10 Teras Pertanian Paling Menakjubkan Di Dunia
Pertanian Unik Bergambar Sebuah Gitar
Kreatif. Itulah yang pantas disebutkan kepada seorang petani asal Argentina, Pedro Martin Ureta. Dia membuat bentuk gitar raksasa di lahan miliknya. Bentuk gitar ini baru akan terlihat bila dilihat dari atas, ujar di situs circle888.blogspot.com.
Pedro (70) melakukan hal luar biasa ini untuk mengenang istrinya yang telah meninggal. Dia membentuk desain gitar dengan menggunakan 7000 pohon cemara dan pohon eucalyptus. Dia membentuk lahan pertanian berbentuk gitar sejak bertahun-tahun yang lalu, dan memeliharanya demi menghormati istrinya, Graciela Yraizoz, yang meninggal pada tahun 1977 saat berumur 25 tahun.
Ide membentuk gitar raksasa di lahan miliknya berasal dari istrinya, yang ketika terbang melintasi suatu dataran rendah melihat sebuah peternakan yang baginya terlihat seperti ember pemerahan. Saat itulah terbersit ide di benak Graciela untuk mendesain lahan pertanian mereka menjadi bentuk sebuah gitar, instrumen musik yang sangat disukai Graciela. Namun Pedro terlalu sibuk sehingga tidak jua mewujudkan ide istrinya. Sampai akhirnya Graciela meninggal pada tahun 1977 saat mengandung anak ke-lima mereka.
Pedro sangat menyesali bagaimana ia tidak mendengarkan ide gitar Graciela.
Sampai beberapa tahun kemudian ia memutuskan untuk memenuhi impian mendiang istrinya itu. Pada awalnya, Pedro mengajak beberapa pemilik lahan, namun tak satupun dari mereka tertarik, sampai akhirnya dirinya harus melakukannya sendiri.
("Anda hanya perlu meletakkan sebuah gitar di depan anda dan mulai melakukan pengukuran dan mempelajari proporsinya", kata Pedro). Namun pada kenyataannya diperlukan bantuan keluarganya untuk mengerjakannya. Pedro dibantu oleh anak-anaknya saat menanam pohon-pohon tersebut.
Sebagian besar gitar tersebut, termasuk badan dan lubang berbentuk bintang dirancang menggunakan pohon cemara, dan untuk senar, Pedro menggunakan pohon eucalyptus yang berwarna kebiruan. Tapi penanaman dan memastikan pertumbuhannya lebih sulit daripada sekedar menanam di tempat yang tepat. Kelinci dan binatang-binatang lainnya merusak lahan
itu, dan Pedro hampir saja menyerah ketika ia mendapat ide cemerlang untuk menggunakan besi tua dan menempatkannya sebagai pagar pelindung pohon-pohon yang masih muda.
Pedro menyaksikan pertumbuhan pohon-pohon yang membentuk gitar raksasa bersamaan dengan pertumbuhan anak-anaknya. Tapi percayakah anda bahwa Pedro belum pernah melihat karyanya yang luar biasa ini dari langit, kecuali di foto. Hal ini dikarenakan dirinya takut terbang.
Sejarah Pertanian Organik
Gerakan organik dimulai pada tahun 1930-an dan 1940-an sebagai reaksi terhadap pertumbuhan pertanian ketergantungan pada pupuk sintetis. Pupuk buatan telah diciptakan pada abad 18, awalnya dengan Super fosfat dan kemudian diturunkan pupuk amonia yang diproduksi secara massal dengan menggunakan proses Haber-Bosch yang dikembangkan selama Perang Dunia I. pupuk awal ini adalah murah, kuat, dan mudah untuk transportasi dalam massal. Kemajuan serupa terjadi di pestisida kimia pada tahun 1940-an, yang membawa pada dekade yang disebut sebagai ‘era pestisida’.
