Hukum Onani/Masturbasi Dalam Islam
Onani bisa diartikan sebagai aktivitas untuk memuaskan syahwat dengan cara mengeluarkan “secara paksa” air mani (sperma) dengan melakukan perangsangan alat vital. Caranya dengan menggesek-gesekkan melalui tangan atau benda lain hingga mengeluarkan air mani dan mencapai kepuasan seksual. Onani atau masturbasi bisa dilakukan oleh kaum pria maupun wanita. Namun istilah Onani lebih cenderung ditujukan untuk pria, sedangkan untuk wanita adalah Masturbasi.
Lalu bagaimana Hukum Onani dalam Islam?
Onani atau masturbasi dengan menggunakan tangannya sendiri, atau tangan orang lain, selain tangan pasangannya yang sah (suami atau istri) untuk alasan apa pun (termasuk karena khawatir terjerumus zina) hukumnya adalah haram.
Allah Ta’ala mewahyukan:
"Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas." (QS Al-Mukminun, [23]: 5-7)
Dalam sebuah Hadis Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda:
لَعَنَ الله٠مَنْ Ù†ÙŽÙƒÙŽØÙŽ يَدَهÙ
Allah melaknat seseorang yang melakukan onani (masturbasi).
Kendati demikian, tingkat dosa onani (masturbasi) lebih ringan dibandingkan zina. Seseorang yang syahwatnya bergejolak dan tidak mampu mengendalikannya, maka hendaknya ia berpuasa atau segera menikah.
Dalam sebuah Hadits Rasulullah shallallahu 'alahi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ الشَّبَاب٠مَن٠اسْتَطَاعَ Ù…ÙنْكÙم٠البَاءَةَ Ùَلْيَتَزَوَّجْ، ÙÙŽØ¥Ùنَّه٠أَغَضÙÙ‘ Ù„ÙلْبَصَرÙØŒ ÙˆÙŽØ£ÙŽØْصَن٠لÙلْÙَرجÙØŒ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطÙيعْ Ùَعَلَيْه٠بÙالصَّوْمÙØŒ ÙÙŽØ¥Ùنَّه٠لَه٠وَجَاءٌ
"Hai para pemuda, barang siapa di antara kalian sudah ada kemampuan (fisik dan modal berumah tangga), maka kawinlah karena perkawinan itu bisa menjinakkan pandangan dan melindungi kemaluan. Tetapi barangsiapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab puasa itu akan menjadi pembendung syahwat. " (HR Muslim)
Khawatir terjerumus zina tidak dapat dijadikan sebagai alasan untuk menghalalkan onani. Jika seseorang memang tidak kuasa membendung syahwatnya dan kemudian melakukan onani, maka dia harus meyakini bahwa perbuatannya itu merupkan sebuah dosa dan segera memohon ampun kepada Allah.
[ Lihat Bakrî Ad-Dimyathî, I’anathuth Thalibîn, Darul kutubil ‘ilmiyah, 2002, juz.3 hal.255.]