ARSIP BULANAN : April 2015

Etika dan Filsafat Komunikasi Bag. 2

15 April 2015 10:44:32 Dibaca : 881

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SIMBOLIK (MEAD DAN BLUMER)

Manusia adalah makhluk sosial. Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan masyarakat umum tentang definisi manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena tak ada satupun manusia yang mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau bahkan bantuan makhluk hidup lainnya. Misalnya, anjing yang dapat membantu manusia untuk menjaga rumahnya. Oleh sebab itu, manusia dalam kehidupan sehari-harinya pasti melakukan interaksi dengan orang lain maupun makhluk hidup lainnya. Dalam interaksi tersebut, manusia memiliki sistem simbol dalam berkomunikasi, sehingga manusiapun tidak hanya dikatakan sebagai makhluk sosial, tetapi juga sebagai makhluk simbolik atau Homo Symbolicum.

Dalam komunikasi dikenal sebuah teori tentang interaksi manusia, yaitu teori interaksi simbolik. Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang menjadi ciri khas manusia, yaitu komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Interaksi simbolik berasal dari pemikiran George Herbert Mead (1863-1931). Mead membuat pemikiran orisinal, yaitu “The Theoretical Perspective” yang merupakan cikal bakal Teori Interaksi Simbolik. Teori ini juga sering disebut dengan Mazhab Chicago, karena Mead tinggal di Chicago selama kurang lebih 37 tahun.

Perspektif interaksi simbolik berusaha memahami perilaku manusia dari sudut pandang subjek. Perspektif ini mengatakan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra mereka. Teori interaksi simbolik ini memiliki tujuh prinsip sebagai berikut:

- Manusia, tidak seperti hewan lebih rendah, diberkahi dengan kemampuan berpikir. Manusia dan hewan adalah makhluk hidup, tetapi manusia diberkahi dengan kemampuan berpikir, sedangkan hewan tidak. Oleh sebab itu, setiap manusia dapat berinteraksi dengan hal-hal di sekelilingnya dengan menggunakan aturan seperti saat seseorang melakukan kesalahan kepada orang lain, dia harus meminta maaf kepada orang tersebut. Akan tetapi, hewan tidak perlu meminta maaf kepada hewan lainnya ketika melakukan kesalahan, karena hewan tidak memiliki akal untuk berpikir bahwa mereka harus berinteraksi dengan hewan lainnya dengan menggunakan aturan.

- Kemampuan berpikir dibentuk oleh interaksi sosial. Manusia memiliki kemampuan berpikir yang memang sudah diberikan oleh sang pencipta, tetapi kemampuan berpikir manusia tersebut dapat terbentuk dan semakin berkembang melalui interaksi sosial. Dalam berinteraksi, manusia menggunakan akal mereka untuk memahami hal-hal yang ada di sekeliling mereka dan melalui pemahaman tersebut kemampuan berpikir manusia terbentuk dan semakin berkembang.

- Dalam interaksi sosial, manusia mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan kemampuan khas mereka sebagai manusia, yaitu berpikir. Manusia berpikir untuk menginterpretasi makna dari simbol-simbol yang mereka temukan dalam kehidupan mereka.

- Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan dan interaksi yang khas manusia. Makna dan simbol yang telah diinterpretasi melalui berpikir oleh manusia kemudian dilanjutkan dengan tindakan dan interaksi-interaksi selanjutnya yang kemudian menjadi kebiasaan manusia dalam sehari-harinya.
- Manusia mampu memodifikasi atau mengubah makna dan simbol yang mereka guna

kan dalam tindakan dan interaksi berdasarkan interpretasi mereka atas situasi. Dengan berpikir pula, manusia kemudian tidak hanya menginterpretasi makna dan simbol dalam kehidupan mereka, tetapi juga memodifikasi atau mengubah makna dan simbol tersebut, atau bahkan menciptakan simbol-simbol mengenai hal-hal yang ada di sekeliling mereka.
- Manusia mampu melakukan modifikasi dan perubahan ini karena kemampuan mereka berinteraksi dengan diri sendiri, yang memungkinkan mereka memeriksa tahapan-tahapan tindakan, menilai keuntungan dan kerugian relatif, dan kemudian memilih salah satunya.

- Pola-pola tindakan dan interaksi yang berkelanjutan ini membentuk kelompok dan masyarakat. Kelompok masyarakat ini lalu membuat kesepakatan atas hal-hal yang ada di sekeliling mereka mengenai simbol-simbol dan maknanya yang kemudian mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari sebagai makhluk simbolik.

Simbolik merupakan hal-hal yang mengandung simbol-simbol. Jadi, dapat dikatakan bahwa makhluk simbolik merupakan makhluk yang menggunakan hal-hal yang simbolik atau mengandung simbol-simbol. Simbol-simbol yang dimaksud disini bukan sekedar simbol-simbol tak bermakna, tetapi hal-hal tersebut memiliki makna masing-masing dan tidak satupun simbol yang tercipta tanpa memiliki makna tersendiri. Misalnya, warna merah dan warna putih pada bendera Indonesia, warna merah pada bendera tersebut dianggap sebagai simbol keberanian dan warna putih dianggap sebagai simbol kesucian.

Simbol merupakan salah satu bagian dari semiotika, yaitu ilmu yang mempelajari tentang tanda. Semiotika ini pertama kali diprkenalkan oleh dua filsuf bahasa yaitu Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Pierce. Menurut Saussure, setiap tanda itu terbagi atas dua bagian, yaitu signifier (penanda) dan signified (petanda). Menurut pendapatnya, tanda merupakankesatuan dari suatu bentuk penanda (signifier) dengan sebuah ide atau petanda (signified). Sedangkan menurut Pierce, semiotika terbagi atas tiga bagian yaitu ikon, indeks, dan simbol.

Ikon merupakan hubungan antara tanda dan acuannya yang berupa hubungan kemiripan, seperti sebuah foto dan orangnya. Indeks merupakan hubungan antara tanda dengan acuannya yang timbul karena adanya kedekatan eksistensi, seperti sebuah tiang penunjuk jalan dan sebuah gambar panah penunjuk arah. Indeks juga dapat menunjukkan adanya hubungan alamiah antara tanda dan penanda yanf bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan, misalnya adanya asap karena ada api. Simbol merupakan hubungan yang berbentuk konvensional, yaitu suatu tanda merupakan suatu hasil kesepakatan masyarakat.

Manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik karena dalam kehidupan sehari-hari, mereka sering menggunakan simbol-simbol. Salah satu contoh penggunaan simbol dalam kehidupan sehari-hari adalah simbol-simbol pada peraturan lalu lintas, misalnya lampu lalu lintas atau lebih sering disebut lampu merah oleh masyarakat luas yang terdiri dari tiga warna yaitu merah, kuning, dan hijau. Warna-warna tersebut masing-masing memiliki makna tersendiri yakni warna merah yang memerintahkan para pengguna jalan untuk berhenti, warna kuning yang memerintahkan untuk berhati-hati, dan lampu hijau yang memerintahkan untuk kendaraan jalan.

Lampu lalu lintas ini diciptakan oleh penemunya Garrett Augustus Morgan setelah ia melihat tabrakan antara mobil dan kereta kuda pada suatu hari yang kemudian membuatnya berpikir untuk membuat sesuatu yang dapat mengatur lalu lintas yang lebih aman dan efektif. Sebenarnya pada saat itu, telah ada suatu sistem pengaturan lalu lintas dengan sinyal stop and go. Sinyal lampu ini pernah digunakan di London pada tahun 1863. Namun, pada penggunaannya sinyal lampu ini tiba-tiba meledak, sehingga tidak dipergunakan lagi. Berdasarkan pengalamannya tersebut Morgan kemudian menciptakan suatu pengatur lalu lintas yang terdiri dari tiga jenis warna, yaitu merah, kuning, dan hijau.

Simbol-simbol dalam kehidupan manusia juga erat kaitannya dengan budaya. Dalam suatu kebudayaan, masyarakat dalam kebudayaan tersebut sering menggunakan simbol-simbol dalam melambangkan sesuatu. Misalnya, dalam budaya Mandar yang menggunakan beru’-beru’ (bunga melati) sebagai simbol untuk perempuan. Hal ini sudah menjadi hal yang umum dalam masyarakat Mandar dan telah digunakan secara turun-temurun oleh masyarakat Mandar dalam kehidupan sehari-hari. Simbol tersebut dapat saja ditemukan dalam percakapan sehari-hari mereka ataupun dalam karya sastra-karya sastra Mandar seperti lagu-lagu Mandar atau puisi tradisional Mandar.

Berdasarkan beberapa contoh di atas, dapat dikatakan bahwa manusia dalam menggunakan atau menciptakan simbol-simbol yang mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari mereka berasal dari pengalaman hidup mereka. Seperti Garrett Augustus Morgan yang menciptakan lampu lalu lintas setelah melihat kecelakaan lalu lintas. Maka dari itu, manusia dikatakan sebagai makhluk simbolik.\

Pernyataan manusia sebagai makhluk simbolik membuat salah satu sarjana feminis Luce Irigaray menempatkan dunia simbolik dalam kehidupan manusia pada lapis puncak piramida dalam abstraksi piramidal yang dibuatnya. Abstraksi piramidal tersebut terdiri atas dunia biologis pada lapis pertama, kemudian dunia sosial dan budaya pada lapis tengah.

Dunia biologis ditempatkan pada lapis pertama, karena menurut Irrigaray jika dilihat dari sisi biologis semua manusia memiliki kesetaraan, dan hal tersebut tidak menimbulkan konflik dalam diri manusia sehingga perbedaan biologis dalam diri manusia adalah sesuatu yang bersifat statis. Perempuan dan laki-laki telah memiliki perannya masing-masing.

Kemudian dunia sosial dan budaya ditempatkan pada lapis kedua. Menurut Irigaray, dalam dunia sosial dan budaya manusia mulai menemukan konflik di dalamnya. Perempuan dan laki-laki dalam konteks sosial dan budaya sering kali menampakkan diri mereka dengan cara yang berbeda. Pendapat masyarakat umumpun mengenai posisi perempuan dan laki-laki dalam konteks sosial dan budaya berbeda. Misalnya, pada acara adat dalam masyarakat Bugis. Perempuan dan laki-laki pasti menempatkan diri mereka masing-masing dan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukannya pasti berbeda.. Sehingga dalam konteks sosial dan budaya, perbedaan jender dalam diri manusia mulai ditampakkan yang dapat menyebabkan adanya konflik dalam diri manusia. Konflik tersebut dapat saja muncul ketika salah satu dari mereka ada yang menempatkan diri di tempat yang tidak seharusnya. Contohnya, seorang laki-laki yang mengambil alih tugas perempuan.

Selanjutnya, dalam dunia simbolik yang ditempatkan oleh Irigaray pada lapis puncak piramida, posisi perempuan dal laki-laki semakin nampak perbedaannya. Dalam dunia simbolik, Irigaray mengatakan bahwa tubuh lelaki dipersepsi dan diekspresikan sebagai tubuh yang mewakili kualitas Tuhan (the Authority Principle of God) dan tubuh perempuan dianggap mewakili kualitas pemberontakan setan (the Rebellious Principle of Satan). .oleh sebab itu, Irigaray menempatkan dunia simbolik ini pada puncak abstraksi piramidal yang dibuatnya. Melalui hal ini, Irigaray juga menunjukkan bahwa hal tersebutlah yang menjadi penyebab timbulnya kekerasan terhadap perempuan. Selain itu, dalam beberapa kebudayaan, simbol-simbol akan kebutuhan laki-laki diekspresikan melalui tubuh perempuan.

Melalui abstraksi piramidal ini, Irigaray ingin menunjukkan bahwa manusia sebagai makhluk biologis memiliki kesetaraan dan perempuan dan laki-laki sudah memiliki peran mereka masing-masing. Sehingga, perempuan dan laki-laki tidak perlu bersaing dan menimbulkan konflik di antara mereka. Kemudian, manusia sebagai makhluk sosial dalam konteks sosial dan budaya harus melakukan interaksi dengan orang lain dalam kehidupan sehari-harinya. Akan tetapi, dalam konteks tersebut, manusia biasanya menemui konflik dengan sesamanya karena adanya perbedaan pendapat di antara mereka dalam interaksinya. Lalu, manusia sebagai makhluk simbolik merupakan puncak dari adanya konflik-konflik antar manusia, terutana antar perempuan dan laki-laki yang dapat menyebabkan adanya kekerasan terhadap perempuan.

DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri, Jujun S, 1985, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta

http://galangalfarisi22.blogspot.com/2013/11/manusia-sebagai-makhluk-sosial.html

http://hendymanajaerpendidikan.blogspot.com/2013/05/hakikat-pengetahuan-filsafat.html#sthash.bk3YfMiz.dpuf

http://eji-fauzan.blogspot.com/2012/03/kebenaran-dalam-etika-dan-filsafat.html

http:www.Fahmi zolla.Blogspot.com

Etika dan Filsafat Komunikasi Bag. 1

15 April 2015 10:26:22 Dibaca : 1305


RESUME ETIKA DAN FILSAFAT KOMUNIKASI

OLEH

Nama : Sry Ade Muhtya Gobel

Kelas : Ilmu Komunikasi (A)

NIM : 291414039

MK: Etika dan filsafat komunikasi

PENGANTAR FILSAFAT (TEORI DAN KONSEP)

1. ONTOLOGI

Metafisika ataupun Ontologi adalah suatu studi tentang sifat dan fungsi teori tentang realita. Hubungannya dengan teori komunikasi, metafisika berkaitan dengan hal-hal sbb :

1) Sifat manusia dan hubungannya secara kontekstual dan individual dengan realita dalam alam semesta;

2) Sifat dan fakta bagi tujuan, perilaku, penyebab, dan aturan;

3) Problem pilihan, khususnya kebebasan versus determinisme pada perilaku manusia.

Selain itu juga, Ontologi adalah ilmu tentang yang ada. Menurut istilah, ontologi ialah ilmu yang membahas tentang hakikat yang ada, yang merupakan Ultimate reality baik yang berbentuk jasmani/konkrit maupun rohani/abstrak.
Dalam perbincangannya, seringkali Ontologi dihubungkan dengan Metafisika, yakni cabang ilmu dalam filsafat yang berbicara mengenai keberadaan (being) dan eksistensi (existence).

 Konsep ontologi

Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi ada 5 konsep utama, yaitu: Umum dan tertentu; Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya dimiliki oleh sesuatu. Tertentu (particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan waktu. Kesengajaan (substance) dan ketidaksengajaan (accident). Kesengajaan adalah petunjuk yang dapat menggambarkan sebuah obyek. Ketidaksengajaan dalam filsafat adalah atribut yang mungkin atau tidak mungkin dimiliki oleh sebuah obyek. Abstrak dan kongkrit. Abstrak adalah obyek yang ”tidak ada” dalam ruang dan waktu tertentu, tetapi ”ada” pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide. Kongkrit adalah obyek yang ”ada” pada ruang tertentu dan mempunyai orientasi untuk waktu tertentu. Esensi dan eksistensi Esensi adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang menjadi dasar keberadaan sebuah obyek. Eksistensi adalah kenyataan akan adanya suatu obyek yang dapat dirasakan oleh indera. Determinisme.

Dikutip pendapat Jujun S Suriasumantri dalam bukunya “Filsafat Ilmu” mengatakan bahwa metafisika merupakan suatu kajian tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran, dan hakikat kaitan zat dengan pikiran. Objek metafisika menurut Aristoteles, ada dua yakni :

a. Ada sebagai yang ada

Artinya sesuatu yang ada, yang benar-benar nyata, bukan hanya abstrak, tetapi sungguh-sungguh terjadi, bukti nyatanya ada. Seuatu yang tanpa ada perubahan sama sekali dan itu bisa dibuktikan dengan panca indera kita. Contohnya, matahari benar-benar ada pada pagi hari, matahari terbit dari bagian timur dan terbenam di bagian barat tidak bergatian. Apabila matahari ada pastinya suasana akan tersa hangat sampai kita merasa kepanasan. Panca indera seperti mata kita masih bisa menyaksikan hadirnya matahari, kulit kita masih merasankan kehangatan bahkan sengatan panas dari matahari. Buktin nyata matahari sebagai sesuatu yang ada dan sesuai kenyataan dan tidak ada perubahan. Kecuali tingkat suhu dari matahari yang berubah-ubah.

b. Ada sebagai yang ILLAHI;

Keberadaan yang mutlak, yang tidak bergantung pada yang lain, yakni TUHAN (iLLahi berarti yang tidak dapat ditangkap oleh panca indera). Sebagai orang islam kita meyakini bahwa Allah itu ada, tapi setiap manusia tidak bisa melihatnya, kita tidak bisa menggunakan panca indera. Tetapi kita selalu menggunakan hati dan keyakinan kita bahwa Allah itu ada.