Sir Albert Howard secara luas dianggap sebagai ayah dari pertanian organik. Pekerjaan lebih lanjut dilakukan oleh JI Rodale di Amerika Serikat, Lady Eve Balfour di Inggris Raya, dan banyak orang lain di seluruh dunia.
Sebagai persentase dari total hasil pertanian, pertanian organik tetap kecil sejak awal. Sebagai kesadaran lingkungan dan meningkatkan kepedulian di antara populasi umum, pasokan yang awalnya menjadi gerakan yang digerakkan oleh permintaan-driven. Harga premium dari konsumen dan dalam beberapa kasus, subsidi pemerintah menarik banyak petani ke konversi. Di negara berkembang, banyak petani pertanian menurut metode tradisional yang dapat dibandingkan dengan pertanian organik tetapi tidak bersertifikat. Dalam kasus lain, petani di negara berkembang telah dikonversi untuk alasan ekonomi. Sebagai proporsi dari total global output pertanian, organik output tetap kecil, tetapi telah tumbuh dengan pesat di banyak negara, terutama di Eropa.
Bioteknologi Mikroba untuk Pertanian Organik
Alasan kesehatan dan kelestarian alam/lingkungan menjadikan pertanian organik sebagai salah satu alternatif pertanian modern. Pertanian organik mengandalkan bahan-bahan alami dan menghindari segala asupan yang berbau sintetik, baik berupa pupuk sintetik, herbisida, maupun pestisida sintetik. Namun, petani sering mengeluhkan hasil produksi pertanian organik yang produktivitasnya cenderung rendah dan lebih rentan terhadap serangan hama. Masalah ini sebenarnya bisa diatasi dengan memanfaatkan bioteknologi berbasis mikroba yang diambil dari sumber-sumber kekayaan hayati non sintetik.
Tanah adalah habitat yang sangat kaya akan keragaman mikroorganisme seperti bakteri, aktinomicetes, fungi, protozoa, alga dan virus. Tanah-tanah pertanian yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroba per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroba-mikroba tersebut. Sebagian besar mikroba tanah memiliki peranan yang menguntungan bagi pertanian. Mikroba tanah antara lain berperan dalam mendegradasi limbah-limbah organik pertanian, re-cycling hara tanaman, fiksasi biologis nitrogen dari udara, pelarutan fosfat, merangsang pertumbuhan tanaman, biokontrol patogen tanaman, membantu penyerapan unsur hara tanaman, dan membentuk simbiosis menguntungan. Bioteknologi berbasis mikroba tanah dikembangkan dengan memanfaatkan peran-peran penting mikroba tanah tersebut.
Teknologi Kompos Bioaktif
Salah satu masalah mendasar yang sering ditemui ketika menerapkan pertanian organik adalah kandungan bahan organik tanah dan status hara tanah yang rendah. Petani organik mengatasi masalah tersebut dengan memberikan pupuk hijau atau pupuk kandang. Pupuk hijau dan pupuk kandang sebenarnya adalah limbah-limbah organik yang telah mengalami penghacuran sehingga menjadi lebih tersedia bagi tanaman. Limbah organik seperti sampah dedaunan, seresah, kotoran-kotoran binatang ternak tidak bisa langsung diberikan ke tanaman. Limbah organik harus dihancurkan/dikomposkan terlebih dahulu oleh mikroba tanah menjadi unsur-unsur hara yang dapat diserap oleh tanaman. Secara alami proses pengkomposan ini memakan waktu yang sangat lama, berkisar antara enam bulan hingga setahun sampai bahan organik tersebut benar-benar tersedia bagi tanaman. Proses penghancuran limbah organik dapat dipercepat dengan menggunakan mikroba penghancur (dekomposer) yang memiliki kemampuan tinggi. Penggunaan