PROBLEMA ETIKA DI INDONESIA

19 September 2014 16:29:03 Dibaca : 4059 Kategori : KUMPULAN MAKALAH

2.1 Organisasi dan visi bisnis
Usaha bisnis adalah suatu oraganisasi produktif dengan mengemban tugas khusus dalam bidang bisnis. Dengan tugas bisnisnya organisasi ini memberikan kapasitas kepada masyarakat untuk berkinerja (drucker, 1994:113). Sesungguhnya organisasi bisnis adalah pengemban banyak amanah dan dalam banyak hal diharapkan melakukan sesuatu yang mempunyai nilai etika dalam bisnisnya.
Etika bisnis harus dimulai dari lingkungan terkecil (misal perusahaaan kita), keberadaan etika bisnis dapat dikaitkan dengan kompotensi. Suatu organisasi yang menangani masalah diluar kompotensinya dianggap tidak etis, karena hanya merusak diri sendiri dan masyarakatnya. Sebuah rumah sakit yang mengklaim dirinya spesial menangani penyakit jantung adalah tidak etis kalau juga menangani penyakit syaraf atau paru – paru. Tindakan yang demikian adalah tindakan yang menyalahi kompotensinya yang terspesialisai, nilai – nilai yang khas dan fungsinya yang khusus.
Kinerja bisnis beretika dipengaruhi oleh oleh visi dan misi organisasi bisnis yang dirancang jauh sebelum fungsi bisnis dijalankan. Usaha bisnis yang ideal dimulai dari dari perumusan visi. Brdasarkan visi tersebut bisnis dijalankan dan dikendalikan.
Dinegara kita perumusan visi bisnis kebanyakan perusahaan masih jauh daripanggilan moral etika yang berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Visis bisnis yang baik secra mmoral adalah visi bisnis yang mengacu pada sebuah panggilan jiwa atau sebuah kerinduan yang mendalam atau sebuah impian yang agung dan lahir dari hati. Visi yang berasal dari hati sanuari mampu melahirkan optimisme yang tinggi, dapat meningkatkan ketahanan dan mendorong kreativitas tinggi serta apat melakukan sesuatu yang jauh lebih baik dibandingkan orag lain. Sesuatu yang lebih baik hanya dapat dihasilkan oleh sebuah rencana dan visis bisnis yang baik pula.
Sebagai suatu usaha yang terencana, bisnis tidak dapat luput dari berbagai masalah yang harus dihadapinya, mulai dari masalah pendanaan ( keuangan), sumber daya manusia, operasional sampai dengan pemasaran yang kompleks. Semakin besar perusahaan, semakin besar pula pelung dan permasalahan yang harus diselesaikannya.
Pelaku usaha bisnis yang cerdas mampu mengidentifikasi dan mengatasi permasalahan itu dengan bijak. Perusahaan yang cerdas mampu dan mau menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya dengan prinsip – prinsip bisnis dan norma-norma hukum yang berlaku tanpa mengorbankan nilai-nilai etika kemanusiaan. Dengan semangat moral dan etika, fungsi – fungsi bisnis dapat dijalankan untuk mencapai tujuan bisnisnya yang mulia.

2.2 Lingkungan Dan Reformasi
Eksistensi dan pertumbuhan perusahaan, selain di pengaruhi oleh berbagai factor internal (dalam perusahaan ), juga dipengaruhi oleh factor eksternal (Luar Perusahaan) yang sulit di prediksikan (uncontrollable factor ). Termaksud dalam lingkungan eksternal antara lain supplier, pelanggan, pesaing (competitor), stakeholder, dan masyarakat.
Berbagai factor eksternal tersebut gerak dan perkembangan sebuah perusahan juga diwarnai berbagai dan perubahan lingkungan yang lebih besar (makro) seperti ekonomi, hukum, teknologi, politik, geografi, demografi, dan factor alam (fisik). Masing-masing variabel yang tidak dapat dikendalikan tersebut berpotensi menimbulkan masalah bagi perusahaan dan juga berpeluang bagi timbullnya pelanggaran etika bisnis.
Sejak era reformasi bergulir telah banyak perubahan dalam iklim bisnis dan ekonomi di Indonesia. Peluang bisnis terbuka lebar dan ekonomi nasional bertumbuh menggembirakan. Sejak itu pengusaha luar negeri ramai-ramai masuk ke Indonesia, mereka merambah ke berbagai sector usaha, mulai dari perbankan sampai dengan usaha eceran. Berbarengan dengan itu beberapa pengusaha domestic bermitra dengan pebisnis luar negeri untuk membangun konglomerasi yang kadangkala keluar dari bisnis intinya. Akibatnya banyak perusahaan kita yang menjadi amu di Negerinya sendiri dannilai-nilai moralitas kebangsaa menjadi memudar. Kecintaan terhadap produk dalam negeri juga terkikis dan sifat individualistic juga semakin digandrungi , demikian budaya-budaya asing yang tidak cocok dengan nilai luhur kebangsaan mulai berkembang dan tatanan kehidpan masyarakat kita. Semangat gotong royong kini menjadi barang dan binatang lanka. Lebih menyedihkan lagi semangat demokrasi ekonomi sebagaimana diamanahkan UUD 1945nyaris tidak punya tempat dalam hati dan pikiran bangsa Indonesia.
Salah satu nilai yang diadopsi pelaku bisnis kita dai pencaturan bisnis Internasional adalah sikap individualistic dan kapitalistik. Kedua sikap tersebut kini menjadi semboyan dan panutan sikap banyak perusahaan di Indonesia. Istilah bussines is bussines semakin populer, demikian juga usaha koperasi dan jiwa kooperatif semakin tidak populer, yang populer adalah keuntungan dan hanya keuntungan titik.