2. EPISTEMOLOGI

Epistemologi atau teori pengetahuan ialah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, pengendalaian-pengendalian, dan dasar-dasarnya serta pengertian mengenai pengetahuan. Pengertian yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan, di antaranya adalah: Metode Induktif, yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyataan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Metode Deduktif, ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Metode Positivisme, berpangkal dari apa yang telah diketahui. Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:

1). Apakah pengetahuan itu ? maksudnya secara epistemologis manusia akan mencari apa itu pengetahuan dan akan memberikan beberapa pernyataan yang bisa saja berbeda mengenai pengetahuan.

2). Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu ? artinya sejauh mana proses pencarian informasi oleh manusia terhadap sesuatu. Contohnya seseorang yang ingin sekolah pastinya memiliki tujuan, tujuannya klasiknya ingin belajar. Tetapi sesungguhnya ada pemikiran bahwa kita ingin sekolah karena ingin tahu rasanya sekolah itu seperti apa, bagaimana suasana sekolah itu, apa saja yang ada di sekolah, ilmu pengetahuan apa saja yang yang bisa kita dapatkan di sekolah. Dengan pemikiran-pemikiran seperti itu, maka segala cara yang positif dilakukan oleh manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang menjadi ilmu buat manusia.

3). Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh ? tentunya pengetahuan itu tanpa kita sadari selalu kita peroleh dari kita tidur sampai bangun kembali banyak pengetahuan yang kita dapat. Selain itu, teori-teori ilmiah juga yang sudah ada merupakan salah satu pusat di mana kita mendapatkan pengetahuan tersebut. Contohnya saja sekarang, saya membuat tugas ini karena saya mendapatkan ilmu baik dari dosen mengenai filsafat maupun dari buku, internet dan referensi lainnya.

4). Bagaimanakah kebenaran pengetahuan itu dapat dinilai ? pengetahuan yang kita dapat pastinya tidak langsung kita terima, harus ada pembuktian-pembuktian secara nyata. Contohnya yang lagi trending topic sekarang adalah batu akik, pengetahuan kita tentang batu akik bukanlah hal baru, karena pada beberapa tahun yang sebelumnya sudah ada batu akik ini. Tapi untuk kita orang yang baru pertama kali tahu, pastinya tidak langsung beli tanpa bertanya-tanya dan menilai kebenarannya. Apakah benar batu akik ini asli, apakah benar benar batu akik ini hasil alam tanpa menggunakan bahan kimia, pastinya harus kita cari tahu sebenarnya apa ini batu akik, apakah kebenaran pengetahuan mengenai batu akik dapat dinilai sesuai fakta yang ada.

5). Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan puma pengalaman) ? permasalahan yang ini mengenai pengetahuan berdasarkan pengalaman yang dialami atau hanya berdasarkan pengalaman yang telah ada.

6). Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian ? pertanyaan-pertayaan seperti yang secara tidak sengaja selalu kita perbuat. Misalnya, belajar tentang filsafat, kita sebagai lulusan SMA yang sebelumnya belum pernah mendengar kata filsafat ilmu tiba di Universitas mempelajari filsafat, nah pada saat iut dalam pikiran banyak daftar pertanyaan mengenai mata kuliah filsafat. Seperti apa mata kuliah filsafat itu? Pastinya kita langsung bertanya-tanya kepada orang yang tahu, browsing ke internet. Setelah kita tahu filsafat itu apa, kita bertanya lagi hubungannya jurusan kita dengan filsafat itu apa ? dan masih banyak lagi pertanyaan yang akan sampai pada akhirnya kita tidak akan mengerti atau kita akan mengerti.

3. AKSIOLOGI

Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam Amsal Bakhtiar (2004: 163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika. Etika adalah sesuatu yang menentukan baik-buruknya perbuatan manusia. Ketik kita tersenyum pada orang lain, orang akan menganggap kita sosok yang ramah, tidak sombong, rendah hati pula. Maka secara etika kita lihat itu baik, di mata orang lain, dari sudut pandang orang lain kita itu terlihat baik. Setiap perbuatan yang kita lakukan akan menampilkan betapa baiknya kita atau betapa buruknya kita. Kedua ei,- esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, apakah anda pernah melihat lukisan ataupun gambar, bahkan suasana untuk yang pertama kalinya dan menurut anda itu sangat menenangkan hati ? Padahal sebelumnya kita belum pernah melihatnya dan tidak mendambakannya, tetapi entah kenapa kita sangat senang dan merasakan ketenangan dalam jiwa. Maka secara tidak langsung pikiran anda menilai apa yang yang anda lihat, apa yang anda rasakan itu begitu indah, sangatlah indah, dan akhirnya pikiran mempengaruhi jiwa anda sehingga bisa merasakan ketenangan. Tetapi sebelumnya anda sudah harus mengetahui makna keindahan itu seperti apa, jika tidak diketahui maka anda tidak bisa merasakan seperti apa itu keindahan yang menimbulkan rasa tenang. Bukan hanya itu dengan anda mengetahui makna keindahan anda sudah bisa menilai apakah itu baik (indah) atau itu buruk (tidak indah)? Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik. Membahas tentang politik pastinya tidak akan pernah habis. Kita tentunya mengikuti perkembangan sosial politik pada saat ini, keaadaannya pada saat ini membuat banyak penilaian-penilaian tersendiri, yang nantinya menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan moral, etika, nilai dan sebagainya. Apakah itu baik, atau sebaliknya itu buruk?

Oleh karena itu, aksiologi juga dapat diartikan sebagai suatu ilmu yang berhubungan dengan nilai-nilai. Dengan berbagai macam pertanyaan yang bisa meliputi tentang untuk apa pengetahuan ilmu itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaannya dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan metode ilmiah yang digunakan dengan norma-norma moral dan profesional? Dengan begitu , kita akan mengarah ke cabang fisafat Etika.

Teori aksiologi diketahui sebagai teori yang semasa perkembangannya menimbulkan suatu permasalahn mengenai kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya, terdapat pengetahuan yang berdasarkan pada keterikatan nilai. Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaran yang nyata. Misalnya kepada permasalahan media sekarang ini yang pada kenyataannya hanya saling berpihak. Pemberitaan yang tidak sesuai menjadi bahan pemberitaan di mana-mana tanpa berlandaskan bukti yang akurat. Adapun bukti tapi hanya rekayasa semata. Oleh karenanya kita sebagai orang yang mengerti, harus bersikap netral, tidak memihak kepada siapapun. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36). Menurut saya tidak hanya ilmuwan saja, sebagai orang biasapun kita harus bisa menilai mana yang baik dan mana yang buruk dalam menentukan sikap. Tidak terpengaruh dengan hal-hal yang membuat skiap keberpihakan kepada suatu objek tertentu.

FILSAFAT DAN ILMU KOMUNIKASI

Terdapat kesepakatan oleh para ahli bahwa landasan ilmu komunikasi yang pertama adalah filsafat. Filsafat melandasi ilmu komunikasi dari domain ethos, pathos, dan logos dari teori Aristoteles dan Plato. Ethos merupakan komponen filsafat yang mengajarkan ilmuwan tentang pentingnya rambu-rambu normatif dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang kemudian menjadi kunci utama bagi hubungan antara ilmu dan masyarakat. Pathos merupakan komponen filsafat yang menyangkut aspek emosi atau rasa yang ada dalam diri manusia sebagai makhluk yang senantiasa mencintai keindahan, penghargaan, yang dengan ini manusia berpeluang untuk melakukan improvisasi dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Logos merupakan komponen filsafat yang membimbing para ilmuwan untuk mengambil suatu keputusan berdasarkan pada pemikiran yang bersifat nalar dan rasional, yang dicirikan oleh argument-argumen yang logis. Komponen yang lain dari filsafat adalah komponen piker, yang terdiri dari etika, logika, dan estetika, Komponen ini bersinegri dengan aspek kajian ontologi (keapaan), epistemologi (kebagaimanaan), dan aksiologi (kegunaan atau kemanfaatan).
Pada dasarnya filsafat komunikasi memberikan pengetahuan tentang kedudukan Ilmu Komunikasi dari perspektif epistemology:

a. Ontologis: What It Is?