mikroba penghancur ini dapat mempersingkat proses dekomposisi dari beberapa bulan menjadi beberapa minggu saja. Di pasaran saat ini banyak tersedia produk-produk biodekomposer untuk mempercepat proses pengomposan, misalnya: SuperDec, OrgaDec, EM4, EM Lestari, Starbio, Degra Simba, Stardec, dan lain-lain. Dr. Didiek H Goenadi, Direktur Eksekutif Lembaga Riset Perkebunan Indonesia, mendefinisikan kompos bioaktif sebagai kompos yang diproduksi dengan bantuan mikroba lignoselulolitik unggul yang tetap bertahan di dalam kompos dan berperan sebagai agensia hayati pengendali penyakit tanaman. SuperDec dan OrgaDec, produk biodekomposer yang dikembangkan oleh Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia (BPBPI), dikembangkan berdasarkan filosofi tersebut. Mikroba biodekomposer unggul yang digunakan adalah Trichoderman pseudokoningii, Cytopaga sp, dan fungi pelapuk putih. Mikroba tersebut mampu mempercepat proses pengomposan menjadi sekitar 2-3 minggu. Mikroba tetap hidup dan aktif di dalam kompos. Ketika kompos tersebut diberikan ke tanah, mikroba akan berperan untuk mengendalikan mikroba-mikroba patogen penyebab penyakit tanaman. Keuntungan penggunaan kompos bioaktif untuk pertanian organik selain mempercepat waktu pengomposan dan menyediakan kompos yang berkualitas tinggi, juga berperan sebagai agensia hayati untuk mengendalikan penyakit tanaman, terutama penyakit yang menyerang dari dalam tanah. Kekawatiran para petani organik akan tanamannya yang mudah diserang penyakit dapat di atasi dengan menggunakan kompos bioaktif.
Biofertilizer
Petani organik sangat alergi dengan pupuk-pupuk kimia atau pupuk sintetik lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman, petani organik umumnya mengandalkan kompos sebagai sumber utama nutrisi tanaman. Sayangnya kandungan hara kompos rendah. Kompos yang sudah matang kandungan haranya kurang lebih : 1.69% N, 0.34% P2O5, dan 2.81% K. Dengan kata lain seratus kilogram kompos setara dengan 1.69 kg Urea, 0.34 kg SP 36, dan 2.18 kg KCl. Misalnya untuk memupuk padi yang kebutuhan haranya kg Urea/ha, kg SP 36/ha dan kg KCl/ha, maka kompos yang dibutuhkan kurang lebih sebanyak ton kompos/ha. Jumlah kompos yang demikian besar memerlukan tenaga kerja yang lebih banyak dan berimplikasi pula pada biaya produksi. Mikroba-mikroba tanah banyak yang berperan di dalam penyediaan maupaun penyerapan unsur hara bagi tanaman. Tiga unsur hara penting tanaman, yaitu Nitrogen (N), fosfat (P), dan kalium (K) seluruhnya melibatkan aktivitas mikroba tanah. Hara N sebenarnya tersedia melimpah di udara. Kurang lebih 74% kandungan udara adalah N. Namun, N udara tidak dapat langsung diserap oleh tanaman. Tidak ada satupun tanaman yang dapat menyerap N dari udara. N harus difiksasi/ditambat oleh mikroba tanah dan diubah bentuknya menjadi tersedia bagi tanaman. Mikroba penambat N ada yang bersimbiosis dengan tanaman dan ada pula yang hidup bebas di sekitar perakaran tanaman. Mikroba penambat N simbiotik antara lain : Rhizobium sp. Rhizobium sp hidup di dalam bintil akar tanaman kacang-kacangan (leguminose). Mikroba penambat N non-simbiotik misalnya: Azospirillum sp dan Azotobacter sp. Mikroba penambat N simbiotik hanya bisa digunakan untuk tanaman leguminose saja, sedangkan mikroba penambat N non simbiotik dapat digunakan untuk semua jenis tanaman. Mikroba tanah lain yang berperan di dalam penyediaan unsur hara tanaman