Indikator Etika Bisnis

23 December 2015 12:00:49 Dibaca : 4857 Kategori : artikel Muji


Kehidupan bisnis modern menurut banyak pengamat cenderung mementing-kan keberhasilan material. Menempatkan material pada urutan prioritas utama, dapat mendorong para pelaku bisnis dan masyarakat umum melirik dan menggunakan paradigma dangkal tentang makna dunia bisnis itu sendiri. Sesungguhnya dunia bisnis tidak sesadis yang dibayangkan orang dan mate¬rial bukanlah harga mati yang harus diupayakan dengan cara apa dan bagaimanapun. Dengan paradigma sempit dapat berkonotasi bahwa bisnis hanya dipandang sebagai sarana meraih pendapatan dan keuntungan uang semata, dengan mengabaikan kepentingan yang lainnya. Organisasi bisnis dan perusahaan dipandang hanya sekedar mesin dan sarana untuk memaksi-malkan keuntungannya dan dengan demikian bisnis seuu^u-mata berperan sebagai jalan untuk menumpuk kekayaan dan bisnis telah menjadi jati diri tidak lebih dari mesin pengganda modal atau kapitalis.
Untuk itu diperlukan pemahaman yang ideal tentang bisnis dalam nuansa paradigma baru dan kata ideal itu tentunya mengacu kepada nilai-nilai filosofis dari bisnis itu sendiri. Paradigma baru dalam bisnis penuh dengan nilai-nilai positif, didukung oleh nilai-nilai moralitas yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan kini dan akan datang. Pertanggungjawaban itu tidak saja bagi sesama manusia selama hidup di dunia, tetapi juga kepada Yang Menciptakan Manusia Allah Azza Wajalla.
Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang baru, bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral keuntungan memungkinkan organisasi/ perusahaan untuk bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal (investor) yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan (ekspansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru (Eldine, 2008).
Nilai-nilai etika yang positif hams menjadi referensi bagi pelaku usaha dan partisipannya dalam penyelenggaraan bisnisnya. Pelaku bisnis seyogianya menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis yang digelutinya. Sementara itu tugas pelaku bisnis adalah berorientasi pada norma-norma dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari sehingga pekerjaannya tetap berada dalam sebutan etis dan tidak merugikan siapapun secara moral.
Penerapan dan penyampaian nilai moral dalam etika bisnis adalah suatu kewaj iban. Dalam arti bahwa pebisnis mengemban misi untuk menyampaikan informasi moral, baik secara formal maupun informal dalam lingkungan perusahaannya. Disadari atau tidak, prosesi penyampaian informasi moral ini sebenarnya telah berlangsung lama di luar kemauan dan hajat suatu organisasi/perusahaan. Prosesi penyampaian informasi tersebut berasal dari berbagai sumber dan sebagian perusahaan dan pelaku bisnis telah memperlakukan atau menyeleggarakannya dengan baik.
Sumber inier'nasi moral adalah orang tua, kerabat, lingkungan setempat, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, baik dengan lisan maupun tertulis, yang berintikan ajaran moral. Bentuk-bentuk informasi moral tersebut dapat berupa nasehat (advis), lagu-lagu, permainan, tarian, pantun, pepatah, dongeng (mitos) dan sebagainya.
Ditilik dari dimensi waktu, prosesi penyampaian dan sosialisasi informasi nilai moral itu ternyata telah berlangsung lama dan terus menerus. Walaupun demikian tidak semua nilai moral yang ada diterima dan dipraktikkan oleh pengelola organisasi/perusahaan. Keterbatasan manusia sebagai pelaku bisnis memiliki nurani dan moral, maka nilai kebajikan dan kebenaran itu akan diterima dengan tulus, tentu setelah melalui suatu proses yang panjang dan berbagai upaya melalui berpikir.
Moral agama sangat penting kedudukan dan peranannya dalam pembentukan perilaku seseorang. Ada pengaruh signifikan antara pengajaran moral agama semasa kecil dengan perilaku seseorang tatkala dia dewasa, sehingga berpengaruh pula terhadap tindakan atau kebijakan bisnis yang dikelolanya. Membentuk atau menanam moral bukanlah persoalan mudah. Prosesi itu memerlukan pengorbanan waktu, metode yang tepat dan dilakukan dengan penuh kearifan dan kesabaran. Untuk keefektifan prosesi pembentukan moral atau akhlak diperlukan pemahaman watak dan karakter manusianya. Hal ini merupakan persoalan berat dan membutuhkan perjuang-an panjang. Nabi saja di utus Allah untuk kepentingan perbaikan akhlak manusia. Tuhan Pencipta manusia mengutus Nabi Muhammad SAW untuk memperbaiki etika (bahasa Arab: identik dengan akhlak) manusia (Innama Buistu Liutammima makarimal Akhlaq).
Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut bidang tugas yang diembannya. Dengan kata lain mengikat manajer, pimpinan unit kerja dan kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/ perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan sempit suatu perusahaan dianggap sudah melaksanakan etika bisnis bilamana perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab sosial itu timbul sebagai akibat adanya eksternalitas yang negatif dan perusahaan harus membayar biaya sosialnya (social cost). Dari berbagai pandangan tentang etika bisnis, beberapa indikator yang dapat dipakai untuk menyatakan apakah seseorang dan suatu perusahaan telah melaksanakan etika bisnis dalam kegiatan usahanya antara lain adalah: Indikator ekonomi; indikator peraturan khusus yang berlaku; indikator hukum; indikator ajaran agama; indikator budaya dan indikator etik dari masing-masing pelaku bisnis.
1. Indikator Etika bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan masyarakat lain.
1. Indikator etika bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan indikator ini seseorang pelaku bisnis dikatakan beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing pelaku bisnis mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya.
2. Indikator etika bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hokum seseorang atau suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnis apabila seseorang pelaku bisnis atau suatu perusahaan telah mematuhi segala norma hukum yang berlaku dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
3. Indikator etika berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggap beretika bilamana dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk kepada nilai- nilai ajaran agama yang dianutnya.
4. Indikator etika berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku bisnis baik
5. secara individu maupun kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnya dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa.
6. Indikator etika bisnis menurut masing-masing individu adalah apabila masing-masing pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankan integritas pribadinya.