Ontologi berarti studi tentang arti “ada” dan “berada”, tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri, menurut bentuknya yang paling abstrak (Suparlan: 2005). Ontologi sendiri berarti memahami hakikat jenis ilmu pengetahuan itu sendiri yang dalam hal ini adalah Ilmu Komunikasi.
Ilmu komunikasi dipahami melalui objek materi dan objek formal. Secara ontologism, Ilmu komunikasi sebagai objek materi dipahami sebagai sesuatu yang monoteistik pada tingkat yang paling abstrak atau yang paling tinggi sebagai sebuah kesatuan dan kesamaan sebagai makhluk atau benda. Sementara objek formal melihat Ilmu Komunikasi sebagai suatu sudut pandang (point of view), yang selanjutnya menentukan ruang lingkup studi itu sendiri.
Contoh relevan aspek ontologis Ilmu Komunikasi adalah sejarah ilmu Komunikasi, Founding Father, Teori Komunikasi, Tradisi Ilmu Komunikasi, Komunikasi Manusia, dll.
Dalam teori komunikasi tampak berbagai posisi ontologis, tetapi dapat dikelompokan menjadi dua posisi yang saling berlawanan: :

1. Teori Aksional (actional theory)

Teori ini menyatakan bahwa setiap orang yang membuat makna pasti punya tujuan. Karena berlandaskan teleologis setiap orang yang mengambil keputusan tentunya di buat demi tercapainya suatu tujuan. Contohnya gambar ini, gambar ini diambil di saat seorang nelayan yang sedang menjaring ikan di laut. Foto ini mengambarkan sosok seorang nelayan dan bagaimana cara ia bekerja, dari makna foto ini kita bisa simpulkan bahwa foto ini ingin menyampaikan tujuannya lewat pesan foto ini bahwa pekerjaan sebagai nelayan tidaklah mudah, dengan mempertaruhkan nyawanya di lautan hanya untuk mencari ikan dan mendapatkan uang.

2. Teori Non-aksional (nonactional theory);

Teori ini berbeda dengan teori sebelumnya, yang dimaksud dalam teori ini bahwa sebenarnya perilaku itu ditentukan oleh respon terhadap suatu tekanan pada waktu sebelumnya.Tradisi ini dalil-dalil tertutup biasanya dipandang tepat, interpretasi aktif seseorang dilihat dengan sebelah mata.

b. Epistemologis: How To Get?

Hakikat pribadi ilmu (Komunikasi) yaitu berkaitan dengan pengetahuan mengenai pengetahuan ilmu (Komunikasi) sendiri atau Theory of Knowledge. Persoalan utama epistemologis Ilmu Komunikasi adalah mengenai persoalan apa yang dapat kita ketahui dan bagaimana cara mengetahuinya, “what can we know, and how do we know it?” (Lacey: 1976). Menurut Lacey, hal-hal yang terkait meliputi “believe, understanding, reson, judgement, sensation, imagination, supposing, guesting, learning, and forgetting”. Secara sederhana sebetulnya perdebatan mengenai epistemology Ilmu Komunikasi sudah sejak kemunculan Komunikasi sebagai ilmu. Perdebatan apakah Ilmu Komunikasi adalah sebuah ilmu atau bukan berhubungan dengan bagaimana proses penetapan suatu bidang menjadi sebuah ilmu. Dilihat sejarahnya, maka Ilmu Komunikasi disebut sebagai ilmu, walaupun masih ada keterkaitannya dengan ilmu sosial yang sudah ada, bahkan pengaruh Sosiologi dan Psikologi berperan aktif dalam lahirnya Ilmu Komunikasi.

Tidak hanya ilmu-ilmu lainnya nama-nama seperti Laswell, Schramm, Hovland, Freud, sangat berpengaruh terhadap perkembangan Ilmu Komunikasi. Komunikasi sebenarnya telah ditelaah sejak lama untuk menjadi sebuah ilmu, namun baru ada abad ke-19 di daratan Amerika yang kaitannya sangat erat dengan aspek aksiologis ilmu ini sendiri.
Contoh konkret epistemologis dalam Ilmu Komunikasi dapat dilihat dari proses perkembangan kajian keilmuan Komunikasi di Amerika (Lihat History of Communication, Griffin: 2002). Kajian Komunikasi yang dipelajari untuk kepentingan manusia pada masa peperangan semakin meneguhkan Komunikasi menjadi sebuah ilmu.
Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia. LittleJOHN mengajukan pertanyaan : Dengan proses bagaimana timbulnya pengetahuan ? terdapat empat posisi. :

1. Mentalisme atau rasionalisme merupakan posisi yang menyatakan pengetahuan itu timbul dari pikiran manusia, karena kekuatan pikiran manusia itu sendiri. Dengan sifat yang kritis berbagai berita ditelaah baik-baik, sehingganya penalaran manusia mulai berjalan. Kecerdasannyapun bisa mempengaruhi timbulnya sebuah pengetahuan. Maka dari itu posisi ini menempatkan pada penalaran manusia.

2. Empirisme merupakan posisi yang menyatakan bahwa pengetahuan muncul dalam persepsi. Dengan melihat keadaan di sekitar kita, kemudian memperhatikan setiap kejadian ataupun objek yang ada di lingkungan kita, akan muncul berbagai macam persepsi yang di mana setiap persepsi itu terdapat perbedaan, antara persepsi satu dengan persepsi yang lainnya.

3. Konstruksivisme yang menyatakan bahwa orang menciptakan pengetahuan agar bisa berfungsi bagi kehidupannya secara pragmatis. Percaya bahwa fenomena di dunia dapat dibentuk dengan berbagai cara, dimana pengetahuan berperan penting untuk memengaruhi, bahkan merekayasa dunia.

4. Konstruksivisme sosial mengajarkan bahwa pengetahuan merupakan produk interaksi simbolik dalam kelompok sosial. Realitas dikonstruksikan secara sosial sebagai produk kehidupan kelompok dan kehidupan budaya.

c. Aksiologis: What For?

Hakikat individual ilmu pengetahuan yang bersitaf etik terkait aspek bermanfaatnya ilmu itu sendiri. Begitu juga dengan Aksiologis, dengan azas kebermanfaatan maka ini sangat berhubungan dengan tujuan kepentingan manusia. Jika dikaitkan aksiologis dengan Ilmu Komunikasi, maka Ilmu Komunikasi secara umum memiliki peran yang sangat penting terhadap kehidupan manusia. Dengan adanya nilai-nilai yang berhubungan dengan manusia (human) dari Ilmu Komunikasi itu sendiri, tidak dapat dipungkiri lagi perkembangan manusia tidak lepas dari komunikasi. Di setiap kebutuhan manusia, selalu ada komunikasi baik secara verbal maupun secara non-verbal. Kebutuhan memengaruhi (persuasive), retoris (public speaking), spreading of information, propaganda, adalah sebagian kecil dari manfaat Ilmu Komunikasi. Secara pragmatis, aspek aksiologis dari Ilmu Komunikasi terjawab seiring perkembangan kebutuhan manusia.

Aksiologi. Pertanyaan yang menyangkut wilayah ini antara lain: Untuk apa ilmu komunikasi itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan dan ilmu tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimanakah kaitan ilmu komunikasi berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara operasionalisasi metode ilmiah dalam upaya melahirkan dan menemukan teori-teori dan aplikasi ilmu komunikasi dengan norma-norma moral dan profesional?
Filsafat berawal dari sebuah pertanyaan dan akan berakhir pada pertanyaan pula. Hakikat filsafat yaitu bertanya secara terus-menerus karena terciptanya keraguan terhadap suatu kebenaran yang telah ada (tidak termasuk agama). Rasa ingin tahu membuat pemikiran semakin kritis, sehingga pertanyaan demi pertanyaan harus dicari apa jawaban sebenarnyanya itu apa.

Mari kita kaitkan filsafat dengan komunikasi, komunikasi merupakan ilmu sosial yang menjelaskan objek itu secara abstrak. Filsafat bisa digunakan dalam ilmu komunikasi dalam pengkajian permasalahan dalam komunikasi yang objeknya bersifat abstrak. Karena tidak sebagaimana dengan ilmu-ilmu alam yang objeknya eksak, misalnya dalam biologi akan mudah untuk membedakan kucing dengan anjing, mana jantung dan mana hati, sehingga tidak perlu mendefinisikan secara ketat. Ilmu komunikasi berada dalam rumpun ilmu-ilmu sosial yang berobjek abstrak, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Komunikasi sebagai kata yang abstrak sulit untuk didefinisikan. Berdasarkaan kajian yang telah dilakukan komunikasi telah memiliki sejumlah ilmu praktik yaitu Hubungan Masyarakat, Periklanan, dan Jurnalistik, dan masih banyak lagi ilmu praktik yang tidak saya sebutkan satu persatu. Namaun tidak semua peristiwa merupakan objek kajian ilmu komunikasi. Sebagaimana penjelasan mengenai suatu bahwa objek suatu ilmu harus terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya. Karena objeknya yang abstrak, syarat objek ilmu komunikasinya adalah memiliki objek yang sama, yaitu tindakan manusia dalam konteks sosial. Artinya, peristiwa yang terjadi antarmanusia. Contoh, Anda berkata kepada seorang guru, ”Maaf bu, saya terlambat lagi hari ini, saya janji tidak akan terlambat lagi kok, bu.” Peristiwa ini memenuhi syarat objek ilmu komunikasi , yaitu bahwa yang dikaji adalah komunikasi antarmanusia, bukan dengan yang lain selain makhluk manusia. Dalam hal informasi, Filsafat dapat membantu :

1. Dari teori epistemology

Sudah dijelaskan di atas bagaimana hubungan komunikasi dengan teori epistemology. Secara epistemologis cara-cara memperoleh fakta ilmiah yang menjadi landasan filosofis sebuah berita infotainment yang akan ditampilkan berdasarkan perencanaan yang matang, mapan, sistematis & logis.

