Raih Sukses Setelah Ditempa di Panti Asuhan

30 August 2013 13:48:52 Dibaca : 1484 Kategori : terbaru muji

Raih Sukses Setelah Ditempa di Panti Asuhan
Ketut Putra
Ketut Putra (sumber: istimewa)
Pemilik sejumlah lembaga pendidikan dan latihan pariwisata serta beberapa hotel berbintang, Ketut Putra Suarthana, memiliki kisah dan pengalaman hidup yang menarik untuk disimak. Anak petani penggarap tanah puri ini sejak kecil dihadapkan pada kehidupan yang sulit. Suarthana kecil harus menggembala itik hingga ikut ibunya bekerja dengan berjalan kaki berkilo-kilo meter.

Kesulitan hidup terus dihadapi Putra Suarthana dan keluarganya. Orangtuanya tidak mampu membiayai hidup anak-anaknya yang berjumlah 12 orang karena kesulitan ekonomi. Si bungsu Suarthana akhirnya menjadi anak panti asuhan. Ia harus pindah dari kampungnya di Madangan menjadi anak panti asuhan di Melaya, Jembrana.

Di panti asuhan itulah ia dididik untuk disiplin dan hidup teratur. Makan, belajar, bermain, hingga tidur pun waktunya diatur. Selama jadi anak panti asuhan, ia mendapatkan pendidikan formal hingga tamat SMA. Panti asuhan bagai tempat kelahirannya yang kedua. Di panti asuhan ia memulai hidup baru dan kelak menjadi mahasiswa, dosen, hingga menjadi pengusaha sukses di bidang pariwisata. Kehidupan di panti asuhan mengajarkan Putra Suarthana tidak kenal menyerah dan tangguh menghadapi tantangan hidup.

Bagaimana ia memulai hidup di panti asuhan, mendirikan lembaga pendidikan dan latihan pariwisata, hingga meraih sukses ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Berawal dari Panti Asuhan. Demikian juga kisahnya bagaimana ia mampu mendirikan jaringan hotel berbintang di beberapa daerah. Bahkan, sempat menjadi tukang foto dan diminta ikut mendirikan partai politik.

Suarthana juga membangun jaringan perhotelan The Puri Saron Hotel Group. Ia sempat menjadi ketua Partai Damai Sejahtera (PDS) Bali tahun 2003, dan ikut membantu pembentukkan PDS di NTB dan NTT, serta ikut mensponsori pembentukan PDS di Maluku dan Papua. Namun, dia menolak menjadi anggota DPR pusat. Suarthana ingin mendedikasikan pikiran dan tenaganya untuk pendidikan dan pariwisata di Bali, tempat kelahiran, perjuangan, dan pengabdiannya selama ini. Berikut wawancara dengannya.

Bagaimana Anda menjalani pengasuhan dan pendidikan di panti asuhan?
Ketika menjadi anak panti asuhan, kehidupan saya harus berubah total. Dari bangun tidur, makan, sampai tidur lagi ada jadwalnya. Memang tidak mudah menyesuaikan diri dengan kehidupan baru itu. Apalagi, seperti umumnya pengasuh panti asuh zaman dulu, mendidik anak-anak dengan keras. Tidak jarang pengasuh membawa pecut untuk membuat anak-anak di panti asuhan taat pada perintahnya. Kalau ada anak panti asuhan yang telat bangun tidur langsung disiram air.

Kehidupan di panti asuhan membentuk kita menjadi manusia tahan banting. Pengasuh yang galak dan jadwal tugas yang ketat ternyata berdampak positif. Anak-anak panti asuhan menjadi manusia kuat dan disiplin terhadap waktu. Ini saya rasakan kelak di kemudian hari.

Tempaan lainnya yang dirasakan adalah soal makanan. Selama menghuni Panti Asuhan Kristen Giri Asih Ambiarsari, Melaya, tahun 1964 sampai 1971, tidak jarang kita harus makan gaplek, makanan dari ubi kayu yang dikeringkan, kemudian dimasak. Makanan yang tak biasa itu, lama-lama terasa enak. Memang tak ada pilihan lain, yang penting bisa membuat perut terisi. Hutan di Ambiarsari kita jadikan sebagai tempat memperoleh makanan tambahan, seperti pepaya, nangka, dan jagung.

