ARSIP BULANAN : December 2015

Prinsip Keadilan dalam Bisnis

23 December 2015 12:03:55 Dibaca : 1274


Prinsip ini menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan kriteria yang rasional objektif dan dapat dipertanggungjawabkan. Keadilan berarti tidak ada pihak yang dirugikan hak dan kepentingannya. Salah satu teori mengenai keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles adalah:
1. Keadilan legal. Ini menyangkut hubungan antara individu atau kelompok masyarakat dengan negara. Semua pihak dijamin untuk mendapat perlakuan yangsama sesuai dengan hukum yang berlaku. Secara khusus dalam bidang bisnis, keadilan legal menuntut agar Negara bersikap netral dalam memperlakukan semua pelaku ekonomi, negara menjamin kegiatan bisnis yang sehat dan baik dengan mengeluarkan aturan dan hukum bisnis yang berlaku secara sama bagi semua pelaku bisnis.
2. Keadilan komunitatif. Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain. Keadilan ini menyangkut hubungan vertikal antara negara dan warga negara, dan hubungan horizontal antar warga negara. Dalam bisnis keadilan ini berlaku sebagai kejadian tukar, yaitu menyangkut pertukaran yang fair antara pihak-pihak yang terlibat.
3. Keadilan distributif. Atau disebut juga keadilan ekonomi, yaitu distribusi ekonomi yang merata atau dianggap adil bagi semua warga negara. Dalam dunia bisnis keadilan ini berkaitan dengan prinsip perlakuan yang sama sesuai dengan aturan dan ketentuan dalam perusahaan yang juga adil dan baik.

Prinsip Kejujuran dalam bisnis

23 December 2015 12:03:26 Dibaca : 2136


Bisnis tidak akan bertahan lama jika tidak ada kejujuran, karena kejujuran merupakan modal utama untuk memperoleh kepercayaan dari mitra bisnis-nya, baik berupa kepercayaan komersial, material, maupun moril. Kejujuran menuntut adanya keterbukaan dan kebenaran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang berkaitan dengan kejujuran:
1. Kejujuran relevan dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Pelaku bisnis disini secara a priori saling percaya satu sama lain, bahwa masing-masing pihak jujur melaksanakan janjinya. Karena jika salah satu pihak melanggar, maka tidak mungkin lagi pihak yang dicuranginya mau bekerjasama lagi, dan pihak pengusaha lainnya akan tahu dan tentunya malas berbisnis dengan pihak yang bertindak curang tersebut.
2. Kejujuran relevan dengan penawaran barang dan jasa dengan mutu dan harga yang baik. Kepercayaan konsumen adalah prinsip pokok dalam berbisnis. Karena jika ada konsumen yang merasa tertipu, tentunya hal tersebut akan rnenyebar yang menyebabkan konsumen tersebut beralih ke produk lain.
3. Kejujuran relevan dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan yaitu antara pemberi kerja dan pekerja, dan berkait dengan kepercayaan. Perusahaan akan hancur jika kejujuran karyawan ataupun atasannya tidak terjaga.

 