2. Dari teori ontologis

Dalam kajian berita infotainment ini bahasan secara ontologis tertuju pada keberadaan berita infotainment dalam ruang publik. Fenomena infotainment merupakan hal yang tidak bisa terhindarkan dari dunia jurnalisme kita. Pada realitasnya ini banyak disukai oleh masyarakat dengan bukti rating tinggi (public share tinggi).

3. Dari teori aksiologi

Secara aksiologis kegunaan berita infotainment dititik beratkan kepada hiburan. Pengelola acara ini menarik audiens hanya dengan menyajikan tontonan yang enak dilihat sebagai sebuah strategi bisnis jurnalisme. Hal ini akan berdampak pada menundanya selera dan harapan sejumlah orang terhadap sesuatu yang lain. Ketika etika infotainment telah salah langkah mencoba untuk ”menyaingkan” antara berita & hiburan. Padahal nilai dan daya pikat berita itu berbeda, infotainment pada gilirannya akan membentuk audiens yang berpikir dangkal karena terbangun atas bentuk bukan substansi. Pengelola media melalui berita infotainment terkadang tidak lagi mempertimbangkan moral sebagai pengontrol langkah mereka sehingga begitu mengabaikan kepentingan masyarakat. Hal itulah yang terjadi dengan berita infotainment di Indonesia, beberapa kaidah yang semestinya dijalankan malah diabaikan demi kepentingan mengejar rating dan meraup keuntungan dari pemasang iklan. Tidak hanya infotainment, hiburan yang hadir di layar kaca Indonesia sekarang sudah tidak layak lagi untuk di saksikan oleh masyarakat umum. Keberadaannya di nilai tidak berkualitas, tidak bermoral ataupun tidak beretika.

KEBENARAN

Membahas tentang kebenaran pastinya setiap manusia memiliki struktur pengetahuan yang menampilkan tingkatan-tingkatan ketika menangkap sebuah kebenaran. Pengetahuan indrawi merupakan struktur yang terendah. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itu pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.

 Teori Kebenaran Dalam Perspektif Filsafat Ilmu

Dalam menguji suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akan berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi berlangsungnya pengujian tersebut. Berikut ini beberapa teori tentang kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu.

a) Teori Korespondensi

Korespondensi adalah hubngan ataupun kertekaitan satu hal dengan hal yang lainnya. Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang menyatakan bahwa segala pernyataan yang ada akan dikatakan benar jikalau berhubungan dengan fakta yang ada. Jika ada suatu permasalahan, ungkapan, ataupun keputusan yang dibuat bisa dikatakan benar apabila terdapat fakta-fakta yang sesuai dan kenyataan yang ada, tidak mengada-ngada, bukan hasil rekayasa dan menyatakan apa adanya. Teori ini juga sering diperhatikan berdasarkan dengan teori-teori empiris pengetahuan.

Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepada realita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).

Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “matahari terbit dari timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan tersebut bersifat faktual, atau sesuai dengan fakta yang ada bahwa matahari terbit dari timur dan tenggelam di ufuk barat.

Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak, maka pertimbangan itu salah (Jujun, 1990:237).

b). Teori Koherensi atau Konsistensi

Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koherensi atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawakepada pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55)., artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang koherensi menurut logika. Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi antara pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan untuk menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya interkoneksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya.

Misalnya, bila kita menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah perbuatan maksiat, maka mencuri dilarang oleh Allah” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama. Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus menerus dengankeseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut (Titus,1987:239)

c). Teori Pragmatik

Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah makalahyang terbit pada tahun 1878 yangberjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori inikemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaAn Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William James(1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I.Lewis (Jujun, 1990:57).

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknyasuatu dalil atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebutbagi manusia untuk kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teoriini juga dikenal dengan teori problem solving, artinya teori yang dengan itudapat memecahkan segala aspek permasalahan.

Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) danyang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability)dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teoriini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.
Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari keuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan kata lain ilmu pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin bagi manusia.

d) Teori Performatif

Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim diIndonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkansebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh pemegang otoritas tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut bertentangan dengan bukti-bukti empiris.

Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis danrasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.

e). Teori Konsensus

Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.

Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigm dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas.

HAKIKAT FILSAFAT

Filsafat merupakan ilmu yang dasarnya adalah pemikiran manusia yang menyeluruh. Bisa dikatakan filsafat adalah sumber dari segala cabang ilmu. Pengertian filsafat dapat didekati paling sedikit dari segi: filsafat dalam arti harfiah, filsafat secara operasional, filsafat dari sudut isinya (materinya), dan filsafat sebagai produk atau hasil pemilsafatan.
. Filsafat dalam arti “Harfiah”
Asal kata Filsafat dari bahasa Latin “Filosofia” terdiri dari kata Filos dan Sofia.
Filos = Cinta atau hasrat yang besar
Sofia = Pengetahuan yang mendalam sampai berkaitan dengan kearifan
Berdasarkan pembahasan secara harafiah ini filsafat berarti cinta kepada pengetahuan atau hasrat yang besar untuk menjadi arif.

a. Filsafat secara operasional (prosesnya)

Filsafat secara prosesnya atau operasionalnya adalah “cara berfilsafat”, maka filsafat adalah renungan yang mendalam (radikal) dan menyeluruh (integral), secara sistematis, sadar dan metodis dan sudah tentu tidak meninggalkan sifat-sifat ilmiah pada umumnya.

b. Filsafat dibahas dari sudut isinya (materinya)

Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari metodologi serta hakekat kebenaran dan nilai dari ihwal terutama tentang manusia dan segala cita-citanya, dengan lingkungannya, agamanya, kehidupannya, ideologinya, hakekat dirinya dan lain-lain.
Filsafat mengenai nilai ada 3 bagian, yaitu : a) Aksiologi: yaitu filsafat tentang “nilai pada umumnya” misalnya : nilai tujuan filosofis suatu negara dan cara kerja yang memperhatikan nilai-nilai tertentu; b) Etika: yaitu filsafat tingkah laku disebut The Philosophy of Conduct ; c) Aestetika: yaitu filsafat keindahan disebut The Philosophy of Art.

c. Filsafat sebagai produk atau hasil pemilsafatan

Ini merupakan “hasil” orang berfilsafat atau produk para filsuf dan para ahli pikir. (www. sodiycxacun.web.id)

d. Filsafat menurut para filsuf

Para filsuf merumuskan pengertian filsafat sesuai dengan kecenderungan pemikiran kefilsafatan yang dimilikinya. Berikut pengertian filsafat menurut para ahli:

• Plato (428-348 SM): Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada.

• Aristoteles ((384–322 SM): Filsafat adalah ilmu ( pengetahuan ) yang meliputi kebenaran yang terkandung didalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.

• Imanuel Kant (1724–1804): Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya.

• Al-Farabi: Filsafat adalah ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.

• Prof. Mr.Muhammad Yamin: Filsafat ialah pemusatan pikiran, sehingga manusia menemui kepribadiannya seraya didalam kepribadiannya itu dialamiya kesungguhan.

Dari semua pengertian filsafat secara terminologis di atas, dapat ditegaskan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki dan memikirkan segala sesuatunya secara mendalam dan sungguh-sungguh, serta radikal sehingga mencapai hakikat segala situasi tersebut.

Asal Usul Filsafat

Filsafat merupakan sekumpulan sikap dan kepercayaan terhadap kehidupan alam dan biasanya diterima secara tidak kritis. Filsafat juga dianggap sebagai kreasi berpikir dengan menggunakan metode-metode ilmiah untuk memahami dunia. Filsafat bertujuan untuk memahami dunia dan memperpadukan hasil dan ilmu pengetahuan ke ilmu pengetahuan special agar menjadi suatu pandangan hidup yang seragam. Itu merupakan tujuan Filsafat dari jaman Thales (Bapak Filsafat) hingga jaman sekarang.

Di masa sekarang ini, manusia bercorak individualistis, humanistis, romantis, sehingga manusia cepat beralih pada kepentingan-kepentingan dekat dan “dunia” memiliki arti yang lain bagi manusia. Kondisi manusia yang hidup di perkotaan, dengan kendaraan, perumahan, dan segalanya yang ada di kota, membuat manusia semakin jauh dengan dunia astronomis.