Di sisi lain pelanggan dan masyarakat semakin kurang puas dengan produk dan pelayanan perusahaan kita. Kepuasan pelanggan hanya diupayakan pelaku bisnis melalui promosi dan bukan dengan pengembangan produk yang semakin berkualitas. Menurut beberapa pengamat, selain nilai-nilai ekspektasi pelanggan yang belum dapat dipenuhi, banyak perusahaan juga balum dapat memahami eksistensinya secara benar.
Banyak pandangan yang menyesalkan situasi tersebut terjadi. Salah satun diantaranya pandangan yang mengamati situasi tersebut dan menyatakan bahwa “perkembangan dunia bisnis yang begitu pesat dewasa ini, ternyata belum diimbangi dengan perkembangan pemahaman yang benar mengenai esensi dasardasar berbisnis dan arti dunia bisnis itu sendiri “salah satu hala yang esesnsial bagi dunia bisnis adalah menjaga terpenuhinya tuntutan kepentingan dari berbagai pemangku kepentingan (satakeholder) perusahaan.
Perusahaan dan pemangku kepentingan sebenarnya berada dalam suatu system yang independensi . keberhasilan perusahaan pada satu sisis ditentukan oleh dukungan segenap pemangku kepentingan dan pada sisi yang lain pemangku kepentingan menaruh harapan untuk memperoleh jasa dan konstribusi material dari pihak perusahaan. Untuk itu di antara mereka harus diciptakan terikat dalam suatu jalinan hubungan yang terus-menerus.
Dalam kaitannya dengan penciptaan hubungan baik dengan stakeholders, pertanyyan mendasar yang harus dijawab pebisnis adalah: langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan perusahaan (Usaha bisnis) untuk menciptakan hubungan baik dengan penduduk, menjaga nama baik perusahaan, memelihara konsumen, menjalin hubungan dengan pemerintah, buruh (tenaga kerja), competitor, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang sehari-hari baik langsung atau tidak mempengaruhi operasinal perusahaan. Semua pemangku kepentingan lazimmnya membuat interesy dan ekspektasi terhadap perusahaan.
2.3 persaingan bisnis
Seperti hal nya di Negara lain, persaingan usaha dalam tataran bisnis di Indonesia tidak dapat dihindari, persaingan adalah sesuatu yang wajar dalam dunia bisnis. Namun persaingan yang tidak sehat dan tidak beraturan, selain dapat merugikan pelaku bisnis itu sendiri, juga dapat berdampak negative bagi kemajuan perekonomian bangsa dan Negara.
Dalam konteks persaingan, keberadaan pemerintah hanyalah sebagai Pembina, regulator, dan fasilittor semata. Pada dasarnya pemerintah tidak bermaksud untuk mencampuri urusan bisnis swasta dalam hal bersaing ini, selama persaingan itu masih dalam koridor yang fair. Namun dengan adanya beberapa pelaku yang salah dalam penafsiran kebijakan dan pelayanan yang diberikan pemerintah, dipandang perlu member pengaturan yang mengikat setiap perusahaan dan personalianya.
Pada masa orde baru perekonomian tumbuh dengan angka cukup tinggi, tapi pertumbuhan ekonomi itu hanya dinikmati oleh segelintir orang saja, dan kue pembangun an ekonomi hanya dirasakan oleh hanya beberapa konglomerat saja. Sementara itu masyarakat kecil yang tidak dekat dengan pusat kekuasaan tidak memperoleh peluang usaha yang layak. Persingan usaha berlangsung secara sangat tidak sehat dan keberadaan konglomerat manjadikan pengusaha-pengusaha kecil berguguran dan gulung tikar.
Beberapa pengusaha yang licik dengan kekuatan material yang ada, mampu mempengaruhi keputusan diberbagai level pemerintahan. Metode mendapatkan berbagai kemudahan dan fasilitas seperti hallnya dalam perizinan, kredit dari perbankan Negara dan izin khusus katakanlah untuk mempruduksikan atau memasarkan produk tertentu , sehingga terjadinya praktik monopoli dan persaingan bisnis yang tidak wajar. Perilaku monopolistic oleh satu atau beberapa perusahaan bandit tersebut telah memberikan peluang kepadanya untuk mengerut keuntungan super normal, dan menumpuk harta sebanyak mungkin.
Pelaku bisnis yang tak beretika itu telah mengabaikan kepentingan masyarakat banyak, mematikan usaha sejenis lainnya dan pribumi serta menguburkan partisipasi masyarakat dalam pembanguna di berbagai sector ekonomi dan bisnis.
Pemberian kesempatan berusaha kepada sekelompok orang tanpa memasukan nilai kebersamaan adlah pentimpanan moran etika. Demikian juga pelaku bisnis yang dengan sengaja menciptakan terjadinya pemusatan kekuatan ekonomi dan bisnis pada seorang atau beberapa orang saja sehingga adanya praktik mono atau duopoly adalah perbuatan tidak bermoral yang mengangkapi semangat keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Keadilan, kebersamaan, dan kemakmuran serta kesejahteraan adalah nilai-nilai yang harus diperjuangkan para pelaku ekonomi dan bisnis kita. Untuk itu diperlukan aturan yang dapat menciptakan iklim berusaha yang sehat bagi pelaku bisnis bermoral dan menghambat ruang gerak usahawan tercela. Dengan demikian akan dapat menjadi pendorong tumbuh dan perkembangnya usaha bisnis di tanah air. Sebagai rujukan bagaimana pebisnis bermoral dapat bersaing sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya. Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Undang-undang No.5 tahun 1999 tentang larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di Indonesia.