Berbeda denngan di Panti Asuhan Wisma Harapan Untal-untal, Dalung, tersedia tempat tinggal yang nyaman dan sehat. Panti ini juga menyediakan segala macam perlengkapan sekolah. Selain itu, makanan relatif terjamin gizi dan higienitasnya. Anak-anak juga memperoleh pendidikan rohani, bimbingan psikologis, dan bimbingan kewirausahaan atau entrepreneurship.

Bagaimana kehidupan di SMA, setelah lulus, kemudian berkuliah dan menjadi dosen, serta pengalaman kerja sebagai bell-boy di beberapa hotel?

Di SMA saya sempat menjadi tukang foto dan mulai mendapat penghasilan sendiri. Saya mencetak sendiri hasil foto, ketika teman-teman tertidur lelap, sekitar pukul 1-2 dini hari. Saya belajar memotret dari seorang guru dan mendapat pinjaman sebuah kamera kuno.

Selulus SMA, saya mendapat beasiswa akademi pariwisata di Denpasar, dan mulai bekerja sambilan menjadi pembersih kolam di Sanur Beach Hotel tahun 1974. Kemudian menjadi bell-boy, dan sering mendapat tip dari para tamu, lumayan untuk biaya hidup dan sekolah. Saya sempat bekerja di bagian reservasi, front office, dan reservation manager.

Saya sempat bekerja di Nusa Dua Beach Hotel, kemudian menjadi pengajar di Balai Pendidikan dan Latihan Pariwisata (BPLP) di Nusa Dua, juga mengajar di Kerta Wisata. Saat menjadi dosen, saya membeli bemo dan merangkap sebagai sopirnya untuk menambah penghasilan dan mencicil bulanan bemo. Saya mendapat beasiswa belajar di Belanda selama 1,5 tahun, dan bemo dijual diganti L-300 sebagai mobil pribadi.

Uang mukanya diperoleh dari hasil kerja di beberapa tempat. Bemo ini juga berfungsi ganda. Saat tidak bertugas sebagai dosen, saya narik sebagai sopir angkutan rute Denpasar-Sanur untuk menambah penghasilan. Bemo ini juga dipakai ke kampus BPLP di Nusa Dua, dan biasanya teman-teman yang tak punya kendaraan menumpang dan membayar per bulan. Jadi, saya jemput-antar ke kampus, dan pulangnya sama-sama. Lumayan untuk cicilan bulanan bemo.

Apa pengalaman Anda mendirikan lembaga pendidikan pariwisata, dan bagaimana minat masyarakat serta dukungan pihak lain?
Bersama teman-teman gereja di Bali, saya mendirikan Pusat Pendidikan dan Latihan Pariwisata (PPLP) Dhyana Putra. Mahasiswanya membeludak. Kami mendapat bantuan dari Jerman untuk membangun gedung. Peminatnya sangat banyak. Sebagai daerah wisata, Bali memang sangat membutuhkan ahli dan praktisi pariwisata. Ketika ingin mengembangkan bangunan Universitas Dhyana Pura, kami kesulitan dana, bunga bank sangat tinggi, tapi akhirnya berhasil juga.

Tahun 1992, saya dibantu rekan-rekan tenaga pendidikan profesional dari BPLP Bali mendirikan lembaga yang khusus memberikan pendidikan dan latihan tenaga profesional di bidang perhotelan dan pariwisata, yakni Mapindo (Manajemen Pariwisata Indonesia) yang sangat terkenal di Bali bahkan di Indonesia. Mapindo kemudian dikembangkan di beberapa kota di luar Bali. Lulusan Mapindo juga diserap pasar kerja di luar negeri.

Selain itu, kami mendirikan sekolah taman kanak-kanak (TK), sekolah dasar, sampai sekolah menengah kejuruan (SMK), bahkan sekolah tinggi ilmu ekonomi dan sekolah tinggi ilmu kesehatan. Kami juga membangun TK untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Tahun 2003, kami mendirikan Spa Academy atau Bali International Spa Institute, yakni lembaga penddikan dan pelatihan yang khusus bergerak dalam pengembangan sumber daya manusia di industri spa.