Dahulu, bangsa Yunani purba banyak dicemaskan oleh masalah diam dan perubahan, yang mana perubahan yang mereka maksudkan adalah perubahan fisik/alam, seperti atom-atom yang bergerak, air yang mengalir, dan lain-lain. Tapi, ketika masalah itu belum selesai, perhatian manusia tertarik ke perubahan-perubahan dalam bentuk lain, seperti adat istiadat, hubungan-hubungan, dan lain-lain. Hal itu menunjukkan keragaman, sementara keragaman menghasilkan banyak penafsiran. Maka, hal itulah yang membuat Filsafat tetap ada hingga sekarang, hanya saja, sekarang ia menjadi penafsiran dari hidup, maka kondisinya menjadi sama seperti dahulu, dimana Filsafat adalah suatu usaha untuk memahami dunia dimana kita hidup.

Karena kehidupan yang kita jalani penuh kekerasan, maka dorongan untuk berfilsafat terus muncul dan bersemayam dalam kehidupan modern. Tapi waktu sekarang ini amat terbatas, sehingga untuk berfilsafat kita hanya mempunyai kesempatan untuk memikirkan sebagian masalah-masalah dengan mengajukan pertanyaan yang tidak menyeluruh, sehingga tidak bisa menyelesaikan permasalahan yang menjadi hajat hidup banyak orang.
Biasanya, hanya ada sedikit orang yang mengajukan pertanyaan :

• Adakah alam semesta ini suatu alam semesta dari pikiran atau hanya dari benda mati?

• Dapatkah ia masih menganut suatu pandangan keagamaan mengenai manusia?

• Adakah Tuhan itu?

• Dari apa benda tersebut?

• Apakah akal kita yang kini terpukau-pukau dan keheranan merupakan salah satu dari benda?

• Saya hidup. Apa itu hidup?

• Ada apa sesudah mati?

• Apa itu benar dan apa itu salah?

• Apakah pertanyaan ini bisa terjawab?

• Apa yang mejadi batas sebuah pengetahuan?

• Kita lihat bulan yang indah, mentari yang terbenam amat memukau, dan segala keindahan lain. Lalu, apakah tanpa mata keindahan ada? Apakah tanpa organ lain keindahan itu ada? Lalu, apa itu keindahan?

• Apa pula pertanyaan itu?

Pertanyaan-pertanyaan itu adalah pertanyaan yang menjijikan, ngeri, mengapa begitu bodoh terlintas di dalam kepala kita. Tetapi, justru itulah masalah-masalah Filsafat. Karena itulah Filsafat ada. Filsafat ada karena manusia bertanya tentang hidup, Filsafat ada karena adanya masalah-masalah tersebut.

Ciri-ciri Pemikiran Filsafat

Menurut Clarence L. Lewis seorang ahli logika mengatakan bahwa filsafat itu sesungguhnya suatu proses refleksi dari bekerjanya akal. Sedangkan sisi yang terkandung dalam proses refleksi adalah berbagai kegiatan/problema kehidupan manusia. Tidak semua kegiatan atau berbagai problema kehidupan tersebut dikatakan sampai pada derajat pemikiran filsafat, tetapi dalam kegiatan atau problema yang terdapat beberapa ciri yang dapat mencapai derajat pemikiran filsafat adalah sebagai berikut:

1. Sangat umun atau universal

Pemikiran filsafat mempunyai kecenderungan sangat umum, dan tingkat keumumannya sangat tinggi. Karena pemikiran filsafat tidak bersangkutan dengan objek-objek khusus, akan tetapi bersangkutan dengan konsep-konsep yang sifatnya umum, misalnya tentang manusia, tentang keadilan, tentang kebebasan, dan lainnya.

2. Tidak faktual

Kata lain dari tidak faktual adalah spekulatif, yang artinya filsafat membuat dugaan-dugaan yang masuk akal mengenai sesuatu dengan tidak berdasarkan pada bukti. Hal ini sebagai sesuatu hal yang melampaui tapal batas dari fakta-fakta pengetahuan ilmiah. Jawaban yang didapat dari dugaan-dugaan tersebut sifatnya juga spekulatif. Hal ini bukan berarti bahwa pemikiran filsafat tidak ilmiah, akan tetapi pemikiran filsafat tidak termasuk dalam lingkup kewenangan ilmu khusus.

3. Bersangkutan dengan nilai

C.J. Ducasse mengatakan bahwa filsafat merupakan usaha untuk mencari pengetahuan, berupa fakta-fakta, yang disebut penilaian. Yang dibicarakan dalam penilaian ialah tentang yang baik dan buruk, yang susila dan asusila dan akhirnya filsafat sebagai suatu usaha untuk mempertahankan nilai. Maka selanjutnya, dibentuklah sistem nilai, sehingga lahirlah apa yang disebutnya sebagai nilai sosial, nilai keagamaan, nilai budaya, dan lainnya.

4. Berkaitan dengan arti

Sesuatu yang bernilai tentu di dalamnya penuh dengan arti. Agar para filosof dalam mengunkapkan ide-idenya sarat denga arti, para filosof harus dapat menciptakan kalimat-kalimat yang logis dan bahasa-bahasa yang tepat, semua itu berguna untuk menghindari adanya kesalahan/sesat pikir (fallacy)

5. Implikatif

Pemikiran filsafat yang baik dan terpilih selalu mengandung implikasi (akibat logis). Dari implikatif tersebut diharapkan akan mampu melahirkan pemikiran baru sehingga akan terjadi proses pemikiran yang dinamis dari tesis ke anti tesis kemudian sintesis, dan seterusnya...sehingga tidak ada habisnya. Pola pemikiran yang implikatif (dialektis) akan dapat menuburkan intelektual.
Hakikat filsafat komunikasi

Filsafat komunikasi adalah suatu disiplin yang menelaah pemahaman (verstehen)
secara fundamental, metodologis, sismatis, analitis, kritis, dan holitis teori dan proses komunikasi yang meliputi segala dimensi menurut bidangnya, sifatnya, tatanannya, tujuannya, fungsinya, tekniknya, dan metodenya.

SIFAT DASAR FILSAFAT

- Berpikir Radikal

Berfilsafat berarti berpikir secara radikal. Filsuf adalah pemikir yang radikal. Karena berpikir secara radikal, ia tidak pernah berhenti hanya pada suatu fenomena suatu entitas tertentu. Ia tidak akan pernah berhenti hanya pada suatu wujud realitas tertentu. Keradikalan berpikirnya itu senantiasa mengobarkan hasratnya untuk menemukan akar seluruh kenyataan.
Bagi seorang filsuf, hanya apabila akar atau radix realitas telah ditemukan, segala sesuatu yang bertumbuh di atas akar itu akan dapat dipahami. Hanya bila akar suatu permasalahan telah ditemukan, permasalahan itu dapat dimengerti sebagaimana mestinya.

- Mencari Asas

Filsafat bukan hanya mengacu kepada bagian tertentu dari realitas, melainkan kepada keseluruhannya. Dalam memandang keseluruhan realitas, filsafat senantiasa berupaya mencari asas yang paling hakiki dari keseluruhan realitas. Seorang filsuf akan selalu berupaya untuk menemukan asas yang paling hakiki dari realitas.

- Memburu Kebenaran

Filsuf adalah pemburu kebenaran. Kebenaran yang diburunya adalah kebenaran hakiki tentang seluruh realitas dan setiap hal yang dapat dipersoalkan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa berfilsafat berarti memburu kebenaran tentang segala sesuatu.
Tentu saja kebenaran yang hendak digapai bukanlah kebenaran yang meragukan. Untuk memperoleh kebenaran yang sungguh-sungguh dapat dipertanggungjawabkan, setiap kebenaran yang telah diraih harus senantiasa terbuka untuk dipersoalkan kembali dan diuji demi meraih kebenaran yang lebih pasti. Demikian seterusnya.
Jelas terlihat bahwa kebenaran filsafat tidak pernah bersifat mutlak dan final, melainkan terus bergerak dari suatu kebenaran menuju kebenaran baru yang lebih pasti. Kebenaran yang baru ditemukan itu juga terbuka untuk dipersoalkan kembali demi menemukan kebenaran yang lebih meyakinkan.dengan demikian, terlihat bahwa salah satu sifat dasar filsafat ialah memburu kebenaran. Upaya memburu kebenaran itu adalah demi kebenaran itu sendiri, dan kebenaran yang diburu adalah kebenaran yang meyakinkan serta lebih pasti.

- Mencari Kejelasan

Salah satu penyebab lahirnya filsafat ialah keraguan. Untuk menghilang¬kan keraaguan diperlukan kejelasan. Ada filsuf yang mengatakan bahwa berfilsafat berarti berupaya mendapatkan kejelasan dan penjelasan mengenai seluruh realitas. Ada pula yang mengatakan bahwa filsuf senantiasa mengejar keje!asan pengertian (clarity of understanding). Geisler dan Feinberg mengatakan bahwa ciri khas penelitian filsafat ialah adanya usaha keras demi meraih kejelasan intelektual (intellectual clarity).' Dengan demikian, dapat mengatakan bahwa berpikir secara filsafati berarti berusaha memperoleh kekejelasan.
Mengejar kejelasan berarti harus berjuang dengan gigih untuk mengelimi¬nasi segala sesuatu yang tidak jelas, yang kabur, dan yang gelap, bahkan juga yang serba rahasia dan berupa teka-teki. Tanpa kejelasan, filsafat pun akan menjadi sesuatu yang mistik, serba rahasia, kabur, gelap, dan tak mung¬kin dapat menggapai kebenaran.
Jelas terlihat bahwa berfilsafat sesungguhnya merupakan suatu perjuangan untuk mendapatkan kejelasan pengertian dan kejelasan seluruh realitas. Perjuangan mencari kejelasan itu adalah salah satu sifat dasar filsafat.

- Berpikir Rasional

Berpikir secara radikal, mencari asas, memburu kebenaran, dan mencari kejelasan tidak mungkin dapat berhasil dengan baik tanpa berpikir secara rasional. Berpikir secara rasional berarti berpikir logis, sistematis, dan kritis. Berpikir logis adalah bukan hanya sekedar menggapai pengertian-pengertian yang dapat diterima oleh akal sehat, melainkan agar sanggup menarik kesimpulan dan mengambil keputusan yang tepat dan benar dari premis-premis yang digunakan.

TEMA POKOK (MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SOSIAL)

Pengertian Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial. Esensi manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya adalah kesadaran manusia tentang status dan posisi dirinya adalah kehidupan bersama, serta bagaimana tanggungjawab dan kewajibannya di dalam kebersamaan.

Manusia selain sebagai makhluk individu, manusia juga disebut sebagai makhluk sosial. Artinya manusia memiliki kebutuhan dankemampuan serta kebiasaan untuk berkomunikasi dan berinteraksidengan manusia yang lain, selanjutnya interaksi ini berbentuk kelompok.Kemampuan dan kebiasaan manusia berkelompok ini disebut juga dengan zoon politicon. Istilah manusia sebagi zoon politicon pertama kali dikemukakan oleh Aristoteles yang artinya manusia sebagai binatang politik. Manusia sebagai insan politik atau dalam istilah yang lebih populer manusia sebagai zoon politicon, mengandung makna bahwa manusia memiliki kemampuan untuk hidup berkelompok dengan manusia yang lain dalam suatu organisasi yang teratur, sistematis dan memiliki tujuan yang jelas, seperti negara. Sebagai insan politik, manusia memiliki nilai-nilai yangbisa dikembangkan untuk mempertahankan komunitasnya. Argumen yang mendasari pernyataan ini adalah bahwa manusiasebagaimana binatang ,hidupnya suka mengelompok. Hanya saja antara manusia dan binatang berbeda memiliki cara mengelompok yang berbeda, hewan mengandalkan naluri, sedangkan manusia berkelompok dilakukan melalui proses belajar dengan menggunakan akal pikirannya. Sifat berkelompok pada manusia didasari pada kepemilikan kemampuan untuk berkomunikasi, mengungkapkan rasa dan kemampuan untuk saling bekerjasama. Selain itu juga adanya kepemilikan nilai pada manusia untuk hidup bersama dalam kelompok, antara lain: nilai kesatuan, nilai solidaritas, nilai kebersamaan dan nilai berorganisasi.

Nilai adalah prinsip-prinsip dasar yang dianggap paling baik, paling bermakna, paling berguna, paling menguntungkan, dan paling dapat mendatangkan kebiasaan bagi manusia. Nilai kesatuan mengandung makna bahwa komunitas politik merupakan kumpulan orang-orangyang memiliki tekad untuk bersatu dan komunitas politik hanya terwujud apabila ada persatuan. Nilai solidaritas mengandung makna bahwa hubungan antar manusia dalam komunitas politik bersifat saling mendukung dan selalu membuka kesempatan untuk bekerja samadengan manusia yang lain. Nilai kebersamaan mengandung arti komunitas politik merupakan wadah bagi mereka untuk mewujudkan tujun hidup yang diidam-idamkan. Nilai organisasi mengandung makna bahwa komunitas politik yang dibangun manusia, mengatur dirinya dalam bentuk organisasi yang memungkinkan tiap-tiap menudia mengambil perannya.

Aktualisasi manusia sebagai makluk sosial, tercermin dalam kehidupan berkelompok. Manusia selalu berkelompok dalam hidupnya. Berkelompok dalam kehidupan manusia adalah suatu kebutuhan, bahkan bertujuan. Tujuan manusia berkelompok adalah untuk meningkatkan kebahagiaan dan kesejahteraan hidupnya. Apapun bentuk kelompoknya, disadari atau tidak, manusia berkelompok mempunyai tujuan meningkatkan kebahagiaan hidupnya. Melalui kelompok manusia bis amemenuhi berbagai macam kebutuhan hidupnya, bahkan bisa dikatakan kebahagiaan dan keberdayaan hidup manusia hanya bisa dipenuhi dengan cara berkelompok. Tanpa berkelompok tujuan hidup manusia yaitu mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan tidak akan bisa tercapai.

Manusia merupakan makluk individu dan sekaligus sebagai makluk sosial. Sebagai makluk sosial manusia selalu hidup berkelompok dengan manusia yang lain. Perilaku berkelompok (kolektif) pada dirimanusia, juga dimiliki oleh makluk hidup yang lain, seperti semut, lebah, burung bangau, rusa, dan sebagainya, tetapi terdapat perbedaan yang esensial antara perilaku kolektif pada diri manusia dan perilaku kolektif pada binatang.

Kehidupan berkelompok (perilaku kolektif) binatang bersifatnaluri, artinya sudah pembawaan dari lahir, dengan demikian sifatnya statis yang terbentuk sebagai bawaan dari lahir. Contoh bentuk rumah lebah, sejak dahulu sampai sekarang tidak ada perubahan, demikian halnya dengan rumah semut dan hewan lainnya. Sebaliknya perilaku kolektif manusia bersifat dinamis, berkembang, dan terjadi melalui proses belajar (learning process).

Karakteristik Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Telah berabad-abad konsep manusia sebagai makhluk sosial itu ada yang menitik beratkan pada pengaruh masyarakat yang berkuasa kepada individu. Dimana memiliki unsur-unsur keharusan biologis, yang terdiri dari:

1. Dorongan untuk makan

2. Dorongan untuk mempertahankan diri

3. Dorongan untuk melangsungkan jenis

Dari tahapan diatas menggambarkan bagaimana individu dalam perkembangannya sebagai seorang makhluk sosial dimana antar individu merupakan satu komponen yang saling ketergantungan dan membutuhkan. Sehingga komunikasi antar masyarakat ditentukan oleh peran oleh manusia sebagai makhluk sosial.
Dalam perkembangannya manusia juga mempunyai kecenderungan sosial untuk meniru dalam arti membentuk diri dengan melihat kehidupan masyarakat yang terdiri dari :

1. Penerimaan bentuk-bentuk kebudayaan, dimana manusia menerima bentuk-bentuk pembaharuan yang berasal dari luar sehingga dalam diri manusia terbentuk sebuah pengetahuan.

2. Penghematan tenaga dimana ini adalah merupakan tindakan meniru untuk tidak terlalu menggunakan banyak tenaga dari manusia sehingga kinerja mnausia dalam masyarakat bisa berjalan secara efektif dan efisien.

Pada umumnya hasrat meniru itu kita lihat paling jelas di dalam ikatan kelompok tetapi juga terjadi didalam kehidupan masyarakat secara luas. Dari gambaran diatas jelas bagaimana manusia itu sendiri membutuhkan sebuah interaksi atau komunikasi untuk membentuk dirinya sendiri malalui proses meniru. Sehingga secara jelas bahwa manusia itu sendiri punya konsep sebagai makhluk sosial.

Yang menjadi ciri manusia dapat dikatakan sebagai makhluk sosial adalah adanya suatu bentuk interaksi sosial didalam hubugannya dengan makhluk sosial lainnya yang dimaksud adalah dengan manusia satu dengan manusia yang lainnya. Secara garis besar faktor-faktor personal yang mempengaruhi interaksi manusia terdiri dari tiga hal yakni :

1. Tekanan emosional. Ini sangat mempengaruhi bagaimana manusia berinteraksi satu sama lain.

2. Harga diri yang rendah. Ketika kondisi seseorang berada dalam kondisi manusia yang direndahkan maka akan memiliki hasrat yang tinggi untuk berhubungan dengan orang lain karena kondisi tersebut dimana orang yang direndahkan membutuhkan kasih sayang orang lain atau dukungan moral untuk membentuk kondisi seperti semula.