Pelaku bisnis harus peka terhadap nilai dan kepentingan masyarakat dalam jangka panjang. kepentingan dan nilai-nilai yang diharapkan harus dapat berubah karena waktu dan tuntutan kebutuhannya. Selain harus memperhatikan partisipan perusahaan, pelaku usaha juga harus memperhatikan perubahan kepentingan dan nilai-nilai ditengah-tengah masyarakat dan pasar. Sungguh suatu kelaziman bahwa masalah pasar dan lingkungan pada umumnya mengalami perubahan, maka perusahaan selama ini beroperasi tidaksepi dari berbagai masalah yang tidak diharapkan. Namun demikian permasalahan itu harus diselesaikan dengan arif, cerdas, dan bijaksana.
Masalah-masalah etika dalam bisnis tidak pernah habis-habisnya dan terus mengalami perkembangan dan perubahannya. Keberadaan masalah etika dalam suatu perusahaan sangat berkaitan dengan ekspetasi berbagai kepentingan para stekholdersnya yang juga terus berkembang (Rudito dan Famiola, 2007:5). Maslah etika bisnis dalam perusahaa merupakan Sesutu yang kompleks dan dinamis, sebaiman kompleksitas dan dinamika yang dihadapi suatu perusahaan. Cakupannya meliputi segenap dimensi fungsi eksistensi suatu bisnis itu sendiri. Dengan demikian etika itu dapat dinilai, dievaluasi dan di implementasikan pada fungsi-fungsi bisnis atau badan usaha.

2.4 keuangan perusahaan
Kinerja keuangan bagi sebagian besar perusahaan adalah segala-galanya. Keberhasilan operasional dan pemasaran belum bermakna tanpa keberhasilan keuangan. Cerita bisnis adalah cerita uang, rupiah, dolar, euro, dan sebagainya. Indikator keberhasilan bisnis yang pertama dan mudah digunakan adalah kinerja keuangan Tanpa berkemampuan dalam keuangan, manajemen bisnis dianggap gagal dan donatur akan sangat cepat meresponnya. Keuangan internal adalah masalah yang paling sensitif bagi perusahaan.
Demikian juga pihak-pihak yang berkepentingan dengan perusahaan itu, seperti karyawan dan pemegang sahamnya. Dalam hal keuangan masalah yang sering dihadapi usaha bisnis tidak hanya menyangkut dari mana sumber dana dapat diperoleh, tetapi juaga ke mana dana tersebut dibawa, dialokasikan dan diinvestasikan. Selain kelangkaan sumber dana, dewasa ini usaha bisnis juga harus membayar suku bunga (cash of fund) yang semakin tinggi.
Sementara itu usaha yang ada dan dipilih tidak menjamin perolehan keuntungan yang maksimum bagi investasinya, terutama karena situasi bisnis yang tidak pasti dan persaingan usaha yang semakin tajam. Mengalokasikan dana yang ada, ternyata jauh lebih sulit dari pada mendapatkannya. Idealnya dana usaha harus ditempatkan pada proposal investasi yang berpeluang memberikan keuntungan yang memuaskan bagi perusahaan dan pemilik modalnya.
Tidak semua peluang usaha yang tersedia di pasar mampu memberikan profitabilitas atas investasi yang dilakukan. Bidang-bidang investasi yang prospektif, menjanjikan dan kurang rintangan masuk, biasanya diikuti oleh persaingan yang tajam. Itu memang rasional dan hukum bisnis. Kesalahan dalam memilih bidang, jenis dan peluang bisnis dapat menimbulkan resiko kerugian bagi pelaku bisnis.
Untuk itu diperlukan kajian yang mendalam dan komprenshif terhadap suatu rencana investasi yang diajukan. Tidak semua bidang usaha yang tersedia itu secara potensi menguntungkan dan layak diupayakan untuk kepentingan masa depan perusahaan. Banyak sekali faktor yang mempengaruhi keuntungan usaha. Dalam bidang keuangan, biaya dan pendapatan adalah penentu keuntungan bagi perusahaan.
Biasanya biaya yang paling besar dikeluarkan perusahaan adalah untuk kebutuhan produksi dan operasional. Biaya ini tidak terlepas dari skala usaha yang dipilih dan digunakan perusahaan. Skala usaha yang mampu disediakan dan dipilih dan digunakan perusahaan. Skala usaha yang mampu disediakan dan dipilih seringkali pula mempengaruhi efisien produksi mereka, yang akhirnya bermuara pada perolehan keuntungan dan pertumbuhan usaha bisnisnya dalam jangka panjang (long term profit and business growth).
Umumnya perusahaan terutama yang berskala besar, sering menggalang dana publik untuk kepentingan ekspansi bisnisnya. Tidak jarang mereka mengelabui calon debitur dengan menyuguhkan laporan dan informasi keuangan berstandar ganda, merekayasa data dan menyembunyikan keadaan sesungguhnya. Untuk kepentingan penggalangan dana dan mendapatkan fasilitas kredit mereka merekayasa laporan keuangan dengan keuntungan tinggi dan berbeda untuk kepentingan pajak, mereka menampilkannya dengan laba usaha yang rendah. Dengan demikian penyusunan laporan dan informasi keuangan disesuaikan menurut keperluan dan tujuannya yang terselubung. Tindakan ini selain merupakan suatu pelanggaran terhadap kode etik, sesungguhnya juga melanggar hukum.
