbolik merupakan makhluk yang menggunakan hal-hal yang simbolik atau mengandung simbol-simbol. Simbol-simbol yang dimaksud disini bukan sekedar simbol-simbol tak bermakna, tetapi hal-hal tersebut memiliki makna masing-masing dan tidak satupun simbol yang tercipta tanpa memiliki makna tersendiri. Misalnya, warna merah dan warna putih pada bendera Indonesia, warna merah pada bendera tersebut dianggap sebagai simbol keberanian dan warna putih dianggap sebagai simbol kesucian.
Simbol merupakan salah satu bagian dari semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tentang tanda. Semiotika ini pertama kali diprkenalkan oleh dua filsuf bahasa yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Menurut Saussure, setiap tanda itu terbagi atas dua bagian, yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Menurut pendapatnya, tanda merupakankesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Sedangkan menurut Pierce, semiotika terbagi atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, dan simbol.
Ikon merupakan hubungan antara tanda dan acuannya yang berupa hubungan kemiripan, seperti sebuah foto dan orangnya. Indeks merupakan hubungan antara tanda dengan acuannya yang timbul karena adanya kedekatan eksistensi, seperti sebuah tiang penunjuk jalan dan sebuah gambar panah penunjuk arah. Indeks juga dapat menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda yanf bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan, misalnya adanya asap karena ada api. Simbol merupakan hubungan yang berbentuk konvensional, yaitu suatu tanda merupakan suatu hasil kesepakatan masyarakat.
Manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik karena dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering menggunakan simbol-simbol. Salah satu contoh penggunaan simbol dalam kehidupan sehari-hari adalah simbol-simbol pada peraturan lalu lintas, misalnya lampu lalu lintas atau lebih sering disebut lampu merah oleh masyarakat luas yang terdiri dari tiga warna yaitu merah, kuning, dan hijau. Warna-warna tersebut masing-masing memiliki makna tersendiri yakni warna merah yang memerintahkan para pengguna jalan untuk berhenti, warna kuning yang memerintahkan untuk berhati-hati, dan lampu hijau yang memerintahkan untuk kendaraan jalan.
Lampu lalu lintas ini diciptakan oleh penemunya Garrett Augustus Morgan setelah ia melihat tabrakan antara mobil dan kereta kuda pada suatu hari yang kemudian membuatnya berpikir untuk membuat sesuatu yang dapat mengatur lalu lintas yang lebih aman dan efektif. Sebenarnya pada saat itu, telah ada suatu sistem pengaturan lalu lintas dengan sinyal stop and go. Sinyal lampu ini pernah digunakan di London pada tahun 1863. Namun, pada penggunaannya sinyal lampu ini tiba-tiba meledak, sehingga tidak dipergunakan lagi. Berdasarkan pengalamannya tersebut Morgan kemudian menciptakan suatu pengatur lalu lintas yang terdiri dari tiga jenis warna, yaitu merah, kuning, dan hijau.
Simbol-simbol dalam kehidupan manusia juga erat kaitannya dengan budaya. Dalam suatu kebudayaan, masyarakat dalam kebudayaan tersebut sering menggunakan simbol-simbol dalam melambangkan sesuatu. Misalnya, dalam budaya Mandar yang menggunakan beru’-beru’ (bunga melati) sebagai simbol untuk perempuan. Hal ini sudah menjadi hal yang umum dalam masyarakat Mandar dan telah digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Mandar dalam kehidupan sehari-hari. Simbol tersebut dapat saja ditemukan dalam percakapan sehari-hari mereka ataupun dalam karya sastra-karya sastra Mandar seperti lagu-lagu Mandar atau puisi tradisional Mandar.
Berdasarkan beberapa contoh di atas, dapat dikatakan bahwa manusia dalam menggunakan atau menciptakan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka berasal dari pengalaman hidup mereka. Seperti Garrett Augustus Morgan yang menciptakan lampu lalu lintas setelah melihat kecelakaan lalu lintas. Maka dari itu, manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik.
Pernyataan manusia sebagai makhluk simbolik membuat salah satu sarjana feminis Luce Irigaray menempatkan dunia simbolik dalam kehidupan manusia pada lapis puncak piramida dalam abstraksi piramidal yang dibuatnya. Abstraksi piramidal tersebut terdiri atas dunia biologis pada lapis pertama, kemudian dunia sosial dan budaya pada lapis tengah.
Dunia biologis ditempatkan pada lapis pertama, karena menurut Irrigaray jika dilihat dari sisi biologis semua manusia memiliki kesetaraan, dan hal tersebut tidak menimbulkan konflik dalam diri manusia sehingga perbedaan biologis dalam diri manusia adalah sesuatu yang bersifat statis. Perempuan dan laki-laki telah memiliki perannya masing-masing.
Kemudian dunia sosial dan budaya ditempatkan pada lapis kedua. Menurut Irigaray, dalam dunia sosial dan budaya manusia mulai menemukan konflik di dalamnya. Perempuan dan laki-laki dalam konteks sosial dan budaya sering kali menampakkan diri mereka dengan cara yang berbeda. Pendapat masyarakat umumpun mengenai posisi perempuan dan laki-laki dalam konteks sosial dan budaya berbeda. Misalnya, pada acara adat dalam masyarakat Bugis. Perempuan dan laki-laki pasti menempatkan diri mereka masing-masing dan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya pasti berbeda.. Sehingga dalam konteks sosial dan budaya, perbedaan jender dalam diri manusia mulai ditampakkan yang dapat menyebabkan adanya konflik dalam diri manusia. Konflik tersebut dapat saja muncul ketika salah satu dari mereka ada yang menempatkan diri di tempat yang tidak seharusnya. Contohnya, seorang laki-laki yang mengambil alih tugas perempuan.
Selanjutnya, dalam dunia simbolik yang ditempatkan oleh Irigaray pada lapis puncak piramida, posisi perempuan dal laki-laki semakin nampak perbedaannya. Dalam dunia simbolik, Irigaray mengatakan bahwa tubuh lelaki dipersepsi dan diekspresikan sebagai tubuh yang mewakili kualitas Tuhan (the Authority Principle of God) dan tubuh perempuan dianggap mewakili kualitas pemberontakan setan (the Rebellious Principle of Satan). .oleh sebab itu, Irigaray menempatkan dunia simbolik ini pada puncak abstraksi piramidal yang dibuatnya. Melalui hal ini, Irigaray juga menunjukkan bahwa hal tersebutlah yang menjadi penyebab timbulnya kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, dalam beberapa kebudayaan, simbol-simbol akan kebutuhan laki-laki diekspresikan melalui tubuh perempuan.
Melalui abstraksi piramidal ini, Irigaray ingin menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk biologis memiliki kesetaraan dan perempuan dan laki-laki sudah memiliki peran mereka masing-masing. Sehingga, perempuan dan laki-laki tidak perlu bersaing dan menimbulkan konflik di antara mereka. Kemudian, manusia sebagai makhluk sosial dalam konteks sosial dan budaya harus melakukan interaksi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Akan tetapi, dalam konteks tersebut, manusia biasanya menemui konflik dengan sesamanya karena adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam interaksinya. Lalu, manusia sebagai makhluk simbolik merupakan puncak dari adanya konflik-konflik antar manusia, terutana antar perempuan dan laki-laki yang dapat menyebabkan adanya kekerasan terhadap perempuan.
Pendekatan simbolis untuk membahas realitas manusia telah banyak dilakukan dalam berbagai cabang keilmuan, baik ilmiah, filsafat maupun theologi. Dalam bidang khusus kefilsafatan, mencari realitas dasar manusia tidaklah sederhana, mengingat sudut pandang yang hendak diberikannya harus bersifat mendalam, radiks dan sistematis. Melalui prosedur analisis yang mendalam dan logis inilah filsafat hendak mengetahui realitas dasar manusia yang benar-benar substansial dari unsur-unsur yang hanya bersifat aksidental.
Dengan demikian diperlukan suatu sistem pendekatan yang mampu mengabstraksikan unsur-unsur yang bersifat substansial dari unsur-unsur yang aksidental. Penggunaan pendekatan simbolis pada akhirnya banyak dipilih oleh para pemikir, karena perbuatan dan tingkah laku simbolis manusia merupakan fenomena yang bersifat universal dan khas pada diri manusia. Adapun aspek yang paling umum ditinjau dari prilaku simbolis manusia adalah perbuatan berbicara atau bahasa. Aspek ini dipilih oleh para pemikir, karena memuat banyak kemudahan dan manfaat yang dapat diperoleh dari kompleksitasnya.
Pertama, kemampuan berbicara atau berbahasa adalah gejala yang sudah dikenal dengan baik dan jelas, sehingga secara relatif mudah dipelajari oleh setiap orang baik pada dirinya sendiri maupun pada orang-orang lain. Karena kemampuan berbicara dan berbahasa merupakan ciri khas dan mengisi eksistensi manusia, maka aspek ini menjadi tema yang paling banyak dipilih dan disukai oleh para pemikiran kontemporer.
Santo Gregorius dari Nizza (abad keempat) di dalam bukunya tentang penciptaan manusia, ia menjelaskan bahwa oleh karena mansusia bisa berbicara dengan lidahnya serta mengisyaratkan dengan tangannya, maka ia melebihi binatang-binatang. Tangan, menurutnya, seperti juga kemampuan berbicara pada manusia merupakan lambang serta alat dari roh, alat yang memungkinkannya untuk mengukur segala benda dan mengisya-ratkan segala realitas. Descartes di dalam Discours de la methode, juga menyinggung kemampuan berbicara manusia ,sedemikian Marleau-Ponty di dalam buku-bukunya- Phenomenologie de la Perception, Paul Ricour di dalam La Symbolique, Sigmund Freud dan lain sebagainya. Ketiga, kemampuan berbicara atau berbahasa menggambarkan keseluruhan manusia atau manusia secara menyeluruh. Andre Marc, menyatakan didalam bukunya Psychology Reflexive bahwa keuntungan yang dapat diperoleh dengan memulai suatu filsafat manusia melalui suatu refleksi terhadap kemampuan bicara.
Selain gejala mampu berbicara itu mudah dikonstatir dan bahwa hal itu memang memberikan corak khas terhadap “ada”-nya manusia, keadaan itu memperbolehkan kita untuk mengerti manusia dalam “kesatuannya” yang dinamis dan sekaligus dalam kompleksitasnya sebagai suatu kesatuan yang hidup, terbawa kearah dunia dan berhubungan dengan sesamanya.
Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh dengan menggunakan pendekatan simbolis dalam memahami realitas dasar dari wujud manusia ialah karena perbuatan berbicara atau berbahasa mengisyaratkan (meng-asumsikan) beberapa hal yang sangat fundamental dalam struktur hakiki manusia, yakni :
Pertama, dengan berbicara atau berbahasa, maka mengisyaratkan bahwa manusia bersifat sadar dan bebas. Tentu saja untuk kepentingan bahasan tersebut hendaklah diabaikan dulu bahasa atau perbuatan meng-isyaratkan yang bersifat tidak sadar, afektif maupun fiksasi psikologis. Yang dibicarakan dalam kaitan ini adalah perbuatan berbicara atau berbahasa yang sadar, yakni bahasa yang digunakan untuk ekspresi sesuatu secara “dipikirkan”
Kedua, dengan berbicara atau berbahasa mengisyaratkan bahwa makhluk yang berbicara dan mengisyaratkan harus memiliki sebuah kesatuan substansial dibawah banyaknya perbuatan yang dilakukannya. Asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa perbuatan berbicara atau berbahasa melibatkan perbuatan yang bersifat banyak, maka perlulah pada waktu ia melakukan perbuatan-perbuatan itu, ia tetap tinggal secara substansial; ia identik dengan dirinya. Sebab jika tidak ia tidak akan dapat melanjutkan suatu percakapan yang paling kecil pun, atau mungkin ia tidak akan mampu menyelesaikan sebuah kalimat yang paling sederhana sekalipun.
Ketiga, dengan berbicara atau berbahasa mengisyaratkan bahwa ia memiliki eksistensi wujud yang bersifat eksterioritas . Hal ini terlihat dari kemampuan dirinya yang sanggup mengarahkan dirinya secara terbuka terhadap dunia dan kehadiran pada orang-orang lain. Berbicara menunjuk-kan orang hadir dalam dunia dan tampil ditengah mereka yang mendiaminya. Orang selalu berbicara tentang sesuatu kepada seseorang. Orang selalu mengucapkan dirinya dalam suatu alam realitas inderawi, disitu semestinya terdapat mereka yang berbicara dan mereka yang menulis, mereka yang menjadi lawan berbicara dan mereka yang membaca.
Keempat, dengan berbicara atau berbahasa mengisyaratkan bahwa ia memiliki interioritas (ruang dalam jiwa). Hal ini dapat dilihat dari kemampuannya untuk menerima dan memiliki kreativitas. Apa yang dikemukakannya tentang dunia, telah lebih dulu, dipikirkannya dan terkandung dalam dirinya sendiri. Dengan cara ini ia bisa meninjau kembali apa yang telah dikatakan atau ditulisnya untuk memperjelas dan membetulkannya. Tentu saja hal ini tidak dapat dilakukan kecuali melalui cahaya suatu pikiran yang secara bagaimanapun, mendahului pengeks-presiannya.
Kelima dengan berbicara atau berbahasa mengisyaratkan bahwa ia merupakan suatu makhluk yang hidup. Dengan berbahasa manusia menempatkan diri ke dalam dunia, menyesuaikan diri dengannya, berpar-tisipasi dengan eksistensinya, memanfaatkan kemungkinan-kemung-kinannya dan menikmati kekayaannya. Pendek kata, dengan berbicara manusia bersikap sebagai sesuatu yang hidup.
Keenam, dengan berbicara atau berbahasa mengisyaratkan bahwa ia adalah makhluk yang mampu mengetahui dan mempunyai afektivitas. Asumsi ini berangkat dari realitas bahwa manusia selalu berbicara untuk mengemukakan apa yang telah diketahuinya tentang dunia, atau untuk menjelaskan apa yang telah dapat dimengertinya dari realitas, ataupun paling tidak untuk memberikan informasi-informasi atau untuk mengajukan pendapat-pendapat. Selain itu, asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa manusia memiliki afektivitas. Setiap orang hampir hanya membicarakan apa yang menarik baginya, dan hanya berbicara panjang lebar hal-hal yang dianggap tidak penting atau bukan pada tempatnya. Orang tidak akan berbicara lama dengan orang lain yang nyata menunjukkan syak wasangka. Bahkan, merupakan suatu cara untuk mengemukakan rasa tidak senang atau rasa kurang menghargai, kalau seseorang menolak untuk mengadakan percakapan dengan orang lain.
Ketujuh, dengan perbuatan berbicara atau berbahasa mengisyarat-kan bahwa ia adalah makhluk yang berdimensi rohani dan jasmani. Asumsi ini berangkat dari kenyataan bahwa jasmani yang bersifat inderawiah diperlengkapi dengan anggota serta organ yang memungkinkannya mengubah materi untuk membuatnya signifikasi. Dan unsur rohanilah yang membuat segala hal menjadi signifikasi. Jasmani yang hidup, mengeluarkan suara, melakukan gerakan isyarat dan mengubah wajah bumi. Suatu roh yang menjiwai suara dan memberi makna kepada gerakan. Sebuah jasmani dan ruhani yang hanya merupakan satu makhluk saja, bagaimana sebuah tanda terdiri dari suatu unsur inderawi dan suatu signifikasi. Sebuah badan yang dijiwai dan dispiritualisasikan, sebuah roh yang dijelmakan dan disituasikan.
MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SIMBOLIK (MEAD DAN BLUMMER)
Inti pandangan pendekatan ini adalah individu. Para ahli di belakang perspektif ini mengatakan bahwa individu merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi. Mereka melihat bahwa individu adalah obyek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain.
Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863–1931), Charles Horton Cooley (1846–1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok. Mereka menemukan bahwa individu-individu tersebut berinteraksi dengan menggunakan simbol-simbol, yang di dalamnya berisi tanda-tanda, isyarat dan kata-kata. Sosiolog interaksionisme simbolik kontemporer lainnya adalah Herbert Blumer (1962) dan Erving Goffman (1959).
Seperti yang dikatakan Francis Abraham dalam Modern Sociological Theory (1982), bahwa interaksionisme simbolik pada hakikatnya merupakan sebuah perspektif yang bersifat sosial-psikologis yang terutama relevan untuk penyelidikan sosiologis. Teori ini akan berurusan dengan struktur-struktur sosial, bentuk-bentuk kongkret dari perilaku individual atau sifat-sifat batin yang bersifat dugaan, interaksionisme simbolik memfokuskan diri pada hakekat interaksi, pada pola-pola dinamis dari tindakan sosial dan hubungan sosial. Interaksi sendiri dianggap sebagai unit analisis: sementara sikap-sikap diletakkan menjadi latar belakang.
Baik manusia dan struktur sosial dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif jika dibandingkan dengan perspektif-perspektif sosiologis yang konvensional.Di sisi ini masyarakat tersusun dari individu-individu yang berinteraksi yang tidak hanya bereaksi, namun juga menangkap, menginterpretasi, bertindak, dan mencipta. Individu bukanlah sekelompok sifat, namun merupakan seorang aktor yang dinamis dan berubah, yang selalu berada dalam proses menjadi dan tak pernah selesai terbentuk sepenuhnya.
Masyarakat bukanlah sesuatu yang statis “di luar sana” yang selalu mempengaruhi dan membentuk diri kita, namun pada hakekatnya merupakan sebuah proses interaksi. Individu bukan hanya memiliki pikiran (mind), namun juga diri (self) yang bukan sebuah entitas psikologis, namun sebuah aspek dari proses sosial yang muncul dalam proses pengalaman dan aktivitas sosial. Selain itu, keseluruhan proses interaksi tersebut bersifat simbolik, di mana makna-makna dibentuk oleh akal budi manusia.
Makna-makna itu kita bagi bersama yang lain, definisi kita mengenai dunia sosial dan persepsi kita mengenai, dan respon kita terhadap, realitas muncul dalam proses interaksi. Herbert Blumer, sebagaimana dikutip oleh Abraham (1982) salah satu arsitek utama dari interaksionisme simbolik menyatakan: Istilah ‘interaksi simbolik’ tentu saja menunjuk pada sifat khusus dan khas dari interaksi yang berlangsung antar manusia. Kekhususan itu terutama dalam fakta bahwa manusia menginterpretasikan atau ‘mendefinsikan’ tindakan satu sama lain dan tidak semata-mata bereaksi atas tindakan satu sama lain.
Jadi, interaksi manusia dimediasi oleh penggunaan simbol-simbol, oleh interpretasi, atau oleh penetapan makna dari tindakan orang lain. Mediasi ini ekuivalen dengan pelibatan proses interpretasi antara stimulus dan respon dalam kasus perilaku manusia.Pendekatan interaksionisme simbolik memberikan banyak penekanan pada individu yang aktif dan kreatif ketimbang pendekatan-pendekatan teoritis lainnya. Pendekatan interaksionisme simbolik berkembang dari sebuah perhatian ke arah dengan bahasa; namun Mead mengembangkan hal itu dalam arah yang berbeda dan cukup unik. Pendekatan interaksionisme simbolik menganggap bahwa segala sesuatu tersebut adalah virtual.