adalah mikroba pelarut fosfat (P) dan kalium (K). Tanah-tanah yang lama diberi pupuk superfosfat (TSP/SP 36) umumnya kandungan P-nya cukup tinggi (jenuh). Namun, hara P ini sedikit/tidak tersedia bagi tanaman, karena terikat pada mineral liat tanah yang sukar larut. Di sinilah peranan mikroba pelarut P. Mikroba ini akan melepaskan ikatan P dari mineral liat tanah dan menyediakannya bagi tanaman. Banyak sekali mikroba yang mampu melarutkan P, antara lain: Aspergillus sp, Penicillium sp, Zerowilia lipolitika, Pseudomonas sp, … ,………… Mikroba yang berkemampuan tinggi melarutkan P, umumnya juga berkemampuan tinggi dalam melarutkan K. Kelompok mikroba lain yang juga berperan dalam penyerapan unsur P adalah Mikoriza. Setidaknya ada dua jenis mikoriza yang sering dipakai untuk biofertilizer, yaitu: ektomikoriza dan endomikoriza. Ektomikoriza seringkali ditemukan pada tanaman-tanaman keras/berkayu, sedangkan endomikoriza ditemukan pada banyak tanaman, baik tanaman berkayu atau bukan. Mikoriza hidup bersimbiosis pada akar tanaman. Mikoriza berperan dalam melarutkan P dan membantu penyerapan hara P oleh tanaman. Selain itu tanaman yang bermikoriza umumnya juga lebih tahan terhadap kekeringan. Contoh mikoriza yang sering ditemukan adalah Glomus sp dan Gigaspora sp. Beberapa mikroba tanah juga mampu menghasilkan hormon tanaman yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Hormon yang dihasilkan oleh mikroba akan diserap oleh tanaman sehingga tanaman akan tumbuh lebih cepat atau lebih besar. Kelompok mikroba yang mampu menghasilkan hormon tanaman, antara lain: Pseudomonas sp dan Azotobacter sp. Mikroba-mikroba tanah yang bermanfaat untuk melarutkan unsur hara, membantu penyerapan unsur hara, maupun merangsang pertumbuhan tanaman diformulasikan dalam bahan pembawa khusus dan digunakan sebagai biofertilizer untuk pertanian organik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh BPBPI mendapatkan bahwa biofertilizer setidaknya dapat mensuplai lebih dari setengah kebutuhan hara tanaman. Biofertilizer yang dikembangkan oleh BPBPI antara lain: Emas, Rhiphosant, Kamizae, dan Simbionriza.
Agen Biokontrol
Hama dan penyakit tanaman merupakan salah satu kendala serius dalam budidaya pertanian organik. Jenis-jenis tanaman yang terbiasa dilindungi oleh pestisida kimia seperti jenis-jenis hibrida, umumnya sangat rentah terhadap serangan hama dan penyakit ketika dibudidayakan dengan sistim organik. Alam sebenarnya telah menyediakan mekanisme perlindungan alami. Di alam terdapat mikroba-mikroba dapat mengendalikan organisme patogen tersebut. Mikroba atau organisme patogen akan menyerang tanaman ketika terjadi ketidakseimbangan populasi antara organisme patogen dengan mikroba pengendalinya. Di sini jumlah organisme patogen lebih banyak daripada jumlah mikroba pengendalinya. Apabila kita dapat menyeimbangakan populasi kedua jenis organisme ini, maka hama dan penyakit tanaman dapat dihindari. Mikroba yang dapat mengendalikan hama tanaman antara lain: Bacillus thurigiensis (BT), Bauveria bassiana, Paecilomyces fumosoroseus, dan Metharizium anisopliae. Mikroba-mikroba ini mampu menyerang dan membunuh berbagai serangga yang menjadi hama tanaman. Mikroba yang dapat mengendalikan penyakit tanaman misalnya: Trichoderma sp. Trichoderma sp mampu mengendalikan penyakit tanaman yang disebabkan oleh Gonoderma sp, JAP (jamur akar putih), atau Phytoptora sp.