Selain ada perusahaan yang dengan sengaja melanggar etika bisnis dengan mempraktikan manajemen immoral dan amoral (moral hazard), dalam realitanya di indonesia tanpa disadari banyak sekali perusahaan melanggar etika. Manakala suatu bisnis dijalankan menyalahi visi dan misinya mengindikasikan pelanggaran etika pada perusahaan itu.
Sebuah bank yang memperoleh proporsi pendapatan dan keuntungan yang lebih besar dari sumber non operasional bank adalah juga pelanggaran etika bisnis. Dalam hal ini dana yang dikerahkan dari masyarakat tidak sepenuhnya disalurkan bagi kredit produktif dunia usaha. Menyalurkan kredit kepada sektor-sektor konsumtif yang lebih besar dibandingkan sektor produktif adalah penyimpangan dari visi perusahaan dan karenanya dapat digolongkan dalam perbuatan melanggar etika.

2.5 operasional perusahaan
Kedudukan operasional sangat strategis bagi suatu usaha bisnis, karena bidang fungsi bisnis inilah yang mampu menghasilkan dan menyajikan apa yang dibutuhkan konsumen. Masalahnya kebutuhan pelanggan sering berubah dan perubahan itu menjadi kendala dalam proses produksi perusahaan. Proses produksi tidak mungkin statis, karena selera pelanggan itu dinamis.
Untuk mengikuti keinginan dan kebutuhan pelanggan yang setiap saat bias berubah, perusahaan dituntut untuk memilih dan penggunaan teknologi yang tepat, efisien dan didukung oleh ilmu pengetahuan yang memadai. Ilmu pengetahuan teknologi, erat hubungannya dengan tingkat kesulitan produksi, efisiensi dan biaya serta kemampuan bersaing suatu perusahaan.
Perkembangan teknologi yang begitu cepat dan seri g drastis telah membuat prodok terbaru mereka segera usang atau pendeknya suatu siklus kehidupan produk. Dalam beberapa jenis produk, usianya pendek. Sementara perusahaan sedang sibuk dengan produknyam produk impor memasuki kancah persaingan domestic, maka perang harga tidak terhindar lagi. Persoalannya adalah bagaimana pebisnis kita mengahadapi fenomena tersebut.
Saat ini kegiatan produksi dituntut untuk senantiasa seirama dengan pemasaran, terutama untuk menyatuhi tuntutan konsumen yang cenderung berubah cepat. Tantangan ini cukup terasa bagi usaha bisnis, sehingga pebisnis diharpkan mampu memprediksi teknologi dan selera konsumen di masa yang akan dating, dan perlu merancang kegiatan operasionalnya secara rfektif dan efisien.
Banyak perusahaan di Indonesia yang mengabaikan etika dan menjadikan kendala dalam operasionalnya sebagai alsannya. Pelanggaran etika dalam hal ini antara lain : menghasilkan produk yang usang, tidak hemat energy, tidak higinis, tidak layak konsumsi dan umumnya kurang memiliki nilai utilitas waktu, bentuk dan tempat kepada pelanggan.
Tidak semua perusahaan fokus terhadap kegiatan produksi yang efisien. Terutama perusahaan yang berada dalam struktur pasar yang kurang kompetitif. Pelaku bisnis yang kurang memperhatikan efisien produksi, menghasilkan biaya produksi yang mahal.
Dengan demikian mereka menetapkan harga jual yang tinggi pula kepada pelanggannya. Tanpa terasa dosa pebisnis dibebankan kepada pelanggan. Perusahaan secara etis tidak membabani pelanggan dengan harga yang tidak layak dan produk yang kurang bermanfaat untuk dikonsumsikan.
Pemenuhan kepuasan bagi pelanggan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya seharusnya menjadi focus produksi dan pemasaran perusahaan. Dalan kaitan itu diperlukan penghematan-penghematan sebatas tidak menurunkan nilai manfaat dan kualitas barang yang dihasilkan.
Namun demikian tidak sedikit perusahaan yang memiliki posisi pasar yang kuat terus berusaha menekan biaya produksi untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar dengan cara menurunkan kualitas bahan baku dengan yang harganya lebih murah. Selain tidak ideal dalam rangka program pengembangan produk dan kualitas, tindakan perusahaan yang demikian juga mengabaikan arti pentingnya kelangsunggan hidup dalam jangka panjang sebagai salah satu tujuan bisnnisnya. Karenanya dengan dalih apapun perbuatan tersebut tidak dapat ditoleransikan dan dianggap sebagai sesuatu yang melanggar etika.
Pengaruh lingkungan (makro dan mikro) yang sangat kentara pengaruhnya pada aspek pemasaran perusahaan. Selera konsumen dan permintaan senantiasa berubah. Pemasaran yang statis dan kurang strategis tidak mampu menyelamatkan perusahaan dari persaingan yang semakin sengit. Gagal dalam bersaing berarti gulung tikar dan tamatlah riwayat prusahaan.
Dengan demikian persoalan yang dihadapi perusahaan adalah bagaimana menyesuaikan potensi sumber daya perusahaan baik sumber daya bisnis dan sumber daya pasar dengan permintaan konsumen yang bervariasi dan penuh dinamika tu. Perusahaan dituntut untuk tidak hanya pintar menghasilkan produksi dengan biaya murah dan tepat waktu, tetapi yang lebih penting justru membuat sesuatu yang sesuai dengan selera konsumennya, mampu dijangkau dan bermafaat untuk dikonsumsikan. Setiap barang mampu diproduksikan belum tentu mampu untuk dipasrkan. Tetapi setiap barang/jasa yang mampu dipasrkan dengan bantuan teknologi dan SDM perusahaan, mampu untuk diproduksikan.

