MAHASISWA: DENGAN BERBAGAI TUNTUTAN !!!! (Family, Study, Responsibility, and Romantic) part 2
MAHASISWA: DENGAN BERBAGAI TUNTUTAN (Family, Study, Responsibility, and Romantic) part 2
Di balik kehidupan kampus yang dinamis, mahasiswa sering kali terjebak dalam tekanan tanggung jawab yang terus bertambah. Tidak hanya berfokus pada akademik, mereka juga harus berhadapan dengan ekspektasi dari keluarga, pekerjaan, dan hubungan sosial, termasuk romantis. Tantangan-tantangan ini dapat mengganggu keseimbangan emosional dan mental jika tidak dikelola dengan baik.
Keluarga sering kali memiliki harapan besar terhadap mahasiswa, terutama dalam hal pencapaian akademik. Dalam beberapa budaya, tanggung jawab keluarga bahkan bisa menjadi lebih mendesak dibandingkan pendidikan. Kewajiban untuk membantu keuangan keluarga atau mengurus urusan rumah tangga kerap kali mempengaruhi performa akademik mahasiswa.
Penelitian oleh Turner et al. (2021) menunjukkan bahwa mahasiswa yang harus membagi perhatian antara tugas akademik dan tanggung jawab keluarga cenderung mengalami penurunan kualitas tidur dan stres yang lebih tinggi. Hal ini bisa berdampak negatif pada kemampuan kognitif mereka dan memperburuk performa di ruang kelas. Menemukan keseimbangan antara kedua hal ini sangat penting untuk menjaga stabilitas mental dan emosional.
Mahasiswa yang aktif dalam organisasi dan kegiatan kampus sering kali merasa tertekan oleh jadwal yang padat. Tuntutan akademik yang tinggi membuat waktu untuk diri sendiri semakin terbatas. Seperti yang diungkapkan oleh Garett et al. (2017) dalam Journal of American College Health, partisipasi dalam kegiatan ekstra-kurikuler meningkatkan risiko stres akademik karena mahasiswa berjuang untuk memenuhi tenggat waktu tugas dan tetap aktif di luar perkuliahan. Sementara itu, organisasi kampus memang dapat membangun soft skill seperti kepemimpinan dan manajemen waktu, tetapi terlalu banyak terlibat dapat menyebabkan Kelelahan.
Beberapa mahasiswa mengakui bahwa mereka sering kali harus "memotong" waktu istirahat atau relaksasi demi menyelesaikan tugas akademik. Ini membuat mereka lebih rentan terhadap burnout, seperti yang disebutkan dalam penelitian oleh Schaufeli et al. (2009). Burnout pada mahasiswa tidak hanya mengurangi produktivitas tetapi juga berdampak pada kesejahteraan psikologis mereka.
Selain tuntutan akademik dan keluarga, hubungan romantis juga memegang peranan signifikan dalam keseharian mahasiswa. Hubungan yang sehat dapat memberikan dukungan emosional, tetapi ketika hubungan tersebut berantakan, dampaknya dapat sangat besar. Menurut Furman dan Collibee (2019) dalam Journal of Adolescence, mahasiswa yang mengalami masalah dalam hubungan romantis lebih mungkin mengalami peningkatan tingkat kecemasan dan depresi.
Lebih lanjut, mereka yang merasa terjebak dalam konflik hubungan juga lebih sulit untuk fokus pada tanggung jawab akademik dan personal. Perasaan kehilangan pasangan sering kali menciptakan ruang hampa emosional yang sulit diatasi, terutama di tengah tekanan akademik yang sudah menumpuk.
Kunci untuk menghadapi tuntutan yang beragam ini adalah kemampuan untuk memprioritaskan dan mengelola stres. Lazarus dan Folkman (1984), dalam teori coping mereka, menekankan pentingnya strategi coping berbasis emosi dan masalah dalam mengatasi tekanan. Mahasiswa perlu belajar untuk memahami kapan mereka harus fokus pada tugas akademik, kapan harus memberikan perhatian pada keluarga, dan kapan mereka perlu istirahat dari semua tanggung jawab.
Dukungan sosial, baik dari teman maupun mentor, memainkan peran besar dalam proses ini. Sebagaimana dijelaskan oleh Cohen dan Wills (1985), dukungan sosial dapat menjadi penyangga terhadap efek negatif dari stres. Mereka yang merasa memiliki tempat untuk berbagi cerita cenderung lebih mampu mengatasi berbagai tekanan hidup mereka.
Pada akhirnya, mahasiswa perlu menyadari bahwa perjalanan mereka penuh dengan tantangan yang tidak bisa dihindari. Ungar (2013), dalam penelitiannya tentang resiliensi, menunjukkan bahwa mahasiswa yang mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan hidup lebih mungkin untuk berhasil dalam jangka panjang. Keseimbangan hidup bukan berarti menghilangkan semua masalah, melainkan kemampuan untuk tetap berdiri meski diterpa berbagai tanggung jawab yang berat. Dalam proses ini, penting bagi mahasiswa untuk merawat kesehatan mental mereka melalui kegiatan seperti olahraga, meditasi,atau sekadar istirahat yang cukup. Memahami batas diri dan mencari bantuan ketika diperlukan adalah langkah proaktif untuk menjaga kesejahteraan mereka.
Mahasiswa sering kali merasa berada di bawah tekanan yang luar biasa dari berbagai sisi kehidupan mereka. Namun, dengan manajemen diri yang baik, dukungan sosial yang kuat, dan pemahaman akan pentingnya keseimbangan hidup, mereka dapat melewati masa ini dengan lebih kuat dan bijaksana. Terlepas dari beratnya beban yang harus mereka pikul, pencarian makna dan keseimbangan tetap menjadi bagian integral dari proses pertumbuhan pribadi mereka.
Referensi:
Cohen, S., & Wills, T. A. (1985). Stress, social support, and the buffering hypothesis. Psychological Bulletin, 98(2), 310-357.
Furman, W., & Collibee, C. (2019). The role of peer and romantic relationships in adolescent psychological development. Journal of Adolescence, 76, 56-67.
Garett, R., Liu, S., & Young, S. D. (2017). The relationship between social media use and the well-being of college students. Journal of American College Health, 65(6), 359-367.
Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping. New York: Springer.
Schaufeli, W. B., Martínez, I. M., Pinto, A. M., Salanova, M., & Bakker, A. B. (2009). Burnout and engagement in university students: A cross-national study. Journal of Cross-Cultural Psychology, 33(5), 464-481.
Turner, R. J., Wheaton, B., & Lloyd, D. A. (2021). The epidemiology of social stress. American Sociological Review, 60(1), 104-125.
Ungar, M. (2013). Resilience, trauma, context, and culture. Trauma, Violence, & Abuse, 14(3), 255-266.
Kategori
- Masih Kosong
Blogroll
- Masih Kosong