JULITA NURDIN NAWAITU_KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA_TEMA KERUMITAN MAKNA KATA

26 March 2017 05:41:04 Dibaca : 53

LEA dan UTI salah paham

Perbedaan bahasa dan budaya sangatlah mempengaruhi bagi kita yang merantau dikampung orang. Sesuatu kata yang kita pahami bisa jadi berbeda dengan arti sebenarnya. Belajar untuk memahami bahasa daerah lain merupakan kesulitan sendiri bagi kita. Oleh karena itu tak heran bila terdapat kata-kata (kebetulan) sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama.

Berangkat dari pengalaman saya sendiri, ketika itu saya sedang bercerita dengan teman dirumahnya:

Saya : “Tadi ada datang orang ba antar uang harga print”,

Teman : “Pata’o ??????” (dengan spontan dan bergelombang)

Saya : Heiii saya bukan Pencuri Lea, itu kau pe uang print saya taruh diatas meja karna kau tidak ada tadi. (dengan gelombang suara yang marah dan tidak terima senang).

Teman : Yaa ampuuunn maksudnya itu saya bilang baruuu ??? (yang bermaksud bertanya apalagi yang dorang bilang) bukan saya ba tuduh ente pencuri uttii.

Berdasarkan cerita pengalaman diatas terlihat bahwa kata Pata’o yang berarti baru, disalahartikan menjadi Pota’o yang berarti pencuri. Maka dapat saya simpulkan bahwa tak mudah untuk dapat memahami bahasa daerah orang lain, sebab bahasa Gorontalo itu terlalu banyak huruf O’nya. Sehingga agak sulit untuk menyama-nyamakan kata yang satu dengan yang lain. Satu huruf yang berbeda dalam setiap kata mempunyai arti yang beda pula. Maka olehnya itu jangan sampai kita merasa tahu dengan artinya jika kita bukan asli orang Gorontalo.

Sebagaimana yang dikatakan oleh R. Brown dalam buku Pengantar Ilmu Komunikasi bahwa “Seseorang mungkin menghabiskan tahun-tahunnya yang produktif untuk menguraikan makna suatu kalimat tunggal dan akhirnya tidak menyelesaikan tugas itu”. Hal inilah yang berarti bahwa makna sebagai kecenderungan (disposisi) total untuk menggunakan atau bereaksi terhadap suatu bentuk bahasa.

Kesimpulannya bahwa kehidupan tak seindah sekarang jika manusia hanya mampu melihat satu jenis warna. Jika manusia hanya satu ras, satu bahasa, satu warna kulit, maka kehidupan akan menjadi tidak menarik lagi. Olehnya itu “kita sampria mofangu lipu sivia patuju” (walau kita berbeda-beda tetap satu tujuan).

Kategori

  • Masih Kosong

Blogroll

  • Masih Kosong