2.6 sumber daya manusia perusahaan
Pelanggaran etika bisnis sering didapatkan dalam bentuk penyimpangan penerapan manajemen sumber daya manusia dalam suatu perusahaan.Banyak perusahaan mengeksploitasi manusia sebagai tenaga kerja tanpa disadari oleh pekerja itu sendiri. Keberadaan sumber manusia dalam organisasi bisnis menentukan keberhasilan pelaksanaan fungsi-fungsi bisnis lainnya.
Sering suatu usaha bisnis yang mampu dalam permodalan,menguasai teknologi operasional, dan memiliki aktivitas dan rencana pemasaran yang baik mengalami kegagalan,karena perusahaan tersebut tidak memiliki sumber daya manusia yang unggul,handal dan loyal. Secara kuantitas,pasar menawarkan cukup banyak tenaga kerja,melebihi kebutuhan. Namun sangat sering perusahaan meneriakkan kelangkaan sumber daya manusia yang handal,jujur dan loyal. Banyak karyawan perusahaan yang jujur tetapi kurang produktif dan banyak pula tenaga kerja yang produktif tetapi kurang jujur.
Bagi perusahaan besar, kurang produktifnya karyawan mungkin tidak terlalu bermasalah, karena mereka berkemampuan untuk meningkatkan produktifitas sumber daya manusia (SDM) perusahaan. Mendapatkan SDM yang bermoral dan beretika adalah suatu kesulitan yang cukup berarti bagi kebanyakan perusahaan. Di sinilah banyak orang cenderung untuk menggantikan sebaagian pekerjaan manusia dengan mesin untuk memacu produktifitas perusahaan. Tidak semua tugas pekerjaan dapat dialihkan kepda mesin. Walaupun manusia dalam perusahaan adalah juga sebagai faktor produksi,namun kedudukannya tidak boleh disamakan dengan sumber daya bisnis lainnya.
Dalam pandangan moral keberadaan orang yang dipekerjakan dalam perusahaan wajib ditata dengan manajemen sumber daya manusia. Keberadaan manajemen ini sangat erat hubungannya dengan keberhasilan dan pelanggaran etika. Sebagai sumber daya unik,karyawan lazimnya menuntut berbagai nilai yang harus dipenuhi perusahaan.
Pada waktu bersamaan banyak diantara mereka yang tidak mampu memberikan sesuatu yang bernilaibagi perusahaan tempat dimana mereka menggantung hidupnya secara material. Teknologi telah banyak menggeser posisi kerja manusia. Dunia industri cenderung menggunakan lebih banyak barang modal dari pada manusia (Capital Intensive).
Dengan demikian penawaran tenaga kerja manusia melebihi permintaannya. Ketimpangan ini sering dijadikan dalih tak tertulis oleh beberapa perusahaan untuk mengabaikan tanggung jawab moral terhadap faktor produksi ini. Segala alasan pembenaran dicari agar mereka bisa mem-PHK kan karyawannya. Kalaupun tidak mengeluarkan pegawainya, perusahaan malah menghindari tanggung jawab legalnya kepada karyawan.
Disadari atau tidak, sejumlah perusahaan telah memperlakukan tenaga kerja sesuka hatinya dan bila perlu,membayar mereka sekecil mungkin. Tindakan perusahaan yang demikian dianggap oleh pekerja sebagai bentuk pelanggaran nilai etika. Menghukum perusaahaan pada kasus demikian tidak adil dan berat sebelah.
Untuk lebih adil,karyawan seharusnya juga dapat memberikan sesuatu yang bernilai kepada perusahaan. Dengan demikian etika tidak dapat dilihat dari satu sisi saja,yakni perlakuan perusahaan terhadap karyawan semata,tetapi juga menilai perlakuan dan kontribusi karyawan terhadap perusahaan.
Menghargai pemerataan pendapatan adalah penting, tetapi tidak mengorbankan rasa keadilan. Adalah suatu tindakan yang tidak etis bilamana perusahaan bertindak diskriminatif. Menghargai prestasi,kinerja dan produktivitas karyawan dan memberikan kompensasinya adalah harapan nilai-nilai etika bisnis. Banyak perusahaan selama ini terpaksa memilih sistem gaji karyawan yang tetap (seperti PNS).
Dengan demikian berarti mengabaikan penilaian produktifitas permasing-masing tenaga kerja. Selain merugikan perusahaan,sistem gaji tetap juga mematikan kreatifitas dan semangat kerja karyawan berprestasi. Bagi perusahaan membayar gaji sesuai tingkat produktifitas karyawan jauh lebih menguntungkan. Namun beberapa kalangan dan sebagian karyawan menganggap tindakan perusahaan seperti itu adalah melanggar etika karena dituduh melakukan tindakan diskriminatif.
Beberapa perusahaan yang lain memilih penarikan tenaga kerja secara fleksibel. Pada saat pekerjaan ada dan banyak, perusahaan segera menggunakan karyawan dan mengeluarkannya bila tidak diperlukan atau karyawan kontraktual. Karyawan yang ditarik perusahaan secara temporer ini,dievaluasi dan berdasarkan hasil evaluasi itu seseorang dapat dianggap bernilai atau tidak bagi organisasi. Bilaman karyawan dapat memberikan nilai lebih, maka organisasi bisnis menginvestasikan mereka, dengan memberikan pelatihan yang dapat meningkatkan kualifikasi ,memberikan status dan privilese tertentu. Kebijakan ini juga tidak disenangi sebagian karyawan. Anggapan yang dituduhkan kepada perusahaan adalah penunggang kuda menang dan menjadi karyawan sebagai sapi perahan.