Semua interaksi antarindividu manusia melibatkan suatu pertukaran simbol. Ketika kita berinteraksi dengan yang lainnya, kita secara konstan mencari “petunjuk” mengenai tipe perilaku apakah yang cocok dalam konteks itu dan mengenai bagaimana menginterpretasikan apa yang dimaksudkan oleh orang lain. Interaksionisme simbolik mengarahkan perhatian kita pada interaksi antarindividu, dan bagaimana hal ini bisa dipergunakan untuk mengerti apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita sebagai individu.
Gagasan Teori Interaksionisme SimbolikIstilah paham interaksi menjadi sebuah label untuk sebuah pendekatan yang relatif khusus pada ilmu dari kehidupan kelompok manusia dan tingkah laku manusia. Banyak ilmuwan yang telah menggunakan pendekatan tersebut dan memberikan kontribusi intelektualnya, di antaranya George Herbert Mead, John Dewey, W.I Thomas, Robert E.Park, William James, Charles Horton Cooley, Florian Znaniceki, James Mark Baldwin, Robert Redfield dan Louis Wirth. Teori interaksionisme simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan tentang diri sendiri (the self) dan dunia luarnya. Di sini Cooley menyebutnya sebagai looking glass self.
Dengan mengetahui interaksionisme simbolik sebagai teori maka kita akan bisa memahami fenomena sosial lebih luas melalui pencermatan individu. Ada tiga premis utama dalam teori interaksionisme simbolis ini, yakni manusia bertindak berdasarkan makna-makna; makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain; makna tersebut berkembang dan disempurnakan saat interaksi tersebut berlangsung.Menurut KJ Veeger yang mengutip pendapat Herbert Blumer, teori interaksionisme simbolik memiliki beberapa gagasan. Di antaranya adalah mengenai Konsep Diri.
Di sini dikatakan bahwa manusia bukanlah satu-satunya yang bergerak di bawah pengaruh perangsang entah dari luar atau dalam melainkan dari organisme yang sadar akan dirinya (an organism having self). Kemudian gagasan Konsep Perbuatan di mana perbuatan manusia dibentuk dalam dan melalui proses interaksi dengan dirinya sendiri. Dan perbuatan ini sama sekali berlainan dengan perbuatan-perbuatan lain yang bukan makhluk manusia. Kemudian Konsep Obyek di mana manusia diniscayakan hidup di tengah-tengah obyek yang ada, yakni manusia-manusia lainnya.
Selanjutnya Konsep Interaksi Sosial di mana di sini proses pengambilan peran sangatlah penting. Yang terakhir adalah Konsep Joint Action di mana di sini aksi kolektif yang lahir atas perbuatan-perbuatan masing-masing individu yang disesuaikan satu sama lain.Menurut Soeprapto (2001), hanya sedikit ahli yang menilai bahwa ada yang salah dalam dasar pemikiran yang pertama. “Arti” (mean) dianggap sudah semestinya begitu, sehingga tersisih dan dianggap tidak penting. “Arti” dianggap sebagai sebuah interaksi netral antara faktor-faktor yang bertanggungjawab pada tingkah laku manusia, sedangkan ‘tingkah laku’ adalah hasil dari beberapa faktor. Kita bisa melihatnya dalam ilmu psikologi sosial saat ini. Posisi teori interaksionisme simbolis adalah sebaliknya, bahwa arti yang dimiliki benda-benda untuk manusia adalah berpusat dalam kebenaran manusia itu sendiri.
Dari sini kita bisa membedakan teori interaksionisme simbolis dengan teori-teori lainnya, yakni secara jelas melihat arti dasar pemikiran kedua yang mengacu pada sumber dari arti tersebut.Teori interaksionisme simbolis memandang bahwa “arti” muncul dari proses interaksi sosial yang telah dilakukan. Arti dari sebuah benda untuk seseorang tumbuh dari cara-cara di mana orang lain bersikap terhadap orang tersebut. Sehingga interaksi simbolis memandang “arti” sebagai produk sosial; Sebagai kreasi-kreasi yang terbentuk melalui aktifitas yang terdefinisi dari individu saat mereka berinteraksi.
Pandangan ini meletakkan teori interaksionisme simbolis pada posisi yang sangat jelas, dengan implikasi yang cukup dalam. Tokoh-tokoh Teori Interaksionisme Simbolik.
Mengikuti penjelasan Abraham (1982), Charles Horton Cooley adalah tokoh yang amat penting dalam teori ini. Pemikiran sosial Cooley terdiri atas dua asumsi yang mendalam dan abadi mengenai hakikat dari kehidupan sosial, yaitu bahwa kehidupan sosial secara fundamental merupakan sebuah evolusi organik, dan bahwa masyarakat itu secara ideal bersifat demokratis, moral, dan progresif. Konsep evolusi organik-nya Cooley berbeda secara hakiki dari konsepnya Spencer dan para ilmuwan sosial abad kesembilanbelas.
Sementara para pemikir yang lebih awal memusatkan diri pada aspek-aspek kolektif yang berskala-besar dari pembangunan, dari perjuangan kelas, dari lembaga sosial dan sebagainya, di sini Cooley berusaha mendapatkan sebuah pemehaman yang lebih mendalam mengenai individu namun bukan sebagai entitas yang terpisah dari masyarakat, namun sebagai sebuah bagian psiko-sosial dan historis dari bahan-bahan penyusun masyarakat. “Kehidupan kita adalah satu satu kehidupan manusia secara keseluruhan,” kata Cooley, “dan jika kita ingin memiliki pengetahuan yang riil atas diri individu, maka kita harus memandang individu secara demikian. Jika kita melihatnya secara terpisah, maka proses pengetahuan kita atas diri individu akan gagal.”
Jadi, evolusi organik adalah interplay yang kreatif baik individu maupun masyarakat sebagai dua wujud dari satu fenomena yang sama, yang saling menegaskan dan beriringan meski tetap masih bisa dibedakan. ”Masyarakat adalah sebuah proses saling berjalinnya dan saling bekerjanya diri-diri yang bersifat mental (mental selves). Saya membayangkan apa yang Anda pikirkan, terutama mengenai apa yang Anda pikirkan tentang apa yang saya pikirkan, terutama mengenai apa yang saya pikirkan tentang apa yang Anda pikirkan.”
Jadi, menurut Cooley, tugas fundamental dari sosiologi ialah untuk memahami sifat organis dari masyarakat sebagaimana dia berlangsung melalui persepsi-persepsi individual dari orang lain dan dari diri mereka sendiri. Jika sosiologi hendak memahami masyarakat, dia harus mengkonsentrasikan perhatiannya pada aktivitas-aktivitas mental dari individu-individu yang menyusun masyarakat tersebut. “Imajinasi yang saling dimiliki oleh orang-orang merupakan fakta-fakta yang solid dari masyarakat… Masyarakat adalah sebuah relasi di antara ide-ide yang bersifat personal.”Dalam konsep The Looking-Glass Self (Diri Yang Seperti Cermin Pantul), menurut Cooley, institusi-institusi sosial yang utama ialah bahasa, keluarga, industri, pendidikan, agama, dan hukum. Sementara institusi-institusi tersebut membentuk ‘fakta-fakta dari masyarakat’ yang bisa dipelajari oleh studi sosiologis, mereka juga merupakan produk-produk yang ditentukan dan dibangun oleh pikiran publik. Menurut Cooley, institusi-institusi tersebut merupakan hasil dari organisasi dan kristalisasi dari pikiran yang membentuk bentuk-bentuk adat-adat kebiasaan, simbol-simbol, kepercayaan-kepercayaan, dan sentimen-sentimen perasaan yang tahan lama.
Oleh karena itu, institusi-institusi tersebut merupakan kreasi-kreasi mental dari individu-individu dan dipelihara melalui kebiasaan-kebiasaan manusiawi dari pikiran yang hampir selalu dilakukan secara tidak sadar karena sifat kedekatannya dengan diri kita (familiarity). Seperti yang ditegaskan oleh Cooley, ketika institusi-institusi masyarakat dipahami terutama sebagai kreasi-kreasi mental, maka individu bukanlah semata-mata ‘efek’ dari struktur sosial, namun juga merupakan seorang kreator dan pemelihara struktur sosial tersebut.
Simbol atau tanda yang diberikan oleh manusia dalam melakukan interaksi mempunyai makna-makna tertentu , sehingga dapat menimbulkan komunikasi. Menurut Mead, komunikasi secara murni baru terjadi bila masing-masing pihak tidak saja memberikan makna pada perilaku mereka sendiri, tetapi memahami atau berusaha memahami makna yang diberikan oleh pihak lain. Dalam hubungan ini, Habermas mengemukakan dua kecendrungan fungsional dalam argument bahasa dan komunikasi serta hubungan dengan perkembangan manusia. Pertama, bahwa manusia dapat mengarahkan orientasi perilaku mereka pada konsekuensi-konsekuensi yang paling positif . Kedua, sebagai kenyataan bahwa manusia terlibat dalam interaksi makna yang kompleks dengan orang yang lain, dapat memaksa mereka untuk cepat berinteraksi dengan apa yang diinginkankan orang lain.
Pada awal perkembangannya, interaksi simbolik lebih menekankan studinya tentang perilaku manusia pada hubungan interpersonal, bukan pada keseluruhan kelompok atau masyarakat. Proporsi paling mendasar dari interaksi simbolik adalah perilaku dan interaksi manusia itu dapat dibedakan, karena ditampilkan lewat symbol dan maknanya. Mencari makna dibalik yang sensual menjadi penting didalam interaksi simbolis. Secara umum, ada enam proporsi yang dipakai dalam konsep interaksi simbolik, yaitu;
1. Perilaku manusia mempunyai makna dibalik yang menggejala;
2. Pemaknaan manusia perlu dicari sumber pada ineraksi social manusia.
3. Masyarakat merupakan proses yang berkembang holistic, tak terpisah, tidak linear, tidak terduga;
4. Perilaku manusia itu berlaku berdasarkan berdasar penafsiran fenomenlogik, yaitu berlangsung atas maksud, pemaknaan, dan tujuan, bukan didasarkan atas proses mekanik dan otomatis.
5. Konsep mental manusia itu berkembang dialektik; dan
6. Prilaku manusia itu wajar dan konstruktif reaktif.
Perspektif tentang masyarakat yang menekan pada pentingnya bahasa dalam upaya saling memahami telah diungkapkan oleh Mead. Selanjutnya Blumer memperkenalkan sebagai premis interaksinisme simbolik sebagai berikut:
1. Manusia melakukan tindakan “sesuatu” berdasarkan makna yang dimiliki “sesuatu” tersebut untuk mereka;
2. Makna dari “sesuatu” tersebut berasal dari atau muncul dari interaksi social yang di alaminya seorang dengan sesamanya;
3. Makna-makna yang ditangani dimodifikasi melalui suatu proses interpretative yang digunakan orang dalam berhubungan dengan “sesuatu” yang ditemui.
Interaksi Simbolik dalam Realitas Sosial
Manusia mempunyai kemampuan untuk menciptakan dan memanipulasi symbol-simbol. Kemampuannya itu diperlukan untukn komunikasi antarpribadi dan pikiran subjektif. Guna memandang proses dan relativitas bentuk-bentuk yang ada, maka Mead selanjutnya menggunakan tiga perspektif yang berbeda; evolusionisme Darwin, idealism dialektis Jerman, dan pragmatism Amerika, meskipun Mead “menolak” dikatakan hanya mensintesis ketiga perpektif itu.
1) Sikap-isyarat (Gestur)
Gertur adalah gerakan organisme pertama yang bertindak sebagai rangsangan khusus yang menimbulkan tanggapan (secara social) yang tepat dari organisme kedua. Isyarat suara sangat penting perannya dalam pengembangan isyarat yang signifikan. Namun, tak semua isyarat suara signifikan, kekhususan manusia dibidang isyarat (bahasa) ini pada hakikatnya yang bertanggung jawab pada asal-muasal pertumbuhan masyarakat dan pengetahuan manusia sekarang dengan seluruh control terhadap alam dan lingkungan dimungkinkan berkat pengtahuan.
2) Simbol-simbol Signifikan
Symbol Signifikan adalah sejenis gerak isyarat yang hanya dapat diciptakan oleh manusia. Isyarat menjadi symbol signifikan bila muncul dari individu yang membuat symbol-simbol itu sama dengan dengan sejenis tanggapan (tetapi tidak perlu sama) yang diperoleh dari orang yang menjadi sasaran isyarat. Jadi disini dapat disimpulkan symbol-simbol signifikan ada 2, yaitu: symbol Bahasa dan Simbol Isyarat Fisik: -Fungsi bahasa ataw symbol yang signifikan pada umumnya adalah menggerakan tindakan yang sama dipikhak individu yang berbicara dan juga pihak yang lainnya. Pengaruh lain dari bahasa merangsang orang yang berbicara dan orang yang mendengarkannya. –Simbol Isyarat Fisik, menciptakan peluang diantara individu yang terlibat dalam tindakan social tertntu untuk mengacu pada objek ataw objek-objek yang menjadi sasaaran tindakan itu.
3) Pikiran (mind)
Didefinisikan mead sebagai proses percakapan seseorang dengan sendirinya, tidak ditemukan dalam diri individu; pikiran adalah fenomena social. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses social dan merupakan bagian integral dari proses social. Dan karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk “memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan, itulah yang dinamakan pikiran”.
4) Diri (self)
Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek, untuk mempunyai diri, individu harus mencapai keadaan “diluar dirinya sendiri” sehingga mampu mengevaluasi diri sendiri, mampu menjadi objek bagi dirinya sendiri. Dalam bertindak rasional ini mereka mencoba memeriksa diri sendiri secara inpersonal, objektif dan tanpa emosi, Mead mengidentifikasi dua aspek atau fase diri, yang ia namakan “I” dan “Me”. Mead menyatakan, diri pada dasarnya diri adalah proses social yang berlangsung dalam dua fase yang dapat dibedakan, perlu diingat “I” dan “ME” adalah proses yang terjadi didalam proses diri yang lebih luas. Bagian terpenting dari pembahasan Mead adalah hubungan timbal balik antara diri sebagai objek dan diri sebagai subjek. Diri sebagai objek ditujukan oleh Mead melalui konsep “Me”, sementara ketika sebagai subjek yang bertindak ditunjukan dengan konsep “I”.
Analisis Mead mengenai “I” membuka peluang bagi kebebasan dan spontanitas. Ketika “I” mempengaruhi “Me”, maka timbulah modifikasi konsep diri secara bertahap . ciri pembeda manusia dan hewan adalah bahasa dan “symbol signifikan”. Symbol signifikan haruslah merupakan suatu makna yang dimengerti bersama. Ia terdiri dari dua fase, “Me” dan “I”. dalam kontek ini “Me” adalah sosok saya sendiri sebagai mana yang dilihat oleh orang lain, sedangkan “I” adalah bagian yang memperhatiakan diri saya sendiri. Dua hal yang itu menurut Mead menjadi sumber orisinallitas, kreativitas, dan spontanitas. Percakapan internal memberikan saluran melalui semua percakapan eksternal. Andai diri itu hanya mengandung “Me”, hanya akan menjadi agen masyarakat. Fungsi kita hanyalah memenuhi perkiraan dan harapan orang lain. Menurut Mead, diri juga mengadung “I” yang merujuk pada aspek diri yang aktif dan mengikuti gerak hati. Mead menyebutkan, bahwa seseorang itu dalam membentuk konsep dirinya dengan jalan mengambil perspektif orang lain dan melihat dirinya sendiri sebagai objek. Untuk itu, ia melllewati tiga tahap yaitu:
1. Fase Bermain
Dimana si individu “memainkan” peran social orang lain. Tahap ini menymbang perkembangan kemampuan untuk meransang perilaku individu itu sendiri menurut perspektif orang lain dalam suatu peran yang berhubungan dengan itu.
2. Fase Pertandingan
Fase pertandingan yang terjadi stelah pengalaman social individu berkembang. Tahap pertandingan ini dapat dapat dibedakan dari tahap bermain dengan adanya suatu tingkat organisasi yang lebih tinggi. Konsep diri individu terdiri dari kesadaran subjektif individu terhadap perannya yang khusus dalam kegiatan bersama itu, termasuk persepsi-persepsi tentang harapan dan respons dari yang lain.
3. Fase Mengambil Peran
Fase mengambil peran (generalized other), yaitu ketika individu mengontrol perilakunya sendiri menurut peran-peran umum bersifat impersonal. Menurut Mead, generalized other itu bisa mengatasi kelompok atau komunitas tertentu secara transeden atau juga mengatasi bata-batas kemasyarakatan.
5) Masyarakat
Pada tingkatan paling umum, Mead menggunkan istilah masyarakat (society) yang berarti proses social diri tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarat penting peranannya dalam membentuk pikiran dan diri, ditingkat lain, menurut Mead, Masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang diambil oleh individu dalam bentuk “aku” (me).Konsep Mead tentang masyarakat juga menekankan pada kekhususan model praksis manusia,di mana tanganlah yang menjembatani interaksi manusia dengan dania interaksi antara manusia dengan manusia lain,ia menekankan adanya keterkaitan antara pengalaman praktis yang dijembatani oleh tangan.Pembicaraan dan tanganj secara bersama-sama berperan dalam pengembangan manusia social.Maksudnya,beberapa jenis aktivitas kerjsama telah menyebabkan adanya kedirian.
REFERENSI
https://rheinaldyy2likesrin.wordpress.com/2010/08/26/pengantar-ilmu-filsafat/
http://vhicca.blogspot.com/2013/05/v-behaviorurldefaultvmlo_2806.html
http://fgreisye.blogspot.com/2013/09/etika-dan-filsafat-komunikasi-analisis.html
http://jasakonsultasionline.blogspot.com/2012/05/definisi-manusia.html
http://gowithdflo.blogspot.com/2012/03/pengertian-dan-hakikat-filsafat.html
https://filsufsunni.wordpress.com/2012/12/05/kebenaran/
RESUME ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI
RESUME ETIKA DAN FILSAFAT ILMU KOMUNIKASI
OLEH
NAMA : SITI LATIFA
NIM : 291414048
KELAS : (A) ILMU KOMUNIKASI
MATA KULIAH : ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI
PENGANTAR ILMU FILSAFAT
Pengertian Filsafat
Berdasarkan etimologinya, kata “filsafat” dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani philosophia yang terdiri dari dua kata, yaitu philein (mencintai) atau philia (cinta) atau philos (sahabat, kekasih) dan sophia (kebijaksanaan, kearifan). Jadi, filsafat dapat diartikan sebagai “cinta kebijaksanaan”. Orang yang mempelajari serta mendalami filsafat disebut “filsuf”.
Selain dalam bahasa Indonesia, philosophia juga diserap ke dalam berbagai bahasa sehingga akhirnya melahirkan beragam kata, diantaranya: falsafah dalam bahasa Arab, filosofi dalam bahasa Belanda, dan philosophy dalam bahasa Inggris.