Aplikasi pada Pertanian Organik
Produk-produk bioteknologi mikroba hampir seluruhnya menggunakan bahan-bahan alami. Produk-produk ini dapat memenuhi kebutuhan petani organik. Kebutuhan akan bahan organik tanah dan hara tanaman dapat dipenuhi dengan kompos bioaktif dan aktivator pengomposan. Aplikasi biofertilizer pada pertanian organik dapat mensuplai kebutuhan hara tanaman yang selama ini dipenuhi dari pupuk-pupuk kimia. Serangan hama dan penyakit tanaman dapat dikendalikan dengan memanfaatkan biokotrol. Selama ini petani Indonesia yang menerapkan sistem pertanian organik hanya mengandalkan kompos dan cenderung membiarkan serangan hama dan penyakit tanaman. Dengan tersedianya bioteknologi berbasis mikroba, petani organik tidak perlu kawatir dengan masalah ketersediaan bahan organik, unsur hara, dan serangan hama dan penyakit tanaman.
Pertanian Organik Sebagai Pertanian yang Berkelanjutan*)
Mengamati perkembangan pangan dan komoditas pertanian akhir-akhir ini, khususnya perkembangan dalam harganya yang dicirikan oleh tren yang meningkat, yang merupakan kebalikan tren harga-harga komoditas pangan dan pertanian selama kurang-lebih setengah abad terakhir abad ke-20, sangatlah menarik. Apalagi kalau kita mengingat bahwa sebagian besar rumah tangga di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, lebih dari setengah pengeluaran pangannya dibelanjakan untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka, tidak seperti pangsa pengeluaran pangan rumah tangga di negara maju, yang proporsinya kurang dari 10 persen. Karena itu, bukan hanya kita harus meningkatkan pendapatan rumah tangga secara keseluruhan, tetapi yang lebih penting dan mendesak lagi adalah mencari jalan atau cara untuk bisa menekan biaya produksi pertanian tanpa mengorbankan produktivitasnya.
Kultur yang berkembang pada saat ini adalah kultur pertanian yang relatif mahal mengingat ketergantungannya pada input pertanian yang berkorelasi kuat dengan harga energi, khususnya minyak bumi, yang cenderung terus meningkat. Selain itu, ketergantungan pada pupuk yang disuplai secara eksternal dari luar sistem pertanian menghasilkan model pertanian yang tidak berkembang secara organik, yaitu membesar dan berkembang sebagai hasil kerja yang berproses di dalam tubuh pertanian, melainkan yang bergantung pada faktor eksternal. Lebih jauh lagi, pertanian Indonesia selama ini menggantungkan 100 persen kebutuhan unsur fosfat (P) dan potasium (K) melalui impor. Data menunjukkan bahwa nilai impor pupuk Indonesia meningkat dari US$ 564,3 juta pada 2006 menjadi US$ 1,4 miliar pada 2010 (BPS, 2011). Nilai impor tersebut jauh lebih besar daripada nilai ekspor pupuk Indonesia. BPS mencatat, misalnya, pada periode Januari hingga September 2011, nilai ekspor pupuk hanya mencapai US$ 351.48 juta.
Selain mahal, pertanian yang berbasis pada faktor eksternal di atas memberi banyak dampak negatif terhadap kualitas lingkungan hidup, khususnya terhadap biodiversitas, polusi air, dan kontaminasi rantai ekosistem. Fenomena ini menggambarkan secara implisit bahwa pertanian Indonesia tidaklah memenuhi kriteria keberlanjutan, baik secara teknologi, ekonomi, maupun ekologi.