Pada beberapa perusahaan,pemahaman akan tnggung jawab etika kepada karyawan hanya didasarkan pada aturan tertulis dan aturan itu akan disesuaikan dengan situasi yang dihadapi perusahaan. Dalam program yang dirancang untuk penghematan atau meminimumkan biaya dalam meraih keunggulan biaya secara keseluruhan (overall cost leadership) , kadangkala perusahaan lebih senang memilih altrnatif dengan menekan biaya tenaga kerja, walaupun ada alternative lain, sehingga upah dan kesejahteraan karyawan menjadi rendah dan tidak sesuai dengan kontibusi yang diberikan.
Dengan kata lain perusahaan melanggar prinsip Equal Pay For Equal Work. Selama upah kerja tidak sama dengan atau di bawah kontribusi yang diberikan karyawan,maka selama itu di anggap terjadinya pelanggaran dalam etika.

2.7 perusahaan dalam konteks pemasaran
Kemampuan organisasi bisnis menjaga pelanggan dan pasar menentukan berhasil tidaknya suatu perusahaan dalam mencapai tujuannya. Masalah pemasaran yang di hadapi perusahaan terkait dengan nilai etika dan biasanya berkisar pada tuntutan pelanggan yang semakin berkualitas dan dinamis.
Pelanggang tidak hanya berharap barangnya bermanfaat dan pada tingkat harga yang pantas di tetapkan perusahaaan, tetapi juga mereka berharap dapat menikmati manfaat persaingan sempurna dan terbebas dari promosi yang tidak bernilai positif dan menyesatkan.pelanggan menaruh harapan agar dunia usaha dapat memenuhi perangkat nilai-nilai pelayanan rasional, nilai emosional dan juga nilai spritual.
Di bidang pemsaran sering di temukan pengelembungan harga, dengan dalih tingginya biaya produksi, penetapan harga sering di lakukan sesuka hati perusahaan untuk profit super normalnya. Produsen berfokus pada efisiensi produksinya dengan mengabaikan etika.
Perusahaan-perusahaan yang beroperasi hampir tidak pernah mengenal penurunan harga malah harga yang di naikan sering di pelintirkan dengan istilah di sesuaikan, perusahaan tetap mengenakan harga jual tinggi pada masyarakat pelanggannya, mereka tidak berminat untuk menganut sistem penetapan harga yang menguntungka masyarakat yakni berdasarkan biaya dan keuntungan wajar bagi perusahaan(cost plus profit pricing).
Bisnis berbasis etika adalah bisnis yang di jalankan tanpa melanggar ketentuan ketentuan perundang-undangan yang berllaku baik di wilayahnya maupun di negaranya. Harga merupakan salah satu instrumen yang sering di pebisnis untuk mendapatkan keuntungannya, pada saat jumlah output tidak di tambah atau tidak terjual, harga adalah andalan satu-satunya untuk mendapatkan nilai penerimaan usaha(tota revenue).
Melakukan promosi dalam rangka mendorong permintaan produk perusahaan, sebatas tidak membohogi publik, namun di tujukan untuk menyebarluaskan manfaat produk, keberadaan dan kebijakan perusahaan adalah tindakan yang di benarkan secara etika.
Kemudahan masyarakat atau pelanggan untuk mendapatkan barang dalam jumlah yang cukup dan pada waktu yang tepat adalah sasaran dan tujuan dari distribusi perusahaan. Kadangkala perusahaan atau agennya dengan sengaja menciptakan kelangkaan dengan mengurangi persediaan pasarnya.
Dengan demikian perusahaan akan mendapatkan peluang untuk meningkatkan harga produk perusahaan atau memerah pasar (market skiming pricing) dalam rangka memaksimalkan keuntungannya. Kebijakan dan perbuatan demikian identik dengan perbuatan melawan etika bisnis.

2.8 budaya perusahaan
Dalam aspek budaaya, budaya juga sering berhadapan dengan berbagai budaya bangsa dan karyawan. Nilai budaya yang dianut karyawan belum tentu seperti diharapkan pelaku bisnis, kadangkala malah berbenturan dengan harapan organisasi secara keseluruhan. Tidak jarang pekerja secara individu memiliki budaya yang cacat dalam makna nilai yang positif bagi organisasinya.
Perubahan lingkungan bisnis mempengaruhi budaya seseorang, sekelompok orang dan juga pelanggan perusahaan. Budaya hidup hemat dan bertindak efisien dalam setiap penyelenggaraan bisnis sangat sulit diterapkan dalam banyak perusahaan. Lebih aneh lagi, individu dapat berlaku hemat dalam hal kepentingan pribadi, namun tidak untuk kepentingan perusahaan.
Dalam hal ini yang tidak etis adalah karyawannya. Pribadi karyawan ang bersangkutan tergolong dalam sikap tidak terpuji dan dalam dirinya tidak ada rasa memiliki. Budaya boros terhadap harat perusahaan adalah melanggar etika. Diindonesia budaya seeperti ini bukan barang baru dan karenanya harus dibuat aturan-aturan yang mengikat karyawan untuk berbudaya hemat dan memelihara aset perusahaan.
Budaya salah hanya bagi karyawan atau bawahan dan atasan tidak pernah salah sudah mewabah dalam kehidupan dunia bisnis kita. Dalam organisasi pemerintahan lebih parah lagi. Budaya minta dilayani lebih menonjol dari budaya melayani. Pelenggaran adalah raja masih sebatas retorika dan moto. Demikian juga rakyat adalah segala-galanya adalah semboyan. Budaya mumpung telah begitu memasyarakat dan sulit untuk diberantas. Semua budaya tersebut bertentangan dengan ajaran etika bisnis.
Penanganan masalah budaya perlu didasarkan pada nilai-nilai etika yang positif. Setiap gagasan besar dan sekali lagi gagasan besar itu begitu berpengaruhnya sehingga malampaui semua cacat itu. Personal yang berorientasi pada diri sendiri dan kreatif dapat memberikan gagasan-gagasan semacam itu. Pebisnis dapat memberikan dan menghargai kebutuhan dan nilai-nilai yang dianut orang lain, disamping menstimuli bawahan (karyawan), memberikan prioritas kebutuhan individu, membina hubungan pribadi yang unggul, memperlakukan kolega sebagai orang yang memikat dan bernilai dan membuat janji secara ketat berdasarkan mamfaatnya serta bersaing terutama untuk mencapai standar terbaik. Pada situasi organisasi seperti ini diperlukan manajer yang mampu menyesuaikan diri dengan pola yang sangat baik yakni menyelaraskan budaya otokrat, birokrat dan pemberian tugas.
2.9 dampak bisnis tanpa nilai etika
Moralitas sebagai inti dari penyelenggaraan etika bisnis mengalami pasang surutnya dan dipengaruhi oleh berbagai dampak perubahan lingkungan,baik lingkungan mikro,Beberapa akibat yang ditimbulkan bila mana pebisnis tanpa melaksanakan etika bisnis dalam aktivitas bisnisnya antara lain :
 Menghalalkan Segala Cara Untuk Kepentingan Bisnisnya
Pelaku bisnis akan menghalalkan semua cara dalam mencapai tujuan bisnisnya baik tujuan pribadi pebisnisnya maupun perusahaan (Organisasi bisnis )nya.Mereka sering menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan moral.Akibatnya kepentingan dan hak-hak orang banyak seperti pelanggan mitra kerja,karyawan dan masyarakat umum menjadi terabaikan.
Akibat lebih lanjut dari kondisi ini adalah pada kurangnya kredibilitas atau kepercayaaan dari para pemaku kepentingan dan masyarakat terhadap organisasi dan pelaku bisnis. Visi dan Misi oerusahaan yangdisampaikan dan di publikasikan tidak lagi dipercaya dan lebih parah lagi masyarakat menilai perusahaan tersebut sebagai pembohong.Pemerkosaan hak-hak publik dan menggunakan pasar dan masyarakat hanya untuk kepentingan memperkaya diri menggunakan pasar dan masyarakat hanya untuk kepentingan memperkaya diri semata dengan cara tidak terpuji dan tanpa mengikuti dan mengindahkan tuntutan nilai-nilai moral etika dan keberadaannya dianggap sebagai predator yang merugikan masyarakat dan lingkungan alam sekitarnyanya.
 Berkembangnya kekerasan
Seharusnya pelaku bisnis adlah masyarakat yang lembut dan cinta damai,namun akhir-akhir ini kekerasan dalam dunia bisnis sudah semakin terasa.banyak persoalan bisnis di selesaikan dengan kekerasan dan bersaing dengan mengabaikan sportifitas dan moral etika.
Pebisnis kadangkala menggunakan preman-preman dan tukang pukul dalam menggiring kemenangan,belum lagi mengabaikan cara-cara yang elegal dan kesatria.Persaingan bisnis seakan harus mematikan perusahaan lain dan juga membuat merek dagang orang lain terkubur dengan tanpa ada rasa bersalah sedikitpun
 Korupsi, kolusi dan nepotisme semakin meluas
Perilaku korupsi,kolusi dan nepotisme yang tidak sesuai dengan nilai moral kini merambah dunia bisnis dengan internsita yang semakin tinggi dan meluas. Pebisnis sering menggunakan cara-cara yang ilegal dan tidak prosedural dengan menyuap pejabat tertentu untuk kepentingan diri dan bisnisnya.
Atur mengatur yang mengabaikan antara persaingan yang fair dalam tender atau pelelangan suatu pekerjaan(kolusi)terutama dari instansi pemerintah sudah sering terjadi dan dianggap sebagai suatu cara yang biasa dean merupakan bahagian dari strategi dan trik perusahaan dalam memenang kan suatu persaingan.Pada hal kegiatan ini jelas bertentangan dengan aturan hukum dan etika,karena merugikan orang lain dan tidak efisiennya persaingan.
Korupsi telah menjadi penyakit yang melanda banyak orang,baik para politisi,pejabat publik yang dipilih,para pebisnis,maupun masyarakat madani.Hal ini merupakan suatu yang ironis.Gerkan reformasi timbul salah satunya karena ingin memberantas korupsi,tetapi justru di era reformasi korupsi semakin hebat.Maraknya korupsi di Indonesia menunjukkan rendahnya kesadaran moral bangsa ini.
 Penipuan Semakin Merajalela
Dewasa ini sudah sangat sering ditemukan kasus penipuan-penipuan, mulai dari pemalsuan dokumen, pemalsuan produk, pengoplosan sampai dengan pencurian yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi canggih. Penyakit sosial ini tidak dapat diatasi dengan perangkat hukum yang ada tanpa dukungan nilai-nilai moral yang etis.
 Meningkatnya Pelaku Bisnis Yang Bertopeng Etika
Tanpa etika bisnis yang berlandaskan moral dari dalam hati sanubarinya, pelaku usaha hanya berlaku etis dalam suatu kepura-puraan untuk ditonton atau dilihat orang saja atau menggunakan topeng etika, namun sesungguhnya dia dalam gerak-gerik dan kebijakannya tidak menerminkan dan bersikap etis. Perilaku pebisnis ini identik dengan orang-orang munafik yang dilihat dari luar seakan orang baik, tetapi sesungguhnya tidak demikian.