3. Isolasi sosial. Orang yang terisolasi harus melakukan interaksi dengan orang yang sepaham atau sepemikiran agar terbentuk sebuah interaksi yang harmonis Manusia adalah makhluk yang selalu berinteraksi dengan sesamanya. Manusia tidak dapat mencapai apa yang diinginkan dengan dirinya sendiri. Sebagai makhluk sosial karena manusia menjalankan peranannya dengan menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan pemikiran dan perasaanya. Manusia tidak dapat menyadari individualitas, kecuali melalui medium kehidupan sosial. Manisfestasi manusia sebagai makhluk sosial, nampak pada kenyataan bahwa tidak pernah ada manusia yang mampu menjalani kehidupan ini tanpa bantuan orang lain.

Kedudukan Manusia sebagai Makhluk Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial artinya manusia sebagai warga masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak dapat hidup sendiri atau mencukupi kebutuhan sendiri. Meskipun dia mempunyai kedudukan dan kekayaan, dia selalu membutuhkan manusia lain. Setiap manusia cenderung untuk berkomunikasi, berinteraksi, dan bersosialisasi dengan manusia lainnya. Dapat dikatakan bahwa sejak lahir, dia sudah disebut sebagai makhluk sosial.

Hakekat manusia sebagai makhluk sosial dan politik akan membentuk hukum, mendirikan kaidah perilaku, serta bekerjasama dalam kelompok yang lebih besar. Dalam perkembangan ini, spesialisasi dan integrasi atau organissai harus saling membantu. Sebab kemajuan manusia nampaknya akan bersandar kepada kemampuan manusia untuk kerjasama dalam kelompok yang lebih besar. Kerjasama sosial merupakan syarat untuk kehidupan yang baik dalam masyarakat yang saling membutuhkan.

Kesadaran manusia sebagai makhluk sosial, justru memberikan rasa tanggungjawab untuk mengayomi individu yang jauh lebih ”lemah” dari pada wujud sosial yang ”besar” dan ”kuat”. Kehidupan sosial, kebersamaan, baik itu non formal (masyarakat) maupun dalam bentuk-bentuk formal (institusi, negara) dengan wibawanya wajib mengayomi individu.

Pengembangan Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Di dalam kehidupannya, manusia tidak hidup dalam kesendirian. Manusia memiliki keinginan untuk bersosialisasi dengan sesamanya. Ini merupakan salah satu kodrat manusia adalah selalu ingin berhubungan dengan manusia lain. Hal ini menunjukkan kondisi yang interdependensi. Di dalam kehidupan manusia selanjutnya, ia selalu hidup sebagai warga suatu kesatuan hidup, warga masyarakat, dan warga negara. Hidup dalam hubungan antar aksi dan interdependensi itu mengandung konsekuensi-konsekuensi sosial baik dalam arti positif maupun negatif. Keadaan positif dan negatif ini adalah perwujudan dari nilai-nilai sekaligus watak manusia bahkan pertentangan yang diakibatkan oleh interaksi antar individu. Tiap-tiap pribadi harus rela mengorbankan hak-hak pribadi demi kepentingan bersama Dalam rangka ini dikembangkanlah perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan. Pada zaman modern seperti saat ini manusia memerlukan pakaian yang tidak mungkin dibuat sendiri.

Tidak hanya terbatas pada segi badaniah saja, manusia juga mempunyai perasaaan emosional yang ingin diungkapkan kepada orang lain dan mendapat tanggapan emosional dari orang lain pula. Manusia memerlukan pengertian, kasih sayang, harga diri pengakuan, dan berbagai rasa emosional lainnya. Tanggapan emosional tersebut hanya dapat diperoleh apabila manusia berhubungan dan berinteraksi dengan orang lain dalam suatu tatanan kehidupan bermasyarakat. Dalam berhubungan dan berinteraksi, manusia memiliki sifat yang khas yang dapat menjadikannya lebih baik. Kegiatan mendidik merupakan salah satu sifat yang khas yang dimiliki oleh manusia. Imanuel Kant mengatakan, "Manusia hanya dapat menjadi manusia karena pendidikan". Jadi jika manusia tidak dididik maka ia tidak akan menjadi manusia dalam arti yang sebenarnya. Hal ini telah terkenal luas dan dibenarkan oleh hasil penelitian terhadap anak terlantar. Hal tersebut memberi penekanan bahwa pendidikan memberikan kontribusi bagi pembentukan pribadi seseorang.

Dengan demikian manusia sebagai makhluk sosial berarti bahwa disamping manusia hidup bersama demi memenuhi kebutuhan jasmaniah, manusia juga hidup bersama dalam memenuhi kebutuhan rohani.

Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena beberapa alasan, yaitu:

a. Manusia tunduk pada aturan, norma sosial

b. Perilaku manusia mengharapkan suatu penilaian dari orang lain.

c. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain

d. Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.

Ada beberapa unsur pembentuk manusia untuk hidup secara lebih baik itu akan dilihat dan dijelaskan secara lebih dalam pokok-pokok berikut.

I. Manusia mengetahui dirinya dan dunianya

Telah dikatakan sebelumnya (pada bagian pendahuluan) bahwa pengetahuan merupakan salah satu unsur yang penting dalam hubungan dengan pembentukan manusia untuk hidup secara lebih baik dan lebih sempurna. Manusia adalah makluk yang sadar dan mempunyai pengetahuan akan dirinya. Selain itu juga manusia juga mempunyai pengetahuan akan dunia sebagai tempat dirinya bereksistensi. Dunia yang dimaksudkan di sini adalah dunia yang mampu memberikan manusia kemudahan dan tantangan dalam hidup. Dunia di mana manusia bereksistensi dapat memberikan kepada manusia sesuatu yang berguna bagi pembentukan dan pengembangan dirinya.

II. Manusia dalam hidup komunitas

Secara umum komunitas dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan atau persekutuan manusia yang bersifat permanen demi pencapaian suatu tujuan umum yang diinginkan. Dan umumnya tujuan yang hendak dicapai itu didasarkan atas kesatuan cinta dan keprihatinan timbal balik satu dengan yang lain. Jadi, secara tidak langsung hidup komunitas dapat dimengerti sebagai suatu kehidupan dimana terdapat individu-individu manusia yang membentuk suatu persekutuan guna mancapai suatu tujuan bersama. Dan tujuan yang dicapai itu selalu merunjuk pada nilai-nilai tertentu yang diinginkan bersama. Misalnya, nilai kebaikan, keindahan, kerja sama dan sebagainya. Selanjutnya, dalam mencapai tujuan bersama itu setiap individu (anggota persekutuan) saling berinteraksi atau bekerjasama satu dengan yang lain guna tercapainya tujuan yang ingin dicapai.

III. Agama membantu manusia hidup lebih baik

Arti budaya telah diangkat kembali oleh renesans dengan karakter naturalistik, yaitu budaya dipahami sebagai pembentukan manusia dalam dunianya, yakni sebagai pembentukan yang memperkenankan manusia hidup atas cara yang lebih bijaksana dan lebih sempurna dalam dunia yang adalah dunianya. Dalam konteks ini, agama mendapat tempat dan peranan penting. Agama dimengerti sebagai unsur integral dari budaya, terutama karena mengajarkan bagaimana hidup dengan baik, hidup dengan bijaksana dan nilai-nilai universal lainnya. Dalam agama terkandung ajaran-ajaran kebijaksanaan (dalam arti tertentu filsafat dipahami sebagai kebijaksanaan) yang dapat mengarahkan manusia kepada hidup yang lebih baik. Dengan demikian, hidup yang lebih baik dalam perspektif filsafat budaya adalah pembentukan kebijaksanaan secara internal dalam diri manusia melalui ajaran-ajaran agama.

MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK SIMBOLIK (MEAD DAN BLUMER)

Manusia adalah makhluk sosial. Hal tersebut sudah menjadi kesepakatan masyarakat umum tentang definisi manusia. Manusia dikatakan sebagai makhluk sosial, karena tak ada satupun manusia yang mampu hidup sendiri tanpa bantuan orang lain atau bahkan bantuan makhluk hidup lainnya. Misalnya, anjing yang dapat membantu manusia untuk menjaga rumahnya. Oleh sebab itu, manusia dalam kehidupan sehari-hari<

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong