Bahaya Kekerasan Agama
Bahaya Kekerasan Agama
Kekerasan massa semakin merajalela di republik ini. Harian Suara Pembaruan menurunkan berita miris tentang kepala daerah yang gagal menjaga dan menjamin toleransi antarumat beragama (SP, 8/5/2012). Mengutip data Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS), terdapat 19 peraturan gubernur, bupati, dan walikota yang mendukung diskriminasi terhadap kelompok agama tertentu. Sementara itu, penyegelan dan penutupan rumah ibadah (utamanya gereja), larangan mendirikan rumah ibadah dan tempat ziarah rohani, atau teror terhadap kelompok masyarakat yang mengizinkan pendirian rumah ibadah terus saja terjadi.
Tidak jarang pejabat publik, aparat penegak hukum, pemuka agama, atau kelompok masyarakat pembela pluralitas tampil mengecam kekerasan massa bermotif agama, tetapi kritik dan kecaman tersebut sama sekali tidak berdampak. Gerak dan manuver kelompok-kelompok keagamaan yang mendalangi aksi protes dan kekerasan massa seakan tak terbendung. Jika benar analisa para pengamat, bahwa pemerintah RI lemah dalam memberantas kekerasan, maka kita sebetulnya sedang menghadapi fase serius kehancuran republik ini.
Gagalnya Proses Individualisasi
Mengapa kekerasan massa di negara ini sepertinya tidak dapat dicegah? Pada tataran relasional (interaksi sosial dan pembentukan identitas kelompok), pendirian rumah ibadah atau menjalankan ritual keagamaan adalah bagian dari proses pembentukan identitas kelompok. Ini dilakukan tidak hanya demi membangun relasi yang kudus dan mulia dengan Tuhan, tetapi juga demi pembentukan kesadaran kolektif. Demikianlah, beribadah dalam sebuah masyarakat yang plural dipahami sebagai cara mendefinisikan identitas kelompok sekaligus mendistingsi diri dari kelompok lain. Dalam proses ini, problem identifikasi individu dengan kelompoknya diandaikan telah tercapai.
Penegasan identitas kelompok ini sering berhadapan secara frontal dengan kelompok mayoritas dalam masyarakat plural. Di sinilah berbagai masalah dan konflik biasanya muncul. Pertama, kelompok mayoritas mengklaim dirinya sebagai yang berhak mengendalikan proses pembentukan nilai dan norma bagi semua. Klaim ini sering dijustifikasi oleh landasan teologis yang mengatakan bahwa kelompok yang berbeda adalah kaum kafir, bahwa Tuhan memerintahkan agar kelompok lain itu ditobatkan. Meskipun demikian, alasan kultur juga ikut mendukung, misalnya, pandangan bahwa daerah tertentu harus beragama tertentu, dan sebagainya.
Bisa jadi cara berpikir seperti inilah yang mendasari mengapa banyak kepala daerah bersikap diskriminatif dalam menelorkan kebijakan dan peraturan tentang kaum minoritas di daerahnya. Memang kebijakan ini dapat melanggengkan ketidaksetaraan dan membenarkan tindakan kekerasan terhadap kaum minoritas. Akan tetapi, hal yang lebih berbahaya adalah tindakan ini justru memperkuat kesadaran kolektif kaum mayoritas bahwa merekalah yang berhak membentuk identitas kelompok. Kesadaran kolektif yang salah seperti inilah yang akan melanggengkan kebencian dan kekerasan terhadap sesama.
Kedua, penegasan identitas kelompok dalam proses sosial yang normal biasanya melalui fase kolektivisasi (Beck and Beck-Gernsheim, 2002) ke fase individualisasi (Alastair Hudzon, 2007). Pertanyaan “siapa kita” dijawab dalam fase kolektivisasi ketika setiap individu mengidentifikasi diri dengan identitas kelompoknya sekaligus membedakan kelompoknya dari kelompok lain. Narasi teologis atau warisan budaya hadir memperkuat proses ini. Proses fragmentasi kelompok tidak dapat dihindari pada fase kolektivisasi persis ketika setiap kelompok sosial menegaskan identitas dirinya sebagai yang berbeda dan eksklusif dari kelompok lain.