Prinsip Otonomi dalam Bisnis

23 December 2015 12:02:50 Dibaca : 1111


Orang bisnis yang otonom sadar sepenuhnya akan apa yang menjadi kewajibannya dalam dunia bisnis. la akan sadar dengan tidak begitu saja mengikuti saja norma dan nilai moral yang ada, namun juga melakukan sesuatu karena tahu dan sadar bahwa hal itu baik, karena semuanya sudah dipikirkan dan dipertimbangkan secara masak-masak. Dalam kaitan ini salah satu contohnya perusahaan memiliki kewajiban terhadap para pelanggan, diantaranya adalah:
(1) Memberikan produk dan jasa dengan kualitas yang terbaik dan sesuai dengan tuntutan mereka;
(2) Memperlakukan pelanggan secara adil dalam semua transaksi, termasuk pelayanan yang tinggi dan memperbaiki ketidakpuasan mereka;
(3) Membuat setiap usaha menjamin mengenai kesehatan dan keselamatan pelanggan, demikian juga kualitas Iingkungan mereka, akan dijaga kelangsungannyadan ditingkatkan terhadap produk dan jasa perusahaan;
(4) Perusahaan harus menghormati martabat manusia dalam menawarkan, memasarkan dan mengiklankan produk.
Untuk bertindak otonom, diandaikan ada kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan yang menurutnya terbaik. karena kebebasan adalah unsur hakiki dari prinsip otonomi ini. Dalam etika, kebebasan adalah prasyarat utama untuk bertindak secara etis, walaupun kebebasan belum menjamin bahwa seseorang bertindak secara otonom dan etis. Unsur lainnya dari prinsip otonomi adalah tanggungjawab, karena selain sadar akan kewajibannya dan bebas dalam mengambil keputusan dan tindakan berdasarkan apa yang dianggap baik, otonom juga harus bisa mempertanggungjawabkan keputusan dan tindakannya (di sinilah dimung-kinkan adanya pertimbangan moral). Kesediaan bertanggungjawab merupakan ciri khas dari makhluk bermoral, dan tanggungjawab disini adalah tanggung jawab pada diri kita sendiri dan juga tentunya pada stakeholder.

 

Indikator Etika Bisnis

23 December 2015 12:00:49 Dibaca : 5259


Kehidupan bisnis modern menurut banyak pengamat cenderung mementing-kan keberhasilan material. Menempatkan material pada urutan prioritas utama, dapat mendorong para pelaku bisnis dan masyarakat umum melirik dan menggunakan paradigma dangkal tentang makna dunia bisnis itu sendiri. Sesungguhnya dunia bisnis tidak sesadis yang dibayangkan orang dan mate¬rial bukanlah harga mati yang harus diupayakan dengan cara apa dan bagaimanapun. Dengan paradigma sempit dapat berkonotasi bahwa bisnis hanya dipandang sebagai sarana meraih pendapatan dan keuntungan uang semata, dengan mengabaikan kepentingan yang lainnya. Organisasi bisnis dan perusahaan dipandang hanya sekedar mesin dan sarana untuk memaksi-malkan keuntungannya dan dengan demikian bisnis seuu^u-mata berperan sebagai jalan untuk menumpuk kekayaan dan bisnis telah menjadi jati diri tidak lebih dari mesin pengganda modal atau kapitalis.
Untuk itu diperlukan pemahaman yang ideal tentang bisnis dalam nuansa paradigma baru dan kata ideal itu tentunya mengacu kepada nilai-nilai filosofis dari bisnis itu sendiri. Paradigma baru dalam bisnis penuh dengan nilai-nilai positif, didukung oleh nilai-nilai moralitas yang tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan kini dan akan datang. Pertanggungjawaban itu tidak saja bagi sesama manusia selama hidup di dunia, tetapi juga kepada Yang Menciptakan Manusia Allah Azza Wajalla.
Dari sudut pandang etika, keuntungan bukanlah hal yang baru, bahkan secara moral keuntungan merupakan hal yang baik dan diterima. Karena pertama, secara moral keuntungan memungkinkan organisasi/ perusahaan untuk bertahan (survive) dalam kegiatan bisnisnya. Kedua, tanpa memperoleh keuntungan tidak ada pemilik modal (investor) yang bersedia menanamkan modalnya, dan karena itu berarti tidak akan terjadi aktivitas yang produktif dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Ketiga, keuntungan tidak hanya memungkinkan perusahaan survive melainkan dapat menghidupi karyawannya ke arah tingkat hidup yang lebih baik. Keuntungan dapat dipergunakan sebagai pengembangan (ekspansi) perusahaan sehingga hal ini akan membuka lapangan kerja baru (Eldine, 2008).
Nilai-nilai etika yang positif hams menjadi referensi bagi pelaku usaha dan partisipannya dalam penyelenggaraan bisnisnya. Pelaku bisnis seyogianya menempatkan etika pada kedudukan yang pantas dalam kegiatan bisnis yang digelutinya. Sementara itu tugas pelaku bisnis adalah berorientasi pada norma-norma dalam melaksanakan pekerjaan sehari-hari sehingga pekerjaannya tetap berada dalam sebutan etis dan tidak merugikan siapapun secara moral.
Penerapan dan penyampaian nilai moral dalam etika bisnis adalah suatu kewaj iban. Dalam arti bahwa pebisnis mengemban misi untuk menyampaikan informasi moral, baik secara formal maupun informal dalam lingkungan perusahaannya. Disadari atau tidak, prosesi penyampaian informasi moral ini sebenarnya telah berlangsung lama di luar kemauan dan hajat suatu organisasi/perusahaan. Prosesi penyampaian informasi tersebut berasal dari berbagai sumber dan sebagian perusahaan dan pelaku bisnis telah memperlakukan atau menyeleggarakannya dengan baik.
Sumber inier'nasi moral adalah orang tua, kerabat, lingkungan setempat, tokoh-tokoh agama dan tokoh masyarakat, baik dengan lisan maupun tertulis, yang berintikan ajaran moral. Bentuk-bentuk informasi moral tersebut dapat berupa nasehat (advis), lagu-lagu, permainan, tarian, pantun, pepatah, dongeng (mitos) dan sebagainya.
Ditilik dari dimensi waktu, prosesi penyampaian dan sosialisasi informasi nilai moral itu ternyata telah berlangsung lama dan terus menerus. Walaupun demikian tidak semua nilai moral yang ada diterima dan dipraktikkan oleh pengelola organisasi/perusahaan. Keterbatasan manusia sebagai pelaku bisnis memiliki nurani dan moral, maka nilai kebajikan dan kebenaran itu akan diterima dengan tulus, tentu setelah melalui suatu proses yang panjang dan berbagai upaya melalui berpikir.
Moral agama sangat penting kedudukan dan peranannya dalam pembentukan perilaku seseorang. Ada pengaruh signifikan antara pengajaran moral agama semasa kecil dengan perilaku seseorang tatkala dia dewasa, sehingga berpengaruh pula terhadap tindakan atau kebijakan bisnis yang dikelolanya. Membentuk atau menanam moral bukanlah persoalan mudah. Prosesi itu memerlukan pengorbanan waktu, metode yang tepat dan dilakukan dengan penuh kearifan dan kesabaran. Untuk keefektifan prosesi pembentukan moral atau akhlak diperlukan pemahaman watak dan karakter manusianya. Hal ini merupakan persoalan berat dan membutuhkan perjuang-an panjang. Nabi saja di utus Allah untuk kepentingan perbaikan akhlak manusia. Tuhan Pencipta manusia mengutus Nabi Muhammad SAW untuk memperbaiki etika (bahasa Arab: identik dengan akhlak) manusia (Innama Buistu Liutammima makarimal Akhlaq).
Implementasi etika dalam penyelenggaraan bisnis mengikat setiap personal menurut bidang tugas yang diembannya. Dengan kata lain mengikat manajer, pimpinan unit kerja dan kelembagaan perusahaan. Semua anggota organisasi/ perusahaan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi harus menjabarkan dan melaksanakan etika bisnis secara konsekuen dan penuh tanggung jawab. Dalam pandangan sempit suatu perusahaan dianggap sudah melaksanakan etika bisnis bilamana perusahaan yang bersangkutan telah melaksanakan tanggung jawab sosialnya. Tanggung jawab sosial itu timbul sebagai akibat adanya eksternalitas yang negatif dan perusahaan harus membayar biaya sosialnya (social cost). Dari berbagai pandangan tentang etika bisnis, beberapa indikator yang dapat dipakai untuk menyatakan apakah seseorang dan suatu perusahaan telah melaksanakan etika bisnis dalam kegiatan usahanya antara lain adalah: Indikator ekonomi; indikator peraturan khusus yang berlaku; indikator hukum; indikator ajaran agama; indikator budaya dan indikator etik dari masing-masing pelaku bisnis.
1. Indikator Etika bisnis menurut ekonomi adalah apabila perusahaan atau pebisnis telah melakukan pengelolaan sumber daya bisnis dan sumber daya alam secara efisien tanpa merugikan masyarakat lain.
1. Indikator etika bisnis menurut peraturan khusus yang berlaku. Berdasarkan indikator ini seseorang pelaku bisnis dikatakan beretika dalam bisnisnya apabila masing-masing pelaku bisnis mematuhi aturan-aturan khusus yang telah disepakati sebelumnya.
2. Indikator etika bisnis menurut hukum. Berdasarkan indikator hokum seseorang atau suatu perusahaan dikatakan telah melaksanakan etika bisnis apabila seseorang pelaku bisnis atau suatu perusahaan telah mematuhi segala norma hukum yang berlaku dalam menjalankan kegiatan bisnisnya.
3. Indikator etika berdasarkan ajaran agama. Pelaku bisnis dianggap beretika bilamana dalam pelaksanaan bisnisnya senantiasa merujuk kepada nilai- nilai ajaran agama yang dianutnya.
4. Indikator etika berdasarkan nilai budaya. Setiap pelaku bisnis baik
5. secara individu maupun kelembagaan telah menyelenggarakan bisnisnya dengan mengakomodasi nilai-nilai budaya dan adat istiadat yang ada disekitar operasi suatu perusahaan, daerah dan suatu bangsa.
6. Indikator etika bisnis menurut masing-masing individu adalah apabila masing-masing pelaku bisnis bertindak jujur dan tidak mengorbankan integritas pribadinya.