Secara terminologis, pengertian filsafat (philosophy) menurut Concise Oxford English Dictionary (Tenth Edition) adalah:
studi tentang hakikat dasar dari pengetahuan, kenyataan, dan keberadaan (eksistensi)
studi tentang dasar-dasar teoritis dari suatu cabang pengetahuan atau pengalaman
suatu teori atau sikap yang memandu perilaku seseorang
Pengertian filsafat, dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda, dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsfatan itu sendiri.
Pengertian filsafat dapat ditinjau dari 2 segi, yakni:
Filsafat secara Etimologi
Kata filsafat, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah falsafah dan dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah philosophy adalah berasal dari bahasa Yunani philoshopia. Kata philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan shopia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom). Kata filsafat pertama kali oleh Phytagoras (582-496 SM). Pada saat itu arti filsafat belum begitu jelas.
Filsafat secara Terminologi
Secara terminologi adalah arti yang dikandung oleh istilah filsafat. Dikarenakan tentang batasan dari filsafat itu banyak , antara lain:
1. Para filsuf pra – Socrates
Para filsuf pra – Socrates mempertnayakan tentang arche, yakni awal mula atau asal usul alam dan berusaha menjawabnya dengan menggunakan logos atau rasio tanpa percaya lagi pada jawaban mitos atau legenda. Oleh sebab itu, bagi mereka, filsafat adalah ilmu yang berupaya untuk memahami hakikat alam dan realitas dengan mengendalikan akal budi.
2. Plato
Filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran asli.
3. Aristoteles
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa berupaya mencari prinsip – prinsip dan penyebab – penyebab dari realitas yang ada.
4. Al Farabi
Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat bagaimana alam maujud yang sebenarnya.
5. Rene Descartes
Filsafat adalah himpunan dari segala pengetahuan yang pangkal penyelidikannya adalah mengenai Tuhan, alam, dan manusia.
6. William James
Filsafat adalah suatu upaya yang luar biasa hebat untuk berpikir yang jelas dan terang.
7. Immanuel Kant
Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang didalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang kita ketahui.
8. Langeveld
Filsafat adalah berpikir tentang masalah – masalah yang akhir dan yang menentukan, yaitu masalah – masalah mengenai makna keadaan, Tuhan, keabadian, dan kebebasan.
9. Hasbullah Bakry
Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta, dan juga manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya setelah mencapai pengetahuan tersebut.
10. Louis O. Kattsoff
Filsafat merupakan suatu analisis secara hati – hati terhadap penalaran – penalaran mengenai suatu masalah, dan penyusunan secara sengaja serta sistematis suatu sudut pandang yang menjadi suatu dasar tindakan.
Upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik dan lengkap tentang seluruh realitas.
Upaya untuk melukiskan hakikat relitas akhir dan dasar serta nyata.
Upaya untuk menentukan batas – batas dan jangkauan pengetahuan: sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya.
Penyelidikan kritis atas pengandaian – pengandaian dan pernyataan – pernyataan yang diajukan oleh bidang pengetahuan.
Disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu manusia melihat apa yang dikatakan dan mengatakan apa yang dilihat.
Dari serangkaian definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa filsafat adalah proses berpikir secara radikal, sistematik, dan universal terhadap segala yang ada dan yang mungkin ada. Dengan kata lain, berfilsafat berarti berpikir secara radikal (mendasar, mendalam, sampai ke akar – akarnya, sitematik (teratur, runtut, logis, dan tidak serampangan) untuk mencapai kebenaran universal (umum, terintegral, dan tidak khusus serta tidak parsial).
Pengetahuan yang dimilki manusia bersifat dinamis, terus berkembang dari zaman ke zaman, karena manusia mempunyai kemampuan mencerna pengalaman, merenung, merefleksi, menalar, dan meneliti dalam upaya memahami lingkungannya.
Kemampuan tersebut dimiliki manusia disebabkan manusia dibekali oleh Tuhan berupa akal atau rasio untuk berpikir, sementara mahluk lainnya tidak. Manusia berpikir dengan akalnya. Dengan akalmya manusia mempunyai rasa ingin tahu (curiosity). Dari rasa ingin tahu inilah manusia selalu mempertanyakan segala hal yang dipikirkannya, menyangsikan segala apa yang dilihat, dan mencari segala bentuk permasalahan yang dihadapi. Manusia berusaha menjawab semua pertanyaan yang dihadapi dan mengajukan alternatif pemecahan suatu masalah.
Berpikir adalah ciri khas manusia. Selain ciri utama sebagai mahluk berpikir (kognisi), manusia juga masih mempunyai potensi lain, yakni perasaan (afeksi), kehendak (konasi), dan tindakan (aksi) atau sering disebut cipta, rasa, karsa, dan karya. Deangan potensi itu manusia mencipta, mengelola, dan mengubah lingkungan sekitarnya ke arah lebih baik.
Dengan beragam potensi inilah manusia mempertanyakan, meragukan, dan menjawabnya. Manusia tidak merasa puas hanya memperoleh jawaban – jawaban yang berasal dari adat – istiadat, tradisi, dongeng – dongeng, mitos – mitos, legenda – legenda itu tidk sesuai sesuai aturan berpikir atau bertentangan dengan akal/rasio sehat manusia.
Lahirnya filsafat dan ilmu pengetahuan bermula dari aktivitas berpikir. Karena inti dari berfilsafat adalh berpikir. Namun, tidak semua aktivitas berpikir dapat disebut berfilsafat. Berfilsafat adalah berpikir yang mempunyai tujuan. Tujuannya adalah memperoleh pengetahuan, yakni pengetahuan yang menyangkut kebenaran. Sehingga dengan berfilsafat manusia dapat sampai pada kebenaran.
Bagi beberapa orang, barangkali mempelajari filsafat menjadi hal yang cukup menyita waktu. Bukan saja karena cakupannya yang sangat luas, tetapi juga kesan terhadap studi filsafat seringkali cenderung terlalu berat dan dianggap sebagai ilmu yang istimewa, sehingga hanya orang-orang tertentu yang mau dan mampu mempelajarinya. Di lain sisi, ada pula yang berpendapat bahwa filsafat tidak lebih dari sekedar lelucon tidak bermakna alias “omong kosong” karena ia seringkali membahas hal-hal yang jauh dari memiliki kegunaan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan dalam lingkup kehidupan beragama, beberapa kalangan ulama ada pula yang menganggap filsafat sebagai ilmu yang menyesatkan keimanan umat Islam, dan telah memperpuruk peradaban fiqhiyah Islam. (JH. Rapar, 1996) Sehingga tidak sedikit dari mereka yang mengharamkan umat Islam untuk mempelajari filsafat. Bahkan, pemahaman seperti ini kembali mengemuka di akhir-akhir ini, terutama muncul dari mereka yang mengklaim dirinya sebagai jama’ah bermadzhab salafi.
Tetapi, lupakah kita bahwa dalam pergaulan sehari-hari, kita sering mendengar orang mengatakan “Falsafah hidup saya adalah…”, atau “Sebagai seorang pengusaha sukses ia memiliki falsafah hidup…” barangkali ada pula yang menyatakan “Dalam hidup ini, saya berpegang teguh pada prinsip hidup….” Serta masih banyak pula contoh lainnya yang merujuk pada sikap, pandangan, gagasan, yang dipegang teguh seseorang dalam menghadapi segala persoalan di dalam hidupnya.
Pengalaman keseharian di atas menunjukkan bahwa sebenarnya berfilsafat dan obyek studi filsafat berada pada pengalaman kehidupan yang dialami oleh si pemikir. Tetapi perlu dicatat bahwa bukanlah filsafat itu sama dengan berfikir. Berfilsafat memanglah mengaktifkan aktifitas berfikir, tetapi belum tentu setiap aktifitas berfikir disebut sebagai aktifitas filsafat. Aristoteles yang termasuk barisan filosof awal mengatakan bahwa aktifitas filsafat bermula dari suatu rasa kagum (thauma) dari sang pemikir atas hal-hal yang dialaminya, dan diteruskan dengan beberapa prinsip dan asas dalam berfilsafat, antara lain:
Menghilangkan paham ‘Saya lah yang paling tahu!’
Menaruh kesetiaan sepenuhnya terhadap kebenaran
Bersungguh-sungguh dalam memahami suatu persoalan dan berusaha mencari jawaban
Setia dan tidak mengenal lelah untuk mempraktikan ‘berfikir mendalam’
Terbuka terhadap setiap kemungkinan kebenaran yang baru (Mustansyir, 2009)
Filsafat seringkali disebut sebagai ibu dari semua ilmu (mater scientiarum). Statemen ini dapat dibuktikan, setidaknya dengan skema sejarah munculnya ilmu-ilmu menyatakan bahwa kajian para filosof di era awal yang sangat luas berimplikasi pada munculnya ilmu-ilmu pada era selanjutnya. Psikologi, salah satu ilmu yang di era modern dikelompokkan pada kajian humaniora, adalah salah satu disiplin ilmu yang juga memiliki keberlanjutan sejarah dan pemikiran dengan ‘sang induk segala ilmu’. (Suriarumantri, 2003)
Beberapa azas berfikir filsafat di atas juga tercermin dalam filsafat ilmu yang dapat dipahami sebagai suatu bentuk pemikiran terhadap ilmu secara mendalam (filosofis) dan bersifat refleksi lanjutan terhadapnya. Dengan kata lain, jika berbagai disiplin ilmu lain (mis. Sosiologi, psikologi, sejarah, dll) melakukan penyelidikan pada problem dan obyek studi secara khusus, maka tugas filsafat ilmu merupakan suatu penyelidikan lanjutan terhadapnya, sehingga memungkinkan bagi kita untuk memahami kesalinghubungan antara obyek, metode dan pendekatan ilmiah yang digunakan. Secara singkat, perbedaan filsafat ilmu dengan disiplin ilmu lain terletak pada perannya mempersoalkan azas serta alasan apakah yang menyebabkan suatu ilmu dapat menyatakan dirinya sebagai suatu pengetahuan “ilmiah”. (Beerling, 1990)
Secara umum filsafat ilmu memberikan landasan umum filosofis dari setiap ilmu dapat dipersingkat melalui tiga pertanyaan penting; apa yang ingin kita ketahui? Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?