Ayn Rand pernah mengingatkan kita di tahun 1963 (The Virtue of Selfishness), bahwa rasisme telah menjadi perwujudan kesadaran kolektif yang paling berbahaya karena sanggup mengkonstruksi kebencian etnis seperti yang dipraktikkan Adolf Hitler di Jerman di abad ke-20. Jika saja filsuf Amerika keturunan Rusia itu masih hidup, dia harus mengakui bahwa agama telah menjadi pemicu kebencian yang paling menakutkan di abad ini dengan Indonesia sebagai contoh. Sama seperti cara kerja ideologi ultra nasionalis Nazisme, teologi agama dewasa ini berhasil mengkolonialisasi kesadaran individu, bahwa sumber pembentuk identitas dirinya hanya bersumber pada agamanya, dan bahwa eksistensi agama lain hanya akan mendistorsi kemurnian pembentukan identitas diri.
Proses individualisasi terjadi ketika seseorang berbusanakan identitas kelompok dan agamanya berinteraksi dengan identitas yang berbeda. Dalam proses normal, interaksi tersebut memungkinkan terjadinya redefinisi identitas diri, di mana seseorang mempertanyakan nilai dan norma kelompoknya, mempertegas prinsip-prinsip moralnya atau meninggalkan nilai-nilai tertentu yang dianggap ketinggalan zaman. Pross individualisasi memberikan kesempatan kepada individu “… to dictate their own biographies in contrast to traditional social patterns” (Alastair Hudzon, 2007: 2). Dalam konteks Indonesia, proses normal ini mengalami kegagalan karena pandangan teologis telah mengebiri pemikiran kritis individu tentang keragaman identitas yang berimplikasi pada penolakan kelompok lain yang berbeda. Inilah proses kolektivisasi yang gagal karena tidak memberi ruang bagi eksistensi agama lain sekaligus melumpuhkan perangkat kesadaranindividu tentang relativitas kebenaran agama. Individu terpasung dalam identitas agama dengan berbagai kepentingan yang menyertainya.
Tugas Berat
Proses pembentukan identitas diri tidak bisa dibiarkan tanpa kontrol negara dalam arti positif. Pertama, proses sosial yang normal dari fase kolektivisasi ke fase individualisasi menyembunyikan bahaya terkooptasinya kelompok lain yang berbeda ke dalam identitas kelompok mayoritas. Atau, paling ekstrem adalah penghancuran kelompok lain yang berbeda itu. Pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang diskriminatif tanpa koreksi tegas negara hanya akan mematikan proses individualisasi, cepat atau lambat. Dalam arti itu, proses individualisasi dengan intervensi negara secara minimal seharusnya dibenarkan demi pengakuan terhadap eksistensi kelompok yang berbeda. Masalahnya, kekerasan bermotif agama yang sering terjadi di negeri ini membuat kita khawatir bahwa proses individualisasi seperti itu segera akan terjadi.
Kedua, kita membutuhkan rekayasa sosial demi mengatasi kemandekan proses sosial dari fase kolektivisasi ke fase individualisasi tersebut. Pendidikan dan penyadaran sosial dapat menjadi sarana efektif bagi rekayasa sosial itu. Melalui pendidikan, pemerintah dapat menginjeksikan kesadaran bahwa orang lain – siapa pun dia – adalah sesamaku. Tentu dengan catatan bahwa pemerintah memiliki kontrol penuh atas isi pembelajaran, termasuk pembelajaran agama yang selama ini diduga menjadi pintu masuk bagi penyebaran ajaran radikal dan eksklusif.
Sekaranglah setiap elemen bangsa ini bekerja keras mengkampanyekan sikap inklusif. Ketika sedang berpacu dengan waktu karena anacaman disintegrasi bangsa begitu nyata di depan mata, Emmanual Levinas tampil mengajarkan kita untuk selalu melihat orang lain sebagai sesama (Ethics and Infinity, 1982). Sebagai ganti terhadap sikap eksklusif, kebencian dan penganiayaan, orang lain seharusnya dijumpai dalam kepolosan wajah dan kesucian dirinya. Seperti yang dikatakan Levinas, “wajah” (face) orang lain yang dijumpai adalah kepolosan dan kesucian bermartabat yang sanggup melarang kita menyakiti dan membunuhnya. “The face is what one cannot kill, or at least it is that whose meaning consists in saying: ‘thou shalt not kill’” (1982, 87). Ini mengandaikan kita beralih dari menjadi pengikut agama yang hanya menekankan doktrin dan formalisme kepada mengalami kebaikan Tuhan dalam diri orang lain.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di harian Suara Pembaruan, 12 Mei 2012.
http://jeremiasjena.wordpress.com/category/artikel-populer/