 Tidak Terjaganya kerahasiaan dan Privasi
Hal ini identik dengan membuka aib orang lain yang termasuk pekerjaan yang melanggar etika dan berdosa menurut ajaran islam. Pelaku usaha dan organisasi bisnis yang tidak beretika, merasa tidak bersalah tatkala membuka rahasia orang dan perusahaan lainnya. Perbuatan tersebut dilakukan secara sadar atau tidak adalah untuk kepentingan pribadi atau perusahaannya. Sementara nilai-nilai etika menganjurkan agar setiap orang dapat menjaga kerahasiaan, privasi, dan integritas orang atau perusahaan lainnya.
 Tidak Mengakui/Menghormati Haki dan Karya Cipta Orang Lain
Hak cipta dan hak intelektual identik dengan hak milik orang lain yang perlu dihormati dan tidak dapat direbut orang lain dengan semena-mena.
Pengabaian nilai-nilai etika bisnis dapat menimbulkan para pebisnis amoral yang tidak dapat dan tidak mampu menghargai dan mengakui hak intelektual, hak cipta dan paten orang lain, sehingga dengan sengaja melakukan peniruan, pemalsuan dan penciplakan produk untuk kepentingan pribadi dan perusahaannya.

2.10 peranan pemerintah
Usaha pemerintah untuk mengembangkan dan mendorong pemerataan kesempatan yang seluas-luasnya bagi masyarakat pengusaha untuk ikut dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi telah lama didengungkan. Secara bertahap pemerintah membenahi birokrasi dan mengupayakan agar dunia usaha lebih leluasa bergerak dalam bingkai-bingkai moralitas.Revormasi telah digelar sejak tahun 1998, pada awalnya terkesan membawa harapan baru bagi dunia usaha nasional, tapi belakangann yaris kehilangan makna .
Peluang usaha dalam era reformasi malah lebih banyak dinikmati pebisnis luar yang lebih agresif dan pengusaha kita justru menjadi penonton dampak reformasi tersebut. Reformasi malah mengundang bencana baru bagi iklim usaha nasional.Nilai nilai etika bisnisnya malah ter kuburkan. Keberingasan dan kekerasan melanda dunia usaha kita, demikian juga kolusi dan nepotisme semakinmen dapat tempat dalam budaya bangsa. Persaingan usaha semakin tidak beraturan dan jauh dari sportifitas.Undang-undang tentang larangan monopoli dan persaingan usaha tidak sehat hanya menjadi pajangan dan seakan tak digubris pelaku bisnis kita.
Pemerintah memang telah merancang arah pembinaan dunia usaha nasional. tapi tidak mengakomodir nilai-nilai etika bisnis yang berbasis moral dalam arahan itu.Mungkin itu dianggap kurang penting atau cukup dititip pada organisasi pelaku bisnisnya. Di negara berkembang setiap kita dan pada saat moralitas bangsa mulai memudar aturan hukum menjadi penting dalam menata kehidupan bisnis. Pemerintah harus segera membuat program khusus untuk menciptakan iklim dn tata hubungan antar pelaku usaha sebelum kondisinya semakin runyam. Usaha swasta terutama usaha kecil harus diberi peluang yang lebih besar agar mampu memegang peran sebagai tulang punggung perekonomian nasional.
Pengendalian harus juga dilakukan, sehingga terciptanya persaingan yang sehat dan sekaligus mewujudkan pemerataan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian keberadaan pelaku bisnis dapat member kontribusinya dalam memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa serta meningkatnya ketahanan nasional.

2.11 etika bisnis dikamar dagang dan industri Indonesia
Menyadari kedudukannya sebagai wadah pengusaha Indonesia yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rakyat dan masyarakat Indonesia, maka guna mewujudkan peran sertanya dalam mewujudkan kehidupan ekonomi dan dunia usaha yangsehat dan tertib. KADIN menetapkan etika bisnis yang merupakan tuntutan moral dan pedoman perilaku bagi jajarannya dan anggota KADIN didalam menghayati tugas dan kewajiban masing-masing sebagai berikut:
1) Kegiatan usaha/bisnis memiliki harkat dan martabat terhormat yang senantiasa harus dipelihara dan duijaga.
2) Senantiasa berikhtiar meningkatkan profesionalisme untuk meningkatkan mutu dan kemampuan untuk mengantisipasi perunbahan lingkungan usaha.
3) Berprinsip satu kata dengan perbuatan serta bersikapa jujur dan dapat dipercaya.
4) Membina hubungan usaha berdasarkan itikad baik memenuhi ketentuan-ketentuan yang diperjanjikan serta menyelesaikan perselisihan dan atau perbedaan pendapat serta musywarah dengan berlandaskan keadilan.
5) Memiliki kesadaran nasional, yang tinggi dengan senantiasa melaksanakan tanggung jawab social kepada masyarakat seta menaati semua peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6) Menghindarkan diri dari perbuatan tercela dan tindakan yang dapat menimbulkan persaingan tidak sehat.
7) Tidak melakukan praktik-praktik suap, yaitu tidak meminta, tidak menawarkan, tidak menjanjikan, tidak memberi, dan tidak menerima suap.
8) Menghormati kepentingan bersama dan saling menjaga diri dari mengingatkan.
Berdasarkan rumusan etika bisnis diatas diharapkan pelaku bisnis yang bernaung dibawah kamar dagang dan industry Indonesia dapat menjadi pelopor dan pendorong bagi gerakan dan praktik bisnis yang beretika di Indonesia.