Komunikasi Lintas Budaya

27 March 2017 04:28:20 Dibaca : 63

Nama : Sry Ade Muhtya Gobel | NIM : 291414039
Tugas Komunikasi Lintas Budaya “Nama Sebagai Simbol”


Nama Panggilan Bercita Rasa Budaya


Nama diri-sendiri adalah simbol pertama dan utama bagi seseorang. Nama dapat melambangkan status, cita-rasa budaya, untuk memperoleh citra tertentu (pengelolaan kesan) atau sebagai hoki (Deddy Mulyana, 2013, hal 305). Nah, di setiap Daerah di Indonesia terkadang nama menjadi simbol status, fisik atau bahkan menjadi julukan yang diciptakan oleh lingkungan kita sendiri. Dengan banyaknya ragam budaya di Indonesia, memberikan banyak beragam nama atau julukan pula. Dalam artikel kali ini penulis akan membahas nama yang beragam di Gorontalo.


Nama orang-orang di Gorontalo terkadang tidak sesuai dengan nama yang mereka miliki sejak lahir, contohnya jika kita sebagai orang Gorontalo mungkin sudah tidak asing lagi dengan nama Ma Tenga, Pa Tenga, Nene Tenga, akan tetapi untuk orang yang berasal dari luar daerah Gorontalo itu adalah nama/julukan yang aneh. Suatu hari teman saya yang berasal dari Jawa mempertanyakan mengenai nama tersebut, kenapa disebut Ma Tenga ? Kata orang tua pada zaman dulu, nama Tenga itu mengartikan urutan kelahiran mereka, jadi siapa saja yang urutan kelahirannya kedua, ketiga ataupun berada di antara saudara lainnya maka ia akan disebut Tenga atau Tengah. Namun, nama ini biasanya bukan berasal dari masyarakat, melainkan dari keluarga sendiri, yang di awali dari saudara-sauadara yang tidak termasuk dalam keluarga inti. Selain itu, ada juga sebuah keluarga yang beranggotakan 5 orang, setiap nama panggilannya dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya pun berbeda, anak pertama biasa disebut Papi, karena anak pertama dan anak yang paling tua serta menjadi orang yang paling disegani oleh saudara-saudaranya. Kedua Mami, terkadang orang-orang menyangka nama Papi/Mami itu adalah panggilan untuk Ayah/Ibu, pada kenyataannya maknanya jadi beda dalam keluarga mereka. Ketiga Pa’ade, jika di daerah Jawa ada julukan Pa’de, Bude’, maka di Gorontalo ada Pa’ade dan Ma’ade, nama atau julukan ini diberikan karena mereka saudara yang urutan paling muda. Keempat adalah Pa Sisa, menurut cerita orang tua dulu, mereka adalah yang terakhir, lucunya nama itu dimaknai sebagai anak yang ter “sisa” dari saudara-saudaranya. Dan anak yang terakhir nama panggilannya menjadi Ko’o, kedengarannya lucu tapi inilah faktanya ada-ada saja julukan yang diberikan oleh lingkungan kepada diri kita, asal muasal katanya ia terlihat seperti orang China.


Masih ada lagi julukan yang ada di Gorontalo, seperti Nene Pende, nama ini biasanya diberikan kepada orang sesuai fisiknya –maaf- yang posturnya agak kurang tinggi. Untuk yang fisiknya tinggi dipanggil dengan nama Ma Tinggi ataupun Nene Tinggi. Nama-nama atau julukan yang sudah disebutkan di atas merupakan perwakilan dari beberapa nama/julukan yang ada di Gorontalo, yang pada dasarnya bukanlah nama yang sudah ada sejak lahir. Rata-rata nama tersebut akan ada ketika sudah beranjak dewasa dan sudah memiliki keluarga, sehingga saudara lainnya yang masih muda sudah memiliki nama panggilan tersendiri. Intinya nama-nama di atas bukan hanya diberikan begitu saja, melainkana menjadi simbol-simbol tersendiri bagi lingkungan sekitar, dan memudahkan mereka untuk berinteraksi dengan orang-orang. Dan yang lebih penting menjadi simbol perbedaan, sehingga bisa diketahui walaupun hanya dari nama, serta menjadi lambang cita-rasa budaya dari Gorontalo itu sendiri.

 

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong