SUDAH SIAPKAH KETIKA ORANGTUA KITA BERKATA JUJUR??

08 July 2015 13:41:38 Dibaca : 1100



Renungan...

Bismillah was sholatu was salaamu 'alaa
SUDAH SIAPKAH KETIKA ORANGTUA KITA BERKATA JUJUR??

Kemarin lalu, saya bertakziah mengunjungi salah seorang kerabat yang sepuh. Umurnya sudah 93 tahun. Beliau adalah veteran perang kemerdekaan, seorang pejuang yang shalih serta pekerja keras. Kebiasaan beliau yang begitu hebat di usia yang memasuki 93 tahun ini, beliau tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid untuk Maghrib, Isya dan Shubuh.


Qadarallah, beliau mulai menua dan tidak mampu bangun dari tempat tidurnya sejak dua bulan lalu. Sekarang beliau hanya terbaring di rumah dengan ditemani anak-anak beliau. Kesadarannya mulai menghilang. Beliau mulai hidup di fase antara dunia nyata dan impian. Sering menggigau dan berkata dalam tidur, kesehariannya dihabiskan dalam kondisi tidur dan kepayahan.
Anak-anak beliau diajari dengan cukup baik oleh sang ayah. Mereka terjaga ibadahnya, berpenghasilan lumayan, dan akrab serta dekat. Ketika sang ayah sakit, mereka pun bergantian menjaganya demi berbakti kepada orangtua.
Namun ada beberapa kisah yang mengiris hati; kejadian jujur dan polos yang terjadi dan saya tuturkan kembali agar kita bisa mengambil ibrah.
Terkisah, suatu hari di malam lebaran, sang ayah dibawa ke rumah sakit karena menderita sesak nafas. Malam itu, sang anak yang kerja di luar kota dan baru saja sampai bersikeras menjaga sang ayah di kamar sendirian. Beliau duduk di bangku sebelah ranjang. Tengah malam, beliau dikejutkan dengan pertanyaan sang ayah,
"Apa kabar, pak Rahman? Mengapa beliau tidak mengunjungi saya yang sedang sakit?" tanya sang ayah dalam igauannya.
Sang anak menjawab, "Pak Rahman sakit juga, Ayah. Beliau tidak mampu bangun dari tidurnya." Dia mengenal Pak Rahman sebagai salah seorang jamaah tetap di masjid.
"Oh...lalu, kamu siapa? Anak Pak Rahman, ya?" tanya ayahnya kembali.
"Bukan, Ayah. Ini saya, Zaid, anak ayah ke tiga."
"Ah, mana mungkin engkau Zaid? Zaid itu sibuk! Saya bayar pun, dia tidak mungkin mau menunggu saya di sini. Dalam pikirannya, kehadirannya cukup digantikan dengan uang," ucap sang ayah masih dalam keadaan setengah sadar.
Sang anak tidak dapat berkata apa-apa lagi. Air mata menetes dan emosinya terguncang. Zaid sejatinya adalah seorang anak yang begitu peduli dengan orangtua. Sayangnya, beliau kerja di luar kota. Jadi, bila dalam keadaan sakit yang tidak begitu berat, biasanya dia menunda kepulangan dan memilih membantu dengan mengirimkan dana saja kepada ibunya. Paling yang bisa dilakukan adalah menelepon ibu dan ayah serta menanyakan kabarnya. Tidak pernah disangka, keputusannya itu menimbulkan bekas dalam hati sang ayah.
Kali yang lain, sang ayah di tengah malam batuk-batuk hebat. Sang anak berusaha membantu sang ayah dengan mengoleskan minyak angin di dadanya sembari memijit lembut. Namun, dengan segera, tangan sang anak ditepis.
"Ini bukan tangan istriku. Mana istriku?" tanya sang ayah.
"Ini kami, Yah. Anakmu." jawab anak-anak.
"Tangan kalian kasar dan keras. Pindahkan tangan kalian! Mana ibu kalian? Biarkan ibu berada di sampingku. Kalian selesaikan saja kesibukan kalian seperti yang lalu-lalu."
Dua bulan yang lalu, sebelum ayah jatuh sakit, tidak pernah sekalipun ayah mengeluh dan berkata seperti itu. Bila sang anak ditanyakan kapan pulang dan sang anak berkata sibuk dengan pekerjaannya, sang ayah hanya menjawab dengan jawaban yang sama.
"Pulanglah kapan engkau tidak sibuk."
Lalu, beliau melakukan aktivitas seperti biasa lagi. Bekerja, shalat berjamaah, pergi ke pasar, bersepeda. Sendiri. Benar-benar sendiri. Mungkin beliau kesepian, puluhan tahun lamanya. Namun, beliau tidak mau mengakuinya di depan anak-anaknya.
Mungkin beliau butuh hiburan dan canda tawa yang akrab selayak dulu, namun sang anak mulai tumbuh dewasa dan sibuk dengan keluarganya.
Mungkin beliau ingin menggenggam tangan seorang bocah kecil yang dipangkunya dulu, 50-60 tahun lalu sembari dibawa kepasar untuk sekadar dibelikan kerupuk dan kembali pulang dengan senyum lebar karena hadiah kerupuk tersebut. Namun, bocah itu sekarang telah menjelma menjadi seorang pengusaha, guru, karyawan perusahaan; yang seolah tidak pernah merasa senang bila diajak oleh beliau ke pasar selayak dulu. Bocah-bocah yang sering berkata, "Saya sibuk...saya sibuk. Anak saya begini, istri saya begini, pekerjaan saya begini." Lalu berharap sang ayah berkata, "Baiklah, ayah mengerti."
Kemarin siang, saya sempat meneteskan air mata ketika mendengar penuturan dari sang anak. Karena mungkin saya seperti sang anak tersebut; merasa sudah memberi perhatian lebih, sudah menjadi anak yang berbakti, membanggakan orangtua, namun siapa yang menyangka semua rasa itu ternyata tidak sesuai dengan prasangka orangtua kita yang paling jujur.
Maka sudah seharusnya, kita, ya kita ini, yang sudah menikah, berkeluarga, memiliki anak, mampu melihat ayah dan ibu kita bukan sebagai sosok yang hanya butuh dibantu dengan sejumlah uang. Karena bila itu yang kita pikirkan, apa beda ayah dan ibu kita dengan karyawan perusahaan?
Bukan juga sebagai sosok yang hanya butuh diberikan baju baru dan dikunjungi setahun dua kali, karena bila itu yang kita pikirkan, apa bedanya ayah dan ibu kita dengan panitia shalat Idul Fitri dan Idul 'Adha yang kita temui setahun dua kali?
Wahai yang arif, yang budiman, yang penyayang dan begitu lembut hatinya dengan cinta kepada anak-anak dan keluarga, lihat dan pandangilah ibu dan ayahmu di hari tua. Pandangi mereka dengan pandangan kanak-kanak kita. Buang jabatan dan gelar serta pekerjaan kita. Orangtua tidak mencintai kita karena itu semua. Tatapilah mereka kembali dengan tatapan seorang anak yang dulu selalu bertanya dipagi hari, "Ke mana ayah, Bu? Ke mana ibu, Ayah?"
Lalu menangis kencang setiap kali ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.
Wahai yang menangis kencang ketika kecil karena takut ditinggalkan ayah dan ibu, apakah engkau tidak melihat dan peduli dengan tangisan kencang di hati ayah dan ibu kita karena diri telah meninggalkan beliau bertahun-tahun dan hanya berkunjung setahun dua kali?
Sadarlah wahai jiwa-jiwa yang terlupa akan kasih sayang orangtua kita. Karena boleh jadi, ayah dan ibu kita, benar-benar telah menahan kerinduan puluhan tahun kepada sosok jiwa kanak-kanak kita; yang selalu berharap berjumpa dengan beliau tanpa jeda, tanpa alasan sibuk kerja, tanpa alasan tiada waktu karena mengejar prestasi.

Bersiaplah dari sekarang, agar kelak, ketika sang ayah dan ibu berkata jujur tentang kita dalam igauannya, beliau mengakui, kita memang layak menjadi jiwa yang diharapkan kedatangannya kapan pun juga.

 

Beda Antara Sihir, Jin dan Ain.

23 November 2014 13:47:58 Dibaca : 4791

"Saya heran padahal mertua saya itu rajin ibadah mengaji dll tp kok menyarankan nempel ayat itu di pintu dan sudut rumah. Terus ada lagi utk memagari rumah mertua menyarankan AIR BEKAS WUDHU dikumpulin terus dipercikkan sekeliling rumah sambil membaca ayat kursi, 3 kulhu terutama habis magrib dan subuh. gimana itu kang?" Kata seorang penanya di email.

Jawabannya sederhana; "Ini adalah kesalahan yg fatal, bekas air wudhu itu digunakan untuk menanggulangi gangguan AIN, dan caranya bukan dicipratkan namun dimandikan, sementara ayat Qur'an itu bukan untuk ditempel atau dipajang tapi dibacakan!"

Jika menempelkan beberapa ayat untuk menangkal sihir, kenapa tidak ditempelkan saja mushafnya?

AIN adalah penyakit yang ditimbulkan oleh pandangan yang penuh kedengkian dari manusia yg menimbulkan jin didekat dia ikut dengki dan memanfaatkn situasi. Kadang yg dengki ini tidak tahu bahwa pandangannya menimbulkan kedengkian..

Bagaimana pandangan bisa menimbulkan penyakit fisik?Ada sebuah analogi sederhana yang bisa kita jangkau dengan logika paling sederhana; ini bisa kita buktikan dengan perasaan kita semua. Mari fikirkan brsama situsi dibawah ini:

Katakanlah ada 4 orang tokoh, manusia A, B, C, D dan satu tokoh dikalangan jin bernama E.

A dan B menjalin hubungan tidak halal (pacaran) selama 5 tahun, kemudian ia berpisah tanpa status yang jelas karena A pindah ke negara lain katakanlah Saudi Arabia.

10 tahun kemudian A yang pindah ke Saudi menemukan pasangan lain dan mereka menjalin hubungan halal yang disyahkan negara, budaya dan syariat (nikah) dengan C. Begitupun si B yang kemudian bertemu kekasih halalnya di indonesia; beliau adalah si D.

Suatu ketika si A, B, C, dan D ini bertemu dalam sebuah rungan, yaitu di rumah A di saudi Arabia. Tentu saja A dan B ini sama-sama kaget karena mereka bertemu lagi setelah 10 tahun terpisah, dan mereka sudah sama sama memiliki kekasih halal dalam sebuah pernikahan mengikat mereka dengan kokoh. Sementara A dan C ini sahabat yang baik tanpa diketahui B dan D.

Lalu, bayangkanlah ketika misalnya D dan C ini keluar rumah sementara A dan B berdua dirungan tersebut, dan mereka tentu saja masih saling mengenal meski sudah beda status.

Pertanyaannya apa yang terjadi dengan A terhadap B dan sebaliknya?Katakanlah A ini salah tingkah, grogih, malu dan lain lain hingga pipinya memerah. Karena perasaan yang bercampur aduk..

Kenapa pipi A ini merah saat di tatap oleh si B ?Karena dalam jiwa si B ini ada cinta yang membekas. Perasaan sayang itu membekas di jiwa si B hingga ketika menatap A kemudian pipi A ini merah merona, gelisah, dan sebagainya. Hal ini bisa saja menimbulkan penyakit galau akut dan komplikasinya beruba sakit perut, mual-mual bahkan hingga kejang-kejang atau konslet karena ada dua arus yang berlawanan "dalam kurung" benci dan cinta.

Mengertilah kita, jika cinta yang membekas saja bisa menimbulkan sakit berupa pipi yang memerah di lawan jenisnya maka begitupun dengan kebencian mendalam dan itu terjadi berulang-ulang.

AIN ADALAH KEDENGKIAN YANG MEMBEKAS DI JIWA.

Penanggulangannya bagaimana, dan apa hubungannya Rasulullah Shollallahu alaiyhi wa sallam koq menyuruh si A ini Mengambil air wudhu si B padahal yang menimbulkan kesakitan ini justru si B?

Mengambil air bekas air wudhu, selain itu adalah sunnah yang ditunjukan oleh sang Rasul didalamnya ada makna mendalam. Intinya adalah silaturahim, sia A harus menghubungkan lagi tali silaturahimnya dalam ikatan persaudaraan yang halal karena Allah. Yaitu dengan mengutarakan kepada pihak B dan meminta maaf agar terjalin hubungan baik dan menghilangkan kebencian.

Artinya, tidak bisa, ketika si A ini menderita ain karena tatapan dengki si B lalu si A memaksa meminta air wudhu si B. Disinilah silaturahim dan kata maaf berperan, setelah saling memaafkan dan menjalankan sunnah Rasul maka effect kedengkian ini akan hilang total. Insya Allah...

Lalu si E apakabar?Si E adalah jin yang selama ini ikut serta dalam diri si B, ia ikut benci ketika B benci kepada seseorang. Sama seperti 2 orang manusia bersahabat, ketika sahabatnya membenci seseorang lain maka ada kecendrungan ia ikut benci dan menyerang manusia tersebut. Apalagi jin, dan, makanya jangan bersahabat dengan jin atau berprilaku sama dengan jin kair atau jin islam munafik sehigga mereka mengkondisikan kita sebagai sahabat tanpa kita sadari.

Satu lagi, banyangkanlah jika si A tadi punya ternak jin? Maka akan banyak sekali balatentara jin dari teman temannya yang akan menyerang orang yang ia dengki. Dalam hal ini Rasul telah mewanti-wanti bahwasannya "Jika saja ada hal yang mendahului takdir, maka itu adalah Ain" Artinya, banyak kematian yang ditimbulkan oleh kedengkian dalam hati manusia.

Salah satu solusi moderennya adalah Rehab Hati Qur'ani, Ikuti pelatihannya di Jakarta 7 July mendatang, atau hadiri Sinergi pelatihannya dengan ust Rahmat Bekam di Palembang 22-23 Juni 2013 ini. INsya Allah.

Setidaknya disana kita akan mengenal dan membedakan bagaimana cara terhebat penanggulangan penyakit yang disebabkan oleh Jin, Sihir dan Ain. Karena ketiganya memiliki karakteristik yang berbeda.

AIN sudah dijelaskan diatas, JIN itu gangguan yang ditimbulkan oleh jin sepenuhnya, baik itu yang diundang oleh manusia itu sendiri berupa wirid-wirid overdosis ataupun ritual pemujaan yang menimbulkan kesaktian dll, jin keturunan, gangguan jin yang ditimbulkan oleh kesalahan manusia yang mendzalimi jin, kedengkian jin itu sendiri dan jin yang mencintai manusia. Sehingga jin itu tinggal dalam tubuh dan menguasainya; semisal kesurupan dan diamnya jin dalam salah satu atau ribuan sel dalam organ manusia sehingga ia mempengaruhi tingkah laku dan keseluruhan aktifitas hidupnya, terjadi kepribadian ganda, dll.

Sedangkan sihir adalah hal yang berbeda, ini lebih berat dan menahun. Sihir ini bisa ditimbulkan oleh mantra-mantra, ataupun jin suruhan manusia untuk menyihir manusia lainnya. Semisal wanita baik yang disihir kemudian mendatangi dukunya dan memasrahkan dirinya, atau laki laki yang menyukai seorang wanita dan wanita itu menolaknya, lalu laki laki itu mendatangi dukun agar menyihir pandangan wanita itu agar suka dengan dia dan memasrahkan tubuhnya pada laki-laki tersebut, atau memisahkan hubungan suami istri yang syah, atau menyakiti tubuh wanita itu, atau membuatkan ia tidak bisa tidur setiap malamnya karena memikirkan dia, dll. Penanggulangannya adalah dengan ruqyah syar'iyyah dan campuran metode Herbal & Ruqyah ataupun penangkalan dengan dzikir-dzikir dan amaliah sunnah, juga memperkokoh ketahuidan kita agar sihr ini tidak mengenai tubuh.

Secara tuntas akan dibahas dalam buku Rehab Hati Qur'ani dan pelatihan-pelatihan yang kami adakan.

Baca dua kali jika belum faham. Jazakallah Khairan..

Mengenai anjuran menempel ayat Qur'an di pintu untuk menangkal syaitan itu adalah hal bodoh yang diajarkan orang pintar (orang yang mengaku pintar) yang ingin membodohi orang yang bodoh. Hentikan dan ubahlah caranya, lakukan sebuah perubahan agar Allah merubah kita semua.

Salam Bahagia,


Oleh :Nuruddin Al Indunissy.

 

sakit adalah alarm hati

03 November 2014 16:19:53 Dibaca : 725

PentingNya Melembutkan hati merupakan salah satu Faktor Menggapai kesembuhan Rohani Maupun Jasad. Setiap problema hidup pastilah meninggalkan bekas, apakah itu hal yang berkesan baik atau justru sebaliknya. Tapi tinggal bagaimana kita menanggapi hal itu. Pada Prinsipnya hati tetap FITRAH. Banyak Yang ingin sembuh dari sakit,


*sembuh jasad tapi hatinya masih sakit,


*bahkan ada yang tidak mendapatkan kedua-duanya,


*ada juga jasad yang masih merasakan sakit tapi berbeda dengan Qolbunya

yang kian berangsur sembuh dan ketika Qolbu itu Sembuh MasyaAllah jasadNya Pun perlahan-lahan akan ikut sembuh.
Untuk itu ada seorang Ahlul ilmi sekaligus guru kami mengatakan "sakit adalah alarm hati"
.
Marilah memaafkan dengan sempurna apa bila didalam dadaNya ada dengki.
dan mintalah maaf ketika tersirat kekhilafan diri kepada sesama.
Seraya Memohon Ampun Kepada Allah SWT atas dosa yang disengaja atau tidak sengaja.

 

SEBAB-SEBAB GANGGUAN JIN:

23 October 2014 07:04:24 Dibaca : 2290

SEBAB-SEBAB GANGGUAN JIN:


Oleh: QHT

 Dicintai/disukai jin, ciri2nya ;

  • sering mimpi basah atau sering mimpi ditemui orang yang sama (lawan jenis)
  • susah dapat jodoh, bahkan sudah sering mau nikah gagal
  • mudah bertengkar suami istri dengan masalah sepele
  • sering kaya ada yang ngikutin
  • sering kaya ada yang menemani ketika tidur sendirian 

dendam jin, penyebabnya : buang air panas dikamar mandi, nebang pohon, melempar batu dsb tanpa membaca bismillah sehingga jin tersakiti, cirinya:

  • - sering sakit2an
  • - sering mimpi diancam2
  • - sering cemas
  • - ketakutan berlebih dst.

dipanggil kita sendiri, penyebabnya : punya pusaka, azimat, sering sesaji, pernah kedukun atau wiridan dengan tujuan duniawi (untuk kesaktian, pengasihan dsb.) ciri2nya:

  • - sering mimpi terbang / mengembara
  • - sering dingin/kesemutan tangan atau kaki
  • - sering sakit kepala
  • - sering kaget ketika tidur
  • - tidur mendengur keras
  • - sering sakit perut dst.

jin iseng, penyebabnya : melamun, marah berlebihan, takut berlebihan atau syahwat berlebihan, cirinya :

  • - kesurupan

jin warisan, penyebabnya : kakek/nenek atau ortu kita pernah mengadakan kerja sama dengan bangsa jin sehingga ketika kakek/nenek atau ortu wafat jin turun ke anaknya: cirinya :

  • - tiba2 indigo
  • - tiba2 bisa ngobatin orang
  • - sering lihat penampakan dst.

jin disuruh dukun / sihir (santet, pelet, pemisah suami istri, menyaikiti dsb). wallahu a'lam


 

SUDAH SIAPKAH KETIKA ORANGTUA KITA BERKATA JUJUR??

20 October 2014 02:30:51 Dibaca : 1266

Diposkan Oleh Ust Subhan Bakari.


Renungan...

Bismillah was sholatu was salaamu 'alaa

SUDAH SIAPKAH KETIKA ORANGTUA KITA BERKATA JUJUR??

Kemarin lalu, saya bertakziah mengunjungi salah seorang kerabat yang sepuh. Umurnya sudah 93 tahun. Beliau adalah veteran perang kemerdekaan, seorang pejuang yang shalih serta pekerja keras. Kebiasaan beliau yang begitu hebat di usia yang memasuki 93 tahun ini, beliau tidak pernah meninggalkan shalat berjamaah di masjid untuk Maghrib, Isya dan Shubuh.

Qadarallah, beliau mulai menua dan tidak mampu bangun dari tempat tidurnya sejak dua bulan lalu. Sekarang beliau hanya terbaring di rumah dengan ditemani anak-anak beliau. Kesadarannya mulai menghilang. Beliau mulai hidup di fase antara dunia nyata dan impian. Sering menggigau dan berkata dalam tidur, kesehariannya dihabiskan dalam kondisi tidur dan kepayahan.

Anak-anak beliau diajari dengan cukup baik oleh sang ayah. Mereka terjaga ibadahnya, berpenghasilan lumayan, dan akrab serta dekat. Ketika sang ayah sakit, mereka pun bergantian menjaganya demi berbakti kepada orangtua.

Namun ada beberapa kisah yang mengiris hati; kejadian jujur dan polos yang terjadi dan saya tuturkan kembali agar kita bisa mengambil ibrah.

Terkisah, suatu hari di malam lebaran, sang ayah dibawa ke rumah sakit karena menderita sesak nafas. Malam itu, sang anak yang kerja di luar kota dan baru saja sampai bersikeras menjaga sang ayah di kamar sendirian. Beliau duduk di bangku sebelah ranjang. Tengah malam, beliau dikejutkan dengan pertanyaan sang ayah,

"Apa kabar, pak Rahman? Mengapa beliau tidak mengunjungi saya yang sedang sakit?" tanya sang ayah dalam igauannya.

Sang anak menjawab, "Pak Rahman sakit juga, Ayah. Beliau tidak mampu bangun dari tidurnya." Dia mengenal Pak Rahman sebagai salah seorang jamaah tetap di masjid.

"Oh...lalu, kamu siapa? Anak Pak Rahman, ya?" tanya ayahnya kembali.

"Bukan, Ayah. Ini saya, Zaid, anak ayah ke tiga."

"Ah, mana mungkin engkau Zaid? Zaid itu sibuk! Saya bayar pun, dia tidak mungkin mau menunggu saya di sini. Dalam pikirannya, kehadirannya cukup digantikan dengan uang," ucap sang ayah masih dalam keadaan setengah sadar.

Sang anak tidak dapat berkata apa-apa lagi. Air mata menetes dan emosinya terguncang. Zaid sejatinya adalah seorang anak yang begitu peduli dengan orangtua. Sayangnya, beliau kerja di luar kota. Jadi, bila dalam keadaan sakit yang tidak begitu berat, biasanya dia menunda kepulangan dan memilih membantu dengan mengirimkan dana saja kepada ibunya. Paling yang bisa dilakukan adalah menelepon ibu dan ayah serta menanyakan kabarnya. Tidak pernah disangka, keputusannya itu menimbulkan bekas dalam hati sang ayah.

Kali yang lain, sang ayah di tengah malam batuk-batuk hebat. Sang anak berusaha membantu sang ayah dengan mengoleskan minyak angin di dadanya sembari memijit lembut. Namun, dengan segera, tangan sang anak ditepis.

"Ini bukan tangan istriku. Mana istriku?" tanya sang ayah.

"Ini kami, Yah. Anakmu." jawab anak-anak.

"Tangan kalian kasar dan keras. Pindahkan tangan kalian! Mana ibu kalian? Biarkan ibu berada di sampingku. Kalian selesaikan saja kesibukan kalian seperti yang lalu-lalu."

Dua bulan yang lalu, sebelum ayah jatuh sakit, tidak pernah sekalipun ayah mengeluh dan berkata seperti itu. Bila sang anak ditanyakan kapan pulang dan sang anak berkata sibuk dengan pekerjaannya, sang ayah hanya menjawab dengan jawaban yang sama.

"Pulanglah kapan engkau tidak sibuk."

Lalu, beliau melakukan aktivitas seperti biasa lagi. Bekerja, shalat berjamaah, pergi ke pasar, bersepeda. Sendiri. Benar-benar sendiri. Mungkin beliau kesepian, puluhan tahun lamanya. Namun, beliau tidak mau mengakuinya di depan anak-anaknya.

Mungkin beliau butuh hiburan dan canda tawa yang akrab selayak dulu, namun sang anak mulai tumbuh dewasa dan sibuk dengan keluarganya.

Mungkin beliau ingin menggenggam tangan seorang bocah kecil yang dipangkunya dulu, 50-60 tahun lalu sembari dibawa kepasar untuk sekadar dibelikan kerupuk dan kembali pulang dengan senyum lebar karena hadiah kerupuk tersebut. Namun, bocah itu sekarang telah menjelma menjadi seorang pengusaha, guru, karyawan perusahaan; yang seolah tidak pernah merasa senang bila diajak oleh beliau ke pasar selayak dulu. Bocah-bocah yang sering berkata, "Saya sibuk...saya sibuk. Anak saya begini, istri saya begini, pekerjaan saya begini." Lalu berharap sang ayah berkata, "Baiklah, ayah mengerti."

Kemarin siang, saya sempat meneteskan air mata ketika mendengar penuturan dari sang anak. Karena mungkin saya seperti sang anak tersebut; merasa sudah memberi perhatian lebih, sudah menjadi anak yang berbakti, membanggakan orangtua, namun siapa yang menyangka semua rasa itu ternyata tidak sesuai dengan prasangka orangtua kita yang paling jujur.

Maka sudah seharusnya, kita, ya kita ini, yang sudah menikah, berkeluarga, memiliki anak, mampu melihat ayah dan ibu kita bukan sebagai sosok yang hanya butuh dibantu dengan sejumlah uang. Karena bila itu yang kita pikirkan, apa beda ayah dan ibu kita dengan karyawan perusahaan?

Bukan juga sebagai sosok yang hanya butuh diberikan baju baru dan dikunjungi setahun dua kali, karena bila itu yang kita pikirkan, apa bedanya ayah dan ibu kita dengan panitia shalat Idul Fitri dan Idul 'Adha yang kita temui setahun dua kali?

Wahai yang arif, yang budiman, yang penyayang dan begitu lembut hatinya dengan cinta kepada anak-anak dan keluarga, lihat dan pandangilah ibu dan ayahmu di hari tua. Pandangi mereka dengan pandangan kanak-kanak kita. Buang jabatan dan gelar serta pekerjaan kita. Orangtua tidak mencintai kita karena itu semua. Tatapilah mereka kembali dengan tatapan seorang anak yang dulu selalu bertanya dipagi hari, "Ke mana ayah, Bu? Ke mana ibu, Ayah?"

Lalu menangis kencang setiap kali ditinggalkan oleh kedua orangtuanya.

Wahai yang menangis kencang ketika kecil karena takut ditinggalkan ayah dan ibu, apakah engkau tidak melihat dan peduli dengan tangisan kencang di hati ayah dan ibu kita karena diri telah meninggalkan beliau bertahun-tahun dan hanya berkunjung setahun dua kali?

Sadarlah wahai jiwa-jiwa yang terlupa akan kasih sayang orangtua kita. Karena boleh jadi, ayah dan ibu kita, benar-benar telah menahan kerinduan puluhan tahun kepada sosok jiwa kanak-kanak kita; yang selalu berharap berjumpa dengan beliau tanpa jeda, tanpa alasan sibuk kerja, tanpa alasan tiada waktu karena mengejar prestasi.

Bersiaplah dari sekarang, agar kelak, ketika sang ayah dan ibu berkata jujur tentang kita dalam igauannya, beliau mengakui, kita memang layak menjadi jiwa yang diharapkan kedatangannya kapan pun juga.

 


_____________
Alloh berfirman,
"Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil".
(QS Al Isra' : 24)

Allohumma ighfirly dzunuby waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaany shoghiiran...