Adakah Pemimpin yang Jujur?

13 October 2013 21:15:59 Dibaca : 849 Kategori : artikel Muji

Adakah Pemimpin yang Jujur?

Sebuah surat pembaca dari Martha Novitasari yang tayang secara online di media ini (SP, 3 Mei 2012) membantu kita memahami sebagian dari akar krisis politik yang mendera bangsa kita. Martha Novitasari mengungkapkan rasa takjubnya atas kejujuran seorang sopir taksi yang berusaha mengembalikan tas penumpang yang tertinggal di taksi. Padahal ada peluang untuk mengambil barang-barang berharga yang ada di dalam tas tersebut. Novitasari melihat ini sebagai contoh tindakan jujur yang absen dari perilaku politik di negeri ini.

Berperilaku jujur memang sedang menjadi barang langka sekarang. Itulah yang menjadi alasan mengapa kita sangat menghargai perilaku para politisi berhati jujur seperti Jenderal Hoegeng Iman Santoso dan Baharuddin Lopa, pendekar penegak hukum yang berani dan jujur. Dewasa ini karakter seperti ini sulit ditemukan baik di kalangan legislatif maupun eksekutif. Alih-alih menemukan pemimpin yang jujur, kita justru berhadapan dengan jajaran pemimpin yang mencitrakan diri sebagai jujur, padahal memiliki sifat kotor karena memperkaya diri. Mereka sibuk melanggengkan kekuasaan dengan berbagai cara dan mulai melupakan hakikat kekuasaan sebagai amanah untuk menyejahterakan masyarakat. Kekuasaan lebih sering dijalankan di luar arena kejujuran ketika anggaran pembangunan dimanipulasi demi kepentingan diri, tindakan korupsi dibenarkan dengan memanfaatkan kelemahan hukum, dan sebagainya.

Kejujuran Politik

Di harian ini penulis pernah mengatakan bahwa kita butuh pemimpin yang memiliki karakter. Bahwa pemimpin berkarakter adalah sosok yang tahu akan apa yang baik dan buruk secara moral serta memiliki komitmen teguh untuk mempraktikkan hal yang baik tersebut (SP, 28/1/2012). Sudut pandang penulis tersebut kini goyah berhadapan dengan kenyataan bahwa korupsi kini menyerang institusi pendidikan. Diwartakan bahwa ada kepala sekolah yang menjadi pemborong atau makelar proyek. Guru-guru pun tidak malu-malu memanipulasi dana bantuan pendidikan, merekayasa data diri demi lolos sertifikasi, dan sebagainya. Berita terakhir menyebutkan ada beberapa rektor yang diduga terkait korupsi pengadaan alat-alat laboratorium.

Bagi kita, para rektor ini termasuk sosok yang punya pengetahuan mumpuni akan yang baik dan buruk secara moral, tetapi gagal mempraktikkannya. Apa yang salah? Memang dapat dikatakan bahwa mereka tidak memiliki komitmen untuk menjalankan tindakan politik bermoral. Persoalannya, mengapa komitmen itu seakan sirna dari praktik politik kaum cendekia ini? Penulis mengajukan dua kondisi untuk melengkapi pengetahuan yang baik dan buruk serta pentingnya komitmen untuk bertindak secara moral. Pertama, kejujuran harus menjadi watak utama dalam praktik politik. Kedua, kontrol sosial dalam proses demokrasi harus dimaksimalkan demi “menghukum” politisi yang tidak berkarakter etis.

Thomas Aquinas (1225-1274) membantu kita memahami kondisi pertama (ST, 2nd part of the 2nd Part, Question 145). Agar dapat membedakan hal yang baik dan buruk secara moral, kita mengandaikan kemampuan rasio (nalar). Menurut Aquinas, ada dua kemampuan rasional manusia yang bekerja sekaligus setiap kali melakukan pertimbangan rasional, yakni rational appetite dan sensitive appetite. Keduanya sama-sama mengejar kenikmatan (appetite) tetapi berbeda dari segi isinya. Dengan kemampuan rational appetite, seseorang membedakan yang baik dan buruk secara moral dan bertindak sesuai kebaikan tersebut demi mewujudkan kebaikan pada dirinya (in itself). Kenikmatan yang dikejar adalah kebaikan pada dirinya tersebut. Thomas Aquinas berpendapat bahwa kejujuran adalah “keadaan terhormat” (an honorable state) yang dicapai seseorang dalam hidupnya, dan itulah kebaikan tertinggi yang dikejar. Itu berarti kebaikan tertinggi yang dikejar karena memiliki tujuan pada dirinya itu seharusnya adalah watak kejujuran. Hanya orang jujur yang rational appetite-nya menolong dia melakukan kebaikan demi dirinya sendiri.