Pengertian Bisnis

23 December 2015 11:59:51 Dibaca : 1565


Bisnis adalah kegiatan manusia dalam mengorganisasikan sumberdaya untuk menghasilkan dan mcndistribusikan barang dan jasa guna memenuhi kebu-tuhan dan keinginan masyarakat. Bisnis adalah membuktikan apa yang dijanjikan (promise) dengan yang diberikan (deliver). Bisnis adalah kegiatan diantara manusia untuk mendatangkan keuntungan. Dalam bisnis terdapat persaingan dengan aturan yang berbeda dengan norma-norma yang berada dalam masyarakat. Pengertian bisnis dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
a. Kegiatan dengan mengarahkan tenaga, pikiran, atau badan untuk
mencapai sesuatu maksud.
b. Kegiatan di bidang perdagangan/perbisnisan.
Bisnis dapat pula diartikan berdasarkan konteks organisasi atau perusahaan, yaitu: usaha yang dilakukan organisasi atau perusahaan dengan menyediakan produk barang atau jasa dengan tujuan memperoieh nilai lebih (value added). Karena organisasi (perusahaan) yang menyediakan produk barang atau jasa tentu dengan tujuan memperoleh laba, tentu saja prospek mendapatkan laba, selalu memperhitungkan perbedaan penerimaan bisnis dengan biaya yang dikeluarkan. Maka laba di sini merupakan pemicu (driver) bagi pebisnis untuk memulai dan mengembangkan bisnis. Bagai-manapun juga pebisnis mendapatkan laba dari risiko yang diambil ketika mengivestasikan sumber daya (modal, keahlian/skill, dan waktu) mereka.
Dalam sistem kapitalis bisnis dijalankan untuk mendapatkan laba bagi pemilik yang juga bebas untuk menjalankannya. Namun konsumen juga memiliki kebebasan untuk memilih. Dalam memilih cara mengejar laba, bisnis harus memperhitungkan apa yang diinginkan dan dibutuhkan konsu¬men. Terlepas dari seberapa efisien bisnis itu dijalankan