Dengan pengertian diatas, maka keterhubungan psikologi dengan filsafat dapat dipelajari lebih jauh. Psikologi sebagai bidang ilmu yang secara khusus bersinggungan langsung dengan obyek studi yakni manusia, mendapatkan refleksi sekunder dari analisa kefilsafatan. Tujuan dari analisa sekunder ini untuk memahami apa yang menjadi orientasi global serta kerja khusus dari ilmu psikologi itu sendiri.
FILSAFAT DAN ILMU KOMUNIKASI
Pengertian umum filsafat adalah ilmu pengetahan yang menyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran. Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang hakikat. Ilmu pengetahuan tentang hakikat menanyakan tentang apa hakikat atau sari atau inti atau esensi segala sesuatu. Dengan cara ini, jawaban yang akan diberikan berupa kebenaran yang hakiki. Ini sesuai dengan arti filsafat menurut kata-katanya. Sementara itu pengertian khusus filsafat telah mengalami perkembangan yang cukup lama dan dipengaruhi oleh faktor-faktor yang kompleks sehingga menimbulkan berbagai pendapat tentang arti filsafat dengan kekhususan masing-masing. Berbagai pendapat khusus tentang filsafat anatara lain:
a. Rasionalisme yang mengagungkan akal
b. Materialisme yang mengagungkan materi
c. Idealisme yang mengagungkan idea
d. Hedolisme yang mengagungkan kesenangan
e. Stoikisme yang mengagungkan tabiat saleh
Aliran-aliran tersebut mempunyai kekhususan masing-masing, menekankan kepada sesuatu yang dianggap merupakan inti dan harus di beri tempat yang tinggi misalnya ketenangan, kesalehan, kebendaan, akal dan idea.
Dari beberapa pendapat tersebut, pengertian filsafat dapat dirangkum menjadi seperti berikut:
a. Filsafat adalah hasil yang kritis dan dinyatakan dalam bentuk yang sistematis
b. Filsafat adalah hasil fikiran manusia yang paling dalam
c. Filsafat adalah refleksi lebih lanjut dari pada ilmu pengetahuan atau pendalaman lebih lanjut ilmu pengetahuan
d. Filsafat adalah hasil analisia dan abstraksi
e. Filsafat adalah pandangan hidup
f. Filsafat adalah hasil perenungan jiwa manusia yang mendalam, mendasar, dan memyeluruh.
• Pengertian Filasafat Ilmu
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
• Robert Ackerman
Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Cornelius Benjamin
Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.
• Michael V. Berry
Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.
• May Brodbeck
Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws
Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan.
• Filsafat Ilmu Dalam Filsafat Komunikasi
Para ahli sepakat bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat melandasi ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos merupakan komponen filsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan, yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing para ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar dan rasional, yang dicirikan oleh argument-argumen yang logis.
Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Manusia sebagai makhuk sosial akan sealu berhubungan dengan manusia lain melalui komunikasi retorika sebagai ilmu mengenai pernyataan antara manusia diperkenalkan pertama kalioleh Aristoteles. Gagasan awal mengenai pernyataan manusia di nyatakan dalam model sederhana, yaitu komunikator, pesan dan komunikan. Perkembangan selanjutnya menjadi ilmu komunikasi dengan model yang lebih rumit, ada komunikator, pesan komunikan, media, dan efek.
Istilah komunikasi berasal dari kata communis yang berarti sama. Sama dalam arti sama maknanya. Berkomunikasi berarti mempunyai tujuan untuk mendapatkan arti yang sama. Kajian komunikasi dari sudut pandang filsafat ilmu komunikasi dimaksud agar pemahaman terhadap proses komunikasi bersifat radikal atau mendalam, sistematis, dan menyeluruh. Kajian ini dimaksud untuk mendapatkan esensi atau hakikat komunikasi. Pernyataan ini adalah pesan. Sebelum pesan sampai kepada khalayak atau penerima pesan, haruslah dilakukan pertimbangan.
Mempelajari komunikasi sebagai ilmu akan menjadi dasar bag seseorang untuk memahami komunikasi dari tinjauan filsafati. Pengertian filsafat akan mempermudah seseorang dalam menyusun pikirannya sebagai isi pesan komunikasi. Isi pesan yang tersusun secara logis, etis, dan estetis merupakan usaha agar proses komunikasi efektif.
Filsafat Ilmu Komunikasi diartikan sebagai “kegiatan berpikir dan mengkaji secara lebih mendalam yang mencari suatu kebenaran dari semua pengetahuan yang ingin diketahui terhadap proses komunikasi yang meliputi ontologi, epistemologi maupun aksiologi dan mencoba memperoleh jawaban yang tepat dengan terus menanyakan jawaban-jawaban untuk memecahkan masalah-masalah dalam proses komunikasi tersebut.
Filsafat komunikasi berarti mengkaji sedalam-dalamnya baik dalam segala hal maupun fenomena komunikasi itu sendiri. Hal ini dapat bertujuan untuk menemukan pengetahuan baru atau bahkan memperbarui dan menyempurnakan teori yang sudah ada. Kegiatan berfilsafat ini berdasarkan keingintahuan dan keragu-raguan manusia akan segala sesuatu yang berada di sekitarnya secara khusus fenomena komunikasi yang didalamnya meneliti hasil hubungan dan interaksi antarmanusia yang mana interaksi tersebut merupakan objek material ilmu komunikasi.
Filsafat ilmu komunikasi mempertanyakan bagaimana aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologi komunikasi. Secara ontologi, komunikasi pada awalnya dianggap sebagai suatu proses linear antara komunikator dan komunikan yang saling bertukar pesan melalui media yang mereka gunakan dan terus berkembang seiring dengan perubahan yang faktor manusia yang mulai diperhitungkan. Komunikasi yang awalnya hanya dipandang satu arah berkembang sedemikian rupa hingga menghasilkan berbagai macam bentuk komunikasi yang diantaranya yaitu komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok, komunikasi massa dan komunikasi publik.
a. Ontologi
Dalam aspek Ontologi membicarakan hakikat (segala sesuatu), ini berupa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu. Hal ini memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek formal melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.
Objek materi sejarah ilmu komunikasi bisa kita jadikan contoh dari antologi. Yaitu mencari apa sejarah dari Ilmu Komunikasi tersebut. Pada Perkembangan lahirnya komunikasi dapat ditelusuri sejak perdaban Yunani Kuno beberapa ratus tahun sebelum masehi.Sebutan “komunikasi” dalam konteks arti yang beralku sekarang ini memang belum dikenal saat itu.Istilah yang berlaku pada zaman tersebut adalah “retorika”.
Para ahli berpendapat bahwa studi retorika sebenarnya telah ada sebelum zaman Yunani (Golden, 1978; Foss, 1985; Forsdale, 1981).Disebutkan bahwa pada zaman kebudayaan Mesir Kuno telah ada tokoh-tokoh retorika seperti Kagemi dan Ptah-Hotep.Namun demikian tradisi retorika sebagai upaya pengkajian yang sistematis dan terorganisasi baru dilakukan di zaman Yunani Kuno dengan perintisnya Aristoteles (Golden, 1978).
Pengertian “retorika” menurut Aristoteles, menunjuk kepada segala upaya yang bertujuan untuk persuasi. Lebih lanjut Aristoteles menyatakn bahwa retorika mencakup tiga unsur yakni:
a. Ethos (kredibilitas sumber)
b. Pathos (menyangkut emosi/ perasaan)
c. Logos (hal yang menyangkut fakta)
Dengan demikian upaya persuasi, menurut Aristoteles, menuntut tiga (3) faktor yakni kredibilitas dari pelaku komunikasi yang melakukan kegiatan persuasi, kemampuan untuk merangsang emosi/ perasaan dari pihak yang jadi sasaran, serta kemampuan untuk mengungkapkan fakta-fakta yang mendukung logika.
Pokok-pokok pikiran Aristoteles ini kemudian dikembangkan lagi oleh Cicero dan Quintilian. Mereka menyusun aturan retorika yang meliputi lima (5) unsur: -> invento (urutan argumentasi) -> dispesitio (pengaturan ide) -> eloqutio (gaya bahasa) -> memoria (cara penyampaian pesan)
Prinsip retorika menjadi dasar bagi bidang kajian speech communication.Pengertian retorika berkembang menjadi kemampuan manusia menggunakan lambang-lambang untuk berkomunikasi satu sama lain.
b. Epistimologi
Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri. Persoalan utama epsitemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinyaDalam hal ini bagaimana cara meperoleh pengetahuan ilmu komunikasi itu sendiri.
Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan sangat erat kaitannya dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi dikatakan sebagai ilmu tidak terlepas dari ilmu-ilmu social yang terlebih dahulu ada. pengaruh Sosiologi dan Psikologi sangat berkontribusi atas lahirnya ilmu ini.
Bahkan nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat besar pengaruhnya atas perkembangan keilmuan Komunikasi. Dan memang, Komunikasi ditelaah lebih jauh menjadi sebuah ilmu baru pada abad ke-19 di daratan Amerika yang sangat erat kaitannya dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.
Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.
c. Aksiologi
Sedangkan dalam aspek aksiologi, yaitu ilmu yang membicarakan tentang tujuan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek kebermanfaat ilmu itu sendiri. Seperti yang telah disinggung pada aspek epistemologis bahwa aspek aksiologis sangat terkait dengan tujuan pragmatic filosofis yaitu azas kebermanfaatan dengan tujuan kepentingan manusia itu sendiri. Perkembangan ilmu Komunikasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia akan komunikasi.
Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information, propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.
KEBENARAN
Thomas Aquinas, kadang orang juga membedakan antara kebenaran antologis (Veritas ontologica) dan kebenaran logis ( Veritas logika). Kebenaran ontologis adalah kebenaran yang terdapat dalam kenyataan entah spritual atau material, yang meskipun ada kemungkinan untuk diketahui, masih lepas dari gejala pengetahuan, misalnya tentang adanya segala sesuatu sesuai hakikatnya, kebenaran tentang adanya Tuhan, tentang keabadian jiwa, sedang kebenaran logis adalah kebenaran yang terdapat dalam akal budi manusia si penahu dalam bentuk adanya kesesuaian antara akal budi dan kenyataan. Menurut Thomas Aquinas, hadir dan terlaksanakanya kebenaran dalam pengetahuan manusia terjadi dalam bentuk pengarahan melalui proses yang tak ada hentinya dan tidak bisa lepas dari indra.
Menurut Plato ” Kebenaran” sebagai suatu ketakter tersembunyian adanya itu tidak dapat dicapai manusia selama hidupnya di dunia ini. Pengertian kebenaran seperti ini sama dengan pendapat Thomas Aquinas sebagai kebenaran ontoiogis. Aritoteles dapat memahami kebenaran lebih memusatkan perhatiannya pada kualitas pernyataan yang dibuat oleh subjek penahu ketika ia menegaskan suatu putusan entah secara afirmatif atau negatif itu tergantung pada apakah putusan yang bersangkutan sebagai pengetahuan dalam diri subjek penahu itu sesuai atau tidak dengan kenyataannya. Di sini kebenaran dimengerti sebagai persesuaian antara subjek sipenahu dengan objek yang diketahui.
Bagi Aritoteles subjek yang mengetahui lebih penting daripada objek yang diketahui, sebagaimana dalam pandangan Plato, walaupun demikian bagi Aristoteles pun pengetahuan yang paling benar dan paling luhur baru dimiliki kalau subjek penahu ( idealitas) dan objek yang diketahui (realitas) itu identik satu sama lain dalam pengetahuan, akal, budi yang sempurna. Pengertian tentang kebenaran dalam tradisi Aristotelian adalah kebenaran logis dan linguistik propotional.
Kebenaran pertama-tama berkaitan dengan kualitas pengetahuan artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek dilihat dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah pengetahuan itu berupa : pengetahuan biasa yang disebut juga (Knowledge of The Man in The street atau ordinari Knowledge atau juga Comon Sense Knowledge, pengetahuan seperti ini memiliki kebenaran yang bersifat subjektif, artinya amat terikat pada subyek yang mengenal.
Tahap pertama ini memiliki sifat selalu benar sejauh tidak ada penyimpangan. Pengetahuan jenis kedua adalah pengetahuan ilmiah yaitu pengetahuan yang telah menetapkan objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau lampiran metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang teiah mendapatkan kesepakatan diantara ahli yang sejenis, kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relatif, maksudnya pengetahuan yang bersifat ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir. Kebenaran dalam hal ini selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian.
Pengetahuan jenis ketiga adalah pengetahuan filsafati yaitu pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran filsafati, yang sifatnya mendasar dan menyeluruh dengan modal pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenaran ini absolut intersubjektif maksudnya nilai kebenaran yang terkandung. Jenis pengetahuan filsafat merupakan pendapat yang selalu melekat pada pandangan fisafat seseorang. Pemikiran fisafat itu selalu mendapat pembenahan dart ahli filsafat yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama pula. Kebenaran jenis yang ke empat adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. Memiliki sifat dogmatis artinya pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan yang telah tertentu, sehingga dalam pemyataan-pernyataan dalam ayat-ayat kitab suci agama. Meneliti nilai kebenaran yang sesuai dengan keyakinan yang digunakan untuk memahaminya, dapat berkembang secara dinamik sesuai dengan perkembangan waktu akan tetapi kandungan maksud ayat, kitab suci itu tidak dapat dirubah dan sifatnya absolut.
Kebenaran pengetahuan yang ketiga adalah nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahaun itu. Bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek. Manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan itu subjek atau objek ?, jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif artinya nilai kebenaran dan pengetahuan atau mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif artinya nilai kebenaran dan pengetahuan yang dikandungnya itu tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu atau jika objek amat berperan maka sifatnya objektif seperti pengetahuan tentang alam atau Ilmu ilmu alam.
Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata benda yang kongrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau stitmen. Apabila subjek mengatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas sifat atau karakteristik, hubungan hal yang demikian itu sarana kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.
Pengertian kebenaran dapat dibedakan antara “kebenaran faktual” dan ” kebenaran nalar”. Kaum positifis logis bahkan mengklaim bahwa tidak ada kebenaran lain selain kedua jenis kebenaran ini. ” kebenaran faktual” adalah kebenaran tentang ada tidaknya secara faktual didunia nyata, sebagaimana di alam manusia ( biasanya diuicar dengan dapat – tidaknya dia nanti secara indrawi apa yang dinyatakannya_ Misalnya apakah pernyataan “bumi itu bulat” merupakan suatu pernyataan yang memiliki kebenaran. Faktual atau tidak pada prinsipnya harus bisa diuji kebenarannya berdasarkan pengamatan indrawi. Kebenaran faktual adalah kebenaran yang menambah khazanah pengetahuan tentang alam semesta. Sejauh dapat kita alami secara indrawi.
Kebenaran faktual bersifat nisbi dan mentak kepastiannya tidak pernah mutlak dan tetap diterima sebagai benar, jauh sampai sekarang belum ada alternatif yang dapat menggugurkannya. “kebenaran nalar” adalah kebenaran yang bersifat tautologis dan tidak menambah pengetahuan baru mengenai dunia ini, tetapi dapat merupakan sarana berdaya guna untuk memperoleh pengetahuan yang berarti tentang dunia ini. Dengan kata lain dapat membantu untuk memperoleh pengetahuan yang memiliki kebenaran faktual. Kebenaran nalar adalah kebenaran yang terdapat dalam logika dan matematika kebenaran di sini bedasarkan atas suatu penyimpulan terdeteksi sehingga berbeda dengan kebenaran faktual yang bersifat nisbi dan mentak, kebenaran, ‘nalar bersifat mutlak.
Berpikir merupakan suatu kegiatan untuk menemukan pengetahuan yang benar. Apa yang disebut dengan benar bagi seseorang, belum tentu benar bagi orang lain.– karena itu kegiatan berpikir adalah usaha untuk mengetahui benar atau kriteria kebenarannya, karena sifat dan watak pengetahuan itu berbeda. Pengetahuan tentang alam metafisika tentunya, tidak sama dengan pengetahuan tentang alam fisik. Alarn fisik pun memiliki perbedaan ukuran kebenaran bagi setiap jenis dan bidang pengetahuan.
Secara umum orang merasa bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran, namun masalahnya tidak hanya sampai disitu saja. Problem kebenaran ilmiah yang memacu tumbuh dan berkembangnya epistemologi.
Telah epistemologi terhadap kebenaran membawa orang kepada suatu kesimpulan bahwa perlu di bedakan a danya tiga jenis kebenaran yaitu : kebenaran epistemologi, kebenaran ontologis dan kebenaran semantic.
Kebenaran “epistomolgi” adalah kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia. Kebenaran “antologis” adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat segala sesuatu yang ada atau diadakan. Kebenaran dalam arti “semantis” adalah kebenaran yang terdapat serta melekat dalam tutur kata bahasa. Ukuran kebenaran Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris, pengetahuan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu, bila logis itu benar, bila tidak logis salah.
Ukuran kebenaran menurut Plato lebih diletakan dalam objek atau kenyataan yang diketahui dalam kehidupan sehari-hari kalau kita berbicara tentang kebenaran pengetahuan biasanya kebenaran itu memang berkedudukan dalam pernyataan-¬pernyataan. Filosofis maupun teologis Kepercayaan-kepercayaan agama tempat kebenaran pertama-tama dalam diri subjek yang mengetahui, sebagaimana di ketahui dari pikiran dan ungkapannya baik dalam bahasa lisan maupun tulisan, dari kepercayaan-kepercayaan yang diyakininya. Namun kebenaran tidak lain adalah nalar atau bahkan penyamaan akal budi dengan kenyataan dan hanya dalam idealitas penyamaan yang sempurna antara keduanya bisa terjadi. Maka kebenaran sesungguhnya juga sekaligus berkedudukan dalam objek atau kenyataan yang dikenal.
Dalam kenyataan hidup manusia sehari-hari pernyataan-pernyataan yang dianggap benar walaupun memang menjadi tempat kedudukan kebenaran, namun hal itu hanya terjadi jikalau kenyataan yang sesungguhnya tersingkapkan kenyataan sebagaimana ternyata tidak bisa disaksikan secara sekaligus dan menyeluruh, setiap penyingkapan tabir selalu tidak pernah sama sekali terbatas dari perjumpaan dengan tabir baru yang masih menutupi kenyataan tersebut. Maka pencarian dan penemuan kebenaran akhirnya berada dan dapat tersingkap dalam relasi antara subjek dan objek, maka penegasan kebenaran tak dapat dilepaskan dari kontek sejarah. Kebenaran dan kesejarahan bukan dimana yang saling mengecualikan atau bertentangan satu sama lain. Kebenaran pengetahuan menjadi nyata dalam proses sejarah.