Pertanian organik dalam tulisan ini diartikan sebagai pertanian yang pertumbuhan dan perkembangannya lebih mengandalkan pada daya atau sifat intrinsik ekosistem alam yang berinteraksi dengan sistem sosial dan ekonomi sebagai faktor lingkungan yang diinternalisasi dalam proses ko-evolusi dari sistem pertanian tersebut. Kata organik analog dengan kata DNA atau gen yang mengatur pola hidup dan perkembangan suatu makhluk hidup dari dalam tubuh itu sendiri. Pertanian adalah sebagai makhluk atau sosok kehidupan itu sendiri. Tentu saja faktor lingkungan turut menentukan sifat dan sifat serta jenis, jumlah atau variasi hasil, serta hal lainnya yang menyatu dengan sistem pertanian organik tersebut secara keseluruhan.
Khudori (Koran Tempo, 30 Juli 2012), menggunakan data Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian, menyebutkan bahwa sekitar 73 persen lahan sawah (sekitar 5 juta hektare) memiliki kandungan C-organik sangat rendah sampai rendah (C-organik < 2 persen), 22 persen memiliki kandungan C-organik sedang (2-3 persen), dan 4 persen memiliki kandungan C-organik tinggi (> 3 persen). Tanah dengan kandungan C-organik < 2 persen dapat dikategorikan sebagai lahan sawah yang sakit dan kelelahan. Bila dibandingkan dengan lahan sawah sehat yang memiliki kandungan C-organik > 3 persen, kondisi itu sudah sangat kritis. Kondisi ini hanyalah satu ilustrasi bahwa sistem pertanian yang diterapkan selama ini menghasilkan output yang membahayakan keberlanjutan pertanian Indonesia, yang gejala kegagalannya sudah tampak sejak lama.
Kondisi yang disebutkan terakhir telah mendorong lahirnya kebijakan go organic. Sayang sekali, dalam pelaksanaannya, kebijakan ini banyak menghadapi permasalahan atau kendala. Saya berpendapat bahwa permasalahan utama dari program go organic ini bersumber dari kurang tepatnya pemahaman dan rancang bangun dari kebijakan yang diciptakan, yang akhirnya berdampak negatif terhadap implementasinya.
Pemahaman yang perlu dibangun sejak awal adalah bahwa pertanian organik adalah pertanian modern. Artinya, pertanian organik tidak sama dengan pertanian yang didasarkan semata-mata pada penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang, walaupun pupuk organik tersebut telah distandardisasi. Pertanian organik dilandasi oleh konsep reaksi kehidupan antara mikro organisme sebagai unsur organik dan lingkungannya, seperti tanah dan faktor cuaca dalam kaitannya dengan produksi tanaman, ikan, atau ternak pada suatu wilayah yang telah dirancang sebelumnya sebagai kawasan pertanian organik. Output dari sistem pertanian organik adalah hasil pertanian, baik berupa pangan, hortikultura, perikanan, maupun peternakan yang sebagian besar input-nya adalah unsur kehidupan (mikroorganisme) yang dibawa oleh beragam bahan organik yang telah diolah berdasarkan teknologi mutakhir yang hasilnya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Produk lainnya adalah energi yang dihasilkan dari pemanfaatan biomassa yang dikonversi menjadi biogas atau bentuk energi lainnya. Dengan skala sistem pertanian organik yang besar, misalnya 10 ribu hektare, produk energi ini akan mencapai skala bilangan megawatt. Keberlanjutan lingkungan hidup dan kehidupan sosial yang berkembang pada suatu wilayah juga menjadi produk inherent dari sistem ini.
Konsep keterpaduan komoditas, wilayah, teknologi, dan sosial-ekonomi pada suatu wilayah dengan skala ekonomi yang memadai (misal, 10 ribu ha) yang diintegrasikan oleh suatu badan usaha, misalnya yang saya namakan Badan Usaha Milik Petani (BUMP), merupakan institusi operasionalisasi pertanian organik sebagaimana dimaksud dalam tulisan ini. Karena itu, dapat dikatakan bahwa pertanian organik sebagaimana diuraikan adalah landasan bagi terwujudnya pertanian yang berkelanjutan.