Spiritual Process
Proses ini pada dasarnya untuk menciptakan divine consciousness pada “diri” manusia. Artinya, moral action yang dilakukan oleh manusia kepada manusia lain dan alam sebetulnya tidak cukup; karena bila demikian, maka apa yang dilakukan manusia hanya bersifat profan. Padahal secara fitrah, manusia memiliki unsur profan dan unsur ketuhanan (ruh). Bila unsur ketuhanan ini dilupakan, maka manusia akan merasa teralienasi dengan dirinya sendiri dan lingkungannya; dan, akhirnya kerusakan yang akan timbul.
Untuk itu strategi yang perlu dilakukan di sini adalah strategi yang digunakan untuk mengasah unsur kalbu dan menyucikan ruh. Ketika dua unsure metafisik ini telah dicerahkan, maka tidak saja manusia tadi dapat melakukan moral action, tetapi juga sekaligus “kesadaran ketuhanan” (divine consciousness) yang akan memberinya keselamatan dunia dan akhirat.
8. Mengaktifkan Aktivitas Kontemplasi dan Dzikir
Ilmu pengetahuan tentang etika bisnis dan profesi merupakan unsur eksoteris (bentuk luar) dari moralitas atau etika. Unsur eksoteris ini tidak akan pernah eksis bila tidak ada unsur esoteris (bentuk dalam). Untuk itu diperlukan jalan spiritual (tariqat) yang dapat “menghidupkan” jiwa manusia dengan cara kontemplasi (meditasi) dan dzikir.
Aktivitas ini dimaksudkan untuk mengasah kalbu dan ruh agar tetap suci. Unsur ini adalah unsur yang menjadi penghubung antara manusia dengan Tuhan. Bila unsur ini “terkontaminasi” (dengan perbuatan dosa, misalnya), maka unsure ini tidak dapat melakukan “kontak” dengan Tuhan, apalagi untuk mendapatkan ‘Ilm al-Mukashafa dan “kesadaran ketuhanan.”
Manusia mempunyai potensi untuk mendapatkan “kesadaran ketuhanan,” karena unsur-unsur metafisik manusia merupakan refleksi dari Realitas Absolut, yaitu Tuhan itu sendiri. Atau, manusia itu merupakan salah satu manifestasi dari, menurut Hindu Brahman:
… magnitute dari benda-benda (termasuk manusia) dan peristiwa sekitar kita tidak lain adalah manifestasi yang berbeda dari realitas yang sama. Realitas ini, disebut Brahman, adalah konsep tunggal... Brahman, realitas tertinggi, dipahami sebagai “jiwa,” atau esensi dalam dari semua benda (Capra 1975:77).
Pandangan yang senada juga bisa ditemukan pada tradisi Budha, Cina, dan Zen (lihat Capra 1975).
Capra (1996:7) memahami hal tersebut dihubungkan dengan konsep deep ecology. Konsep ini adalah konsep yang bersifat spiritual seperti yang dikatakannya di bawah ini:
...deep ecological awareness is spiritual or religious awareness. When the concept of the human spirit is understood as the mode of consciousness in which the individual feels a sense of belonging, of connectedness, to the cosmos as a whole, it becomes clear that ecological awareness is spiritual in its deepest essence. It is, therefore, not surprising that the emerging new vision of reality based on deep ecological awareness is consistent with the so-called perennial philosophy of spiritual tradition
Pendapat Capra (1996) tentang realitas yang spiritual (ruh dalam diri manusia) tidak bertentangan dengan tradisi Islam paling tidak menurut Iqbal (lihat Danusiri 1996:44) - yang melihat realitas sebagai suatu entitas yang tidak terpisah-pisah.
Menurut tradisi Islam, realitas bersifat hierarkhis (lihat Nasr 1993; Bakar 1994; Triyuwono 1997, 1998) yang terdiri dari: realitas materi, realitas psikis, realitas spiritual, asma’ sifatiyyah (atribut Tuhan), Realitas Absolut (Tuhan), berturut-turut dari yang paling rendah ke yang paling tinggi. Antara realitas
yang satu dengan yang lain tidak dapat dipisahkan atau interconnected (menurut istilah Capra (1996).
Tingkatan-tingkatan realitas tersebut diciptakan Tuhan agar manusia dapat mengenal Tuhannya (Bakar 1994:36). Untuk itu, Tuhan menciptakan realitasrealitas lain yang lebih rendah dari DiriNya dan sebagai refleksi dari DiriNya. Oleh karena itu, bukan suatu hal yang aneh bahwa ilmu pengetahuan, dalam tradisi Islam, dibangun untuk mengenal Tuhan sebagai Realitas Nyata.
Cara yang dapat dilakukan manusia agar ia dapat menghubungkan unsure kalbu dan ruhnya kepada Tuhan adalah dengan kontemplasi dan dzikir. Krishna (1998) menawarkan cara meditasi yang menarik, yaitu dengan menggunakan meditasi Zen. Krishna (1998) memberikan langkah-langkah yang sangat praktis untuk melakukan meditasi a la Zen. Tahapan-tahapan metaforis meditasi Zen, sebagaimana yang diungkapkan oleh Krishna (1998), meliputi: mencari sapi yang hilang, menemukan jejak sapi, melihat ekor sapi, menjinakkan sapi, terjinakkannya sapi, pulang ke rumah, menikmati ketenangan, keheningan,
kembali ke sumber, dan mengunjungi pasar. Tujuan dari meditasi ini tidak lain adalah “pencerahan” pada diri seseorang.
Islam juga memiliki tradisi yang sama, yaitu melalui sufisme. Valiuddin (1996:37-8) memberikan beberapa tahapan bagi seseorang yang mencari (menuju) Tuhan. Setelah seseorang menyucikan jasmaninya sebagaimana telah ditetapkan dalam syari’ah, maka tahap-tahap selanjutnya adalah: penyucian jiwa (tazkiyah an-nafs), penyucian kalbu (tashfiyah al-qalb), pengosongan jiwa (takhalliyah assirr), dan pencerahan ruh (tajalliyah ar-ruh). Penyucian jiwa adalah menyucikan diri seseorang dari kecendrungan-kecendrungan hewani, sifat-sifat tidak terpuji, buruk, dan tercela. Setelah tahap ini dilewati, maka langkah selanjutnya adalah menyucikan hati, yaitu menghapuskan hati dari kecintaan dan kenikmatan duniawi yang terlalu berlebihan. Kemudian, langkah berikutnya adalah pengosongan jiwa, yaitu suatu usaha mengosongkan segala pikiran yang dapat mengganggu aktivitas dzikir (ingat) kepada Allah. Setelah langkah ini, maka berikutnya adalah pencerahan ruh, yaitu mengisi ruh dengan cahaya dan cinta Allah.
Istilah pentahapan (lebih ditekankan pada aspek “pencapaian”) lain bisa kita lihat misalnya, tahap syari’ah (jalan eksoteris), tariqat (jalan esoteris, atau jalan spiritual), hakikat, dan ma’rifat. Secara ideal seseorang dapat mencapai tingkat ma’rifat. Pada tingkat ini seseorang dapat disebut the sufi. Namun demikian, tulisan ini tidak bermaksud menjadikan semua mahasiswa menjadi seorang sufi. Tetapi paling tidak, seorang mahasiswa melakukan perjalanan ini pada tingkat tariqat. Tanpa jalan spiritual ini kita sulit mengharapkan adanya perubahan perilaku, yaitu dari perilaku non-etis ke perilaku etis.