Dalam perkembangan pemikiran filsafat perbincangan mengenai kebenaran sudah dimulai sejak Plato yang kemudian diteruskan oleh Aristoteles. Plato melaiui metode ._ dialog membangun teori pengetahuan yang cukup lengkap sebagai teori pengetahuan yang paling awal. Teori kebenaran selalu paralel dengan teori pengetahuan yang dibangunnya. Teori-teori kebenaran yang telah terlembaga itu anatara lain adalah:
Teori Kebenaran Korespodensi
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyataan dan pendapat tersebut. Dengan demikian kebenaran epistemologi adalah kemanunggalan antara subjek dan objek pengetahuan itu dikatakan benar apabila dalam kemanungalan yang sifatnya intrinstik, intensionaldan fasif aktif terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam pengetahuan subjek dengan apa yang ada dalam objek.
Menurut teori ini kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu deman kenvet Agn sesuatu itu sendiri suatu contoh :_Dalam dwlid,_ alts , teori ini sangat penting sekali. Digunakan guna mencapai suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. “katakanlah bodrex adalah obat sakit kepala, untuk membuktikan kebenaran pernyataan ini tidak hanya memakan obat tersebut, tetapi juga meneliti ulang kebenaran unsur-unsur yang terdapat dalam bodrek, dengan demikian suatu pernyataan tidak hanya diyakini sedemikian rupa, akan tetapi digunakan untuk diteliti.
Teori Kebenaran Koherensi
Teori koherensi atau teori konsistensi yang sering pula dinamakan : The coherence theory of truth. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgment) dengan sesuatu yang lain, yang fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri. Dengan kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan-hubungan antara putusan yang baru dengan putusan¬-putusan lainnya yang telah diakui.
Kebenaran menurut teori ini ialah kesesuaian antara sesuatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu kita ketahui, terima dan akui sebagai yang benar. Contoh 3+3 = 6 adalah benar, karena sesuai dengan kebenarannya yang sudah disepakati bersama terutama oleh komunitas matematika.
Teori Kebenaran Pragmadis
Teori Pragmatisme tentang kebenaran, the pragmatic theory of truthh pragmatisme berasal dari bahasa Yunani yaitu Pragma artinya yang dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan-bagi filsafat yang dikembangkan oleh WILLIAM JAMES di Amerika Serikat, menurut filsafat ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil, atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat. Menurut teori ini suatu kebenaran dan suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsiaonal dalam kehidupan manusia. Teori hipotesa atau ide adalah benar apabila membawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik, apabila ia mempunyai nilai praktis, kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kenbenaran ialah apa saja yang berlaku sesuatu itu benar apabila memuaskan keiginan dan tujuan manusia, sesuatu itu benar apabila dapat diuji benar dengan ekperimen, sesuatu itu benar apabila mendorong atau membantu perjuangan biologis untuk tetap ada (itu yang disebut dengan hasil yang memuaskan).
Jadi untuk penganut Pragmatis, ujian kebenaran ialah kegunaan (utility) dapat dikerjakan (workobility), akibat atau pengaruhnya yang memuaskan, tidak ada sesuatu kebenaran yang tetap atau kebenaran yan mutlak. Dengan kata lain sesuatu pengertian itu tidak pernah benar, hanya dapat menjadi benar kalau saja dapat di manfaatkan secara praktis.
Teori kebenaran Sintaksis
Pendapat teori ini, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau pragmatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya dengan demikian suatu pernyataan memiliki nilai benar bila penyataan itu mengikuti aturan-¬aturan sintaksisi yang baku. Apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau keluar dari hal yang disyaratkan maka proposisi itu tidak mempunyai arti. Teori ini berkembang diantara para filosof analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian yang gramatika. Menurut SCHLEIRMACHER sebagaimana dikutip oleh POESPOPROJON pemahaman adalah suatu rekontruksi, bertolak dari ekpresi yang selesai diungkapkan menjurus kembali kesuasana kejiwaan ekpresi itu diaungkapkan, disini saling terjadi yakni momen tata bahasa dan momen kejiwaan.
Teary Kebenaran Semantis
Menurut teori ini, kebenaran Simantik atau proposisi memiliki nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu merupakan pangkal yang mempunyai pengacu (reference) yang jelas, Oleh karena itu teori ini memiliki tugas untuk menguak kesyahan pryosisi dalam referensinya itu.
Teori kebenaran simantis, sebenarnya berpangkal atau mengacu pada pendapat Aristoteles sebagaimana yang digambarkan oleh “WHITE” bahwa teori simantik menyatakan proposisi itu mempunyai nilai kebenaran, bila memiliki arti yang menunjukan makna yang sesungguhnya dengan menunjuk pada referensi atau kenyataan juga yang bersifat defnitif anti yang jelas dengan menunjuk ciri yang khas dari sesuatu yang ada.
Teori kebenaran Non Deskripsi
Teori kebenaran Non deskripsi di kembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme. Karena pada dasarnya suatu sistem atau pernyataan itu akan mempunyai nilai benar yang amat tergantung peran dan fungsinya pernyataan itu. “WHITE” menggambarkan tentang kebenaran sebagaimana dikemukakannya pengetahuan akan memiliki nilai benar, sejauh pengetahuan itu memiliki fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari. Pernyataan itu juga merupakan kesepakatan bersama untuk menggunakan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Teori Kebenaran Logik
Menurut teori ini adalah problema kebenaran.hanya kekacauan bahasa saja, dan hal ini akibatnya merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa pernyataan yang hendaknya dibuktikan sebenarnya memiliki derajat yang logik yang sama yang masing-masing saling melengkapinya. Dengan demikina sesungguhnya setiap proposisi yang bersifat logik dengan menunnjukan bahwa proposisi itu mempunyai isi yang sama, memberikan informasi yang sama dan semua sepakat maka apabila kita membuktikannya lagi yang yang demikian itu hanya merupakan bentuk logis yang berlebihan karena suatu pernyataan yang hendak di buktikan nilai kebenamnya sesungguhnya sudah merupakan fakta atau data _yang telah memiliki evidensi artinya objek pengetahuan itu telah menunjukan kejelasan dalam dirinya sendiri. Misalnya suatu lingkaran adalah bulat, ini telah meberikan kejelasan dalam pernyataan itu sendiri.tidak pula diterangkan lagi karena pada dasarnya lingkaran adalah suatu yang terdiri dari rangkaian titik yang jaraknya sama dari satu titik tertentu. sehingga berupa garis yang bulat.
Sifat Kebenaran Ilmiah
Kebenaran ilmiah muncul dari hasil peneletian ilmiah artinya sesuatu kebenaran tidak mungklin muncul tanpa adanya prosedur baku yang dilaluinya. Prosedur baku yang harus di lalalui itu adalah tetap untuk mernperoleh pengetahuan ilmiah, yang pada hakikatnya berapa teori melalui metodologi ilmiah yang telah baku sesuai dengan sifat dasar ilmu. Maksudnya setiap ilmu secara tegas menetapkan jenis objek secara ketat, apakah objek Au berupa hat konkret atau abstrak. Pembicaraan tentang objek secara rinci telah dijelaskan di muka. Selain itu juga ilmu ilmu menetapkan langkah-langkah ilmiah sesuai dengan objek yang di hadapinya. Kebenaran dalam ilmu adalah. kebenaran yang sifatnya objektif, maksudnya ialah bahwa kebenaran dari suatu tiori atau lebih tinggi lagi aksiomanya atau pradigma, harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam kenyataan objeknya.
Kenyataan yang berupa suatu yang dapat dipakai acuan atau kenyataan yang pada mulanya merupakan objek dalam pembentukan pengetahuan ilmiah itu. Mengacu pada status ontologis objek, maka pada dasarnya kebenaran dalam ilmu dapat di golongkan dalam dua jenis teori, yaitu teori kebenaran korespondensi atau teori kebenaran koherensi. Ilmu-ilmu kealaman pada umumnya bentuk kebenaran korespondensi karena fakta-fakta objektif amat dituntut dalam pembuktian terhadap setiap proposisi atau pernyataan (statement), akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu-ilmu sosila, ilmu logika dan matematika. Ilmu-ihnu tersebut menuntut konsisstensi dari koherensi diantara, proposisi-proposisi sehingga pembenaran bagi ilmu ilmu itu mengikuti teori kebenaran koherensi.
Agama Sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dan karakteristiknya sendiri meberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau teori yang lain mengutamakan akal, budi, rasio manusia, dalam agama yang dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari Tuhannya.
Dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah melakukan penyelidikan, pengalaman dan percobaan sebagai teori trial and error. Sedangkan manusia mencari-mencari dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempetanyakan atau mencari jawaban tentang berbagai masalah asasi dari atau kepada kitab Suci. Dengan demikian sesuatu dianggap banar apabila sesuai dengan ajaran agama atau sebagai wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak, oleh karena itu sangat wajar ketika Imam Al-ghazali merasa tidak puas dengan penemuan-penemuan akalnya. Dalam mencari kebenaran.
Dalam tasawuf setelah dia mengalami proses yang amat panjang, maka tasawuflah yang menghilangkan keragu-raguan tentang segala sesuatu. Kebenaran menurut agama inilah yang dianggap oleh kaum Sufi sebagai kebenaran mutlak, yaitu kebenaran yang sudah tidak dapat di ganggu gugat lagi. Namun Al-Ghazali tetap merasa kesulitan menentukan kriteria kebenaran. Akhirnya kebenaran yang didapatnya adalah kebenaran subjektif atau inter subjektif.
PART 2 >
Blogroll
- Masih Kosong