Lawannya adalah sensitive appetite, yakni kenikmatan yang diperoleh bukan demi tujuan pada dirinya. Tindakan korupsi, misalnya, pasti didorong oleh sensitive appetite. Koruptor sebenarnya tahu bahwa tindakannya tidak bermoral (berkat rational appetite), tetapi mengabaikannya karena dia memilih kenikmatan lain karena dorongan gaya hidup, pemerkayaan diri, investasi politik, sumbangan ke partai politik, dan sebagainya.

Mengatasi ketegangan kedua nalar ini, menurut penulis, kita membutuhkan keugaharian politik (political temperance). Ini menjadi semacam opsi motivasi tindakan politik yang bermoral. Keugaharian politik sanggup memurnikan motivasi politik berhadapan dengan daya magis sensitive appetite. Berkat keugaharian politik inilah seorang politisi atau pemimpin memilih tindakan politiknya yang tidak lagi didasarkan pada keinginan untuk memperkaya diri atau melanggengkan kekuasaan (dorongan sensitive appetite), tetapi karena panggilan nurani untuk mensejahterakan masyarakat (dorongan rational appetite). Salah satu wujud keugaharian politik adalah kesederhanaan hidup. Jika diadopsi menjadi lifestyle, kesederhanaan hidup justru dapat membebaskan politisi dari sensitive appetite dan memurnikan motivasi politik untuk hanya memajukan kemakmuran masyarakat yang diwakilinya.

Kontrol Sosial

Kondisi kedua yang juga penting adalah memaksimalisasi kontrol sosial atas praktik politik yang tidak bermoral. Demokrasi yang sudah matang mensyaratkan diskursus politik yang rasional dan partisipasi politik yang setara. Jika hal yang kedua sudah cukup baik dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2004, tidak demikian dengan yang pertama. Praktik politik di negeri ini masih diwarnai oleh politik pencitraan atau politik redaksi media massa yang pro kepentingan politisi dan/atau partai politik. Ini dapat merusak watak diskursif dan rasional demokrasi, dan pada gilirannya akan menyulitkan kontrol sosial atas praktik-praktik politik yang tidak bermoral.

Proyek bersama jangka pendek menghadapi pemilu 2014 adalah mengidentifikasi politisi dan/atau partai politik yang tidak bermoral dan kemudian menghukum mereka dengan tidak lagi mendukungnya. Proyek ini hanya bisa direalisasikan jika diskursus politik dijalankan secara rasional dan imparsial. Tentu ini sebuah idealisme yang masih harus dibuktikan, terutama ketika kita berhadapan dengan tidak meratanya akses terhadap informasi atau praktik politik balas budi karena tindakan karitatif politisi atau partai tertentu dalam membantu masyarakat mengatasi kesulitan hidup. Justru di sinilah kita ditantang untuk mewujudkan diskursus demokrasi yang rasional dan imparsial tersebut.

Politik yang jujur itu baik karena mampu mengatasi motivasi tindakan politik yang tidak bermoral. Meskipun demikian, kondisi ini saja tidaklah memadai. Kehadiran kontrol sosial adalah sebuah keniscayaan demi mengendalikan perilaku politik yang tidak bermoral. Semoga ini menjadi cita-cita bersama yang bisa direalisasikan.

Catatan: Tulisan ini sudah dimuat di Harian Suara Pembarua, 16 Juni 2012, hlm. 4 (Kolom ETIKA)

http://jeremiasjena.wordpress.com/category/artikel-populer/